Share

Di mana Ibumu?

"Ini namanya Berlian, yang ini Intan dan yang kecil Menik."

Burhan menyiapkan teh hangat untuk Arini. Memperkenalkan satu persatu adiknya.

"Assalamualaikum Kakak," salim Berlian meraih tangan Arini. Disusul adik-adik Burhan yang lain.

"Panggilnya Nyonya, bukan Kakak."

Burhan melotot pada Berlian. Arini malah tersenyum.

"Biarkan mereka memanggil dengan apapun, tidak salah, panggil nama juga bagiku sah-sah saja. Kenapa kamu yang sewot," cibir Arini pada Burhan.

"Ini teh--nya, Nyonya. Silakan diminum!" ucap Burhan pelan. Menunduk, masih melirik adiknya tanda tak suka, Burhan takut Arini merasa tidak dihargai.

Berlian yang tidak tahu menahu urusan abangnya dan Arini, mencelos, mencibir mengejek Burhan, merasa menang--sudah dibela Arini.

Berlian ke dapur menyiapkan keripik pisang ke dalam pinggan. Menaruhnya di depan Arini.

"Kak Arini masih muda gini, masa dipanggil nyonya, jelek, ah." Berlian protes pada Burhan.

Berlian, intan dan Menik berdiri sejajar, bersandar pada dinding. Seperti penyanyi seriosa hendak konser.

"Kenapa kalian tidak duduk?" tanya Arini sungkan. Melihat ketiga adik Burhan, serentak memindai wajahnya, seakan menatap barang langka, geleng-geleng kepala.

Berlian berpakaian SMA, sedangkan intan kelas tiga SMP, hari ini seragam Pramuka, Menik kelas enam SD memakai baju bebas, karena Jumat ada kelas Qur'an menjelang pulang.

"Ayah kamu kerja di mana?" tanya Arini pada Burhan yang baru saja mengeluarkan lembar lusuh untuk adik-adiknya.

"Ayah sudah meninggal dunia empat tahun lalu, Kak. Ayah riwayat diabetes juga," jawab Intan sendu. Tidak menunggu Burhan bicara.

Arini jadi tidak enak hati. Menyesal telah mencipta luka di mata-mata polos mereka.

Sedangkan ibunya, sejak Ayah Burhan meninggal, Bu Dena sakit-sakitan. Kalau itu Arini tahu. Ilham yang memberitahu tentang Bu Dena pada Arini sebelum menikahkan mereka berdua.

"Maaf, saya tidak bermaksud .... "

"Gak papa, lo, Kak, maut itu urusan Allah," sela Berlian tersenyum tulus.

"Maaf ya, Kak. Intan jadi melow."

Arini mengatup bibirnya. Rasa nyaman, sejuk memandang ketulusan hadir di hatinya, hanya dengan menatap wajah-wajah polos adik-adik Burhan.

Menjadi gadis dengan saudara jauh di seberang, Arini merindukan keluarga seperti yang dirasakannya hari ini.

Ilham berjanji pada Burhan, akan memberikan rumah sederhana tipe 36 itu untuk keluarga mereka, jika ia menikah dengan Arini kemudian mentalaknya lagi.

hidup.

Tanpa sadar mereka telah melakukan dosa pernikahan, karena menikah dapat menjadi terlarang, bahkan berdosa besar.

Satu-satunya jalan dengan nikah secara muhallil. Muhallil adalah sebutan bagi orang yang menikahi seorang perempuan yang telah ditalak tiga oleh suami sebelumnya dengan niat bukan untuk membina rumah tangga.

Niatnya hanya untuk menceraikan si perempuan itu setelah menggaulinya agar si suami yang pertama bisa menikahinya kembali.

Dalam Islam nikah muhallil bisa menjadi haram karena melanggar tujuan daripada pernikahan itu sendiri.

Rasulullah menyatakan dengan jelas, menikah bertujuan menciptakan kebahagiaan. Diharamkan oleh beberapa kalangan ulama menikah dengan niat bercerai kembali.

فإن طلقها ثلاثا لم تحل له إلا بعد وجود خمس شرائط انقضاء عدتها منه وتزويجها بغيره ودخوله بها وإصابتها وبينونتها منه وانقضاء عدتها منه

Artinya: Jika sang suami telah menalaknya dengan talak tiga, maka tidak boleh baginya (rujuk/nikah) kecuali setelah ada lima syarat: yang pertama, sang istri sudah habis masa iddahnya darinya

Kedua, sang istri harus dinikah lebih dulu oleh laki-laki lain (muhallil).

Ketiga, si istri pernah bersenggama/tidur bersama dan muhallil benar-benar penetrasi kepadanya.

Keempat, si istri sudah berstatus talak ba’in dari muhallil.

Kelima, masa iddah si istri dari muhallil telah habis.

Burhan bekerja salah satu office boy di kantor sahabat Ilham, tapi--pemilik sahamnya adalah Keluarga Ilham juga. Masih satu induk perusahaan. Untuk itu, Ilham bisa sesuka hati memperlakukan Burhan bak pembokat tanpa daya, meskipun harga diri sebagai taruhannya.

Hari ini, agar Arini tidak lagi mengganggu Burhan, dengan berbagai tekanannya, kadang wanita itu sedikit mengancam, Burhan akhirnya membuka komunikasi, sengaja mengajak Arini untuk ikut serta melihat keadaan keluarganya.

Ia ingin Arini tidak lagi mengatakan banci, menggodanya atau melakukan hal absurd memancing intuisi nalurinya sebagai lelaki.

Harga diri Burhan rasanya terkoyak dengan segala adegan yang Arini lakukan. Padahal ia rela melakukan nikah muhallil ini hanya demi keluarga.

"Berlian ke sekolah dulu, ya, Kak." Gadis remaja itu kembali membawa nampan ke dapur, menyandang tas selempang dengan beberapa jahitan. Mengulur tangan pada Arini. Mencium punggung tangan itu takzim. Arini membalas dengan senyuman hangat.

"Kakak punya tas rajut, apa Berlian suka. Besok bisa jemput ke rumah."

Berlian tersenyum tipis.

"Ini jajan buat Berlian dan adik." Arini memberikan selembar merah ke tangan Berlian.

Meskipun ia tidak menyukai Burhan dan Ilham, meskipun kebencian pada cinta telah menjalar, sakit pada harga dirinya, namun, sisi hati terdalam masih tersentuh melihat keadaan manusia di rumah sempit itu.

"Kebanyakan, Kak," tolak Berlian sungkan.

"Terimalah. Bagi sama-sama."

Gadis itu akhirnya menerima. Intan dan Menik giliran menyalami Arini. Menunduk melirik malu pada lembar merah di tangan Berlian.

"Kami pamit ya, Bang. Assalamualaikum." Berlian mewakili dua adiknya. Memakai sepatu dalam diam. Mereka bertiga sudah di depan pintu.

Berlalu sekitar dua menit.

"Kak Arini, makasih ya, kakak cantik deh," ungkap Menik yang tiba-tiba kembali muncul sambil tertawa kecil memamerkan deretan gigi rapinya. Melongok kepala ke pintu lalu menghilang sambil cekikikan bernada malu.

"Kenapa kakinya Menik?" tanya Arini penasaran melihat ada yang berbeda dengan kaki adik bungsu Burhan.

"Kecelakaan," jawab Burhan singkat.

"Untuk itu kau banyak menghabiskan duit, transfusi darah pasca kecelakaan, operasi bedah kaki. Dan sekarang ibumu baru selesai dioperasi--diamputasi."

"Maaf, Nyonya, terimakasih sudah mengerti keadaan kami. Tapi, saya berjanji akan membayar semua pengobatan ibu dan adik saya."

"Kak Arini, kakak kok cantik banget."

Menik balik lagi ke dalam, sambil tertawa cekikikan khas gadis pemalu. Kembali lari menyusul kakaknya.

Arini ikut tertawa. Untuk pertama kali sekian bulan sejak kata talak tanpa ucapan hadir antata dirinya dan Ilham, Arini tidak pernah tertawa. Diam-diam Burhan menatap bahagia ke arah wajah sendu di hadapannya.

Bersyukur, setidaknya di usia pernikahan mereka selama tiga minggu Arini bisa tertawa lepas tanpa beban.

Tidak seperti biasanya. Tertawa penuh beban, menangis, marah dalam satu waktu, dengan sorot mata datar. Kadang berkata kasar, kadang diam saja. Entah mengapa hati Burhan sakit, campur kasihan melihat itu semua. Hari ini, ia melihat sorot berbeda dari mata itu.

"Entar pulang sekolah boleh ya, aku main sama Satya." Menik nongol lagi setelah tadi menghilang beberapa menit.

"Astaghfirullah, Menik! Eh, udah telat ni. Kamu mau disuruh berdiri di bawah tiang bendera." Berlian menarik tangan Menik paksa. Sudah berjalan sedikit jauh Menik kembali berlari ke belakang.

"Kak, kakak pacarnya Bang Burhan, ya? jangan tinggalin Bang Burhan lagi. Kesian. Move on--nya lama."

Arini kembali tertawa melihat tingkah Menik. Melirik sedikit ke arah Burhan yang mendelik tajam ke arah adiknya, Arini seolah menemukan kehidupan kembali. Sebuah keluarga sederhana namun Cemara.

Di ujung pintu, Burhan yang berdiri di sana, menarik garis bibirnya ke samping sama rata, entah mengapa hatinya begitu lega, melihat tawa Arini yang lepas sekali.

"Kamu memang cantik." Burhan tanpa sadar mengeluarkan kalimat. Arini menoleh ke arahnya. Burhan menunduk malu. Ia hanya keceplosan.

Apa kata Menik? Move on--nya lama. Artinya si Burhan ini punya pacar dahulunya. Kenapa juga kepo? Arini mengumpat dirinya sendiri yang justru ingin tahu.

"Bunda!" teriak suara Satya. Rupanya bocah mungil yang baru saja pandai bicara itu sudah bangun, dia tertidur dalam perjalanan menuju rumah Burhan.

Mereka berjalan kaki dari Villa menuju rumah papan di ujung kota, tempat kehidupan Burhan sehari-hari bersama keluarganya.

"Bunda di sini, sayang." Arini merentang tangan. Satya berdiri sambil mengucek matanya, kebiasaan sehabis bangun tidur. Berjalan manja memeluk Arini.

"Mau makan apa, Nak. Satya dari tadi belum makan."

"Saya beli sebentar sarapannya, nyonya juga belum makan." Burhan beranjak menuju pintu.

"Aku udah sarapan, kok. Kan kamu yang masakin. Mie goreng campur telur dadar subuh tadi," ucap Arini tersenyum, tidak terlihat genit. Normal.

Burhan bernapas lega. Akhirnya ia bisa bebas dari kegenitan Arini.

"Loh, Nyonya makan masakan saya?" Kikuk Burhan bertanya. Arini mengangguk dengan senyum yang masih melekat.

Burhan memang masak subuh sekali. Ia pikir berangkat subuh hari sebelum Arini terbangun tidak akan mendapat gangguan godaan. seperti hari sebelumnya, ternyata, pagi itu, Arini justru bangun lebih dulu.

Pulang larut malam, bangun lebih dini, pikir Burhan mampu menghindari Arini, ia hanya melaksanakan perintah Ilham. Agar tidak bersua malam hari dengan Arini.

Tapi, tidak sesuai perkiraan. Bangun fajar buta, wanita tanpa ekpresi itu telah menyambut duduk santai di sofa.

"Mau ke mana, suamiku?" tanya dengan nada genit, berjalan ke arah Burhan. Arini sengaja memilin bawah lingerie seksinya sedikit ke atas. Burhan tersedak.

Semakin dekat. Arini meraih pinggang Burhan yang diam di tempat. Mengalungkan dua tangannya di leher Burhan. Mendongakkan kepala, dengan sengaja membuka mulut yang sudah disemprot pewangi yang kini hanya berjarak dua senti dari bibir Burhan

"Astaghfirullah," ucap Burhan tanpa sadar. Tangannya menggigil. Menutup mata sepenuh kesadaran. Menguatkan hati untuk tidak mengikuti permainan Arini.

Bisa saja perempuan itu hanya menjebak. Dalam perjanjian yang dibuat oleh Ilham, jika Burhan berani menyentuh Arini, maka nota kesepakatan batal.

Tapi, Arini justru bersikukuh, jika Burhan tidak berani menyentuhnya mana mungkin bisa mereka bercerai. Firman Allah jelas, hadist Rasulullah juga jelas. Ia harus seranjang bersama Arini baru boleh mentalak.

"Nyonya, saya mohon! Ibu saya sedang sekarat di rumah sakit. Adik-adik saya butuh biaya. Saya mohon Nyonya. Jangan sulitkan saya," ucap Burhan menahan air di ujung matanya untuk tidak meluncur.

Bukan karena dia lelaki yang lemah. Menahan diri dari hidangan gratis, halal, dan menggoda hal paling sulit yang pernah ia lakukan.

Degub frekuensi jantungnya sangatlah tidak normal, bagai mobil melaju dengan kecepatan tinggi, dan rem sengaja sudah blong. Sungguh tidak nyaman.

Arini menghentikan aksinya demi mendengar satu kata 'ibu.'

Ia sangat mencintai seorang ibu. Menjadi sebatang kara tidaklah bahagia.

Karena tidak berani menyakiti seorang ibu, makanya Arini menerima tawaran nikah muhallil demi kembali pada Ilham. Meli--sang mertua.kasih sayangnya melebihi ibu kandung sendiri.

"Ibu? Maksud kamu?"

Wanita lemah itu mundur mengamati Burhan. Lingerie yang sengaja hendak ia jatuhkan dari tubuhnya, kembali melekat.

"Sa--saya melakukan ini semua demi ibu, Nyonya. Ibu saya harus rutin cek darah, rutin makan obat, juga rutin terapi, ibu saya stroke, kolesterol, kurang darah juga, diabetes mengharuskan ibu saya untuk operasi." Burhan menjelaskan keadaan ibunya

Lepas juga bebannya selama ini. Burhan menarik napas panjang. Menceritakan perihal ibunya yang sakit keras. Butuh biaya kesehatan yang tidak sedikit.

"Kamu mau ke sana sekarang?" tanya Arini, berubah seratus delapan puluh derajat. Begitulah hati seorang wanita. Begitu mudah dikelabui rasa iba.

"Iya, Nyonya. Saya mau jenguk adik-adik dulu, hari ini saya masuk siang. Besok saya kerja shift malam."

Burhan menjelaskan sedikit.

"Saya ikut." Tiba-tiba Arini mengucapkan kata itu.

Arini terdiam mundur setelah melepaskan kalimat. Entah mengapa, hati kecilnya ingin mengenal keluarga Burhan.

"Maksud, Nyonya?"

"Saya ikut ke rumah kamu, bagaimanapun di mata agama kita ini adalah suami istri. Aku istri kamu," jawab Arini sedikit membentak.

Burhan hening. Bingung mau berkata apa.

"Burhan, aku mengangguk kepala saat wali hakim menikahkan kita, tandanya aku tidak keberatan dengan pernikahan ini. Aku berhak mengenal keluarga suamiku, apa kau keberatan?"

Burhan menatap bingung. Entah apa yang merasuki mantan istri bosnya itu, ia pasrah mengikutsertakan Arini ke rumahnya.

Sekarang, di sinilah mereka, saling diam dalam kebingungan, bingung memulai kalimat sapa.

"Di mana ibumu dirawat?"

Akhirnya Arini memulai kata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status