Share

Muhallilku Cemburu

Waktu beranjak menuju sore. Arini kembali pulang ke rumah tipe sederhana itu. Berlian menjaga Dena.

Wajah tampan nan rupawan lebih dulu menyambut mereka, Arini dan Burhan, di depan pintu, siapa lagi kalau bukan mantan suaminya. Arini hendak membuka pintu berbahan asal Jepara unik dan klasik.

Ya, Ilham merenovasi semua ornamen rumah kecil menjadi besar dan artistik. Lelaki di depan mereka tersenyum merentang tangan.

"Apa kabar Arini sayang? Kenapa istriku ini semakin cantik setiap hari, aku sudah tidak sabar kita kembali rujuk dah tidur seranjang."

Ilham melingkarkan tangannya di pinggang Arini. Hendak mengecup kening sang mantan istri.

Namun sayang, tangan wanita yang sedang menelan kesumat itu, menepis pelan lingkaran kuat di pinggangnya.

"Kita belum suami istri, Ilham. Kamu harus ingat, aku sekarang berstatus istri Burhan. Dan belum disentuhnya secuil pun. Jangan bilang kau sudah berpindah keyakinan, karena dalam Islam tidak sah menikah jika berniat bercerai. Jika sedari awal Burhan berniat menceraikan aku, pernikahan batal tanpa ucapan."

Burhan diam saja. Tentu saja tidak pernah terbersit di hatinya ingin menceraikan Arini. Tapi, ia juga tidak tahu, kelak ke mana muara pernikahan mereka.

Panggilan Mas yang begitu manja telah hilang dari bibir Arini. Berganti aku dan kamu.

"Iya, aku ingat. Tapi, sebentar lagi kamu akan kembali menjadi istriku. Burhan pasti menceraikanmu."

"Kalau menceraikan? kalau tidak? Berapa kali juga harus kujelaskan, Burhan tidak bisa menceraikan aku, sebelum kau menyuruh pesuruhmu itu meniduriku."

"Hei, Burhan! apa kau tidak mendengar? Mengapa kau tidak secepatnya bertindak." Burhan diam, melirik sedikit ke arah Arini.

"Maksud Bapak apa?" tanyanya pura-pura tak mengerti.

"Kalian harus secepatnya satu kamar. Aku ingin segera menikah dengan kekasih dunia akhiratku ini."

"Tidak perlu ambisi, Ilham. Masih ada masa iddah jika Burhan menceraikan aku, dan kau harus menunggu masa itu, biasanya aku menghabiskan tiga kali suci selama tiga bulan lebih," ucap Arini melirik tajam ke arah Burhan.

Burhan yang berjalan di belakang Arini. Menunduk dalam, tidak ingin terlibat masalah dengan bos, meskipun Ilham teman masa kecilnya sejak sekolah dasar, yang kerap memberi jasa tolong. Tanpa Ilham entah apa jadinya Burhan. Budi baik itu memang mahal bayarannya.

Ini saatnya Ilham menuntut balas jasa. Ia harus berperan menjadi seorang Muhallil.

"Sayang, aku merindukan makan malam berdua denganmu di tepi pantai. Apa kamu tidak keberatan kita pergi berdua?" Ilham menyentuh pipi kanan Arini.

Perasaan Burhan sungguh tidak nyaman, ia mengepalkan tangan, berusaha menahan lonjakan emosi untuk tidak meninju sang bos di sore hari. Hatinya benar-benar panas melihat tingkah Ilham.

Berulang kali istigfar, namun gagal, fokus matanya terus memindai Arini yang dicolak-colek Ilham, meskipun menghindar, terlihat Arini tidak nyaman, Ilham masih tetap fokus mengerjai Arini dengan tangan nakalnya.

Aku siapa? berani bertindak anarkis pada bos. Burhan mengepal kuat, kuku-kuku jemarinya sampai merutuk, berbunyi gemerutuk.

Entah mengapa, meskipun pernikahan mereka atas dasar surat perjanjian, hanya sebagai muhallil.

Namun, kalimat kabul dari bibir Burhan tidaklah main-main. Walau Arini terkesan jutek, judes dan blak - blakan. Sungguh ia tidak pernah ingin mempermainkan ikatan yang Allah takdirkan.

Di lubuk hati yang terdalam Burhan tulus menganggap Arini istrinya, meskipun ia tahu, rasa ini tidak boleh bersemayam terlalu dalam. Lelaki lemah itu takut tidak bisa menghindar dari pesona sang mantan istri bos.

Apakah kelak Arini bisa jatuh cinta padanya?

"Kau ingin aku kembali padamu, bukan?" tanya Arini mencibir ke arah Ilham.

"Tentu saja, Sayang. Secepatnya."

"Kalau begitu ikuti prosedur agama. Hari ini aku berstatus istri Burhanuddin. Tolong hargai suamiku. Coba tarik ke dirimu. Bagaimana perasaanmu jika istrimu dicolek pria lain," ucap Arini sarkas. Mata Ilham melotot tak terima.

"Hei, Burhan, aku lupa kau ada di sini? Kalau bukan karena permintaan istriku ini. Mana mungkin kuberikan cuti seminggu untukmu," ucap Ilham menarik sudut bibirnya serupa mengejek.

Burhan mendongak. Menatap Ilham dengan serius. Menarik napas sekuat yang ia bisa. Takut oksigen hilang dari Bumi.

"Istri? Dengar Ilham, saat ini aku istrinya Burhan, berhenti mengatakan aku istrimu, apa aku harus menjelaskan dengan berteriak memakai toa. Aku bukan istrimu, dengar! aku belum menjadi istrimu saat ini. Burhan lebih berhak atasku."

"Iya, iya. Maaf ... sayang. Maafin aku ya. Terserah kamu saja, Sayang. Yang penting kita akan kembali seperti dulu lagi. "

Arini melangkah masuk meninggalkan dua lelaki itu di depan pintu.

Suara Burhan terdengar jelas.

"Maaf, Pak. Sebenarnya saya tidak nyaman tinggal di sini. Bolehkah saya meminta rumah terpisah dari Nyonya. Atau Nyonya bisa tinggal di tempat lain."

Sebenarnya Burhan sungkan memanggil Ilham dengan sebutan Bapak. Tapi, sejak kecil Ilham juga kurang suka bermain bersama Burhan. Jadi, ketika mereka sudah sama-sama besar. Burhan lumrah saja memanggilnya dengan sebutan Bapak.

"Gila kamu ya, kamu mau tinggal terpisah dari Arini?"

Burhan mengangguk, menceritakan kondisi ibunya, dan keprihatinan atas adik-adik jika iya tinggal terpisah.

Suara itu bergetar hebat menyebut kalimat demi kalimat. Arini terbelalak kaget. Tidak menyangka Burhan begitu yakin ingin pisah darinya.

"Saya pastikan akan mencari cara agar kami sekamar dan secepatnya menceraikan Arini."

"Hei Burhan, jangan ge-er, kamu tau aku lebih tidak nyaman hidup serumah denganmu. Jangan karena aku membela harga dirimu sebagai seorang lelaki di depan Ilham, lalu, kau besar kepala."

Suara Arini tidak kalah nyaring. Menyentak gusar. Ia kembali ke pintu padahal sudah sampai ke ruang tamu.

"Sabar sayang, sebentar, ya! Biarkan aku yang berbicara pada Burhan."

Arini melotot tajam. Harga dirinya terasa terhempas. Bagaimanapun juga, Arini tidak bisa kembali nikah dengan Ilham, apabila Burhan sama sekali belum menyentuhnya. Apa mereka berdua orang bodoh? umpatnya dalam hati--dongkol.

Ilham menarik diri mendekat ke arah Burhan.

Pernikahan dapat menjadi terlarang bahkan dosa besar. Jika sedari awal berniat menikah karena kelak akan bercerai. Ingat itu. Arini bersenandika.

Muhallil--ya, Burhan dianggap sebagai Muhallil, sebutan bagi orang yang menikahi perempuan yang telah ditalak tiga oleh suami sebelumnya dengan niat bukan untuk membina rumah tangga.

Niatnya hanya untuk menceraikan si perempuan itu setelah menggaulinya agar si suami yang pertama bisa menikahinya kembali.

Sampai saat ini Burhan belum menyentuh Arini. Apalagi tidur bersama. Bicara saja bisa dihitung, kalau bukan Arini yang memulai komunikasi. Burhan memilih menjadi bisu.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW suatu kali ditanya perihal muhallil. Maka, beliau menjawab, “Tidak, kecuali pernikahan atas dasar suka sama suka, bukan pernikahan tipuan, dan tidak pula (pernikahan untuk) memperolok-olok kitab Allah, hingga ia (si suami kedua) merasakan nikmatnya berhubungan."

Perintah Rasulullah. Nikah adalah hal sakral bukan permainan.

"Baiklah, kalau kau tidak nyaman, aku akan memindahkan Arini ke rumah mama. Tapi, ingat perjanjian kita, Burhan. Kau harus menceraikannya," ucap Ilham tegas.

Degub emosi di dada Burhan hampir tidak terkendali. Harga dirinya serasa diinjak.

"Tidak Ilham, selagi ia belum menyentuhku, maka haram hukumnya kita bisa rujuk lagi. Sarat satu-satunya hanyalah, Burhan wajib menyentuhku sebelum mengucap talak. Kalian paham maksudku?

Barulah kita bisa kembali rujuk. Kalian mengerti. Silakan Burhan mengucapkan talak, tapi aku tidak bisa kembali padamu," ucap Arini santai.

Arini bermaksud mengingatkan Ilham saja. Lelaki arogan dengan warisan kekayaan freedom itu terdiam. Hening ambigu.

"Apa sampai hari ini dia belum melakukan apapun padamu?" tanya Ilham menyelidik. Hati kecil terdalamnya sangat benci membayangkan Arini harus tidur bersama Burhan.

Walaupun hanya satu malam, sebenarnya ia tidak sudi. Penyesalan telah membuatnya kelimpungan. Nyaris siang malam merindukan Arini.

"Kau mengirimkan lelaki impoten padaku, Ilham," ucap Arini dengan sengaja mengeraskan suara, menggores harga diri Burhan. Ilham menyunggingkan senyuman.

Lelaki yang tergores itu melirik sekilas. Kaca-kaca menaungi pelupuknya, segenap rasa tertahan demi seorang ibu yang terbaring lemah.

"Apa kau nyaman dia ada di sini."

"Sangat nyaman, kapan dia berhasil menyentuhku, dan menalak segera, jika kami hidup terpisah."

Jawaban masuk akal dari Arini.

Mau tidak mau Burhan harus menuruti. Daripada berurusan dengan pengobatan ibunya. Ia melangkah masuk ke dalam rumah tidak peduli pada dua orang di depannya.

"Ya, sudah. Sayang ... nanti Malam kita hadir di acara Kakek, ya. Kamu dandan yang cantik."

Arini berdehem.

Burhan masuk ke dalam kamar. Menutup pintu, Arini melihat dengan jelas perubahan wajah malang itu.

Lelaki tak berdaya.

Tidak lagi bicara pada dua orang di luar. Di dalam kamar, di depan kaca besar yang menempel pada dinding kamar. Burhan merutuk dirinya sendiri. Mengutuk ketidakberdayaan.

Mengepal tangan tanpa sadar. Matanya berair. Entah untuk siapa?

Kasihan pada Dena, ibu yang tidak lagi bisa beraktifitas normal sejak operasi amputasi. Iba pada nasib adik-adiknya. Atau ia tidak suka Ilham datang untuk Arini.

Entahlah.

Arini dan Ilham sudah bercerai, talak tiga tanpa ucapan. Sangat jelas--mereka berdua kembali tidak muhrim. Harusnya Ilham mengerti itu.

Sedangkan Burhan, sebelum ia mengucapkan talak pada Arini, maka Burhan adalah suami sah secara agama. Sampai kapanpun.

Astaghfirullah.

"Aku bukan siapa-siapa, mengapa harus meradang."

Burhan menyeka sisa air di sudut matanya. Menyesali kebodohan. Sisi terdalam bernama hati sakit bukan kepalang membayangkan Arini kembali dalam pelukan Ilham.

*

"Arini!" Seseorang menyapa.

"Ya, Om!"

"Berapa kali saya bilang, jangan panggil Om! Saya belum menikah."

"Meskipun belum menikah, tapi anda pamannya Ilham, sepantasnya saya panggil Om."

"Sekarang tidak berlaku itu, bukankah kamu sudah bercerai dari Ilham? Malam ini dia tidak hadir, bersiaplah esok mendapat sorotan kamera."

"Buktinya aku datang kemari, apa itu kurang untuk menunjukkan sesuatu masih baik-baik saja?" Lelaki berkemeja limited edition itu tertawa terbahak.

"Tapi, tidak mungkin Ilham tidak datang, setiap tahun Ayah selalu membagikan setengah dari hartanya untuk seluruh anak cucu. Ulang tahun ini ditunggu para kalangan. Apa kau menunggu momen ini juga, Arini."

"Terserah anda tuan Rian. Saya tidak terpengaruh setiap apa yang anda ucapkan." Arini akhirnya geram juga. Menghilangkan panggilan om.

Ia tahu benar, sedang bicara dengan siapa. Pewaris bungsu keluarga Penang.

"Menikahlah denganku, niscaya Ilham akan pingsan," rayunya kemudian.

Perempuan dengan style gamis pas seukuran tubuhnya, berbahan satin asli, panjang hingga mata kaki, berwarna marun, dipadu anak rambut yang dibiarkan tergerai kiri dan kanan.

Bagian belakang disanggul kecil berjepit elegant.

Penampilan memukau. Rian Prakarsa Penang, si jomblo karatan ikut tergoda.

"Apa Paman tidak melihat aku datang bersama Ilham?" tanya Arini mengambil segelas air di atas nampan kecil yang dibawakan pelayan.

"Oh ya, mana Ilham-mu sayang, bukankah ia tengah bersenang-senang dengan Mira. Si sekretarisku yang kini, sudah kupecat, dan kubuang ke jalanan. Paling seksi dan bohay, tapi sayang hanya sampah, pantas dibuang untuk sampah juga," ucap Rian memancing reaksi Arini.

Perempuan itu justru mendekat ke arah Rian. Tepat di wajahnya, mencondongkan tubuh aduhai miliknya. Kini jarak terpangkas, tinggal dua senti saja.

"Paman Rian, Om atau ... hmm aku harus memanggilmu apa? Perlu kamu ingat, ucapanmu barusan membuktikan dengan sangat jelas, bahwa kau kalah dari Ilham," bisik Arini sengaja berbicara dengan desah menggoda.

Bola Rian membulat sempurna. Tidak menyangka mendapat kalimat pedas dari Arini.

"Kalo begitu, mari berdansa denganku!" Rian menarik pinggang Arini paksa.

"Aku tidak berdansa dengan lelaki penyuka sesama jenis," bisik Arini melepas gegas tangan nakal Rian.

"Kurang ajar! Kau berani mengejek aku, Arini!" Wajah Rian merah padam.

"Aku tidak sedang mengejek, Masa Mira si bohay yang aduhai itu tidak bisa anda dapatkan, kalah dengan anak bawang seperti Ilham."

"Arini!"

Klek.

Lampu seluruh ruangan mendadak mati. Sebelum kehabisan cahaya, Arini masih sempat melirik jam mahal yang melingkar di tangannya. Sudah lebih tiga puluh menit. Ilham belum menunjukkan batang hidung.

"Arini sayang, listrik padam itu anugerah," bisik seorang yang familiar di samping Arini. Siapa lagi kalau bukan Rian.

Tangannya mulai menjelajah. Menarik paksa leher Arini mendekat. Rian gelap mata.

Buk ...

Sebuah tinju melayang tiba-tiba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status