Share

E M P A T

Aku udah kirim uangnya.

Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Mahesa—dari Indira. Tanpa pikir panjang, Mahesa langsung menekan tombol panggilan untuk terhubung dengan Indira.

“Ehm, gimana kabar kamu? Syukurlah. Maaf, kemarin aku langsung pulang, karena harus nungguin bapak. Iya, nanti aku cek. Apa nanti malam aku dan bapak bisa ke rumah? Aku juga inginnya besok atau lusa, biarin bapak istirahat dulu. Tapi bapak maksa. Baiklah, nanti aku bilang ke bapak, mungkin sekitar jam tujuh kami sampai. Indira, terima kasih.”

Sambungan ponsel Mahesa terputus setelah ucapan terima kasihnya tanpa berbalas. Mungkin Indira sedang sibuk. Berbekal uang transferan dari Indira, Mahesa bergegas menuju meja kasir rumah sakit untuk menyelesaikan masalah administrasi.

Setelah selesai, Mahesa kembali ke kamar rawat bapak. Di sana, bapak sudah siap untuk pulang. Sebelah pundaknya menenteng tas pakaian bapak, sedangan kedua tangannya mendorong kursi roda bapak menuju lobi rumah sakit. Siang ini, Mahesa memesan taksi daring untuk pulang, karena meskipun bapak sudah sehat, dirinya masih belum tega membiarkan bapak harus berpanas-panasan di atas motor.

“Kamu sudah bicara sama Indira?”

“Oh, sudah, Pak,” jawab Mahesa sembari memasukkan pakaian kotor bapak ke mesin cuci. “Aku bilang, nanti kita sampai rumahnya kira-kira jam tujuh malam.”

“Bapak enaknya pakai baju apa ya, Sa? Bapak enggak punya baju bagus buat ketemu sama calon besan.”

Mahesa kembali ke ruang tamu, lalu masuk sebentar ke kamar bapak, dan kembali dengan sebuah kemeja batik milik bapak.

“Kemeja ini masih bagus, kok.”

Bapak menerima uluran kemeja dari Mahesa. “Bapak lupa kalau punya kemeja ini. Iya, warnanya masih bagus. Kamu pinter nyucinya,” kekeh Bapak. “Padahal ini kemeja dari zaman kamu lulus wisuda SMA, terus abis itu Bapak enggak pernah pake lagi.”

“Bapak beneran udah kuat?”

“Kamu tenang aja! Bapak udah kuat banget!” seru Bapak sambil menunjukkan otot lengannya. “Kamu emangnya enggak kerja hari ini?”

Mahesa menggeleng. “Aku udah izin sama Raga.”

“O iya, bilangin makasih ke dia dari Bapak. Lama dia enggak main ke rumah.”

“Iya, besok Aku sampein ke Raga.” Mahesa kembali memakai jaketnya dan mengambil kunci motor yang ada di atas teve. “Aku keluar sebentar ya, Pak.”

“Mau ke mana?”

“Mau beli roti, buah, atau apapun yang sekiranya pantas dibawa ke rumahnya Indira. Aku enggak enak pergi tangan kosong ke sana. Kemarin aku ke sana juga enggak bawa apa-apa.”

“O iya-iya, bener juga kamu. Bapak sampai lupa. Udah sana buruan beli yang banyak.”

“Ya udah, Mahesa berangkat dulu, Pak,” pamit Mahesa, lalu setelah menyalami bapak, dia melaju bersama motornya menuju sebuah swalayan yang tak jauh dari rumah.

Mahesa memilih beberapa jenis buah dan makanan kering, kemudian meminta petugas swalayan untuk membungkusnya dalam bentuk parsel.

“Mahesa?”

Mahesa menoleh dan mendapati seorang cowok dengan keranjang belanja berisi buah-buahan menyapanya.

“Beneran lo! Apa kabar lo, Sa?” tanya cowok itu lagi sambil merangkul pundak Mahesa.

“Baik, Put. Lo sendiri gimana sekarang?”

“Gue koas di rumah sakit bokap. Lo sendiri?”

Mahesa tersenyum mendengar pertanyaan Putra. Teman seangkatannya bahkan sudah menjalani koas. Sedangkan dirinya masih berkutat dengan tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjananya.

“Lo kebanyakan kerja, sih. Makanya kuliah lo jadi keteteran.”

Seandainya Mahesa tidak kehilangan beasiswanya, tentu saja Mahesa tidak perlu bekerja. Namun nasi sudah menjadi bubur, Mahesa kehilangan beasiswa juga karena kesalahannya sendiri. Kesalahan yang membuat bapak harus banting tulang membiayai kuliah kedokteran dari hasil perkebunan teh yang tidak seberapa besar. Tubuh renta yang seharusnya menikmati hari pensiunnya, tapi harus bekerja demi anaknya yang tidak tahu terima kasih.

“Kelarin buruan. Biar bisa nyusul koas bareng gue.”

“Iya, gue usahain.”

“Ya udah, gue duluan, ya. Mau ketemu calon istri. Lo masih jomlo aja? Move on, dong.”

Lagi-lagi Mahesa hanya tersenyum. “Lo masih sama Ratih?”

Putra mengangguk senang mendengar nama kekasihnya disebut. “Yoi! Ya udah, gue duluan ya.”

Mahesa masih memperhatikan punggung Putra yang sedang mengantri di kasir, lalu tak berapa lama kemudian hilang di balik pintu swalayan. Bertemu Putra, membuatnya mengingat akan dirinya yang bodoh beberapa tahun lalu. Mahesa yang bodoh dan dibutakan oleh seorang wanita dan cinta. Kebodohan yang sangat disesalinya saat ini!

“Silakan, Mas. Bisa langsung bayar di kasir. Nanti struknya dibawa ke sini sebagai bukti pengambilan,” ujar petugas swalayan sambil memberikan nota.

Mahesa segera membayar, kemudian kembali untuk mengambil parsel buah dan makanannya. Setelahnya, Mahesa langsung pulang dan menyiapkan diri bersama bapak untuk makan malam di rumah Indira.

***

“Rumahnya besar ya, Sa,” kagum Bapak sesaat sebelum turun dari taksi.

Mahesa kemudian membantu bapak untuk turun dan berpindah ke kursi roda, lalu mendoronya hingga teras rumah Indira. Setelah dua kali bunyi bel, Bik Harsi menyambut Mahesa dan bapak, kemudian mempersilakan mereka masuk.

“Silakan duduk, Mas. Tuan, Nyonya, dan Non Indira masih siap-siap. Saya panggilin dulu, ya.”

Mahesa dan bapak mengangguk seraya tersenyum.

“Wah! Emang beda ya kalau rumahnya artis! Gede!”

“Rumah kita yang di perkebunan juga gede.”

“Rumah itu bukan milik kita sepenuhnya lagi. Sebagian udah punya bank. Kamu jangan lupa itu, Sa,” ujar Bapak sambil menepuk pundak Mahesa dan senyum yang tidak lepas dari wajahnya. “Tapi Bapak percaya kalau kita pasti bisa melunasi semuanya. Udah, ngapain ngomongin hal kayak gitu di rumah calon mertua kamu?”

“Maaf, Pak.”

“Udahlah, yang penting setelah ini kamu yang bener kuliahnya.”

Tak berapa lama kemudian, ketiga tuan rumah sudah hadir dan langsung menyapa Mahesa dan bapak. Setelah berkenalan dan sedikit mengobrol tentang pekerjaan bapak dan papa, mereka beranjak menuju meja makan untuk menyantap hidangan makan malam.

Makan malam berlangsung hangat, terlebih lagi papa dan bapak sepertinya sangat cocok. Mereka seperti teman lama yang dipertemukan kembali, dan tidak kehabisan topik obrolan sampai acara minum teh.

“Pa, Ma, aku sama Mahesa di halaman belakang ya.”

“Kalian emangnya mau ngapain di halaman belakang? Nyari jangkrik? Di sini ajalah, kita ngobrol.”

“Mama kayak enggak pernah muda aja.”

Semuanya tertawa menanggapi cibiran papa untuk mama, sedangkan mama pura-pura kesal dan langsung memakan kudapan di hadapannya.

“Kayaknya bakalan berhasil.”

“Apanya?” bingung Mahesa, sembari duduk di samping Indira.

Mereka kini tengah duduk di gazebo halaman belakang. Ditemani dua cangkir teh dan kudapan yang baru saja diantar oleh Bik Harsi.

“Rencana kitalah! Bapak, papa, sama mama udah cocok. Bahkan tadi siang mama udah pesen hal-hal buat nikahan kita. Mulai dari makanan sampai baju pengantinnya juga.” Indira menarik pandangannya dari langit malam, kini menatap Mahesa. “O iya, soal cincin tenang aja. Gue udah siapin kok.”

“Kamu … santai banget ngomongnya.”

“Hm? Emangnya gue harus gimana?” bingung Indira. “Oh, gue tahu! Harusnya gue grogi, kan? Terus panik. Biar kayak orang nikah beneran? Yaelah, Sa! Kita ini cuma bohongan, dan lo tahu sendiri kalau gue ini juga bisa akting. Jadi masalah kayak gini ya, gue anggep aja lagi syuting.”

Ya benar, ini semua hanya sandiwara. Anggap saja kamu sedang ikut casting FTV dan kebetulan lawan mainmu adalah Indira.  

“Ehm, Indira.”

“Ya?”

“Soal cincin, bisa enggak kalau aku yang sediain?”

“Udah, lo tenang aja.”

“Tolong. Untuk yang satu itu, biar aku yang usahakan.”

“Emangnya lo dapet duit darimana?”

“Percaya sama aku. Aku enggak akan bikin kamu malu dengan cincin dariku.”

Indira menghela napas. Bukan masalah malu atau tidak. Indira hanya merasa akan menjadi beban bagi Mahesa untuk membeli sebuah cincin. Cowok di depannya ini hidupnya saja susah, bahkan rela menjual harga dirinya untuk menjadi suami bohongan Indira demi sejumlah uang yang enggak seberapa. Sekarang masih bersikeras mau beli cincin.

“Aku mohon. Demi sisa harga diriku.”

Damn! Apa Mahesa bisa membaca pikiran Indira? Melihat Mahesa dengan wajah memelasnya, akhirnya Indira mengalah dan setuju dengan permintaan Mahesa.

“Besok kamu kerja di kelab mulai jam berapa?”

“Jam tiga. Kenapa?”

“Kalau gitu, besok pagi kita pergi buat fitting baju.”

“Harus ya?”

Indira mengangguk. “Mama yang maksa.”

“Jadi besok kita pergi sama mama?”

“Iya. Makanya besok lo jemput gue ke apart, habis itu naik mobil gue buat jemput mama, terus langsung ke butiknya.”

Memangnya Mahesa bisa menolak? Yang bisa Mahesa lakukan sekarang hanya menyetujui apapun yang menjadi keputusan Indira. Dia di sini adalah sebagai anak buah yang digaji, hanya statusnya saja yang merupakan suami Indira—itupun bohongan.

Pertemuan dua keluarga berjalan lancar, dan setelah melalui pembicaraan intens, bapak setuju dengan tanggal pernikahan yang ditetapkan oleh keluarga Indira—tanggal yang seharusnya menjadi pernikahan Indira dan Adrian.

Ketika malam semakin larut, saat itu pula Mahesa dan bapak memutuskan untuk pamit. Diantar Indira yang juga hendak kembali ke apartemen, Mahesa dan bapak bisa pulang lebih cepat.

“Mau mampir, Nak?” tanya Bapak pada Indira yang membuka pagar rumah Mahesa.

“Ehm. Mungkin lain kali, Pak. Soalnya sudah malam juga.”

“O iya-iya, bener juga. Hati-hati ya, Bapak masuk dulu,” ujar Bapak sambil memutar roda kursinya sendiri. “Setelah ngobrol sama Nak Indira, jangan lupa kunci pagarnya, Sa.”

“Iya.”

“Ya udah, gue pulang dulu,” pamit Indira hendak berbalik menuju mobil. Namun, Mahesa lebih dulu mencekal tangannya. “Kenapa?”

“Ehm, aku mau ngucapin terima kasih buat semuanya.”

“Sama-sama. Lagian lo juga bayar pake tenaga lo, kan? Jadi kita bisa impas, jangan ngerasa berhutang budi.”

“Tapi aku tetap pengen ngucapin terima kasih ke kamu. Kalau enggak ada tawaran dari kamu, aku enggak tahu gimana dengan kondisi bapak sekarang.”

“Iya. Ya udah, gue balik dulu. Jangan lupa besok jam sembilan jemput gue di apart.”

“Ok.” Mahesa membukakan pintu mobil untuk Indira dan mempersilakan wanita itu masuk. “Hati-hati nyetirnya,” pesan Mahesa sebelum menutup pintu mobil, kemudian melambaikan tangan, dan berjalan masuk ke pekarangan rumahnya.

***

Keesokan harinya, setelah menjemput mama bersama Indira. Mahesa melajukan mobil Indira menuju sebuah butik. Seperti yang Indira katakan semalam, hari ini mereka akan melakukan fitting baju pengantin.

Sesampainya di butik, mereka bertiga disambut oleh seorang pegawai wanita yang mempersilakan Indira menuju lantai dua.

“Kami sangat berterima kasih pada Mbak Indira, karena sudah memercayakan gaun pengantinnya pada butik kami,” ujar pegawai wanita yang masih berjalan beriringan dengan Indira. “Silakan tunggu di sini sambil menikmati camilannya. Saya akan membawakan baju pengantinnya.”

“Ibu Lia lagi enggak di tempat?”

“Ibu Lia sedang menghadiri wedding fair di Bangkok, Mbak.”

“Hebat ya Lia sekarang. Udah cantik, sukses, baik pula. Eh, Mama denger dari mamanya Lia, katanya dia juga mau nikah lho.”

“Kayaknya sih begitu.”

“Calonnya masih sama yang dulu?” tanya Mama lagi.

“Kayaknya sih iya. Setahu aku, Lia mantannya banyak. Tapi katanya yang membekas di hati cuma ada dua orang!”

“Wah, hebat juga dong berarti dua orang itu, bisa nakhlukin hati ratu kutub utara.”

“Mama, apaan sih? Kok ngomongnya gitu.”

“O iya, Mama lupa, kalau punya piaraan satu penguin kutub selatan yang juga susah banget ditakhlukin hatinya.”

Indira mencebik. “Siapa bilang susah? Buktinya sekarang aku udah mau nikah, kan?”

“Bener juga. Semoga aja Mahesa sabar ngadepin kamu, jadinya enggak perlu dibalikin ke papa sama mama,” kekeh Mama. “Mama harap, kamu enggak nyakitin Mahesa, Dir.”

Indira mengerutkan keningnya mendengar ucapan Mama. “Yang anaknya Mama, aku atau Mahesa? Kok lebih khawatir sama Mahesa? Tuh! Orangnya aja cuek, malah sibuk lihat-lihat pemandangan di luar.”

“Ya kamu. Cuma, Mama kasihan aja kalau Mahesa kamu jadiin pelarian dari Adrian.”

“Ma, enggak seperti itu ceritanya. Kita udah bahas ini ratusan kali. Mahesa yang—”

“Datang ke kamu. Ya, Mama percaya. Hanya saja, entah kenapa rasa percaya Mama kayak gamang gitu, Dir. Masih ada sesuatu yang mengganjal.”

“Udah! Pokoknya Mama tenang aja. Semuanya akan baik-baik saja. Please, jangan khawatir tentang aku dan Mahesa. Kami baik-baik aja,” mohon Indira, berusaha menyakinkan mamanya bahwa semua adalah nyata! Gawat kalau insting mama sudah bermain, bisa-bisa semuanya terbongkar sebelum pernikahan yang akan diadakan kurang dari seminggu lagi!

“Silakan Mbak Indira.” Pegawai butik mempersilakan Indira untuk masuk ke ruang ganti.

“Aku nyoba gaunku dulu.”

Mama mengangguk.

“Jangan macem-macem sama Mahesa.”

“Enggak akan,” yakin Mama.

Namun, itu semua tinggal omong kosong belaka, karena saat Indira menghilang di balik pintu kamar ganti, mama langsung memanggil Mahesa dan memintanya duduk.

“Kamu beneran cinta sama Dira?”

Mahesa meneguk ludahnya. Ditodong pertanyaan seperti itu, oleh calon mertua, membuat Mahesa seketika menjadi orang bodoh. Lidahnya kelu dan tangannya mulai berkeringat.

“Ke … kenapa Mama nanyanya begitu?”

“Mama sebenarnya enggak habis pikir sama kamu. Kenapa mau gantiin posisi Adrian?”

“Indira bukannya sudah pernah jelasin, Ma?”

“Udah. Dia bilang kalau kalian udah kenal lama, kamu diem-diem suka sama dia. Terus pas Adrian pergi, Dira putus asa dan curhat ke kamu. Enggak berapa lama, kamu nembak dia.”

Mahesa hanya mengangguk. Ya, memang seperti itu skenario pertemuan yang Mahesa dan Indira setujui. Teman lama yang memendam rasa cinta, lalu bersedia menjadi calon suami pengganti yang kemudian hari akan mengakhiri pernikahan dengan cerita perselingkuhan. Cukup masuk akal, kan?

Mama menghela napas seraya menatap sedih Mahesa yang juga balas menatapnya, tapi sorot matanya seolah penuh ketakutan.

“Kalau Dira cuma anggap kamu sebagai ban serep, apa kamu beneran bakal bahagia? Apa Dira juga bakal bahagia? Apa pernikahan kalian bakal bertahan? Sampai kapan kamu mau berpura-pura bahwa Dira benar-benar cinta sama kamu, Sa?”

Kenapa jadinya malah seperti ini? Kenapa semua orang seakan menelanjangi hubungan Mahesa dan Indira. Seolah kebohongan dan sandiwara yang disusun mereka berdua mudah sekali terbaca oleh orang lain? Apa memang seburuk itu skenario yang mereka susun? Atau akting mereka yang buruk? Kemarin lusa papa, semalam bapak, dan sekarang mama? Ada apa dengan para orang tua ini?

“Mama tenang saja. Aku dan Indira, kami akan baik-baik saja,” yakin Mahesa. Berharap kalimat sederhana itu, dapat membuat calon mama mertuanya tidak lagi meragukan hubungannya dengan Indira.

Sungguh! Jika sekali lagi ada orang yang meragukan hubungan Mahesa dan Indira, Mahesa mungkin akan langsung meledak dan membuka semua omong kosong sandiwaranya.

“Mas Mahesa, silakan ikut saya,” ajak pegawai butik seraya mempersilakan Mahesa masuk ke kamar ganti di sebelah kamar Indira.

Mahesa menurut, kemudian dibantu oleh seorang pegawai butik, Mahesa mengenakan tuksedo hitam dengan bahan premium yang terlihat berkilau, berikut dengan celananya. Sungguh terasa begitu lembut saat kain itu menyentuh permukaan kulit Mahesa.

“Bagaimana? Nyaman?”

Mahesa melihat pantulan dirinya di cermin. Pakaian ini sangat pas di tubuhnya. Membuat Mahesa terlihat seperti pengusaha kaya yang bisa membuat semua wanita takhluk padanya. Tapi tunggu dulu! Bagaimana bisa pas? Mahesa tidak pernah mengukur tubuhnya di butik mahal ini. Apakah mungkin, tubuhnya dan Adrian seukuran?

“Mari.”

Mahesa keluar dari kamar gantinya, bertepatan dengan Indira yang juga keluar dari kamar gantinya. Tatapan mereka bertemu untuk sesaat, lalu keduanya tersenyum.

“Cocok juga lo pake jas.”

“Ehm, apa ini bajunya Adrian?”

“Iya. Ternyata pas banget di lo. Berarti kalian seukuran.”

“Dira!” sergah Mama. “Kamu enggak pesen yang baru?”

“Itu—”

“Enggak apa-apa, Tante. Lagian bajunya Adrian pas kok di badan saya, dan sepertinya enggak cukup waktu buat ganti yang baru,” potong Mahesa berusaha meredam kemarahan mama.

“Iya, Ma. Apalagi Lia lagi enggak ada di sini, kan. Kelamaan kalau mau re-design.”

Mama menggeleng pelan, kepalanya terlalu pening memikirkan cara berpikir putrinya yang mengabaikan perasaan Mahesa. Dan Mahesa juga, kenapa pria itu terlihat tidak peduli saat memakai jas yang semula milik Adrian? Apa egonya sedikitpun tidak merasa terluka? Sungguh pasangan yang aneh!

“Tuh, Mahesa aja bilang enggak apa-apa, kok.”

Indira melangkah menuju cermin yang ada di dekat mereka. Beberapa saat memperhatikan gaun pengantin model A-line, yang membingkai tubuhnya dengan indah.

“Ya! Gue enggak ada masalah sama gaun gue. Lo gimana?”

Mahesa tidak langsung menjawab, tapi kakinya melangkah mendekat kepada Indira. Dia berhenti tepat di samping Indira, lalu melihat bayangan dirinya dan Indira yang ada di dalam cermin. Sungguh menakjubkan! Mahesa bahkan tidak berani bermimpi seperti ini sebelumnya. Berdiri di samping seorang Indira dengan memakai baju pengantin, dan kurang dari seminggu akan menjadi suaminya.

“Aku juga udah pas.”

“Eh, bentar.” Indira meraih pundak Mahesa dan memutar tubuh cowok itu menghadapnya. “Hem, kayaknya bagian bahunya agak kekecilan, ya? Bahu lo lebih lebar dari Adrian.”

“Enggak, kok. Aku nyaman pake ini.”

“Bener?” ragu Indira.

“Beneran.”

Setelah selesai melakukan fitting baju, mereka tidak langsung pulang. Siang ini, mama masih mau ditemani anak dan calon menantunya pergi ke vendor katering, dekor, dan gedung. Beliau ingin memastikan tidak ada kesalahan di hari pernikahan putri tunggalnya ini. Meskipun Indira sudah menolak sejak awal, karena dia sudah memercayakan semuanya ke wedding organizer, tapi bisa apa dia kalau mama sudah bersabda?

“Kamu sama mama tunggu aja di depan. Aku ambil mobil di parkiran dulu.”

Indira mengangguk, lalu bersama mama berjalan menuju pintu keluar. Tepat ketika Indira menapakkan kaki di luar butik—entah darimana datangnya—segerombolan orang langsung menghampirinya. Namun, ini bukan sembarang orang! Mereka adalah wartawan gosip yang haus akan berita tentang Indira!

“Mbak Indira, lagi fitting buat nikahan, ya?”

“Mbak, di dalam ada pasangannya?”

“Mbak? Kok ajak mamanya? Calon suaminya emang enggak diajak?”

Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang membuat—tidak hanya Indira tapi juga—mama jengah.

“Duh, maaf ya Mbak, Mas. Anak saya lagi enggak buka sesi tanya jawab. Kita mau pulang, nih!” seru Mama sambil mendorong kerumunan di hadapannya.

“Maaf, ya. Gue enggak bisa jawab sekarang. Nanti, juga kalau udah sah, kalian bakal tahu kok siapa suami gue. Sekarang gue sama nyokap mau balik, permisi ya,” jawab Indira mencoba sopan dan diplomatis.

“Kenapa nikahnya diem-diem, Mbak? Apa jangan-jangan gosip yang bilang kalau Mbak Dira hamil di luar nikah itu bener?”

“Heh! Mulutnya! Tolong jangan sembarangan ya! Gosip enggak bener itu!” gusar Mama dengan tangan terulur hendak menampar mulut si Penanya, tapi langsung ditahan oleh Indira.

Gerombolan wartawan itu masih belum puas, bahkan semakin mendesak Indira dan mama sampai mentok ke tembok. Indira berusaha keras menyeruak jalan di antara mereka, tapi tenaganya kalah besar! Peristiwa saling dorong akhirnya tidak dapat terelakan, hingga membuat mama terjerembab.

“Mama!” pekik Indira, lalu berusaha membantu mama berdiri, tapi dorongan dari berbagai arah malah membuat Indira terjatuh. “Aw!”

Pasrah! Indira tidak tahu harus bagaimana lagi! Kenapa orang-orang ini seperti predator yang tidak pernah berhenti sampai mangsanya menyerah? Berulang kali dia berteriak agar orang-orang ini menyingkir, tapi hasilnya nihil, hingga …

“Minggir kalian semua!” teriak Mahesa dan tanpa peduli caci maki para wartawan di sekitarnya, Mahesa terus menyingkirkan satu per satu orang-orang bar-bar di hadapannya, hingga tubuh meringkuk Indira yang sedang melindungi mama ada di hadapannya.

Mahesa segera menarik tubuh Indira dan mama. Mendekap mereka berdua, lalu dengan menjadikan tubuhnya tameng, Mahesa membelah kerumunan di hadapannya, tanpa sedetikpun melepaskan genggaman tangannya di tangan Indira dan mama.

Setelah mama dan Indira aman di dalam mobil, Mahesa yang hendak melangkah ke kursi supir dihadang oleh seorang penanya yang penasaran tentang siapa dirinya dan hubungannya dengan Indira. Dengan tegas Mahesa menjawab, “Saya calon suaminya! Kalau sekali lagi saya lihat kalian seperti ini pada Indira dan keluarganya, saya enggak akan segan buat laporin kalian ke polisi!”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status