Share

T I G A

Cerita ini sudah dikunci. Semoga kalian tetap semangat membaca sampai selesai ya!

Yuk! Selamat membaca!

.

.

Selepas kunjungan dokter, Mahesa hendak pamit untuk menjemput Indira. Siang ini, seperti yang sudah Indira dan Mahesa sepakati, mereka akan bertemu dengan bapak. Langkah Mahesa menuju lift apartemen Indira berhenti di lobi, saat dia mendengar namanya dipanggil.

“Mau jemput Indira?” tanya Papa.

“Iya, Om. Hari ini kami mau jenguk bapak.”

“Bisa kita bicara sebentar?”

Kening Mahesa mengerut mendengar ajakan Papa. Meski bingung dan sedikit takut, Mahesa mengangguk dan mengikuti langkah Papa menuju kafe yang ada di sebelah gedung apartemen.

Entah apa yang ingin dibicarakan Papa, tapi semenjak mereka duduk—15 menit yang lalu—Papa belum mengucapkan sepatah katapun. Keheningan ini, jelas membuat Mahesa jengah. Terlebih ponselnya yang terus bergetar, karena pesan masuk dari Indira yang sibuk memberikan saran apapun untuk Mahesa menghadapi Papa. Bukan bermaksud menjadi pengadu dan pengecut, tapi Mahesa belum terlalu kenal Papa, maka tidaklah menjadi salah jika dirinya meminta sedikit tips dari putri Papa, kan?

“Mahesa.” Papa yang pertama memecah keheningan.

Mahesa mendongak untuk menatap kedua netra Papa.

“Indira putri saya satu-satunya. Saya akan lakukan apapun untuk kebahagiaan Indira.”

Mahesa mengangguk paham.

“Entah apa yang terjadi antara Indira dan Adrian sampai mereka berpisah. Lalu kamu datang menawarkan diri sebagai pengganti Adrian.” Tangan Papa bergerak mencari pegangan cangkir kopinya. “Kamu tahu bagaimana Adrian?”

Mahesa menggeleng. Mahesa tidak tahu bagaimana sosok Adrian, dia juga tidak berminat untuk tahu lebih dalam tentang Adrian. Baginya, cukup sekedar tahu bahwa Adrian adalah mantan calon suami Indira yang kabur. Namun, Papa sepertinya ingin Mahesa lebih tahu tentang Adrian. Terbukti dari kalimat Papa selanjutnya yang menceritakan tentang siapa Adrian dan alasan mengapa Papa dan mama ingin sekali Indira menikah dengan Adrian.

Kenyataan tentang Adrian yang keluar dari mulut Papa, seketika membuat Mahesa merasa kecil. Mahesa bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan Adrian yang seorang dokter dan sedang mengambil sekolah spesialisnya. Sedangkan dirinya, hanya seorang pria yang belum lulus kuliah. Kerja pun serabutan di kelab, banyak hutang, bahkan saat ini dia juga bekerja sebagai calon suami bayaran.

“Apa yang bisa kamu tawarkan pada saya untuk meminang Indira? Kamu tahu, cinta saja tidak cukup. Melihat kondisi kamu saat ini, saya tidak yakin pernikahan kalian akan bertahan lebih dari tiga bulan.” Papa menghela napas. “Saya tidak akan basa-basi sama kamu. Hal yang ingin saya tanyakan, setelah kalian menikah, apa kamu bisa mencukupi kebutuhan Indira?”

Mahesa terdiam. Dia tahu, jawaban yang benar untuk pertanyaan Papa adalah ‘tidak’. Bagaimana Mahesa akan menghidupi Indira setelah menikah? Bahkan dirinya saja mendapatkan gaji dari istrinya. Namun, lain di hati, lain pula di mulut Mahesa.

“Saya yakin, saya bisa membahagiakan Indira dengan cara saya, Om. Saya akan mencukupi seluruh kebutuhan Indira.”

Papa tersenyum. “Bisakah saya pegang omongan kamu?”

Mahesa ragu sesaat, tapi kemudian mengangguk pasti.

“Kemarin saat kamu ke rumah. Saya tidak ada pilihan lain selain menerima kamu sebagai calon yang dipilih Indira menggantikan Adrian. Melihat bagaimana Indira tersenyum, itu menjadi satu dari sekian banyak tentang Indira yang membuat saya bahagia.”

Mahesa menatap kedua manik mata Papa yang berbinar setiap kali menceritakan tentang putrinya. Binar yang sama, seperti yang ada di mata bapak saat  menghadiri acara kelulusan Mahesa saat SMA, juga saat mengadakan syukuran atas diterimanya Mahesa di perguruan tinggi impiannya. Mahesa tidak pernah sanggup melihat binar itu lenyap dari bapak, begitupula dengan Papa. Seorang asing yang sebentar lagi tidak akan dipanggilnya om, melainkan papa untuk beberapa tahun ke depan yang penuh dengan sandiwara.

***

“Bapak enggak nyangka lho, kalau Mahesa ini punya pacar. Mana pacarnya cantik kayak Mbak Indira.”

Indira tersenyum mendengar pujian bapak. Sudah sekitar sepuluh menit Indira dan Mahesa sampai di rumah sakit, dan selama itu pula bapak tidak berhenti memuji Indira.

“Apalagi Mbak Indira artis, model terkenal. Kok mau sama anak saya, yang kuliah saja belum selesai. Kerjaan juga serabutan. Saya sebenarnya khawatir, nanti Mahesa tidak sanggup untuk menghidupi Mbak Indira. Apa kata orang tua Mbak Indira kalau tahu tentang Mahesa.”  

“Bapak ngomong apa, sih? Rejeki itu bisa dicari, saya yakin Mahesa bisa bahagiain saya. Papa dan mama saya suka kok dengan Mahesa.”

Mahesa yang duduk di hadapan Indira tersenyum kecil. Tentu saja papa dan mama masih menyukainya, karena keduanya belum tahu siapa Mahesa sebenarnya. Mahesa yang bukan pemilik usaha rintisan, Mahesa yang hanya seorang mahasiswa dengan pekerjaan serabutan. Jika papa dan mama tahu yang sebenarnya, Mahesa—sudahlah, dirinya sendiri juga tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan papa pada dirinya. Hal yang bisa Mahesa lakukan sekarang hanya berdoa, semoga sandiwara ini tidak terbongkar sampai akhir.

“Makasih kamu enggak bohong sama bapak,” ujar Mahesa saat perjalanan pulang mengantar Indira.

“Hm.”

“Setelah bapak pulang dari rumah sakit, aku sama bapak akan langsung ke rumah kamu.”

“Buat?”

“Ngelamar kamu dengan benar. Tadi pas ketemu sama Om, beliau minta ketemu bapak. Makanya, sekalian aja nanti buat ngelamar kamu.”

“Papa nanya apa lagi sama lo?”

Baru saja Mahesa akan menjawab, Indira lebih dulu menepuk bahunya, memberi isyarat agar pria itu diam sejenak.

“Ya, Live? Astaga! Gue lupa! Oke, gue langsung ke sana.” Indira memutuskan sambungan ponselnya. “Eh, lo bisa anterin gue ke tempat pemotretan, enggak?”

Mahesa melirik arlojinya. “Di mana?”

“Di daerah selatan.”

Masih ada waktu untuk Mahesa mengantar Indira ke tempat kerjanya, sebelum dia pergi ke kelab. Mahesa mempercepat laju motornya menuju studio Indira.

“Mau langsung ke kelab?” tanya Indira saat mereka sudah sampai.

Mahesa mengangguk. “Nanti malam aku kabari, kapan pastinya bapak sama aku dateng ke rumah lagi buat ngelamar kamu.”

“Ok. Ati-ati, ya.”

Sepeninggalan Mahesa, Indira melangkah menuju studio. Di sana, Olive dengan muka masamnya menyambut Indira, dan secepat kilat menarik Indira menuju ruang ganti.

“Sori, gue lupa kalau hari ini ada pemotretan.”

“Abis darimana emangnya?”

“Ketemu camer.”

“Camer? Bapaknya Mahesa maksud lo?”

Indira mengangguk seraya membuka kancing kemejanya dan mengganti pakaiannya dengan gaun yang ada di tangan Olive.

“Lo beneran mau nikah sama dia?” desis Olive.

“Apaan sih, lo?! Dari kemarin juga gue udah bilang, kan? Mahesa juga udah ketemu papa sama mama, kok.”

“Om pasti enggak setuju, kan? Mana mau bokap lo ngelepas anak kesayangannya buat cowok enggak jelas kayak Mahesa.”

Indira menggerakkan telunjuknya, lalu menyapu bibirnya dengan lipstik. “Sebaliknya, papa malahan demen banget sama dia. Soalnya dapet tandem buat main catur.”

Olive menepuk keningnya. “Bokap lo itu, asalkan cowok yang lo bawa ke rumah bisa main catur, langsung aja dikasih lampu ijo.”

“Siapa bilang? Tadi Mahesa cerita kalau ketemu papa di lobi apartemen. Diinterogasi!”

“Terus?”

Indira mengangkat bahunya. “Mahesa enggak mau cerita. Katanya gue disuruh tenang aja. Soalnya keadaan aman terkendali.”

Setelah melakukan touch-up penampilannya, Indira segera menuju tempat pemotretan. Bergaya lebih dari 25 kali—mungkin—sebelum akhirnya dia dan sang Fotografer menyerukan kata setuju pada tiga hasil foto yang akan diajukan untuk klien mereka kali ini.

“Mau ke mana lo?” tanya Olive saat melihat Indira hendak pulang, selepas pemotretan.

“Pulang. Emang mau ngapain lagi?”

“Lo lupa juga kalau hari ini kita ada bachelorette party-nya Kinan?”

“Astaga! Gue lupa!” sesal Indira. “Gue enggak ikut, bisa enggak?”

“Mana bisa? Bisa ngamuk si Kinan! Kemarin bukannya lo yang paling semangat buat ngerayainnya.”

“Iya, sebelum Adrian ninggalin gue!”

Olive merangkul pundak Indira. “Justru itu, Dir! Kata Kinan, bakal banyak tamu. Termasuk model dari agensi sebelah, belum lagi kenalan artisnya Kinan. Siapa tahu, kan ada yang nyantol di lo.”

“Gue udah ada Mahesa.”

“Aelah! Banyak yang lebih dari Mahesa.”

“Yang lebih bejat juga banyak!” gerutu Indira.

“Ya udah, sekarang lo maunya gimana? Kinan pasti kecewa banget kalau lo enggak dateng.”

Setelah ditinggal pergi Adrian, Indira tidak memiliki mood untuk pergi ke pesta, apalagi yang menyangkut dengan pasangan. Pergi ke tempat di mana banyak pasangan berbahagia, serasa masuk ke tempat penjagalan. Lebih baik Indira ke kelab sendirian dan minum sampai mabuk untuk melupakan semua kegagalan percintaannya.

Namun, ini adalah Kinan. Teman seperjuangannya saat meniti karir sebagai model untuk pertama kalinya. Indira bertemu dengan Kinan saat keduanya mengikuti seleksi gadis sampul. Kinan adalah mentor Indira yang senantiasa berbagi ilmu dan pengalamannya di dunia seni, model, dan akting.

“Ya udah, deh,” putus Indira akhirnya. “Tapi palingan gue cuma bentar doang ya.”

“Iya, yang penting setor muka aja di Kinan. Yuk! Lo enggak bawa mobil, kan?”

Indira menggeleng, lalu mengekor Olive menuju parkiran gedung dan melaju menuju rumah Kinan.

***

Halaman belakang rumah Kinan yang luas disulap menjadi tempat arena pool party untuk pesta lajangnya. Dihiasi lampu dan diiringi musik dari DJ kenalan Kinan, para tamu tidak berhenti bergoyang. Beberapa tamu terlihat menikmati berendam di kolam renang—tidak peduli kalau mereka besok bisa kena flu. Di sisi lainnya, ada rerumputan yang mendadak menjadi lantai dansa, dan terus menghipnotis mereka untuk berdansa mengikuti irama musik.

“Hai, Dira!” sapa Kinan.

“Selamat ya, Ki,” ujar Indira tulus seraya mencium kedua pipi Kinan. “Rame banget! Gue pikir bakalan private!

“Tadinya mau gitu. Tapi setelah gue pikir-pikir, kapan lagi gue ngadain bachelorette party, kan? Ya udah, setelah ngobrolin sama Kevin, kita gabungin party-nya dia sama gue.”

“Oh, pantesan.”

“Lo dateng sendiri? Mana calon suami lo yang masih misterius itu?”

“Eh, enggak kok. Gue dateng bareng Olive. Dia lagi parkir mobil.”

“Yah, gue kira lo bakalan go public malam ini.”

“Enggaklah! Gue enggak mau mencuri spotlight tuan rumah. Kan hari ini pesta lo sama Kevin.”

“Kalau gitu kebetulan!” seru Kinan girang. “Tuh lihat! Banyak cowok-cowok temennya Kevin yang kece! Mulai dari pengusaha, atlit, artis juga ada. Lo embat aja, buat selingan.”

“Eh, enggak usah!” elak Indira.

“Udah, santai aja. Tadi salah satu dari mereka pengen banget ketemu sama lo. Namanya Leo, atlit tenis nasional, tapi juga beberapa kali udah menangin turnamen internasional. Yuk!”

Tidak ada gunanya Indira menolak, karena Kinan menyeretnya paksa menuju sekumpulan pria yang sedang mengobrol di tepi kolam. Kinan memanggil Leo, dan seorang pria dengan perawakan tegap menghampiri mereka.

“Indira?”

“Hai,” sahut Indira sekenanya.

“Ya udah, kalian ngobrol yak!” Itu adalah kalimat terakhir dari Kinan yang didengar Indira malam ini. Karena selanjutnya, hingga Indira pulang ke apartemennya, dia tidak lagi bertemu Kinan—bahkan berpamitan pun tidak sempat.

“Minum?” tawar Leo seraya mengulurkan segelas wine kepada Indira.

Indira menerima wine itu dan menyesapnya sembari tersenyum sebagai ucapan terima kasihnya.

“Gue udah jarang lihat lo di teve, ya?”

Indira mengangguk. “Gue belakangan ini fokus buat model. Kalau akting lebih ke sampingan aja, sih.”

“Oh, pantesan.”

“Kata Kinan, lo nyariin gue? Kenapa?”

“Pengen kenal lo lebih jauh aja. Ya, siapa tahu, kan kita bisa lebih deket, terus punya hubungan.”

Indira tergelak mendengar kalimat Leo. Pria ini benar-benar tanpa basa-basi.

“Lo tahu, kan kalau gue ini udah mau nikah?”

“Tau. Tapi sesuai pepatah, sebelum janur kuning melengkung, masih bisa ditikung.”

Iya, bener. Batin Indira.

Leo tidak terlalu buruk. Setidaknya tidak seburuk para pria yang sempat mendekatinya beberapa tahun belakangan ini, termasuk Adrian. Supel dan tidak perlu takut kehabisan topik pembicaraan, jika bersama Leo. Hanya satu hal yang membuat Indira merasa kurang nyaman, risih lebih tepatnya. Yakni, saat pria itu selalu melirik ke arah dada Indira, serta buru-buru mengalihkan pandangan saat Indira memergokinya.

Dasar cabul! Pikir Indira kesal. Sial baginya! Indira pikir selesai pemotretan dia bisa langsung pulang, sehingga dia sengaja tidak memakai dalaman di antara kemeja dan branya. Kemeja putihnya yang sedikit tipis, akan memberikan pemandangan menyenangkan bagi para pria—jika mereka benar-benar memperhatikannya.

Cerita ini bisa dibaca juga di aplikasi karyakarsa dengan harga 20K per 17 bab! Murah banget, kan?! Kalau kalian lebih nyaman baca di goodnovel juga enggak apa-apa. Silakan lanjutkan membacanya! Kalian akan dibuat baper dan gemas sama pasangan ini!

Sepertinya kesialan Indira sudah berakhir, karena Olive menghampirinya dengan sebuah sweater tersampir di lengan kirinya. Olive benar-benar bisa diandalkan! Telepati mereka begitu kuat! Indira menerima uluran sweater itu dan segera memakainya. Dia yakin, Leo sangat kecewa sekarang.

Semakin malam, suasana pesta semakin ramai—sebagian tamu sudah lebih dari mabuk sepertinya. Bahkan Indira yang canggung berada di antara Leo dan teman-temannya, kini sudah tidak ada. Gadis itu bahkan tanpa beban berani menggelayut manja di lengan Leo. Tidak peduli, jika ada wartawan yang menyamar sebagai tamu, untuk sekedar mendapatkan berita miring darinya.

Indira seolah bukan Indira. Indira yang sekarang setengah kesadarannya sudah hampir hilang. Indira yang sekarang, membuat Olive khawatir, tapi dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Olive hanya bisa mengawasi Indira dari jauh, memastikan bahwa sahabatnya itu tidak melakukan hal bodoh—seperti berciuman dengan Leo! Itu pasti akan menjadi gosip empuk!

Keadaan pesta semakin kacau! Saat ini, Kinan dan Kevin sedang diarak keliling kolam renang. Dan siapa yang menyangka, setelah putaran ketiga, sepasang calon pengantin itu langsung dilemparkan ke dalam kolam renang!

Shit!” pekik Olive.

Olive tidak pernah menduga bahwa setelah Kinan dan Kevin yang dilempar, menyusul beberapa tamu yang saling dorong menceburkan temannya—bahkan beberapa menceburkan diri—ke kolam renang. Gelak tawa dan teriakan penuh suka cita mengiringi kegilaan malam ini yang terjadi di halaman belakang rumah Kinan. Liar!

Oh, tidak! Olive segera berlari menuju sahabatnya, saat menyadari Indira sudah berada dalam gendongan Leo yang siap melemparkannya ke dalam kolam renang! Tidak! Indira tidak bisa berenang! Apalagi kondisi Indira yang tengah mabuk!  

“Jangan!” teriak Olive, tapi percuma! Suaranya tenggelam di antara keriuhan pesta.

Indira terus meronta dan berteriak. Mencoba melepaskan diri dari gendongan Leo. Namun, sepertinya pria itu pura-pura tuli. Bahkan terkesan tidak peduli dengan Indira yang ketakutan.

“Tenang aja, Dir! Lepasin aja semuanya! Siap?!”

Indira menggeleng. “Jangan!”

Sial! Kalau saja dia bisa mengerem jumlah wine yang diminumnya, pasti saat ini dia bisa melepaskan diri dari Leo. Tapi alkohol sudah mengambil alih kekuatan tubuhnya. Membuat Indira lemas dan mengantuk. Hingga yang tersisa dalam dirinya hanya kesadaran yang kian menipis. Hal terakhir yang dia ingat adalah rasa dingin dan sedikit sakit saat tubuhnya bertemu dengan air. Tamat sudah riwayat Indira! Tajuk utama koran gosip besok pagi adalah Indira yang mati tenggelam, karena mabuk!

***

“Kenapa telat sih lo datengnya?! Gue kan suruh lo cepetan!”

“Maaf, Mbak. Jam kerja saya belum selesai tadi.”

“Lo masih mikirin jam kerja, di saat calon istri lo digrepein cowok lain dan dalam bahaya?!”

Mahesa tertunduk mendengar kalimat penuh amarah Olive yang belum berhenti sejak 15 menit yang lalu. Mahesa jadi serba salah. Di satu sisi, dirinya dan Indira memiliki perjanjian tidak akan mencampuri urusan masing-masing. Di sisi lain, Olive memakinya tanpa henti, karena tidak segera datang menjemput Indira di rumah Kinan.

Tadi, Mahesa sedang membantu Raga mencuci gelas ketika ponselnya berdering. Panggilan dari Indira, tapi yang berada di seberang telepon bukanlah suara lembut Indira seperti biasanya, melainkan suara melengking bak biola rusak milik Olive yang panik dan memintanya segera datang ke alamat yang dikirimnya melalui pesan singkat. Bukannya tidak peduli dengan Indira, hanya saja Mahesa tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya begitu saja.

“Tadi lo telat dikit aja, gue enggak tahu apa yang bakalan terjadi sama Dira.” Olive menggeleng pelan. Tubuhnya masih merinding setiap kali mengingat kejadian saat Indira tenggelam dan tidak ada satupun orang yang menyadarinya. Mereka malah sibuk menertawakan Indira dan berpesta—seolah tidak terjadi apa-apa. Jika telat sedetik saja Mahesa muncul, mungkin Indira tidak akan pernah selamat.

Di sinilah akhirnya Mahesa berada. Di sebuah rumah sakit dan dirinya bersama Olive sedang berada di ruang tunggu—menggigil kedinginan—menanti Indira selesai diperiksa.

Tak berapa lama, seorang dokter keluar dari ruang UGD dan mengabarkan bahwa kondisi Indira baik-baik saja. Air yang sempat masuk ke paru-parunya sudah dikeluarkan dan saat ini tinggal menunggu Indira sadar dari mabuknya.

“Mahesa?”

Mahesa menoleh, mendapati papa dan mama dengan wajah panik menghampirinya dan Olive.

“Gimana keadaan Indira?” tanya Mama.

“Sudah baikan. Sekarang tinggal tunggu Indira sadar dari—aw!”

“Sadar dari pingsannya, Tante,” potong Olive cepat, lalu matanya melotot pada Mahesa, meminta pria itu diam.

“Kamu kenapa basah gini, Sa?” tanya Papa saat melihat kondisi Mahesa. “Ini, pake jaket Papa. Nanti kamu sakit.”

“Enggak usah, Om.”

“Papa maksa! Buruan pake! Indira bisa marah kalau kamu sakit!”

Mahesa tidak punya pilihan lain selain menerima jaket yang diulurkan papa. Memakainya dan duduk beberapa saat menemani papa dan mama, sebelum akhirnya Mahesa pamit.

***

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status