Share

Bersua Mertua

"Apa Nyonya mau menemui ibu saya?"

"Ternyata lebih pintar Menik daripada kamu," ketus Arini arogan. Tersenyum licik.

"Nyonya tidak bisa menemui ibu saya sekarang, beberapa menit lagi Pak Ilham akan datang, saya tidak mau ada kesalahpahaman di antara kita. Mungkin bisa lain kali. Ibu saya di rawat di rumah sakit umum. Sore atau malam, Nyonya bisa menjenguknya. Sekarang saya antar Nyonya pulang."

"Saya akan minta izin supaya kamu hari ini libur, izin urusan itu--gampang. Kalau cuma izin diri kamu--aku bisa. Kenapa tidak bisa kulakukan minta izin dari Ilham. Apalagi cuma sekelas Franve."

"Nyonya," ucapnya terbata.

"Assalamualaikum, sayang. Izinin si jadul gak masuk kerja, ya. Aku mau jenguk Bu Dena." Jeda sejenak.

"Oke sayang, bye."

Burhan memutar bola matanya. Arini kerap berubah-ubah dalam satu waktu. Mendadak menelpon Ilham, bersayang-sayang hanya demi dirinya. Terkadang jutek, kadang diam-diam menangis.

Baiklah. Aku akan mencari tahu, ada apa denganmu? Aku akan segera menyembuhkan luka-lukamu. Aku bukan psikiater. Tapi aku akan menemukan psikiater handal untuk mengembalikan jiwamu, Arini.

Senyum kecil menghias di bibir Burhan. Semata karena hari ini Arini tidak menggoda imannya seperti biasa kerap dilakukan. Juga lebih ceria.

"Ilham mengizinkan kamu libur, apalagi? antarkan aku menemui Bu Dena!" perintah tak terbantahkan. Burhan mengangguk pasrah.

Ia hanya ingin Arini bersikap normal, seperti wanita lainnya, tidak perlu mengenal ibunya. Burhan takut ibunya akan berpikir tentang sebuah hubungan khusus, jika, melihat kedatangan mereka berdua. Tapi, demi kenyamanan, Burhan menuruti kemauan istri di atas kertas--yang kelak akan diceraikannya itu.

"Tekanan darahnya sudah mulai normal. Hari ini Bu Dena tidur nyenyak. Pak Ilham sudah melunasi semua biaya ibu anda, Pak. Luka amputasi kaki yang membusuk sudah mulai kering dan bersih. Bu Dena juga sudah dipindahkan ke ruang rawat inap VVIP."

Mereka tiba di rumah sakit. Disambut senyum resepsionis.

Burhan langsung menuju informasi rekam medis, Pihak informasi langsung menjelaskan rekam medis Dena Rukmana, sebelum masuk ke ruang rawat inap ibunya.

Arini mengekor dari belakang. Mendengar nama mantan suaminya disebut sebagai penebus segala biaya rumah sakit. Arini tersenyum tipis--mengejek ketidakberdayaan nasib.

Ilham punya segalanya. Bisa membeli apa saja dengan uang, termasuk membeli cinta, bahkan memutar balikkan takdir.

'Harusnya kamu tahu, Ilham. Tidak semua bisa dibeli dengan uang, ada beberapa yang harus kau beli dengan ketulusan.'

Arini mengikuti langkah Burhan, bermonolog dengan sedih atas takdir yang menimpa orang-orang miskin yang tak berdaya.

"Assalamualaikum, bagaimana kabar mama saya, Jiya?" tanya Burhan pada gadis yang duduk di samping Dena Rukmana.

"Waalaikumussalam, Mas. Alhamdulillah sudah sangat baik. Mama nanyain mas terus, saya sudah bilang mas kerja, baru juga malam di sini. Tapi, mama ngak pernah berhenti nanya."

Burhan berjalan ke arah Dena yang menutup mata rapat. Nyenyak sekali. Sama sekali tidak menggubris wanita penjaga yang ada di samping ranjang pasien.

"Kata dokter sepuluh menit lagi mama harus dibangunkan, saya izin pulang dulu, Mas," ucap wanita itu menunduk. Seolah Burhan yang berdiri di dekatnya, serupa kabel listrik terbuka--hendak menyengat dengan sentruman.

Gadis itu bernama Jiya, yatim-piatu yang selalu membantu Burhan. Jiya tinggal di sebelah rumah Burhan. Pekerja di salah satu gerai bakery. Gadis itu lagi libur saat operasi Dena berlangsung. Meminta paksa pada Burhan untuk menjaga Dena.

Jiya sedari remaja sudah begitu akrab di rumah keluarga Burhan.

Burhan tidak ingin menyulitkan gadis berkulit eksotis itu, mengeluhkan pada Ilham tentang ibunya, juga adik-adik yang sekolah. Akhirnya Ilham mengirim Mbok Darsih, pengasuh Ilham sedari kecil menjadi solusi untuk menjaga Dena--ibu Burhan.

"Izin pa .... " Kalimat Jiya tidak selesai, baru menyadari Burhan tidak sendirian. Ada wanita cantik turut bersama.

"Siapa itu, Mas?" tanya Jiya dengan nada tidak suka.

"Itu Nyonya Arini, istri Pak Ilham, bos saya, yang membiayai semua pengobatan mama," jawab Burhan simpel.

Jiya mengubah ekspresinya. Dari mode masam ke mode tersenyum manis kepada Arini.

"Assalamualaikum, Nyonya," sapa Jiya mengulur tangan. Arini menyambut dingin. Paham sekali menilai sikap seseorang dari perubahan ekspresi.

"Saya bukan istri bos, saya istrinya Burhan."

Tiba-tiba Arini berkata di luar sangka. Burhan menoleh, jantungnya berdegub kencang. Kepalanya bergantian berpaling antara Arini dan ibunya. Takut sang ibu mendadak terbangun, mendengar ucapan Arini. Ia belum siap dengan segala pertanya berkut jawabannya.

Jiya mengerjit bingung. Menyorot dengan aneh wajah Arini. Menganggap Arini melempar canda berlebihan, atau ... Arini bagian wanita kaya genit versi film pendek yang acap ia tonton, atau--jangan-jangan istri bos yang tergila-gila pada anak buahnya. Bisa jadi perempuan sakit jiwa karena suaminya kerap main tangan.

Berbagai persepsi timbul tenggelam di kepala gadis itu, berakhir kesimpulan dari diri sendiri oleh isi kepala Jiya. ' Istri Bos Genit Kurang Kasih Sayang'

Ia berdehem sebelum akhirnya mengatakan kalimat izin pulang.

"Mas, saya pamit." Jiya mengulur tangannya, menganggukkan kepala pada Burhan. Pria itu hanya membalas dengan dehemen sejenak, tidak menyambut uluran tangan mungil yang kerap membantunya tanpa pamrih. Bahkan, tanpa menoleh sedikitpun pada gadis itu.

Tetap fokus pada wajah sang ibu--balas jasa meski hanya dengan senyuman, yang Jiya impikan siang malam, lenyap sudah. Deheman saja sudah membuatnya bahagia.

"Terimakasih atas bantuanmu Jiya. Kamu bisa kembali bekerja di toko bakery itu, saya dan adik-adik akan menjaga ibu dua puluh empat jam di sini."

Jiya yang sudah beberapa langkah, kembali memutar arah, mundur mendengar ucapan Burhan.

Akhirnya kalimat terimakasih yang ia tunggu meluncur juga. Burhan sebenarnya tidak suka berbasa-basi, toh gadis itu yang menyibukkan diri sendiri.

"Mas tidak bekerja?" tanya Jiya lembut sengaja mendekat di sisi Burhan.

"Saya sudah diberi Burhan izin cuti selama seminggu, sampai ibu bisa dibawa pulang, di rumah siang hari ada adik-adiknya. Mbok Darsih akan menjaga ibu dari pagi sampai siang sebelum Berlian pulang."

Arini menjelaskan pada Jiya, sambil tersenyum tipis. Perdana bersua, gadis itu membuat Arini menyimpan secuil rasa keusilan

Sayangnya, Jiya merasa tidak senang mendengar ucapan Arini. Hatinya sedih. Selama ini, perhatian dan pengorbanan untuk Burhan tidak pernah menjadi satu perhitungan atas identitasnya.

Jiya ingin dianggap tidak sekadar teman biasa oleh Burhan. Tapi, Burhan selalu menganggap teman biasa. Mbok Darsih. Siapa pula itu?

Apa bos Burhan di tempat kerja memberikan fasilitas pembantu? Jiya meraba-raba keanehan ucapan Arini.

"Baiklah, saya pulang. Assalamualaikum," ucap Jiya pasrah. Karena tidak ada jawaban dari Burhan, justru Arini menjelaskan, dan Jiya tidak suka penjelasan itu.

Mengucapkan kalimat berpamitan dengan rasa tidak nyaman. Gegas melangkah menuju pintu. Kembali urung kakinya keluar ruang. Berbalik ke belakang. Jiya lagi-lagi menuju tepi ranjang, tepat di samping Burhan.

"Cepat sehat, mama Dena." Jiya mengelus lembut punggung tangan wanita tua yang terbaring itu, tersenyum paksa, air matanya jatuh.

"Nanti kalau mama sehat, kita buat serabi kuah sama-sama lagi, ya. Mama suka, kan?"

Gadis itu menyeka air matanya yang mendadak banjir, sebelum berlari kecil, dan benar-benar menghilang dari pintu.

"Waalaikumssalam," jawab Arini tertawa kecil pula, padahal Jiya tidak lagi mengucap salam kedua kali setelah berbalik.

Burhan menopang dagu tidak merasa terganggu dengan dua wanita yang sedang saling menilai.

"Sepertinya gadis itu menyukaimu. Apa dia yang dikatakan Menik membuat kamu gagal move on?

Arini mendekati ranjang pasien.

"Biarkan saja, terlalu lebay. Aku tidak pernah pacaran, itu hanya keusilan Menik."

Arini menarik garis bibirnya hendak tertawa lagi demi mendengar jawaban Burhan, segera menahan semburan tawa itu demi sosok wanita yang terbaring lemah di depan mata, bergerak pelan.

"Mama, bangunlah!"

Arini menatap lamat cara bicara Burhan. Sisi lain dari suami sah-nya itu.

"Mah, Burhan di sini. Bangunlah!"

Lelaki berperawakan tinggi, berwajah kopian artis Fedi Nuril itu mengelus lembut lengan ibunya. Mengusap air mata yang merembes di pipi keriput itu.

Meskipun mata tertutup, Dena merasakan tangan sang anak menyentuh pipinya, air mata yang sedari tadi tertahan, meluncur, seiring kelopak terbuka.

"Burhan, Nak!" Wanita yang terbaring itu bergerak.

"Mama udah bangun." Burhan mengusap ujung mata sendiri.

Kini, ibunya tidak lagi bisa seperti biasa. Kaki yang telah diamputasi karena diabetes menggerogoti, menelan semua hari-hari akan datang. Sakit sekali rasanya. Tapi, seorang ibu tidak ingin ada yang tahu rasa sakitnya.

"Mama," ucap Burhan bahagia. Melihat Dena berusaha bangkit. Senyum ceria Dena meyakinkan Burhan, ibunya kelak akan sembuh dengan normal.

Burhan membantu Bu Dena duduk. Mata wanita itu langsung menangkap kehadiran Arini.

"Jangan sedih, mama ini wanita kuat. Masa kamu lupa. Mama saja tidak keberatan tanpa kaki, ngak pakai acara nangis kayak anak kecil, hmm." Dena memainkan alisnya. Menahan sesuatu di rongga dada demi melihat putranya tidak kawatir.

"Alhamdulillah," ucap Burhan lirih. Menyadari mamanya kembali tertawa.

Dena melirik ke arah Burhan. Berpindah memindai Arini. Sedari tadi ia sudah sadar ada dua wanita dalam ruang rawatnya.

"Ma, ini Nyonya Arini, istri bos Burhan--Pak Ilham," ucap Burhan mengenalkan Arini.

"Assalamualaikum Bu, saya Arini. Istri Burhan. Bukan istri bos--nya."

Burhan mendelik, kaget dengan ucapan Arini. Memasang waspada, takut ibunya mendadak pingsan.

"Waalaikumussalam, Arini. Kemarilah, Nak!" Dena melambai. Arini mendekat. Mencium takzim tangan wanita tua itu.

"Semoga Allah melimpahkan rahmah untuk kalian, Nak. Maafkan anak mama, ya, Nak! Walaupun mama tidak datang di pernikahan kalian, tapi mama merestui dan mendoakan. Kata dokter mama sudah boleh dibawa pulang. Jadi ... bisa setiap hari dirawat menantu tercinta."

"Mama," ucap Burhan tercekat. Mengapa Dena mengatakan itu?

"Arini, putra mama ini tidak pernah mengenal cinta, kadang memalukan sikapnya. Masa istri sendiri dibilang istri bos. Sesekali slepet aja pakai karet."

Kali ini alis Burhan yang terangkat. Rasanya ia tidak pernah bermimpi, mengapa Dena tidak kaget sama sekali dengan ucapan Arini. Terlihat sangat santai, seolah sudah mengetahui hubungan mereka. Meraih Arini lebih dekat. Dena memeluk perempuan mungil itu.

Terkesan ucapan Dena merestui hubungan yang sebentar lagi berakhir. Ibunya tidak tahu apa-apa. Tidak tahu, rutuk Burhan heran dengan ibunya yang sok akrab dengan Arini.

Mengapa seperti sudah mengetahui banyak hal. Burhan menatap bingung, bergantian antara Arini dan ibunya lagi. Apa ibunya mengenali Arini?

Menatap tajam ke arah Arini yang terlihat santai. Burhan tidak dapat menahan diri.

"Sebentar, Ma. Burhan ada perlu dengan nyonya Arini."

"Masa istrinya sendiri dipanggil nyonya, kamu perlu mama jewer, Burhan," ucap Dena sewot, geleng-geleng kepala. Merasa anak sekarang sudah kelewat batas tidak menghargai istri.

Burhan menarik paksa tangan Arini keluar kamar. Arini pasrah saja, bahkan memberikan senyum ejekan.

"Nyonya, saya mohon. Jangan membuat ibu saya berharap. Ibu saya sangat ingin punya menantu. Kita menikah untuk bercerai nyonya, tolong katakan pada ibu saya kalau nyonya itu istrinya Pak Ilham. Tolong!" Burhan memohon.

Arini semakin tertawa nyaring.

"Nyonya, Plisss .... "

"Kalau aku tidak mau, kamu mau apa? Gayamu religius, tapi, mempermainkan ikatan sakral."

Glek. Burhan menelan saliva.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status