Pintu rumah tertutup pelan di belakang punggung Arina. Tak ada dentuman marah, hanya desahan napas panjang yang nyaris tak terdengar. Sepatu dilepas seadanya, tas disampirkan asal di sofa, lalu tubuhnya jatuh rebah di ranjang kamar yang selama ini jadi tempatnya mengobati lelah.
Telinganya masih dipenuhi gema suara Nindy yang angkuh membicarakan pesta pernikahan impian, juga Jefan yang memanggilnya dengan sebutan sayang—seolah luka Arina tak pernah ada. Mereka berdiri berdampingan, menyusun rencana dengan pongah, seperti dua orang yang tak pernah mengkhianati atau menghancurkan hidup siapa pun.
Tadi, dia tertawa sinis. Mengangkat dagu tinggi, melempar sindiran tajam, pura-pura tak peduli. Tapi di sini, saat hanya ada dia dan sepi, Arina tak bisa lagi membohongi dirinya sendiri.
Air mata jatuh diam-diam, satu per satu, seperti kenangan yang tak mau pergi. Tetap saja, meskipun Jefan brengsek, tapi laki-laki itulah yang sempat menghiasi hatinya beberapa tahun terakhir—waktu yang sama sekali tidak sebentar.
Kenangan-kenangan manis yang mengisi masa kuliahnya terputar kembali. Bagaimana Jefan dengan senyuman manisnya selalu menyapa Arina setiap mereka berpapasan, Jefan yang selalu mengusap puncak kepalanya lembut, bahkan Jefan yang selalu dengan bangga meneriakkan kata cinta dihadapan semua orang seolah menandai bahwa Arina adalah miliknya.
Masa-masa manis itu begitu membekas. Apalagi hubungan yang terjalin begitu lama. Ada banyak sekali hal yang mereka lewati bersama. Tidak semudah itu menghapus Jefan dari kehidupannya.
Kalau kata Silvia dulunya, Arina itu sudah masuk golongan bucin tolol terverifikasi. Silvia melihat betapa merah seorang Jefan. Tapi Arina justru menerimanya sebagai sisi positif dan negatif manusia yang selalu berdampingan. Kekurangan Jefan, harusnya bisa Arina pahami, begitulah dia pikir dahulu.
Arina hidup sebagai kekasih Jefano yang selalu melakukan apa kata Jefano. Kalau bahasa sekarang, istilahnya Arina juga cukup mothering. Mungkin karena mereka seumuran dan Arina mampu bersikap cukup dewasa dengan membantu Jefano selama ini. Tapi ternyata, itu justru tak cukup dan justru menjadi alasan utama Jefano membutuhkan sekaligus membencinya.
"Kamu bahkan nggak pernah bisa menghargai aku, huh?!"
Arina tertawa dalam tangisnya. Jefano rupanya tak suka kekasihnya sendiri lebih 'menyala' daripada dirinya. Arina menyadari kalimat serupa yang ternyata kerap Jefan katakan ketika dia 'mungkin' merasa terancam atau tidak lebih baik dari Arina. Kalimat yang pada akhirnya menyebabkan Arina menekan potensi dirinya sendiri agar dapat mengisi ego dalam diri Jefan.
Sebenarnya, siapa yang membuat keduanya berada dalam sebuah persaingan?
Arina telah banyak berkorban untuk Jefan. Satu-satunya hal yang tak bisa dia turuti adalah menikah waktu itu dan pasal studi keluar negeri.
Dia terdiam sebentar, kembali meneguhkan pikirannya. Dia tidak bisa sedih berlarut-larut. Lagipula, Jefan telah menunjukkan sendiri belangnya.
Ia mengusap pipi cepat-cepat, menolak jadi korban dari kisah cinta yang tak berakhir adil. Arina tidak tahu lagi mana yang lebih membuatnya sakit. Berpisah dengan Jefan karena diselingkuhi atau kenyataan bahwa dia begitu bodoh dengan mencintai seorang pria egois yang bahkan 'insecure' terhadapnya.
Bangkit dari tempat tidur, langkahnya mantap menuju laci meja, lemari, kotak penyimpanan.
Satu per satu benda bermakna muncul: tiket konser pertama mereka, surat-surat penuh janji, foto-foto usang yang pernah membuatnya tersenyum. Semua dimasukkan ke dalam kotak. Ditatap sebentar, lalu ditutup rapat. Seolah tak akan ada celah bagi siapapun atau apapun untuk masuk kesana.
Tanpa ragu, Arina menyeret kotak itu keluar. Dibakarnya di halaman kecil belakang rumah. Netra beningnya menangkap setiap percikan yang dia ciptakan, bahkan ketika nyala api menjilat semua kenangan hingga menjadi abu.
Harusnya, setelah ini tak ada lagi ruang untuk Jefan di hatinya. Tidak setelah ia memilih pergi dengan gadis yang menginjak perasaannya tanpa ampun. Nindy, bukan sekali melakukan ini padanya, dan seharusnya Arina cukup menyadari aura negatif macam apa yang selalu dibawa oleh wanita itu tiap mereka berpapasan.
Arina dengan tekadnya yang kuat, berbekal sakit hati yang menancap dalam. Hari ini, Arina tidak hanya menghapus air mata. Ia membakar luka, dan dari bara itu, ia akan lahir kembali. Lebih kuat. Lebih tak tergoyahkan.
Ponsel Arina menyala tepat saat wanita itu membalik badannya. Panggilan dari orang penting yang baru saja dia temui tentu saja harus menjadi prioritas baginya sekarang. Apalagi ketika nomor tersebut yang justru menghubunginya lebih dulu.
"Halo, Selamat Malam Ibu Arina."
Arina tersenyum tipis, berusaha turut menghasilkan suara dengan efek senyum sebisanya. Menekan ke dalam seluruh gemuruh emosi yang sempat menguasainya dan berganti dengan aliran lebih lembut untuk membuatnya tetap menjaga dirinya lebih stabil dan profesional.
"Selamat Malam, Pak Askara. Ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya.
Arina berusaha mempertahankan senyumnya, namun kalimat selanjutnya yang terucap dari Askara berhasil membuatnya membeku.
"Saya punya proposal lain untuk kamu. Kali ini sama sekali bukan tentang kampus, hanya kita berdua secara pribadi. Kira-kira kamu tertarik?"
Sebuah desiran halus menjalari tubuhnya. Terutama sebab netra yang saling tenggelam seolah menjajah kedalaman hati masing-masing berpadu dengan genggaman yang terasa menyengat. Suara dalam Askara yang melantunkan sebuah kalimat tanya memperparah kinerja otak Arina yang serasa melambat. Apa maksudnya?Seingatnya, ini adalah kali kedua Askara menyebutkan kalimat ini. Pertama saat mereka bertemu di kampus. Namun saat itu Arina tidak ambil pusing. Terlebih Askara seperti tidak juga memperpanjangnya. Tapi pria itu kali ini menyebutkannya lagi dan kali ini dari tatapannya seolah meminta sebuah jawaban. Senyumnya tipis, seperti menyimpan rahasia kecil yang baru akan ia buka. “Kamu pernah kesini karena tempat ini adalah tempat pertama kali kita bertemu.”Alisnya terangkat, Arina menatap Askara dengan ragu, tapi juga tak bisa mengabaikan detak jantungnya yang tiba-tiba berdentum lebih keras. Lorong itu memang familiar—tapi bukan hanya karena ruangannya, melainkan karena getaran yang kini kemba
Askara dan Arina baru saja melangkah masuk ke dalam restoran Ciel Bleu, yang berada di lantai atas sebuah hotel bintang lima di pusat kota. Cahaya temaram dari lampu gantung kristal menyatu sempurna dengan panorama malam kota yang terlihat jelas dari jendela kaca besar di sisi restoran. Aroma sedap dari dapur terbuka langsung menyambut mereka begitu tiba di area meja yang telah dipesan sebelumnya.Arina menoleh sejenak, matanya menyapu sekeliling ruangan yang tampak familiar. Ini bukan pertama kalinya dia datang ke sini. Beberapa kesempatan lalu, ia sempat menghadiri acara bridal shower sahabatnya, di dekat tempat ini. Private room di lantai atas yang disulap seperti sebuah Pub untuk pesta lajang terakhir bagi kawannya yang segera dipinang. Tempat dan waktu dimana dia saat itu merasa frustasi akan masalah hubungannya yang kandas. Kala itu, suasana penuh gelak tawa dan kilatan kamera. Berbeda dengan malam ini, yang justru terasa lebih sunyi meski penuh orang.“Kenapa pilih restoran in
Arina sempat membatu. Dalam hati merutuki setiap kalimat yang meluncur dengan ringan dari mulut Askara. Bisa-bisanya laki-laki itu mengucapkan kalimat seperti itu dengan nada super santai seolah tanpa beban sama sekali.Bagaimana bisa Arina menganggapnya serius? Ekspresi Askara hampir selalu datar, dan dia juga justru terkesan seperti seseorang yang terbiasa bermain kata-kata. Sulit membedakan mana yang tulus mana yang bukan. Wajar bukan kalau Arina trust issue dan merasa ini hanya bagian dari permainan biasa oleh seorang Askara Danendra? Sempat terpikir di benaknya, mungkin bukan Askara yang terkesan terlalu dalam tanda kutip friendly, tapi bisa saja dirinya sendiri yang terlalu perasa. Dia juga mungkin tipikal kaku dan tidak begitu luwes menanggapi candaan sosial semacam ini. Sebuah kesenjangan pemikiran, huh?!Tak mau berlarut-larut, Arina akhirnya mengembalikan fokusnya, "Jadi, apa yang perlu kita bahas, Pak Askara?" Tanyanya to the point.Askara masih meninggalkan dua tangannya
“Terima kasih, Bu Arina. Kinerja Anda luar biasa,” ucapnya dengan nada bangga. “Kerja sama dengan Askara Danendra bukan hal yang mudah, tapi Anda berhasil menanganinya dengan sangat baik. Apalagi pengalaman Anda selama mendampingi mereka dalam perhelatan internasional di Zurich—itu nilai tambah yang luar biasa, tidak hanya bagi institusi, tapi juga bagi mahasiswa kita.”Arina tersenyum tipis, mengucap terima kasih saat rektor mengapresiasinya di ruang rapat. Siang menjelang sore di hari kala pertemuan itu berlangsung untuk membahas beberapa rancangan giat kedepannya, termasuk magang.Beberapa dosen lain ikut mengangguk, ada yang mencatat, ada pula yang tersenyum ramah.Rektor melanjutkan, “Saya minta rekan-rekan untuk segera menindaklanjuti ini. Eksekusi pengumuman magang harus dimulai secepatnya. Kita ingin menjaring mahasiswa dengan kualifikasi terbaik untuk kesempatan ini.”Suasana rapat pun mencair. Beberapa dosen mulai berdiskusi ringan sambil merapikan catatan. Namun ketika Ari
Arina menatap buket bunga yang baru saja dikirimkan. Dengan hati-hati, ia menyibakkan plastik bening yang membungkus rangkaian itu, seolah ingin memahami maksud tersembunyi dari tiap kelopaknya. Buket itu terdiri dari mawar putih, lisianthus ungu, baby's breath, dan beberapa tangkai eucalyptus segar. Warnanya lembut, tidak mencolok, tapi jelas menyimpan makna.Dia duduk di bangkunya dengan pikiran yang belum sepenuhnya rapi dan jelas. Arina termenung sendirian di ruangannya sembari menatap dan bertanya-tanya. Mengapa Askara mengirimkan ini untuknya?Waktunya sedikit senggang, Arina mencoba mencari tahu makna tentang bunga dengan membuka browser di laptopnya. Wanita itu harus mengakui bahwa dirinya memang tak banyak tahu tentang bunga. Meskipun mungkin saja Askara tidak memiliki niat yang sama seperti yang dia pikirkan. Tetap saja, Arina hanya ingin tahu garis besar secara umumnya.Mawar putih katanya melambangkan ketulusan dan niat baik—mirip kesan pertama yang selalu ditampilkan Aska
Sepasang netra yang biasanya tergolong cukup besar itu nampak sedikit menyipit. Arina beberapa kali mengedipkan matanya untuk mengembalikan kesadarannya yang hampir belum kembali sepenuhnya. Kepalanya masih cukup berat dan segala macam jet lag masih menjadi kawannya. Maklum, Arina benar-benar baru sampai rumah pukul empat pagi tadi. Sempat tidur dua jam sampai akhirnya harus bersiap untuk berangkat ke kampus."Kamu bisa istirahat lebih banyak. Pak Rektor masih memberikan dispensasi untuk hari ini," ujar Askara ketika pria itu mengantar Arina ke unitnya tadi pagi.Tapi Arina dengan tegas menggeleng, mengatakan bahwa dia sudah meninggalkan cukup banyak tanggung jawab dan tidak bisa untuk bolong mengajar lagi hari ini. Sejujurnya, ada sedikit penyesalan dalam dirinya. Mengingat sekarang dia masih lelah sekali dan hampir terlihat seperti tak punya gurat kehidupan jadinya. Langkah Arina terhenti sejenak di koridor fakultas saat beberapa rekan dosen menyapanya dengan senyum dan tatapan pe
Selama tiga hari berada di Zurich, Arina menjalani rangkaian kegiatan dengan penuh semangat dan dedikasi. Kesempatan-kesempatan hebat untuk dapat terlibat berdiskusi lebih lanjut dengan delegasi asing. Hari-hari dipenuhi dengan kunjungan ke kantor-kantor mitra, workshop strategis, hingga sesi networking yang berlangsung bahkan hingga malam.Malam ketiga menjadi puncak dari seluruh agenda: pesta penggalangan dana eksklusif yang digelar di sebuah ballroom hotel mewah di tengah kota Zurich. Acara ini dihadiri para petinggi perusahaan multinasional, tokoh-tokoh keuangan Eropa, serta para klien strategis dari berbagai negara.Askara dan Arina mendapatkan undangan untuk menghadiri giat tersebut tentunya. Mereka dipandang sebagai kawula muda dari Asia yang cukup menarik perhatian. Beberapa klien sebelumnya mengutarakan bahwa mereka cukup puas dengan berbagai inovasi dan cara kerja keduanya. Dengan cepat perusahaan Askara semakin menguatkan namanya di kancah bisnis eksklusif disana.Tak tahu
Rona jingga tipis menyelinap di balik tirai jendela kamar hotel itu. Udara pagi yang sejuk menyapa, dan suara burung-burung kecil bersahutan dari kejauhan. Perlahan, Arina membuka matanya, membiarkan cahaya pagi menelusup ke dalam benaknya yang masih setengah sadar.Namun yang pertama kali terlintas bukanlah itinerary hari ini, melainkan suara Askara semalam. Seolah suara tersebut bersemayam semalaman dalam pikirnya dan membuat tidurnya menjadi benar-benar tidak nyenyak."Saya ingin mengenal kamu lebih jauh."Ucapan itu masih terngiang-ngiang dengan jelas, seolah baru saja diucapkan beberapa detik lalu. Arina menatap langit-langit sebentar, menghela napas pelan.“Mungkin dia cuma mabuk,” gumamnya pelan, mencoba meredam gejolak aneh yang menyelinap diam-diam di hatinya.Wajar saja, semalam mereka minum wine. Bisa saja, kan?Ia bangkit dari tempat tidur, menepis rasa gugup yang nyaris tak ia akui. Bagi Arina, logika adalah segalanya—dan kalimat Askara semalam tak seharusnya mengusik sep
Langit Zurich malam itu bertabur lampu kota yang temaram, memantulkan sinarnya di permukaan danau yang tenang. Seusai pertemuan dengan klien yang berjalan mulus, Arina dan Askara memutuskan makan malam di restoran Italia tak jauh dari pusat kota. Obrolan mereka mengalir santai, tak lagi kaku seperti saat pertama kali bertemu. Ada tawa ringan di sela percakapan, dan tatapan saling mengamati ketika sesekali diam mengisi jeda.“Saya nggak nyangka Pak Askara bisa secair ini di luar urusan kerja,” ucap Arina sambil menyeruput wine-nya.Askara tersenyum kecil, menyandarkan punggung ke kursi. “Saya juga nggak nyangka kamu bisa seramah ini setelah pitching tadi. Ternyata kamu nggak seketat yang saya kira.”Arina tertawa, lalu menggeleng pelan. “Itu namanya profesional.”Bisa dibilang ini adalah makan malam bersama keduanya setelah malam itu di Indonesia. Suasana sudah cukup cair dan perbincangan benar-benar mengalir dengan alami. Arina meletakkan gelasnya, "Sebenarnya, saya sedikit penasaran