Share

Amarah Alen

Senyum Naya memudar saat  suara itu bukan suara Alen.  Ia mendongak dan terkejut saat orang yang memanggil dirinya adalah orang yang seumuran dengan almarhum ayahnya.

 Sesaat, sudut matanya mengerut. Ia bingung dengan sikap orang itu yang terus tersenyum manis ke arahnya."Siapa dia? Kenapa dia  tersenyum kepadaku? Apa dia temannya Ayah?" tanya batin Naya menebak seraya melihat orang itu dengan tajam.

Hentakan kakinya mulai mendekat menghampiri Kanaya.

"Selamat siang, Pak Lukman!"  

Kanaya terbelalak kaget. Ia menoleh ke belakang. Kedua mata indahnya mengerling dan seakan tak percaya dengan apa yang terlontar dari mulut salah satu orang yang mengejar dirinya.

"Pak Lukman? Jadi, orang ini adalah pak Lukman?" tanya batin Naya melirik ke arah pak Lukman kembali. 

Perlahan, ia mulai berdiri. Kedua kakinya merapat dan berjalan mundur saat pak Lukman melangkah mendekati dirinya. Kanaya menghela nafas seraya melipat bibirnya seraya menoleh ke kanan dan ke kiri melihat mereka yang mulai mengelilingi dirinya.

"Kanaya, bisa kita bicara sebentar?" tanya pak Lukman dengan manis. Kumis tebal dan kedipan matanya  membuat Naya merasa sangat risih.

"Ya  Tuhan, aku tak bisa membayangkan jika aku menikah dengan orang seperti dia Orang yang terlihat begitu playboy," gumam batin Naya menegak salivanya dengan paksa. 

"Kanaya?" tanya pak Lukman yang mencoba memegang wajah cantik kanaya yang berada di depannya.

Spontan, Naya menangkis tangan tua yang tertutup dengan jas hitam itu dan berkata, "Bapak, mau bicara apa? Bukankah urusan kita sudah selesai?"

Pak Lukman mengernyit seraya tersenyum tipis. Ia sangat suka melihat Naya yang begitu jual mahal.

"Inilah yang aku suka padamu," kata batin pak Lukman tak berhenti menatap Kanaya.

"Bisa kita bicara di mobil?" pinta pak Lukman seraya mengedipkan matanya.

Kedua mata Naya menyipit. Ia mulai menghela nafas dan menegakkan tubuhnya kembali. Ia tak mau terlihat lemah di hadapan mereka.

"Bicara di sini saja! Saya akan mendengarkan Anda dengan baik," ujar Naya seraya menopangkan kedua tangan di dada.

"Kanaya, kamu sangat cantik sekali! Alangkah baiknya, jika kamu mau menikah dengan saya," ucap pak Lukman yang begitu percaya diri.

Naya tersenyum tipis. Kedua matanya memicing menatap lelaki tua yang terlihat begitu bringas.

"Pak Lukman, saya tidak bisa menikah dengan Anda. Bukankah hutang saya sudah lunas?" ujar Naya yang membuat senyum pak Lukman memudar seketika."Maaf, saya harus pergi!" gegas Naya melangkah pergi. Tapi, lagi dan lagi Naya tak berkutik saat mereka  menangkapnya.

"Hei, apa yang kalian lakukan? Lepaskan aku! Lepaskan! Tolong ... tolong ...," teriak Naya memberontak.

"Maafkan saya, Nona Inzen. Kami hanya menjalankan tugas," ucap Roy mulai mengikat kedua tangan Kanaya dan menutup mulutnya dengan lakban hitam. 

"Lepaskan!" teriak Naya yang suaranya terhenti di lakban hitam. Sesaat, sudut matanya memicing ke arah Lukman yang terlihat begitu bahagia.

"Ya Tuhan, kenapa hidupku terombang-ambing seperti ini," gumam batin Naya pasrah dan tak bisa berbuat apa-apa lagi. Sesaat, sebuah penyesalan datang menghampirinya. Ia sangat menyesal meninggalkan rumah Alen.

Naya mengernyitkan dahi. Kedua bola mata indahnya berbinar dan tak bisa menghentikan tangan Lukman yang menyentuh dagunya.

"Maafkan aku, Sayang!" kata pak Lukman dengan senyum manisnya."Bawa ke mobil!"

Rongggg ronggggggg

Suara motor balap menghentikan langkah mereka. Semua mata tertuju pada sekelompok motor balap yang menuju ke arah mereka.

"Pak, bukankah itu teman-temannya mas Alen?" ujar Roy memicing menatap mereka menghentikan kendaraan secara bersamaan. 

 Kanaya menyeringai. Ia tak  menyangka jika Alen menolong  dirinya lagi. Senang dan bahagia itulah yang ia rasakan saat ini. Sosok lelaki yang baru ia kenal begitu peduli kepadanya. Meskipun, Alen mempedulikan dirinya hanya demi sebuah kontrak belaka.

"Bocah sombong itu! Benar-benar," ujar Pak Lukman menghela nafas panjang seraya menopangkan kedua tangan di pinggang. Ia tak menyangka jika ia selalu mencampuri urusannya.

"Lepaskan dia!" ketus Alen berjalan menghampiri.

Pak Lukman menyeringai. Dengan gaya perfectnya, ia membuka kacamata hitam yang menutupi kedua matanya.

"Tidak, aku tidak akan melepaskan dia apalagi menyerahkannya padamu. Tidak, Alen Towsar! Tidak akan!" tutur pak Lukman mengernyit.

Alen menatap Naya yang juga menatap dirinya. Kedua bola mata Naya berbinar seakan ingin mendapatkan belas kasihan dari dirinya.

"Apa saya harus membawanya ke jalur hukum untuk mengurus ini semua?" tegas Alen."Dan saya pastikan, Anda dan semua anak buah Anda membusuk di penjara!" gertak Alen mengejutkan kelima anak buah pak Lukman.

"Pak ...," lirih Roy mengernyit dan terdiam saat pak Lukman mengkodenya untuk diam.

"Itu tidak akan terjadi, Alen Towsar. Karena aku akan menyerahkan semua uang yang kamu berikan padaku!"  jawab pak Lukman yang tak mau mengalah."Aku juga sangat heran kenapa kamu merelakan uang tabungan kamu untuk menebus semua hutang Kanaya? Bukankah dari dulu, kamu sama sekali tak tertarik pada seorang wanita?" 

"Bukankah saya pernah bilang, she is mine!" tegas Alen yang mengejutkan Naya. Kata-kata yang selalu di dambakan setiap wanita.

"Dan, apa Anda lupa dengan apa yang telah Anda perbuat pada keluarga saya?" Pertanyaan Alen yang mengagetkan Kanaya. Kanaya bingung dengan apa yang terjadi sebenarnya pada mereka.

"Saya tidak takut, Alen Towsar!" jawab Lukman sinis.

Alen memicing. Tangan kanannya mengepal dan bersiap menonjok ke arah wajah pak Lukman.

Buk

Pak Lukman tersungkur.

Naya mengerling. Ia tak berhenti menatap Alen yang sangat membenci pak Lukman sebegitunya.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Apa mereka memiliki dendam satu sama lain?" tanya Naya terkejut saat tangannya terlepas dari genggaman Roy.

Dengan cepat, Naya berlari menjauh dari perkelahian yang terjadi pada mereka. Langkahnya terhenti saat melihat bongkahan batu yang mungkin bisa memutuskan tali yang mengikat tangannya. Dengan sekuat tenaga ia duduk dan menggosok tali itu pada batu besar yang ada di depannya.

"Ya Tuhan, sulit sekali!" gumam batinnya terkejut saat Alen melepas tali tersebut.

Dengan hati-hati, Alen juga melepas lakban yang menutup bibir mungil milik Kanaya. 

"Makasih, Mas!" kata Naya menyeringai. 

"Kita pergi!" kata Alen menarik tangan Naya menuju ke arah motornya.

Kanaya menegak salivanya dengan paksa. Pandangan matanya tertuju ke arah pak lukman dan anak buahnya yang tak berkutik saat teman-teman Alen menghadang mereka. 

Jentikan tangan membuyarkan lamunan Naya.

"Naik!" seru Alen.

"Iya!" jawab Naya memakai helm dan mulai menaiki motor balap yang tidak pernah ia naiki sebelumnya."Sudah, Mas!"

Alen mendesah melihat Naya sangat canggung saat bersamanya. Dengan cepat, ia  meraih kedua tangan Naya agar melingkar di pergelangan pinggangnya yang sispex. 

Naya tak berhenti mengerjap. Jantungnya berdetak begitu kencang saat tubuhnya menempel di punggung Alen. Aroma wangi tubuh Alen begitu terasa hingga membuatnya tak mau lepas dari pelukan tersebut.

"Alen Towsar, berani-beraninya kamu memperlakukan aku seperti ini," gumam batin Pak Lukman menahan sakit seraya menatap ke arah mereka yang pergi begitu saja.

*****

Laura menghampiri mamanya yang terdiam seraya berpikir. Terlihat jelas di raut wajah sang mama menyimpan sesuatu yang tidak ia ketahui.

"Ma, ada apa?" tanya Laura duduk di samping mama Dina. 

"Hah, mama bingung! Bisa-bisanya Kanaya kabur dari pak Lukman. Trus, bagaimana caranya mama membujuk dia agar mau menikah dengan pak Lukman?" ujar Mama Dina mengejutkan Laura.

"Kanaya kabur?"

"Ya. Dan pak Lukman mengancam mama kalo mama tak berhasil membujuk Kanaya, pak Lukman akan menarik semua fasilitas yang ia kasih pada kita."

Laura terbelalak kaget. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana kehidupan ia dan mamanya jika kemewahan itu hilang begitu saja.

"Oh My God! Bagaimana kalo rumah ini, mobil dan barang-barang mewah lainnya hilang dariku? Semua teman kuliahku pasti  akan menghinaku habis-habisan," gumam Laura mondar-mandir ke sana kemari.

"Makanya, kamu bantu mama membujuk Kanaya. Kalo perlu, kita paksa dia!" kata Mama Dina.

"Tapi, Ma. Bagaimana caranya membujuk Kanaya? Kanaya pasti sudah tau kalo mama yang menjaminkan dia pada pak Lukman," kata Laura mengingatkan mamanya.

"Ya, trus bagaimana lagi? Mama juga bingung. Apa perlu kita menyuruh orang untuk menculiknya?"

*****

Sesampai di rumah, Alen menarik tangan Naya begitu kuat. Langkah kakinya seakan terburu-buru membawa Naya untuk menaiki anak tangga yang menjulang tinggi di rumahnya.

Sesaat, Naya mengerling saat Alen melewati kamar yang ia tempati.

"Mas Alen, kenapa mas Alen?" tanya Naya terkejut saat Alen membawanya masuk ke kamar yang lain.

Naya terperangah saat dirinya hampir terjatuh saat Alen mendorongnya begitu keras.

Ceklek

Alen mengunci pintunya dan berjalan ke arahnya dengan tatapan penuh amarah yang memuncak.

"Mas Alen,"  ujar Naya menegak salivanya dengan paksa. Kedua mata indahnya mengerling melihat Alen yang terus membuatnya berjalan mundur.

Naya terjatuh tepat di atas ranjang.

"Mas Alen ...," kata Naya tak berhenti mengerjap. Detakan jantungnya kian menjadi saat Alen memegang kedua tangannya dengan kuat. 

"Berani-beraninya kamu melanggar kontrak perjanjian kita! Bukankah kamu sudah berjanji akan melakukannya dengan baik sampai kontrak itu berakhir?" ketus Alen sangat marah. 

 Naya terdiam dan tak mampu berkata-kata. Bibirnya bergetar, mulutnya seakan terkunci dan tak mampu berucap lagi.

"Maaf. Maafkan aku!" jawab Naya terhenti.

"Kamu benar-benar membuatku kecewa! Dan seharusnya aku menyentuh tubuh kamu ini dulu, agar kamu tidak lari dariku," ucap Alen yang bersiap menjamah tubuh Naya.

"Mas Alen, tolong jangan lakukan itu!" kata Naya memohon. Kedua matanya berbinar dan seakan tak mampu menahan air mata yang berkumpul di kelopak mata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status