“It’s a wrap! Makasih ya, Dir.”
Indira baru saja menyelesaikan pemotretan untuk produk minuman isotonik. Setelah tiga jam diguyur dengan air, akhirnya Indira bisa beristirahat di ruang ganti. Sedangkan Olive sedang sibuk memeriksa jadwal Indira selanjutnya. Selesai dari pemotretan, Indira harus kembali ke kantor untuk mengambil beberapa pakaian dan sepatu yang akan dia bawa ke Paris.
“Dir, visa, tiket, apartemen di Paris, semuanya udah gue urus. Nanti pas lo nyampe, di bandara ada orang dari The Models yang bakal jemput lo dan nganter ke apartemen.” Olive membolak-balik lembar agendanya. “Lo udah nyimpen nomornya orang agensi sana, kan?”
“Hm.”
“Gue baru dapet izin dari Bu Hannah buat nyusulin lo dua minggu setelah lo berangkat. Tau sendiri kan si Mak Lampir itu, gue mesti ngurusin dia juga, karena manajernya yang ngundurin diri.”
“Hm.”
“Kalau bagasi
Indira merasakan dirinya tidak lagi berpijak di lantai kamarnya—entah di mana sekarang dia berada—ketika Mahesa memperdalam lumatannya. Mahesa terus mencecap dan melumat bibir Indira, diselingi dengan kecupan-kecupan kecil. Dan entah untuk berapa lama, Indira masih terpaku, tapi dia juga menikmati ciuman selamat pagi yang diberikan Mahesa.Masih belum melepaskan ciumannya, Mahesa menyelipkan tangannya di bawah lutut Indira. Mengangkat istrinya untuk dibawa duduk di pangkuannya. Sebelah tangan Indira yang terbebas, mengalung mesra di leher Mahesa. Begitu juga dengan tangan Mahesa yang mengelus punggung Indira, membuat tubuh keduanya semakin merapat. Sungguh pagi yang panas!Ketika Mahesa melepaskan ciumannya, pria itu tersenyum menatap Indira yang juga balas menatapnya. Seolah tanpa perlu kata, keduanya berbicara lewat tatapan. Dan entah apa yang mendorong Indira semakin mengetatkan pelukan tangannya di leher Mahesa, kemudian mendekatkan wajahnya untuk kemba
Lusa adalah hari keberangkatan Indira ke Paris. Meskipun lengannya belum sembuh benar, tapi tidak ada pilihan lain bagi Indira. Semua keperluannya sudah siap menyambut kedatangannya di kota yang terkenal romantis itu, termasuk kontrak percobaan selama lima bulan, dan jika diterima maka di tahun berikutnya, Indira akan resmi menjadi bagian dari The Models. Kepergiannya ini juga sebagai salah satu cara yang diusulkan Olive untuk menghindari gosip dirinya dengan Adrian.Beberapa hari terakhir ini, Indira menuruti setiap ucapan Olive. Dirinya tidak mau bersikap bodoh yang bisa membuat kacau semuanya. Bahkan Indira juga melarang Adrian untuk datang, meski hanya sekedar mengantar makanan untuknya—karena Mahesa belum juga kembali ke apartemen semenjak memutuskan merawat bapak yang sedang sakit.“Berapa, Mas?”“Sudah dibayar pake go-pay, Mbak.”“Makasih, ya.”“Eh, Mbak Indira. Maaf,” ujar mas-m
Entah sudah berapa lama Indira duduk sembari netranya tidak lepas dari Mahesa yang sedang mengobrol dengan papa di kursi seberangnya. Hatinya menghangat menatap setiap gestur Mahesa yang begitu bersemangat dan senang menjelaskan tentang proyeknya dengan Dokter Patrick. Sesekali mama akan turut larut dalam percakapan mertua-menantu itu.“Eh, bengong aja!” tegur Olive. “Kesambet baru tau rasa lo!”Indira tersenyum mendengar godaan Olive.“15 menit lagi lo masuk gih. Masih ngantri imigrasi juga, kan?”Indira mengangguk, dengan mata yang masih menatap Mahesa dan kedua orang tuanya. Membuat Olive yang duduk di sebelahnya bergantian menatap bingung pada Indira dan Mahesa.“Ngapain lo lihatin terus? Entar jatuh cinta beneran lo!”“Apaan, sih? Siapa yang ngelihatin Mahesa?” elak Indira.“Lha, emang ngeliatin siapa? Om sama tante?” kekeh Olive. “Dir, kita sahabatan u
“Aku senang bekerja sama denganmu. Kamu sungguh profesional meski sedang cidera. Kuharap lenganmu cepat sembuh. Aku sangat puas dengan penampilanmu sore ini,” sanjung Eric, seorang desainer gaun pengantin, yang baru saja menyelesaikan pagelaran busananya. “Violette tidak salah jika dia langsung memilihmu untuk tampil di fashion week bulan depan. Kamu sungguh sempurna,” puji Eric lagi.“Anda terlalu berlebihan memuji, Monsieur.”“Oh, tidak, Darling. Mata Violette memang tidak pernah salah dalam memilih seorang supermodel.”Hari ini adalah hari pertama Indira tampil di acara fashion show di kota Paris. Violette—CEO The Models yang terkenal tidak pernah meleset dengan penilaian untuk para calon supermodel memercayakan tugas pertama Indira dengan tampil di salah satu peragaan busana temannya, Eric Sanchez.“Setelah ini ada after party, ji
“Masalah temen kamu udah kelar, Sa?” tanya Bapak sambil meletakkan dua cangkir teh dan sepiring pisang goreng untuk camilan, lalu duduk di kursi di samping Mahesa.Di sore yang mendung ini, Mahesa dan bapak sedang bersantai di teras kontrakan, setelah sepanjang siang tadi penat tapi juga lega menghampirinya selepas sidang skripsi dan dirinya dinyatakan lulus. Tinggal selangkah lagi—melalui koas—untuk mendapatkan gelar dokter.“Udah, Pak. Nita akhirnya udah putus sama cowoknya, dan kalau si cowok berani deketin dia lagi, maka dia bisa dihukum.”“Baguslah kalau masalah temen kamu udah selesai.” Bapak menyeruput tehnya. “Kalau masalah kamu sendiri?”“Masalah aku?”“Iya. Kamu bilang kalau Indira lagi marah sama kamu. Udah baikan?”Mahesa menggeleng.“Lama amat marahannya?” Bapak menggigit pisang goreng buatannya yang mulai dingin. “Ya uda
“Cincinnya bagus.” Mahesa membuka pembicaraan setelah keheningan lama yang hadir di antara dirinya dan Indira, dan hal pertama yang keluar dari mulutnya adalah mengomentari benda berkilau di jari Indira.Indira meletakkan cangkir kopinya, melirik jari manis kanannya, kemudian tersenyum kecil. “Iya, dong. Dari Adrian,” sahutnya dengan dagu terangkat. “Kok lo enggak bilang-bilang kalau mau ke Paris?”“Itu, aku—”“Jangan-jangan lo kangen ya sama gue? Mama bilang, lo masih keinget-inget gue,” potong Indira.“Bukan keinget, tapi kebiasaan aja.”Indira mencebik. “Apa susahnya sih ngaku kalau emang kangen!” gerutu Indira. “Gue pikir lo sibuk ngurusin cewek lain, ternyata masih inget kalau punya istri?”“Kamu marah?”Indira membuang muka, melihat orang-orang yang lalu-lalang di trotoar Paris.“Enggak! Ngapain ju
“Lho? Kalian enggak jadi berangkat?”Olive menatap bingung pada Mahesa dan Indira yang malah asyik menikmati santap siangnya di depan teve.“Masih hujan,” sahut Indira. “Entar sorean dikitlah, kalau udah enggak hujan. Lagian kalau pas bulan Desember jelang natal gini, Paris paling bagus pas malam, kan? Banyak lampunya.”“Yah, gue pikir lo berdua bakal jalan pagi tadi.”“Emang kenapa?”Olive melangkah mendekat untuk bergabung menyantap makanan yang baru saja dibeli Indira.“Gue udah bilang ke Richard kalau kita bakal dateng ke pesta natalnya dia yang sekaligus buat nyambut kakaknya yang baru balik dari Amrik.”“Jam berapa emangnya?”“Jam enam.”“Hem …” Indira menimbang sejenak rencananya hari ini.Sebenarnya dia bisa saja menolak ajakan Olive, hanya saja ini yang mengundang adalah Richard. Fotografer s
Keesokan harinya saat Indira terbangun, dia tidak melihat Mahesa di sampingnya. Sebenarnya Indira tahu, ketika semalam dirinya pura-pura sudah tertidur, Mahesa perlahan mengendap keluar kamar. Beberapa saat kemudian Indira mengintip ke mana suaminya itu pergi, ternyata dia lebih memilih untuk tidur di sofa yang ada di lobi.Indira pikir, setelah semua yang dilakukan Mahesa selama ini dan ciuman semalam, hubungannya dengan Mahesa akan lebih dekat. Setidaknya itu akan mempermudah dan membuat keyakinannya untuk mengungkapkan perasaan pada Mahesa kembali menguat. Namun, melihat Mahesa yang bahkan menghindarinya pagi ini, sepertinya Indira harus mengurungkan niat.Tunggu dulu! Apa Mahesa sedang mempermainkannya? Pria itu terus melakukan hal-hal yang membuat debar jantung Indira tak karuan, tapi setelahnya selalu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Indira akan memahami itu sebagai sebuah akting yang patut mendapat piala Oscar, jika hanya terjadi sekali atau dua kali. Namu