Gelap … hanya itu yang dapat Elena saksikan. Tubuhnya seakan terbang melayang-layang.
Seberkas cahaya tiba-tiba muncul di sekelilingnya. Potongan-potongan adegan kenangan layaknya film yang diputar mengelilingi tubuhnya.
Jiwa Elena seakan tertarik ke dalam adegan itu. Namun, Elena tak bisa mengatakan apa pun di sana. Dia bergerak dengan sendirinya, mengikuti alur yang telah terjadi.
“Papa ….” Elena menatap wajah ayahnya yang tengah tersenyum padanya.
“Elena, kau akan lulus kuliah bulan depan. Papa ingin menjodohkanmu dengan seseorang.” William Forbes, ayah Elena menyodorkan dua foto pria tampan di atas meja.
Kilas balik pada rekaman di otak Elena yang sedang menemui ajalnya pun berganti dengan adegan lainnya. Kenangan yang indah, tetapi hanya membuat luka di hati Elena semakin menganga.
“Elena, biarpun kita bertemu karena perjodohan, tetapi aku sangat mencintaimu.” Johan berlutut dengan satu kaki. Dia mengeluarkan kotak perhiasan dari saku, lalu membukanya di depan Elena. “Bersediakah kau menikah denganku?”
Di pinggir pantai dengan air sepoi-sepoi dan cahaya jingga dari matahari terbenam menjadi saksi peristiwa itu. Elena menangis haru melihat cincin cantik di dalam kotak perhiasan.
Elena mengangguk, kemudian menjawab, “Aku bersedia.”
Senyum cerah terukir di wajah tampan Johan Wright. Pria itu berdiri dan memeluk kekasihnya dengan mesra.
“Terima kasih, Sayang. Aku akan menjadi suami yang baik untukmu.”
Setahun setelah pertunangan Elena dan Johan, mereka akhirnya melangsungkan pernikahan yang dihadiri ribuan orang. Elena pikir, saat itu merupakan hari istimewa yang paling membahagiakan dalam hidupnya.
Malam pertama dengan sang suami pun tak terelakkan. Teringat akan percintaan Johan dan Jenna, jiwa Elena ingin segera keluar dari adegan menjijikkan antara dirinya dan Johan.
Elena pun berhasil! Adegan kembali berubah di masa enam bulan setelah pernikahannya.
Kala itu, Elena dan Johan sedang berada di kediaman Forbes untuk membuat pesta kejutan bagi William yang berulang tahun. Satu jam berlalu, Elena dan yang lain masih menanti kedatangan William dengan gelisah karena pria itu pulang terlambat.
“Kenapa Papa belum pulang? Aku tidak bisa menghubunginya.” Anna tampak begitu cemas sambil terus menelepon sang suami. “Tidak diangkat.”
Mereka terus menunggu berjam-jam hingga polisi datang membawa kabar buruk, “Tuan William Forbes mengalami kecelakaan di jalan. Saat ini, jasad beliau ada di rumah sakit-”
Bagaikan disambar petir di siang bolong, berita itu membuat kaki Elena melemas. Dia jatuh bersimpuh di lantai dan mengangis tanpa suara.
Kematian William merupakan pukulan besar bagi Elena. Hanya William satu-satunya orang tua kandung Elena yang tersisa. Tetapi, William juga meninggalkan dirinya. Elena sampai tak makan berhari-hari hingga tubuhnya melemah.
Dari adegan kilas balik kehidupannya, Elena akhirnya tahu pasti, sejak kapan dia mulai sakit keras. Serta cara ketiga pengkhianat itu meracuni dirinya.
Karena keterpurukan Elena atas meninggalnya sang ayah, Anna mulai memberikan vitamin padanya. Pil merah yang hampir mirip dengan obat yang selalu ditelannya setiap hari selama sakit-sakitan.
Kesedihan Elena menghilang. Berganti dengan amarah yang teramat kuat sehingga menimbulkan dendam membara.
‘Aku tidak seharusnya memercayai orang lain dengan mudah! Bahkan, jika itu suamiku sendiri!’
Adegan kilas balik kehidupannya, tiba-tiba seperti film yang diputar dengan cepat. Semakin cepat … sehingga Elena merasakan pusing yang sangat luar biasa.
Jiwa Elena seakan tersedot ke suatu tempat. Dia merasakan udara panas memenuhi rongga mulutnya. Kemudian, dia menarik udara masuk melalui lubang hidungnya hingga menimbulkan suara keras tarikan napas.
Elena kembali lagi di kehidupan nyata! Ternyata, dia belum mati meski raganya masih sekarat.
Dia berharap masih diberi kesempatan hidup panjang agar dapat membalas dendam atas pengkhianatan menyakitkan itu. Namun, Elena seakan tahu bahwa tubuhnya tak lagi sanggup bertahan.
Suara-suara para pengkhianat kembali terdengar samar. Ada satu lagi suara lain yang tak dapat dikenali Elena dengan jelas. Suara pria yang sedang memaki Johan, Jenna, dan Anna.
“Kalian gila … membiarkan … mati!” Pria itu terdengar dekat dengannya, tetapi Elena tak dapat menangkap seluruh kata-katanya.
“Jangan … campur … pergi!” teriak Johan.
Tampaknya, Johan sedang berseteru dengan pria itu. Apakah pria itu datang untuk menolongnya?
Elena tiba-tiba merasakan tubuhnya seakan melayang. Dia tak dapat merasakan tangan pria itu menggendongnya ala pengantin. Badannya naik-turun ketika pria itu berlari membawa Elena pergi.
Apa ini juga termasuk kilas balik kehidupannya?
Elena mencoba mengingat-ingat adegan buram itu. Tetapi, otaknya tak dapat menemukan apa pun.
Ke mana pria itu membawa Elena pergi? Apakah dia adalah malaikat maut yang sedang menjemputnya?
Mendadak, pria itu berhenti bergerak. Elena terbatuk-batuk selagi menyemburkan darah dari mulutnya.
Rasa sakit di tubuh Elena menghilang. Dia sudah tak dapat merasakan apa pun lagi. Sekujur tubuhnya terasa kebas. Hanya bagian atas leher hingga kepala saja yang masih dapat merasakan udara panas dari napas pria itu.
“Bertahanlah,” bisiknya.
‘Siapa pun kau, aku sudah tidak tahan dengan siksaan ini. Jika masih diberi kesempatan hidup, aku akan membalas kebaikanmu ….”
Pria itu memasukkan sesuatu ke mulut Elena bersamaan dengan sentuhan lembut di bibirnya.
‘Apa dia sedang berusaha mengobatiku? Sayang sekali, kau terlambat, Tuan … aku tahu ajalku sudah dekat ….’
Kegelapan semakin pekat membelit jiwa Elena, seperti kebencian kuat yang menemani ajalnya. Hingga Elena merasa tercekik dan tak dapat lagi bernapas.
Semua sudah berakhir … jika Elena diberi kesempatan kedua, dia hanya menginginkan satu hal saja … Elena bersumpah akan menghancurkan hidup ketiga pengkhianat dan pembunuh itu!
***
“Haaa …!” Elena merasakan udara merasuk melalui lubang hidungnya dengan sangat cepat sampai membuatnya tersedak. Dia langsung terbangun sambil mengembuskan napas panjang. “Apa yang terjadi?”
Panca indra Elena berfungsi sepenuhnya. Dia menatap kedua telapak tangannya, lalu memutar-mutarnya seolah tak percaya. Bentuk tangannya kembali seperti sebelum sakit-sakitan!
Ke mana pria itu? Apakah obat yang diberikan oleh pria itu berhasil menyembuhkan Elena?
Mata Elena mengedar di sekeliling ruangan untuk mencari pria penyelamat hidupnya. Dia menelan ludah susah payah ketika melihat pemandangan di sekitarnya.
Saat ini, Elena sedang berada di sebuah kamar lama yang amat dirindukannya, kamar Elena sebelum menikah dengan Johan. ‘Apa ini surgaku?’
Elena meneteskan air mata. Kamar itu justru mengingatkan tentang adegan percintaan panas Johan dan Jenna. Meskipun telah mati, kenapa rasa sesak di dadanya kembali terasa?
Semua kata-kata Johan, Jenna, dan Anna masih begitu menyakiti Elena. Apakah ini bukanlah surga untuknya? Melainkan neraka yang dibuat khusus agar Elena selalu mengingat, betapa bodoh dirinya menjalani hidup dalam perangkap kejahatan para pengkhianat itu?
TOK TOK TOK!
“Elena! Kau sedang apa? Kenapa lama sekali? Cepat turun dan sarapan!”
Wajah Elena sontak mengernyit ketika mendengar suara yang familiar berseru padanya.
“Papa?”
“Gemma! Kau ada di mana?” Elena sudah berkeliling di kediaman Wright untuk mencari keberadaan Gemma. Anak perempuan yang kini berusia enam tahun itu biasa bersembunyi saat Elena pulang dari kerja. Di belakang Elena, Jason membuntuti sang istri seperti biasa. Jason kini membuka kantor pribadi di kediamannya karena masih enggan menampakkan diri di JG Group jika bukan untuk menghadiri pertemuan penting. “Gemma pasti sedang bermain petak umpet bersama Brian, Elena. Biarkan saja ....” Elena menatap tajam sang suami. “Kenapa kau tidak mengawasi Gemma? Katanya, kau kerja di rumah karena selalu ingin bersama putrimu! Dan kenapa Brian ada di sini?” Jason menghentikan langkah Elena, lalu mengecup bibirnya yang tak berhenti mengomel. “Lucy sedang menghukum Brian sepertinya. Kau juga tahu, Lucy tidak suka saat Brian pulang terlambat walau satu menit.” Benar. Lima tahun lalu, Brian menikahi Lucy dan tinggal di Desa Redwood. Terkadang, Brian bosan dan jalan-jalan ke kota hingga lupa waktu. Keb
Setelah menghabiskan tiga hari bersama James, Vera pun tahu jika selama ini James hidup di rumah yang terletak di tengah-tengah hutan. Andaikan dirinya tak ke sana malam itu, mereka tak akan pernah bertemu. Vera tak berkutik melawan James Wright. Dia sudah seperti budak yang harus melayani James setiap saat. Meski Vera menginginkan wajah itu. Tetapi, sikap James jauh berbeda dari Jason. Nyaris tak ada kesamaan, selain wajah mereka.‘Dia gila … bagaimana caraku pergi darinya?’ “Ough, ya ampun … wanita di masa depan ternyata sangat pintar melayani pria. Bagus, Sayang, goyangkan tubuhmu lebih kencang.” Vera meliuk-meliuk di atas James sambil menggigit bibir. Dia tak bisa menikmati percintaan panas yang berulang setiap saat. ‘Orang ini benar-benar seperti binatang! Dia bahkan seratus kali lebih buruk dari Andrew,’ maki Vera dalam hati. Selesai menerima puncak kenikmatan, James mendorong Vera dengan kasar hingga tersungkur di lantai. “Ah, aku bosan. Saatnya aku keluar dari tempat meny
Mentari bersinar sangat terang seperti hari sebelum-sebelumnya. Di kota yang sangat sepi itu, Vera masih berusaha mencari keberadaan makhluk bernyawa selain dirinya. Sayang, bahkan serangga pun tak terlihat di tempat itu. Hanya ada dirinya yang mengulang waktu yang sama … setiap hari. Waktunya diam di tempat. Setiap pukul delapan malam, Vera akan mendengar dentuman keras di arah selatan tempat tinggalnya, dekat dengan tanah milik Keluarga Wright. Benar. Dirinya tinggal di kediaman Wright selama ini. Vera hidup di dunia dengan waktu yang sama dan berulang-ulang terus-menerus. Dia ingin melihat asal dentuman itu terjadi. Akan tetapi, ketika hari mulai gelap, Vera tak berani keluar dari rumah. Kota itu adalah kota yang sama, tetapi terasa asing karena memiliki pemandangan yang berbeda. Tak ada gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya. Tak ada pula lampu terang-benderang di setiap pinggiran jalan. Tempat tinggal keluarga Vera pun masih berupa tanah kosong dengan puluhan pohon-poho
Dokumen penting yang semula tertumpuk rapi itu jatuh berserakan di lantai saat Jason berlari keluar dari ruangan. Dengan wajah yang terlihat sangat panik, Jason gegas mengikuti Ruby ke kamar. “Elena!” seru Jason dengan napas terengah-engah. Tak seperti bayangan, Elena justru duduk tenang sambil mengelus perutnya meski keningnya berkeringat deras. “Jason, ada sedikit lendir bercampur darah keluar ... Bisakah kau membantuku berjalan sampai mobil? Kita ke rumah sakit sekarang.” Jason panik. Dia malah mondar-mandir sambil sesekali mengusap wajah. Bingung bagaimana caranya menggendong Elena. Bagaimana kalau bayi itu keluar di saat dia menggendong Elena dan lari ke mobil? “Bayiku bisa jatuh,” gumamnya. Tapi, jika dia tak segera membawa Elena ke rumah sakit, bagaimana cara Elena melahirkan? Jason sampai tak kepikiran memanggil dokter kandungan Elena ke rumah. “Tuan!” seru Ruby membangunkan lamunan Jason. “Bisakah Anda lebih cepat membopong Nyonya Elena!?” “Tapi, bagaimana-” “Elena!” W
“Apa benar dugaanku kalau Paman Andrew terkena pengaruh ramuan Vera?” tanya Elena begitu Logan pulang.“Betul, Nyonya. Tetapi, kadar ramuan yang ada di tubuh Tuan Andrew tidak begitu banyak,” terang Logan.Logan lantas mengatakan semua yang Tetua Michael pesankan saat dia meninggalkan Andrew. Tak sampai satu minggu, Logan akan menjemput dan memulangkan Andrew. Lalu, pembicaraan tentang Anna muncul saat Jason bertanya, “Bagaimana dengan dua wanita itu? Aku dengar, mereka akan pindah ke tempat lain lagi?”“Ini surat dari Nyonya Anna. Lebih baik Anda membacanya terlebih dulu.”Logan mengeluarkan sebuah amplop putih, lalu menyerahkan kepada Elena. Surat itu ditunjukkan untuk Elena dan William. William pun mendekat dan ikut membaca isinya.Surat itu berisi tentang penyesalan Anna, juga permohonan maaf atas semua yang sudah Anna dan Jenna rencanakan kepada William dan Elena. Karena pesan Brenda yang ingin supaya Anna menjaga suami dan putrinya jika terjadi sesuatu kepada dirinya, Anna jadi
Elena mengamati sikap Andrew, mulai dari gerakan tubuh, bibir, dan sorot matanya. Rose jelas mengatakan padanya jika Vera tak pernah memberikan ramuan atau mencuci otak Andrew. Tapi, kenapa Elena jadi meragukannya? Andrew terlihat seperti Rose sebelum mendapat pengobatan. Mata pria itu sedikit menggantung, seperti tak fokus bicara atau menatapnya.“Kenapa Paman ingin melihat perempuan itu lagi? Gara-gara Vera, Paman kehilangan perusahaan dan keluarga Paman,” pancing Elena. Kini, Andrew dengan jelas menunjukkan ekspresi yang menahan kemarahan. Sepertinya, Andrew tak suka mendengar Elena menyalahkan Vera. “Paman perlu melihat Vera sekarang.” Andrew masih bersikeras dengan keinginannya. Seolah semua yang telah terjadi tak berpengaruh apa pun padanya.“Tidak bisa, Paman. Maaf … sebaiknya Paman melupakan perempuan itu dan menata hidup Paman yang berantakan karena dirinya.” Saat mengatakan itu, Elena tiba-tiba memikirkan sesuatu. Andrew tak mungkin menyerah dan pasti akan terus mencari