Share

10. Projek Dadakan

Author: Estaruby
last update Huling Na-update: 2025-05-04 15:56:19

Arina menarik koper hitamnya melewati pintu masuk terminal keberangkatan, jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia tak pernah menyangka bahwa keputusan impulsif semalam—yang keluar dari mulutnya begitu saja saat Askara mengajaknya bergabung dalam proyek manajemen strategis di luar negeri—akan dia setujui secepat ini. Bahkan, tanpa sempat bertanya ulang detailnya, ia hanya menjawab, “Oke, saya ikut.”

Semudah itu.

Arina tidak tahu setan mana yang merasukinya sampai dia bisa mengambil keputusan penting secepat itu. Tapi sepertinya, Arina menyadari dengan sangat bahwa kemampuan komunikasi Arkasa benar-benar berhasil membiusnya. Tak heran lelaki itu jadi konsultan muda terpandang.

“Arina, untuk proyek Zurich. kami sedang menangani merger dua perusahaan besar di sektor teknologi dan logistik. Ini akan jadi transformasi manajemen skala internasional. Tim dari Asia butuh jembatan—dan kamu, kamu bisa jadi penghubung paling strategis yang bisa kita punya.”

Arina mendengarkan As
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   105. Permohonan Bersyarat

    Askara terdiam cukup lama setelah Clarissa mengucapkan kalimat itu—tentang ibunya yang telah tiada tiga bulan lalu. Suara di ruang tamu seketika lenyap, hanya tersisa dengung samar dari jam dinding dan napas berat yang berusaha ia kendalikan.“Apa yang kamu bilang barusan?” tanyanya datar, tapi ada gemetar halus di ujung suaranya.Clarissa menunduk, jari-jarinya menggenggam erat ujung tas. “Mama… Mama sudah meninggal, Kar. Tiga bulan lalu. Sebelum pergi, beliau minta aku datang ke sini. Katanya, aku harus minta maaf padamu. Dia bilang... dia nggak ingin aku meninggal nanti dengan dosa karena membiarkan kesalahpahaman ini tetap ada.”Askara tertawa kecil—tawa getir yang terdengar seperti perih yang dipaksa keluar. Ia menatap Clarissa dengan sorot mata yang campur aduk antara marah, kecewa, dan lelah.“Jadi sekarang kamu datang ke sini karena wasiat?” suaranya meninggi sedikit. “Karena permintaan terakhir ibumu? Bukan karena kamu benar-benar menyesal?”Clarissa menatapnya, berusaha mena

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   104. Kita Butuh Bicara

    "Siapa yang berkunjung pagi-pagi?" Askara sedikit menggeram saat aktivitasnya terganggu. Sementara Arina sudah turun dari pangkuannya dan sedikit merapikan pakaian dan rambutnya yang diacak Askara.Apa mungkin keluarga Arina datang berkunjung pagi-pagi begini?Memikirkan bahwa mereka mungkin saja datang dan Arina tidak siap kalau mereka melihat Askara disini, Arina meminta Askara untuk bersembunyi di kamar mandi. Memaksanya meskipun Askara bilang dia akan muncul secara jantan dan menyambut keluarga Arina atau siapapun itu. Tapi tentu Arina punya pemahaman yang jauh berbeda. Setelah memastikan Askara masuk ke dalam kamar mandi, Arina bergegas keluar. Jantungnya berdegup kencang menyiapkan diri agar dirinya tidak nampak gugup di depan siapapun nanti.Pintu rumah itu terbuka perlahan, memperlihatkan Arina dengan rambut yang masih berantakan dan piyama yang belum sempat diganti. Udara pagi yang sejuk seketika terasa kaku begitu matanya menangkap sosok perempuan bergaun rapi di depan pint

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   103. Sarapan Sesungguhnya (+)

    Askara terbangun dengan kepala berat dan pandangan yang masih buram. Cahaya matahari menembus celah tirai kamar, menyentuh wajahnya yang tampak letih setelah semalaman masih memikirkan tentang pertengkarannya dengan sang ayah terus berputar di kepala.Ia mengusap wajahnya pelan, berusaha menenangkan diri. Saat memeriksa sisi ranjang, tempat di mana semalam Arina berbaring di sebelahnya, yang ia temukan hanyalah bantal yang sudah dingin. Kosong.Askara tahu benar rasanya kehilangan. Sedetik dia jadi agak panik merasakan kehampaan itu. Namun beberapa detik kemudian, aroma sedap menyapa penciumannya—perpaduan wangi roti panggang, telur, dan sedikit aroma kopi. Ada kehangatan yang menenangkan di udara, cukup untuk menarik Askara keluar dari lingkaran pikiran gelapnya.Ia bangkit dari tempat tidur, melangkah keluar kamar dengan langkah pelan. Suara spatula beradu dengan wajan terdengar dari arah dapur kecil. Di sana, Arina berdiri dengan rambut diikat seadanya, mengenakan oversized shirt

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   102. Giliran Arina

    Mobil meluncur tenang menembus jalanan malam kota yang mulai sepi. Lampu jalan bergantian menyorot wajah Askara dan Arina. Meskipun sudah sedikit lebih tenang, Arina dapat merasakan bahwa suasana di dalam mobil masih terasa berat. Askara menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras—sisa amarahnya terhadap sang ayah masih terasa jelas.Arina duduk di kursi penumpang, sesekali melirik ke arah Askara. Ia tahu betul kalau pria itu sedang berusaha menahan banyak hal di dalam dirinya.“Askara,” panggil Arina pelan setelah perjalanan sudah hampir setengah jalan.“Hmm?” sahut Askara tanpa menoleh.“Berhenti sebentar, ya. Di minimarket itu.”Askara melirik ke arah kanan, melihat minimarket 24 jam yang terang benderang di tengah sunyinya malam. Ia tak banyak bertanya, hanya membelokkan mobil ke parkiran dan mematikan mesin.“Aku ke dalam sebentar,” ucap Arina sambil melepas sabuk pengaman.Tak sampai lima menit, Arina kembali dengan dua botol minuman dingin—kopi kaleng kesukaan Askara dan susu st

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   101. Penenang

    Udara malam menyambut mereka dengan dingin yang menusuk, kontras dengan atmosfer ruang makan yang sebelumnya sesak dan tegang. Askara melangkah cepat melewati taman depan rumah tanpa menoleh ke belakang. Genggamannya pada tangan Arina kuat, nyaris seperti pegangan seseorang yang berusaha menahan ambruk.“Askara… pelan dulu,” suara Arina pelan, nyaris seperti bisikan.Askara akhirnya berhenti di dekat mobilnya, menarik napas dalam-dalam seolah mencoba meredam bara yang menggelegak di dalam dada. Ia memejamkan mata sejenak, kepalan tangannya bergetar.“Dia benar-benar… tidak pernah berubah,” gumamnya dengan suara berat. “Selalu saja… menganggap semua itu tidak penting. Seolah masa kecilku bukan apa-apa.”Arina berdiri di hadapannya, tak mencoba menyela. Ia tahu saat ini bukan waktu untuk banyak bicara.Askara mendongak, matanya berkaca-kaca namun sorotnya keras. “Kamu tahu… setiap kali melihat Clarissa, yang kuingat bukan masa bermain atau kenangan manis. Yang kuingat cuma suara pintu d

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   100. Retakan (Lagi)

    Suasana yang baru saja cair mendadak berubah kaku, tegang, dan dingin kembali, seolah kehadiran wanita itu menyapu habis kehangatan yang sempat tumbuh di meja makan itu.Kehadiran Clarissa di ambang pintu ruang makan sontak membuat keheningan menegang. Gaun elegan yang ia kenakan berayun ringan saat ia melangkah masuk, seolah kehadirannya memang sudah direncanakan. Senyum kecil terukir di bibirnya—senyum yang sulit dibaca apakah ramah, menantang, atau sekadar basa-basi.Askara seketika menegang. Tangannya yang menggenggam garpu berhenti di udara. Sorot matanya mengeras begitu melihat sosok yang sejak lama berusaha ia hindari. Dalam batinnya, ia mendesis pelan. Ayah benar-benar tidak berubah… selalu saja begini. Pria itu memang tidak pernah benar-benar mau memahami dirinya, bukan?Clarissa adalah anak dari wanita yang dulu menghancurkan keluarganya. Setiap kali menatap wajahnya, Askara seperti diseret kembali ke masa kecil—malam-malam penuh pertengkaran orang tuanya, suara pintu dibant

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status