Hujan turun deras membasahi jendela apartemen malam itu, menciptakan irama alam yang tenang, tetapi sendu. Di dalam apartemen yang hangat, Alya duduk di tepi ranjang dengan kaki menggantung, pandangan menerawang keluar jendela, mengikuti jejak tetes air hujan yang mengalir perlahan di balik kaca. Lampu-lampu kota tampak buram di balik kabut tipis, seolah-olah ikut larut dalam perasaannya yang tak tentu arah.Pintu kamar mandi terbuka. Tama keluar dengan rambut masih basah dan kaus oblong berwarna gelap yang melekat di tubuhnya. Ia memandang Alya sejenak, lalu berjalan mendekat dan duduk di sampingnya."Kamu belum tidur?" tanyanya pelan.Alya hanya menggeleng. Tangannya meremas ujung piyama yang dikenakannya. Hatinya diliputi kecemasan, harapan, dan rasa bersalah yang tak bisa ia uraikan.Tama meraih tangannya, menggenggamnya hangat. Sentuhan itu seharusnya menenangkan, tapi justru membuat dada Alya terasa semakin sesak."Alya ... aku janji," ujar Tama tiba-tiba.Alya menoleh dengan ce
Pagi di Jakarta dimulai dengan langit kelabu. Embun tipis menempel di kaca jendela kantor, memantulkan cahaya redup matahari yang enggan menampakkan diri. Alya melangkah ke lantai kantor dengan langkah pelan. Matanya masih menyisakan lelah setelah makan malam menegangkan bersama keluarga Tama semalam.Ia pikir hari ini akan berjalan seperti biasa, menyapu lorong, mengepel lantai kantor, dan mengganti air dispenser di ruang meeting. Namun, ada sesuatu yang terasa ganjil. Tatapan beberapa karyawan seperti menelusuri dirinya lebih lama dari biasanya. Ada bisik-bisik yang merayap di udara setiap ia mendorong troli berisi alat kebersihan melewati lorong.Alya mencoba mengabaikan, tapi jantungnya mulai terasa tak nyaman. Ia tidak tahu bahwa pagi itu, ada seseorang yang sedang memulai langkah besar untuk mengubah hidupnya.***Menjelang siang, Raga menghampirinya di pantry. Ia membawa dua gelas kopi, menyerahkan satu padanya.“Alya,” panggilnya pelan.Alya menerima kopi itu, berterima kasih
Langit sore Jakarta menguning pucat ketika ponsel Alya bergetar di meja kerjanya. Ia menatap layar sebentar—nama Tama terpampang jelas di sana. Jantungnya berdebar aneh. Biasanya Tama hanya mengirim pesan singkat atau menelepon kalau ada urusan penting.Dengan ragu, ia mengangkat panggilan itu.“Alya, malam ini ikut aku makan malam.”“Makan malam?” Suaranya terdengar gugup.“Ya. Sama keluargaku. Anggap saja ... pertemuan bisnis. Kamu datang sebagai sekretarisku.”“Sekretaris?” Alya menelan ludah. “Mas ... apa nggak berisiko?”“Kalau kamu nggak nyaman, bilang. Tapi, aku butuh kamu di sana. Ada hal yang harus kulihat dari dekat, dan kamu ... kamu satu-satunya orang yang bisa kubawa tanpa bikin kecurigaan terlalu besar.”Alya terdiam. Bayangan bertemu keluarga Tama, termasuk Ranti, membuat perutnya mengeras. Tapi, di sisi lain, bagian dari dirinya ingin melihat seperti apa dunia Tama di luar gedung kantor dan apartemen ini. Dunia yang selama ini seperti tembok tinggi yang tak bisa ia mas
Langit Jakarta kembali mendung sore itu. Dari balik kaca jendela apartemen, Alya menatap lalu lintas yang padat. Lampu-lampu kendaraan memantul di jalan basah, berbaur dengan aroma hujan yang baru saja reda. Suasana kota seakan-akan mencerminkan isi hatinya, penuh riuh, tapi terasa sesak.Sudah beberapa hari sejak Tama menyatakan tekadnya untuk bercerai dari Ranti. Kata-kata itu masih terngiang di kepala Alya, membangkitkan harapan sekaligus ketakutan. Ia tahu keputusan itu bukan hal kecil. Perceraian bukan hanya soal dua orang, tapi soal keluarga, reputasi, bahkan masa depan perusahaan.Dan di tengah badai itu, dirinya menjadi pusat perhatian yang tak pernah ia inginkan.Alya duduk di sofa, memeluk bantal. Sesekali ia menatap foto ibunya di meja. Sejak ibunya pergi, ia merasa kehilangan tempat pulang, kehilangan pegangan. Namun, anehnya, kehadiran Tama perlahan memberi ruang untuk percaya lagi.Namun, setiap kali ia mulai merasa tenang, rasa bersalah kembali menghantam. Ia mencintai
Hujan baru saja reda ketika suara ketukan terdengar di pintu apartemen Alya. Malam itu, apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu-lampu kota berpendar lembut dari balik jendela, tapi kehangatannya tak sanggup mengusir resah di dada Alya.Ia membuka pintu dengan hati-hati. Di depan pintu, seorang kurir berdiri, memegang amplop cokelat tebal.“Untuk Ny. Alya Nur Azzahra?”Alya mengangguk. Tangannya sedikit bergetar saat menerima amplop itu. Setelah kurir pergi, ia menutup pintu perlahan.Amplop itu berat, bukan karena isinya, tapi karena firasat buruk yang langsung menelannya.Dengan napas yang tidak stabil, ia membuka amplop itu. Mata Alya membesar ketika membaca kepala surat di dalamnya:SOMASIDari: Kantor Hukum Wijaya & RekanAtas nama: Ranti WidyasariAlya terduduk di sofa. Kata-kata di surat itu menusuknya seperti ratusan jarum."Dengan ini, klien kami menegur Anda secara resmi atas tindakan perselingkuhan dengan suami sah klien kami, Tn. Tama Wiratama. Anda diminta untuk
Hujan mulai turun lagi malam itu. Rintiknya membasahi kaca jendela apartemen yang kini jadi rumah Alya, rumah yang tak pernah benar-benar ia minta, tapi kini sudah menjadi satu-satunya tempatnya kembali. Lampu-lampu Kota Jakarta memantulkan cahaya buram di genangan air, seolah-olah menambah kesenduan malam.Alya duduk sendirian di ruang tamu, membiarkan dirinya tenggelam dalam diam. Cangkir teh di meja telah mendingin, tak disentuh sejak satu jam yang lalu. Di pangkuannya, selimut tipis menutupi kaki, tapi tak mampu menghangatkan perasaan yang makin lama makin membeku.Tama belum pulang. Katanya ada rapat dengan investor, dan Alya tidak pernah berani bertanya lebih jauh. Sejak ibunya meninggal, komunikasi mereka memang sedikit berubah. Lebih tenang. Lebih manusiawi, bahkan Tama sering menginap di apartemen yang Alya tempati. Namun, tetap berjarak. Seolah-olah ada tembok yang berdiri di antara mereka, entah siapa yang membangunnya.Alya mengalihkan pandangan ke foto kecil di meja, foto