Share

Bibit Cinta

"Kau Benar-benar tidak selera melihatku, Banci! apa aku kurang cantik di matamu?"

Burhan terbelalak. Baru saja tapak kakinya mendarat di depan pintu. Ia Mendapati Arini dengan lingerie super seksi. Make up tebal dengan alis diukir sembarangan.

"Nyonya, apa Nyonya sudah makan? saya akan siapkan segera," ucap Burhan bergidik. Naluri kelelakiannya sekuat tenaga berusaha ia tahan. Wanita di hadapan tidak seperti perempuan kebanyakan.

"Kau suamiku, Bukan? mengapa kau tidak ingin menyentuhku. Apa kau jijik?"

Arini menarik Burhan, menempel erat ke tubuhnya.

"Apa yang kau lakukan, Nyonya?"

"Apa tubuhku penuh dengan korengan? Katakan hei pria impot---t--ten, kau bahkan tidak ingin sekedar menggandeng tanganku. Di mana-mana istri menyambut suami dengan cium tangan dan memeluknya, apalagi Amrik bisa langsung melumat bibirnya."

Wanita itu melebarkan mata. Tersenyum menggoda. Memaksa tubuh Burhan menempel erat di tubuhnya.

"Nyonya!"

"Mengapa? Mengapa kau harus takut? aku ini istrimu, apa kau sama dengan Ilham, sama-sama tidak punya otak. Mengabaikan istri hanya karena seorang wanita bahenol."

Wanita itu melebarkan matanya lagi. Memaksa tubuh Burhan yang sempat terlepas terkungkung lagi.

"Nyonya, di dapur ada bubur kesukaan Nyonya."

"Jangan banyak alasan, darimana kau tau bubur kesukaanku. Apa kau sedang ingin meracunku? biar kau bebas meniduri wanita lain?"

Burhan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tentu saja ia tahu apapun tentang wanita yang kini tanpa jarak dengannya. Belum saatnya wanita itu tau siapa dia. Menghela napas berat, Burhan mengusap wajahnya. Berpikir keras cara mengembalikan Arini.

"Aku tau Nyonya sangat menyukai bubur jagung, aku sering melihat nyonya memesan bubur yang sama di seberang kantor Pak Ilham. Tunggu di sini! Saya ambilkan bubur jagung manis buat Nyonya."

"Tidak perlu. Aku hanya menyukai bubur jagung buatan Kak Asti. Aku acap membeli bubur di depan kantor bos-mu itu karena aku merindukan kakak sepupuku Asti."

"Nyonya bisa menghubungi Asti."

"Kau mengenal kak Asti?"

Burhan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Menyugar tipis ke aarh samping.

"Saya tidak mengenal Asti tapi saya ingin Nyonya melepas rindu pada kakak sepupu Nyonya. Siapa tau Nyonya bahagia mendengar suaranya. Tiba-tiba mata Arini memerah. Melotot ke arah Burhan. Tubuhnya mendekat. Sedetik kemudian ia mencekal kerah baju Burhan.

"Mempermainkan kesakralan pernikahan. Kau dan Ilham, kalian berdua sama busuknya. Apa kau ingin aku lebih hancur dari ini? jangan memutar balik cerita. Aku tidak suka kau sok perhatian padaku, padahal otakmu hanya duit dan duit. dasar pria pengecut tak punya harga diri. Cih!" Burhan terkesiap mendapat perlakuan mendadak. Semprotan saliva mendarat di wajah mulusnya. Mengambil tisu, burhan hening sambil mengusap sisa lelehan saliva milik Arini.

"Nyonya, istigfar. Dengarkan saya. Percayalah! Pak Ilham sangat mencintai Nyonya. Silakan membenci saya, tapi apa yang saya katakan tidak ada unsur pura-pura. Saya tidak berniat memanfaatkan anda, Nyonya. Ini semua terjadi karena Pak Ilham menyesali kesalahannya. Llau ingin rujuk kembali. Artinya ia amat mencintai anda Nyonya."

"Hah. Kau bicara Cinta? Apa semua lelaki di atas dunia ini sama. Cinta. cuih. Kalau cinta tidak akan ada wanita hamil selain istrinya."

"Saya akan segera buatkan makan malam untuk Nyonya. Pasti Nyonya suka. Istirahatlah! Nyonya pasti lelah."

Burhan melepaskan pelan tangan Arini yang mengait kuat pada pinggangnya. Ya, Arini berceloteh dengan tangan yang masih melingkar di pinggang Burhan. Entah apa maksud Arini. Sengaja membuat Burhan kelimpungan menahan jiwa lelakinya.

"Tidak. Kau harus menemaniku," ucap Arini tepat di telinga Burhan. Dengan intonasi sengaja mendesah manja.

"Saya akan selalu menemani Nyonya di manapun dan kapan pun itu. Sekarang, perut Nyonya harus diisi lebih dulu."

"Kau siapa mengatur-ngatur aku."

"Bukankah aku suami Nyonya."

"Oh, ya. Benar. Kau suamiku. Tapi, kau lupa kewajiban suami adalah meniduri istrinya. Ini sudah berapa hari dari pernikahan kita, kau sama sekali tidak pernah menyentuhku. Baru saja aku memeluk pinggangmu kau sudah mengelak. Apa aku bau badan sampai Ilham dan sekarang kau tidak mau memelukku dengan kehangatan yang tulus?" Burhan terdiam bingung. Berpikir sejenak lalu menarik Arini mendekat.

"Ada masa di mana kita saling menyentuh bukan karena gejolak di sini." Burhan menunjuk dada Arini. Berbisik mesra, dengan mata menatap iris coklat muda milik Arini dengan begitu intens.

"Tapi ... karena cinta yang tulus tanpa sarat apapun." Hening.

Ucapan Burhan berhasil membuat Arini diam. Bulu lentik matanya bergoyang. Mengerjap berkali-kali. Seolah mencerna ucapan lelaki yang kini merentang tangan tersenyum begitu lembut.

"Kau berbohong! Dasar munafik." Wanita itu menarik bawahan lingerie--nya. Menarik tangan Burhan ke dalam kamar.

Nyaris Burhan kehilangan napas oleh ulahnya. Kantong kresek berisi kotak makan yang ia bawa terlepas ke sembarang tempat. Arini begitu agresif.

"Kalau kau memang tulus menikahiku karena cinta. Tunjukkan di sini!"

Mendorong sekuat tenaganya, tubuh Burhan terhempas di atas ranjang.

Hendak mengelak, tapi, takut menyakiti wanita itu. Ia hanya menahan tangan Arini yang kembali mengoyak lingerie yang ia kenakan hingga terbelah dua.

"Nyonya Pliss, jangan lampiaskan emosi anda seperti ini. Anda perempuan terhormat yang pernah saya kenal."

Buck.

Burhan yang berusaha bangkit, kembali terjatuh ke atas ranjang. Arini menarik baju Burhan sampai koyak.

Lelaki itu menahan retinanya agar tidak mengeluarkan air mata.

"Emosi apa? Bukankah lebih cepat lebih baik kita beradu peluh, beradu tenaga untuk bercinta. Bukankah setelah pergumulan mesra ini kau bisa segera menceraikan aku, segera?"

Arini kalap. Berkali-kali Burhan menepis tangan Arini yang begitu agresif. Imannya benar-benar tergoda.

"Kau gay, apa Ilham sengaja menyuruh aku menikah dengan gay?" Harga diri Burhan memang sengaja digores Arini, ia ingin melihat seberapa mampu Burhan bertahan demi Ilham--mantan suaminya.

"Di sini!" Arini menarik pelan tangan Burhan menuju dua kembar miliknya. Nyaris Burhan kelabakan. Tubuhnya terbakar, mengejang tanpa peduli situasi, napasnya tertahan. Begitu hebat sengatan kulit Arini menyentuh jantungnya, bergemuruh tak karuan. Burha bukan laki-laki yang cari kesempatan, ia hanya ingin tidur dengan wanita yang ikhlas mempersembahkan cinta untuknya. Bukan karena keterpaksaan.

"Nyonya, Pak Ilham melarang saya untuk menyentuh Nyonya. Saya hanya sebagai muhallil, sarat agar Nyonya bisa kembali rujuk dengan Pak Ilham."

"Kalian bukan hanya mempermainkan ikatan sakral, tapi, kalian juga melanggar hukum Tuhan. Bedebah! aku tidak ingin ikut serta dalam kubangan dosa yang kalian berdua ciptakan. Cepat! buka bajumu!"

"Astaghfirullah. Nyonya. istigfar." Burhan berusaha berkali-kali menyadarkan Arini. Ia tahu, wanita itu sedang tidak baik-baik saja.

Sama sekali tidak menyangka. Di balik kata iya yang diucapkan wanita itu untuk sebuah hubungan yang kembali terajut. Ternyata di hatinya menyimpan luka yang begitu dalam.

Entah sampai kapan. Burhan lelaki satu-satunya yang akan terus melihat duka sayat di jiwa perempuan itu.

Tak tahan air matanya meluncur. Arini melotot melihat Burhan menangis. Pikirannya kacau. Dalam pikiran Arini. Burhan hanyalah bersandiwara seperti orang-orang yang ia cintai dalam hidupnya.

"Kau mengucap nama Tuhan. Dalam agamaku, dosa besar jika lelaki menikahi wanita dengan niat akan menceraikan di kemudian hari, untuk apa kau menangis? Air mata buaya!"

"Sadarlah Nyonya. Jangan seperti ini."

Burhan kembali bangkit. Nalurinya tiba-tiba mendorong tangannya menyentuh kepala Arini. Mentransfer ketenangan.

"Aku tau dosa besar jika kurun lebih berminggu belum menyentuh istrinya. Pernikahan bisa tidak sah dan dianggap batal. Tapi, aku ingin menyentuh istriku tanpa paksaan, suka rela karena Tuhan."

Arini terdiam. Sentuhan lembut telapak tangan Burhan di kepalanya mengalirkan kesejukan yang menelusup dalam jiwa.

Namun, sakit akibat luka yang telah ditorehkan belum mampu membuat dirinya berpikir realistis. Menepis tangan Burhan dengan kasar. Arini berkacak pinggang.

"Apa kalian perlu kuajari pemahaman agama? atau kau penganut atheis?"

"Tidak Nyonya. Saya mohon! Mari kita bicarakan di ruang tamu saja. Dengan kepala dingin, percayalah! apapun yang terjadi aku akan membantumu, apapun itu."

Arini melepas tangan Burhan. Berlalu keluar duduk di sofa dengan ekspresi datar. Pandangan lurus tapi kosong. Nyaris seperti orang linglung kehilangan arah tujuan.

Lelaki itu langsung duduk di sampingnya. Menatap lamat wajah sendu. Menunduk lemah. Satu sisi hatinya membenarkan ucapan Arini.

Ilham tidak akan bisa kembali jika Ia belum menyentuh Arini. Sah Nikah menjadi batal.

"Maafkan saya Nyonya. Tidak ada di hati saya ingin menceraikan Nyonya," ucapnya hati-hati.

"Lalu, kau ingin menjadi suamiku selamanya. cih!" Arini mendecih.

Tiba-tiba menarik wajah Burhan mendekat secara paksa. Burhan tidak sempat mengelak. Jantungnya sudah tak karuan bertalu.

Secepat detik berlalu, Arini menggigit bibir Burhan bahkan melumat dengan rakus, bak perempuan komersil yang tengah dipaksa melayani orderan.

Burhan memicing mata saking kagetnya. Jantungnya bergetar hebat. Sama sekali tidak ingin menarik diri dari permainan Arini. Tapi, ia sadar. Perempuan itu melakukannya dalam keadaan tidak stabil.

Arini melakukan itu tanpa sadar. Terbukti dengan air yang menggenang di sudut matanya.

"Nyonya, Berhentilah! jangan menyulitkan saya."

Aku dan saya berganti-ganti Burhan sematkan memanggil dirinya, sebab semakin bingung menghadapi Arini.

"Apa kau tidak menyukai permainanku."

"Saya mohon!"

Burhan mengusap air matanya. Kasihan dan merasa ingin melindungi mendominasi di hati.

Sosok di depannya hanya istri di atas kertas. Kelak wajib ia ceraikan. Untuk itu ia tak boleh larut dalam buaian.

Burhan mundur segera, menepis pelan, dan mendorong wajah Arini menjauh. Burhan menarik napas dalam-dalam. Menatap iba pada sosok di depannya.

Mengusap bibirnya sendiri. Tanpa sadar tersenyum tipis. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Ia berciuman dengan seorang wanita.

"Nyonya. Maafkan saya. Jangan lakukan ini lagi. Pak Ilham bisa mendadak datang. Saya mohon." Ilham mengatup dua tangan ke dada. Bermohon lagi.

Hari ini Ilham berjanji akan datang menjelang siang. Andai ia melihat semua, kacau lah perencanaan.

"Kau lebih takut dengan manusia ketimbang Tuhan. Pantas hidupmu persis pecundang."

Burhan terkesiap. Tidak menyangka Arini mengucapkan kalimat pedas itu. Menundukkan matanya dari belahan lingerie pas bagian dada.

Burhan menelan salivanya berkali-kali.

"Apa aku harus menjadi seorang penjaja cinta jalanan untuk tidur denganmu?" Arini kembali menantang.

"Tidak Nyonya, anda wanita yang sangat saya hormati. Wanita terhormat daripada wanita lainnya."

"Gombalanmu tidak bermutu. Cih."

Buck.

Lagi tubuh Burhan menimpa Arini tepat di atas Sofa. Kali ini Arini sengaja menarik kuat menimpa dirinya. Bahkan mengunci dengan kakinya.

Burhan sudah merasa tak sanggup menahan gejolak sentruman di setiap inci organ tubuhnya.

"Kau seperti gedebong pisang, nyaris mirip lelaki imp*ten," bisik Arini sengaja mengejek Burhan dengan desahan tepat di telinga.

Lelaki itu terkesiap. Harga dirinya terinjak.

Tiitttr.

Suara klakson panjang.

Berbunyi serentak bersama padam suluh naluri kelelakian seorang Habibie Burhanuddin.

"Alhamdulillah." Bhatin Burhan berucap.

Bersyukur pada Tuhan. Ilham tepat waktu datang menyelamatkan.

hmmmp

Decap suara lidah begitu mendadak bermain ekspres di wajah Burhan. Suara pintu mobil di buka jelas terdengar. Burhan sekuat tenaga berdiri dari posisi semula.

"Au, sakit Nyonya." Burhan meringis, Arini lagi-lagi menggodanya. Kini, bibir Burhan jadi korban. Mengigit dengan kecepatan kilat sebelum Burhan berhasil melepas diri.

"Orang bilang ciuman itu mengasikkan, mengapa kau merasa sakit?"

"Pak Ilham datang, rapikan rambut Nyonya."

"Ilham, mantan suamiku? Kenapa kau takut. Katakan padanya jangan mengganggu bulan madu kita."

"Nyonya, pliss ... jangan sulitkan saya, Pak Ilham sudah di depan pintu."

tittt ....

Suara bel rumah berderit panjang pertanda ada tamu yang datang.

"Tidakkah kau merasa berdosa menolak bercumbu dengan istrimu, Burhan?" Suara bel berbunyi lagi. Burhan menatap lamat perempuan yang kini berdiri di sampingnya, dengan rambut acak-acakan, lipstik yang tidak karuan, baju yang sengaja tersingkap ke atas.

Pelan Burhan meraih Arini mendekat. Merapikan rambutnya, mengusap lembut pipinya. Lalu, membersihkan sisa lipstik dengan bibirnya. Penuh kelembutan, Nyaris Arini bagai patung berdiri. Diam di tempat bak diberi perekat.

"Nyonya terlalu berharga untuk disakiti. Buatlah Pak Ilham menyesal seumur usianya telah memberikanmu padaku." Suara itu seolah mengembalkan kewarasan Arini yang tujuh puluh persen telah hilang. Burhan menarik tengkuk Arini lebih dekat. Menyatukan bibirnya dengan lembut.

"Burhan! ada orang di dalam?" Suara Ilham melepaskan kuncian Burhan.

"Temui dia, aku akan selalu ada di sini untuk Nyonya." Pelan Burhan mengusap rambut Arini. Sebelum keduanya bangkit bersama menuju pintu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status