Mahesa baru saja mengetik tiga paragraf di bab empat tugas akhirnya, saat ponselnya yang ada di sebelah nampan berisi bungkus cheeseburger bergetar. Setelah mengantar Indira bertemu dengan Adrian tadi, sebenarnya Mahesa tidak benar-benar pergi dari restoran cepat saji ini. Dirinya memutar arah kembali setir mobilnya dan memilih menghabiskan waktu menunggu Indira dengan mengerjakan tugas akhirnya di McD—seperti kebanyakan anak kuliah lainnya. Oh iya, Mahesa melihat layar ponselnya berkedip, tanda sebuah panggilan.
“Ya, Ma?”
Mahesa tidak punya pilihan lain selain berbohong saat ini.
“Aku sama Indira mungkin pulang menjelang pagi. Iya, di sini Olive dan yang lainnya belum selesai pesta. Iya, Ma. Ok, aku akan jaga Indira baik-baik.”
Setelah sambungan terputus, Mahesa masih menatap layar ponselnya. Menjaga Indira? Apa istrinya itu perlu dijaga? Bahkan saat ini, wanita itu ada di pelukan pria yang sangat dicintai dan mencintainya.
“Kak Mahe
Indira menarik napas dalam-dalam sembari jemarinya memainkan cangkir teh di hadapannya. Mahesa menolak berbicara saat di rumah Tante Anin tadi, dengan alasan terlalu banyak orang, masuk akal memang. Terlalu beresiko kalau sampai ada orang yang tahu, tentang apa yang ingin Indira bicarakan saat ini. Hingga akhirnya, sepanjang pesta, keduanya kembali bersandiwara seperti biasa, dan kembali saling diam ketika perjalanan pulang.Setelah sampai di apartemen dan keduanya sudah membersihkan diri, Mahesa menarik kursi makan dan langsung duduk berhadapan dengan Indira.“Apa yang ingin kamu bicarakan?”Satu kalimat dari Mahesa. Tenang, tapi mampu membuat Indira kehilangan kata-kata. Memulai pembicaraan serius seperti ini, setelah tidak saling menyapa selama hampir seminggu, bukanlah perkara mudah.“Bisa enggak kita kayak dulu lagi? Anggap kejadian waktu di rumah mama, itu enggak pernah terjadi?”“Bukannya sekarang yang kita jala
“Sayang? Kamu mau pesen apa?”Adrian sibuk memilih menu makan malam yang ingin dipesannya melalui aplikasi go-food. Sore tadi, dia memutuskan untuk datang ke apartemen Indira. Dia sungguh merindukan kekasihnya itu, tapi sepertinya Indira sedang banyak pikiran. Wanitanya sedari tadi tidak menjawab pertanyaan Adrian, dan malah sibuk menatap kosong pada layar teve yang sedang menayangkan acara jalan-jalan.“Dira?” Adrian sekali lagi memanggil.“Ya?”“Kamu ngelamunin apaan, sih?”“Enggak ada.” Indira berusaha menutupi kegugupannya. “Kenapa emangnya?”“Aku dari tadi nanya ke kamu. Kamu mau makan apa?”“Samain aja sama kamu.”“Ok.”Adrian lalu memesan dua porsi makanan dan minuman untuk teman mereka menonton film. Sembari menunggu, Adrian membantu Indira memastikan obat-obatan yang perlu dia bawa untuk persediaa
“It’s a wrap! Makasih ya, Dir.”Indira baru saja menyelesaikan pemotretan untuk produk minuman isotonik. Setelah tiga jam diguyur dengan air, akhirnya Indira bisa beristirahat di ruang ganti. Sedangkan Olive sedang sibuk memeriksa jadwal Indira selanjutnya. Selesai dari pemotretan, Indira harus kembali ke kantor untuk mengambil beberapa pakaian dan sepatu yang akan dia bawa ke Paris.“Dir, visa, tiket, apartemen di Paris, semuanya udah gue urus. Nanti pas lo nyampe, di bandara ada orang dari The Models yang bakal jemput lo dan nganter ke apartemen.” Olive membolak-balik lembar agendanya. “Lo udah nyimpen nomornya orang agensi sana, kan?”“Hm.”“Gue baru dapet izin dari Bu Hannah buat nyusulin lo dua minggu setelah lo berangkat. Tau sendiri kan si Mak Lampir itu, gue mesti ngurusin dia juga, karena manajernya yang ngundurin diri.”“Hm.”“Kalau bagasi
Indira merasakan dirinya tidak lagi berpijak di lantai kamarnya—entah di mana sekarang dia berada—ketika Mahesa memperdalam lumatannya. Mahesa terus mencecap dan melumat bibir Indira, diselingi dengan kecupan-kecupan kecil. Dan entah untuk berapa lama, Indira masih terpaku, tapi dia juga menikmati ciuman selamat pagi yang diberikan Mahesa.Masih belum melepaskan ciumannya, Mahesa menyelipkan tangannya di bawah lutut Indira. Mengangkat istrinya untuk dibawa duduk di pangkuannya. Sebelah tangan Indira yang terbebas, mengalung mesra di leher Mahesa. Begitu juga dengan tangan Mahesa yang mengelus punggung Indira, membuat tubuh keduanya semakin merapat. Sungguh pagi yang panas!Ketika Mahesa melepaskan ciumannya, pria itu tersenyum menatap Indira yang juga balas menatapnya. Seolah tanpa perlu kata, keduanya berbicara lewat tatapan. Dan entah apa yang mendorong Indira semakin mengetatkan pelukan tangannya di leher Mahesa, kemudian mendekatkan wajahnya untuk kemba
Lusa adalah hari keberangkatan Indira ke Paris. Meskipun lengannya belum sembuh benar, tapi tidak ada pilihan lain bagi Indira. Semua keperluannya sudah siap menyambut kedatangannya di kota yang terkenal romantis itu, termasuk kontrak percobaan selama lima bulan, dan jika diterima maka di tahun berikutnya, Indira akan resmi menjadi bagian dari The Models. Kepergiannya ini juga sebagai salah satu cara yang diusulkan Olive untuk menghindari gosip dirinya dengan Adrian.Beberapa hari terakhir ini, Indira menuruti setiap ucapan Olive. Dirinya tidak mau bersikap bodoh yang bisa membuat kacau semuanya. Bahkan Indira juga melarang Adrian untuk datang, meski hanya sekedar mengantar makanan untuknya—karena Mahesa belum juga kembali ke apartemen semenjak memutuskan merawat bapak yang sedang sakit.“Berapa, Mas?”“Sudah dibayar pake go-pay, Mbak.”“Makasih, ya.”“Eh, Mbak Indira. Maaf,” ujar mas-m
Entah sudah berapa lama Indira duduk sembari netranya tidak lepas dari Mahesa yang sedang mengobrol dengan papa di kursi seberangnya. Hatinya menghangat menatap setiap gestur Mahesa yang begitu bersemangat dan senang menjelaskan tentang proyeknya dengan Dokter Patrick. Sesekali mama akan turut larut dalam percakapan mertua-menantu itu.“Eh, bengong aja!” tegur Olive. “Kesambet baru tau rasa lo!”Indira tersenyum mendengar godaan Olive.“15 menit lagi lo masuk gih. Masih ngantri imigrasi juga, kan?”Indira mengangguk, dengan mata yang masih menatap Mahesa dan kedua orang tuanya. Membuat Olive yang duduk di sebelahnya bergantian menatap bingung pada Indira dan Mahesa.“Ngapain lo lihatin terus? Entar jatuh cinta beneran lo!”“Apaan, sih? Siapa yang ngelihatin Mahesa?” elak Indira.“Lha, emang ngeliatin siapa? Om sama tante?” kekeh Olive. “Dir, kita sahabatan u
“Aku senang bekerja sama denganmu. Kamu sungguh profesional meski sedang cidera. Kuharap lenganmu cepat sembuh. Aku sangat puas dengan penampilanmu sore ini,” sanjung Eric, seorang desainer gaun pengantin, yang baru saja menyelesaikan pagelaran busananya. “Violette tidak salah jika dia langsung memilihmu untuk tampil di fashion week bulan depan. Kamu sungguh sempurna,” puji Eric lagi.“Anda terlalu berlebihan memuji, Monsieur.”“Oh, tidak, Darling. Mata Violette memang tidak pernah salah dalam memilih seorang supermodel.”Hari ini adalah hari pertama Indira tampil di acara fashion show di kota Paris. Violette—CEO The Models yang terkenal tidak pernah meleset dengan penilaian untuk para calon supermodel memercayakan tugas pertama Indira dengan tampil di salah satu peragaan busana temannya, Eric Sanchez.“Setelah ini ada after party, ji
“Masalah temen kamu udah kelar, Sa?” tanya Bapak sambil meletakkan dua cangkir teh dan sepiring pisang goreng untuk camilan, lalu duduk di kursi di samping Mahesa.Di sore yang mendung ini, Mahesa dan bapak sedang bersantai di teras kontrakan, setelah sepanjang siang tadi penat tapi juga lega menghampirinya selepas sidang skripsi dan dirinya dinyatakan lulus. Tinggal selangkah lagi—melalui koas—untuk mendapatkan gelar dokter.“Udah, Pak. Nita akhirnya udah putus sama cowoknya, dan kalau si cowok berani deketin dia lagi, maka dia bisa dihukum.”“Baguslah kalau masalah temen kamu udah selesai.” Bapak menyeruput tehnya. “Kalau masalah kamu sendiri?”“Masalah aku?”“Iya. Kamu bilang kalau Indira lagi marah sama kamu. Udah baikan?”Mahesa menggeleng.“Lama amat marahannya?” Bapak menggigit pisang goreng buatannya yang mulai dingin. “Ya uda