Slideshow perjalanan talak tiga Arini. Perempuan itu terus bercerita. Entah mengapa lidahnya mendadak mengeluarkan kata-kata tanpa jeda. "Ceritakan semua padaku, Nyonya. Jangan malu! aku berjanji akan membelamu, luahkan semua yang ada di hatimu. Aku siap mendengar apapun itu. Burhan mendengarkan cerita kisah pilu itu sambil menatap istrinya. Sesekali ia fokus melihat jalanan.Arini memejam mata. Membayangkan kejadian setelah pertengkaran antara ia dan Ilham. Ilham pergi dari rumah. Di tengah jalan Mira datang dengan skenarionya."Kau tidak bosan jika aku bercerita tentang bosmu Ilham itu bagian dari laki-laki jahannam?" tanya Arini sinis. "Bukankah kau dibayarnya untuk meniduriku lalu kembali menceraikan?""Bagaimana jika aku tidak mau bercerai dengan Nyonya? apa Nyonya mau hidup bersamaku?" tanya Burhan menatap dua manik mata Arini, intens. Wanita itu berdecih. Membuang pandangannya ke samping jendela mobil."Kau mau hidup denganku selamanya? hanya lelaki bodoh yang ingin hidup de
"Kalian tinggal di sini saja, Nak. Paman sudah beli rumah di pinggiran, walaupun sederhana tapi Alhamdulillah sangat nyaman. Jangan menumpang di rumah Meli, walaupun Paman tau, dia sangat menyayangimu." Ketika talak dua jatuh untuk Arini. Lian sang paman yang menyembunyikan catatan dosa tentang kakek Ilham alias Jansen akhirnya harus menceritakan liciknya keluarga Penang pada Arini di sore itu. "Jadi-jadi, se- sebenarnya pabrik tekstil itu milik Kakek Rusdi, Paman?" tanya Arini kaget, ia seakan tak percaya ternyata keluarga Penang sungguh licik. Sekian tahun bersama sama sekali ia tak menyangka Lian menyembunyikan kisah masa lalu keluarga suaminya."Iya, Nak. Jansen sangat lihai. Kakek Ilham itu berdarah dingin demi harta. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hajatnya tanpa peduli kemanusiaan bahkan nyawa sekalipun," ungkap Lian menunduk. Kaca-kaca bening menaungi pelupuk matanya. "Kalau paman tau mereka begitu, mengapa papa dan paman sendiri menerima pinangan Ilham, tidak mung
Bertahun-tahun pacaran, bukanlah tolak ukur seseorang untuk bisa mempertahankan rumah tangga. Bahkan setelah tujuh tahun mengarungi bahtera bersama, ikatan sakral bisa saja teberai. Selama tujuh tahun, rumah tangga Arini dalam kondisi stabil. Tidak ada riak kecil, apalagi besar. Hidupnya tenang. Walaupun Ilham memiliki karakter tak bisa membendung emosi. Arini selalu mampu meluluhkan suaminya. Tenang, tapi, hambar begitu kondisi kehidupan yang mereka jalani. Bagi Ilham memberi fasilitas untuk Arini sudah merupakan kebahagiaan. Arini kerap termenung sendirian, tak ada suara tangisan bayi untuk menyemarakkan hidupnya. Saudara satu-satunya tinggal jauh terpisah. Sebatang kara itu menyakitkan. Terkadang manusia tidak mengerti ada kebutuhan bercerita pada diri tiap wanita. Ilham tidak mengerti, sang istri butuh sesuatu selain daripada uang dan ranjang. Kekurangan yang sukar disatukan. Kehambaran di tujuh tahun rumahtangganya, membawa petaka lebih mudah menyusup ke tengah area. Hadirnya
"Apa kamu lupa dengan Arini, Ilham?" Meli menelpon Ilham setelah mendengar kabar dari Kayla bahwa Ilham berhasil mengerjakan sempurna pekerjaannya dan pergi bersenang-senang dengan Mira. Kayla termakan omongan Pram. Bahwa yang selingkuh dengan Mira itu ya--Ilham. Bukan dirinya--Pram. Kayla yang mengenal Meli dengan baik langsung menelpon, memberi kabar bahwa Ilham pergi bersama Mira. Panas dingin hati Meli mendengarnya. Menit itu juga, sigap menekan tombol angka di layar--menelpon putra tercinta. "Arini juga sudah lupa dengan Ilham, Ma," jawabnya malas berdebat. "Ini sudah dua bulan Ilham, hentikan keegoisanmu, lepas sebulan lagi Arini sudah tiga kali suci kau tidak lagi bisa mengucapkan kata rujuk padanya. Arini tidak akan pernah kembali, selamat atas ketololan kamu sebagai imam di rumahtangga." "Huh, mama, berhentilah mengurusi rumah tangga Ilham." "Apa kamu bilang?" Ah, Ilham mengatup mulutnya, menyesal melemparkan kalimat itu pada mamanya. "Ya, maaf. Ilham hanya ingin ... eh,
"Di kafe jaya ada tempat istirahat melepas lelah, kita bisa sejenak satu ranjang?" "M-maksud kamu?" "Ishh kamu gemesin tau, baru dibilang kalimat ranjang aja, udah merah gitu mukanya." Mira mengusap pipi kanan Ilham. Mengerling nakal. "Ngapain ngomong gitu?!" tanya Ilham sedikit kasar. "Ish, makin gemes. Kamu tu tipe suami ideal tau, Arini kok cembuker amat sih." Mira pura-pura senyum paksa. Padahal hatinya jengkel minta ampun menyebut nama Arini. "Huh. Ya iya. Kamu juga, Kirain apaan ngomong gitu, bikin kaget aja." Ilham melungsur nafas lelah. "Kamu juga bikin kaget teriak gitu cuma nanya maksud. Biasa aja deh, Ham. Kita lagian udah sama dewasa. Masa becandaan gitu dianggap seriusan sih." "Aku spontan teriak, kaget." "Kalo iya emang kamu mau gitu kita satu ranjang," tantang Mira memainkan alisnya. Ilham memilih tidak menjawab pertanyaan Mira. Melihat rona muka Ilham yang memerah, Mira Tersenyum tipis. Salam hati ia berujar. 'aku berhasil'Lampu kerlap-kerlip khas sebuah kafe
"Sungguh kau kejam, Ilham!" Hanya itu. Ia gegas menggendong Satya. Berlari kencang. Air mata Arini masuk ke dalam. Cukup baginya semua. Ini lebih perih dari luka sayatan dalam pada daging kulitnya. Sakit sekali. Perih. Air mata berusaha ia cekat tak merembes keluar. Ngilu di sudut terdalam jantungnya. "Arini!" teriak Ilham mengejar, lelaki itu kebingungan. Arini menghilang. Ia menarik rambutnya. Frustasi. Mira tersenyum tipis berdiri di tempatnya. "Jangan dikejar! wanita kalau cemburu gak bakal bisa kamu buat reda dengan ngejar gitu. Biarin dia sendirian dulu. Entar kalo hatinya udah tenang baru deh kamu minta maaf. Aku juga bakal bantuin jelasin ke Arini. Namnya juga perempuan. Sensitif. Udahlah. Gak usah dipikirin." Mira menepuk bahu Ilham. Mulai dengan jurus lainnya melumpuhkan saraf Ilham semakin tak berdaya. * Tidak ada lagi harapan kebersamaan. Pupus semua kenangan. Cinta yang pernah mereka semai. Best couple yang pernah mereka raih. Tinggal cerita di hari tua. Sejak detik
Bahkan si pengirim gelap itu mengirimkan lokasi dengan g****e Maps. Tempat Arini berada. Bermakna si pengirim berada di tempat yang sama.Siapa itu?Ilham begitu penasaran. Berkali mencoba menghubungi namun, gagal. Berkali-kali juga mencoba melacak tetap tidak terlacak. Sepertinya penelpon itu beli kartu seluler hanya khusus memberi informasi pada Ilham. Entah siapa dia? semua dibuat penasaran.*Gemerlap di ujung kota. Tidak menyurutkan langkah Arini menghadapi hari. Ia tengah bersiap berganti shift malam. Berbagi waktu dengan Vini, anak Lela yang baru lulus SMA.Sambil kuliah Vini membantu bagian online shop, juga desaign batik modren, Vini pernah mengikuti balai pelatihan gratis yang diadakan pemerintah. Desaign batik modren di salah satu lembaga. Mereka mengelola butik dari menjual warisan orangtua Arini. Lela menyetujui, sebagian Lela belikan kebun sawit, sebagian diberikan kepada Paman Lian dan sisanya Arini membuka gerai butik bersama Vini.Semua pembagian warisan sesuai kesep
"Selamat, ya, Nak. Semoga Allah berkahi." Paman Lian memeluk Arini--menangis. Ia merindukan Reno--setiap melihat Arini. Ikatan darah yang begitu kental.Disusul Lela, Vini dan Asti. berpelukan sesenggukan. Padahal nikah adalah hari bahagia, tetap saja meninggalkan momen air mata. "Kamu hebat, Arini. Kakak bangga dengan sarat yang kamu ajukan. Wanita harus begitu, boleh bucin tapi realitas tetap dipikirkan.""Terimakasih, Kak Asti. Kakak juga hebat. Dalam keadaan hamil jauh dari suami, sungguh beruntung bisa dapat suami hapal Qur'an, punya usaha banyak tapi tetap juga kerja jadi karyawan. Hebat," ucap Arini tulus.Mereka melanjutkan perbincangan di luar setelah semua prosesi selesai."Kamu lebih hebat sayang, tidak semua wanita yang dengan mudah menerima kembali suaminya setelah dengan bukti di depan mata.""Ilham sudah menceritakan kronologi kejadian di Kafe Jaya, Kak. Murni kejadian itu Mira mengatur skenario. Arini juga menyimpulkan begitu.""Benar, tapi sudah berbulan-bulan lamany