Senyum Naya memudar saat suara itu bukan suara Alen. Ia mendongak dan terkejut saat orang yang memanggil dirinya adalah orang yang seumuran dengan almarhum ayahnya.
Sesaat, sudut matanya mengerut. Ia bingung dengan sikap orang itu yang terus tersenyum manis ke arahnya."Siapa dia? Kenapa dia tersenyum kepadaku? Apa dia temannya Ayah?" tanya batin Naya menebak seraya melihat orang itu dengan tajam.
Hentakan kakinya mulai mendekat menghampiri Kanaya.
"Selamat siang, Pak Lukman!"
Kanaya terbelalak kaget. Ia menoleh ke belakang. Kedua mata indahnya mengerling dan seakan tak percaya dengan apa yang terlontar dari mulut salah satu orang yang mengejar dirinya.
"Pak Lukman? Jadi, orang ini adalah pak Lukman?" tanya batin Naya melirik ke arah pak Lukman kembali.
Perlahan, ia mulai berdiri. Kedua kakinya merapat dan berjalan mundur saat pak Lukman melangkah mendekati dirinya. Kanaya menghela nafas seraya melipat bibirnya seraya menoleh ke kanan dan ke kiri melihat mereka yang mulai mengelilingi dirinya.
"Kanaya, bisa kita bicara sebentar?" tanya pak Lukman dengan manis. Kumis tebal dan kedipan matanya membuat Naya merasa sangat risih.
"Ya Tuhan, aku tak bisa membayangkan jika aku menikah dengan orang seperti dia Orang yang terlihat begitu playboy," gumam batin Naya menegak salivanya dengan paksa.
"Kanaya?" tanya pak Lukman yang mencoba memegang wajah cantik kanaya yang berada di depannya.
Spontan, Naya menangkis tangan tua yang tertutup dengan jas hitam itu dan berkata, "Bapak, mau bicara apa? Bukankah urusan kita sudah selesai?"
Pak Lukman mengernyit seraya tersenyum tipis. Ia sangat suka melihat Naya yang begitu jual mahal.
"Inilah yang aku suka padamu," kata batin pak Lukman tak berhenti menatap Kanaya.
"Bisa kita bicara di mobil?" pinta pak Lukman seraya mengedipkan matanya.
Kedua mata Naya menyipit. Ia mulai menghela nafas dan menegakkan tubuhnya kembali. Ia tak mau terlihat lemah di hadapan mereka.
"Bicara di sini saja! Saya akan mendengarkan Anda dengan baik," ujar Naya seraya menopangkan kedua tangan di dada.
"Kanaya, kamu sangat cantik sekali! Alangkah baiknya, jika kamu mau menikah dengan saya," ucap pak Lukman yang begitu percaya diri.
Naya tersenyum tipis. Kedua matanya memicing menatap lelaki tua yang terlihat begitu bringas.
"Pak Lukman, saya tidak bisa menikah dengan Anda. Bukankah hutang saya sudah lunas?" ujar Naya yang membuat senyum pak Lukman memudar seketika."Maaf, saya harus pergi!" gegas Naya melangkah pergi. Tapi, lagi dan lagi Naya tak berkutik saat mereka menangkapnya.
"Hei, apa yang kalian lakukan? Lepaskan aku! Lepaskan! Tolong ... tolong ...," teriak Naya memberontak.
"Maafkan saya, Nona Inzen. Kami hanya menjalankan tugas," ucap Roy mulai mengikat kedua tangan Kanaya dan menutup mulutnya dengan lakban hitam.
"Lepaskan!" teriak Naya yang suaranya terhenti di lakban hitam. Sesaat, sudut matanya memicing ke arah Lukman yang terlihat begitu bahagia.
"Ya Tuhan, kenapa hidupku terombang-ambing seperti ini," gumam batin Naya pasrah dan tak bisa berbuat apa-apa lagi. Sesaat, sebuah penyesalan datang menghampirinya. Ia sangat menyesal meninggalkan rumah Alen.
Naya mengernyitkan dahi. Kedua bola mata indahnya berbinar dan tak bisa menghentikan tangan Lukman yang menyentuh dagunya.
"Maafkan aku, Sayang!" kata pak Lukman dengan senyum manisnya."Bawa ke mobil!"
Rongggg ronggggggg
Suara motor balap menghentikan langkah mereka. Semua mata tertuju pada sekelompok motor balap yang menuju ke arah mereka.
"Pak, bukankah itu teman-temannya mas Alen?" ujar Roy memicing menatap mereka menghentikan kendaraan secara bersamaan.
Kanaya menyeringai. Ia tak menyangka jika Alen menolong dirinya lagi. Senang dan bahagia itulah yang ia rasakan saat ini. Sosok lelaki yang baru ia kenal begitu peduli kepadanya. Meskipun, Alen mempedulikan dirinya hanya demi sebuah kontrak belaka.
"Bocah sombong itu! Benar-benar," ujar Pak Lukman menghela nafas panjang seraya menopangkan kedua tangan di pinggang. Ia tak menyangka jika ia selalu mencampuri urusannya.
"Lepaskan dia!" ketus Alen berjalan menghampiri.
Pak Lukman menyeringai. Dengan gaya perfectnya, ia membuka kacamata hitam yang menutupi kedua matanya.
"Tidak, aku tidak akan melepaskan dia apalagi menyerahkannya padamu. Tidak, Alen Towsar! Tidak akan!" tutur pak Lukman mengernyit.
Alen menatap Naya yang juga menatap dirinya. Kedua bola mata Naya berbinar seakan ingin mendapatkan belas kasihan dari dirinya.
"Apa saya harus membawanya ke jalur hukum untuk mengurus ini semua?" tegas Alen."Dan saya pastikan, Anda dan semua anak buah Anda membusuk di penjara!" gertak Alen mengejutkan kelima anak buah pak Lukman.
"Pak ...," lirih Roy mengernyit dan terdiam saat pak Lukman mengkodenya untuk diam.
"Itu tidak akan terjadi, Alen Towsar. Karena aku akan menyerahkan semua uang yang kamu berikan padaku!" jawab pak Lukman yang tak mau mengalah."Aku juga sangat heran kenapa kamu merelakan uang tabungan kamu untuk menebus semua hutang Kanaya? Bukankah dari dulu, kamu sama sekali tak tertarik pada seorang wanita?"
"Bukankah saya pernah bilang, she is mine!" tegas Alen yang mengejutkan Naya. Kata-kata yang selalu di dambakan setiap wanita.
"Dan, apa Anda lupa dengan apa yang telah Anda perbuat pada keluarga saya?" Pertanyaan Alen yang mengagetkan Kanaya. Kanaya bingung dengan apa yang terjadi sebenarnya pada mereka.
"Saya tidak takut, Alen Towsar!" jawab Lukman sinis.
Alen memicing. Tangan kanannya mengepal dan bersiap menonjok ke arah wajah pak Lukman.
Buk
Pak Lukman tersungkur.
Naya mengerling. Ia tak berhenti menatap Alen yang sangat membenci pak Lukman sebegitunya.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Apa mereka memiliki dendam satu sama lain?" tanya Naya terkejut saat tangannya terlepas dari genggaman Roy.
Dengan cepat, Naya berlari menjauh dari perkelahian yang terjadi pada mereka. Langkahnya terhenti saat melihat bongkahan batu yang mungkin bisa memutuskan tali yang mengikat tangannya. Dengan sekuat tenaga ia duduk dan menggosok tali itu pada batu besar yang ada di depannya.
"Ya Tuhan, sulit sekali!" gumam batinnya terkejut saat Alen melepas tali tersebut.
Dengan hati-hati, Alen juga melepas lakban yang menutup bibir mungil milik Kanaya.
"Makasih, Mas!" kata Naya menyeringai.
"Kita pergi!" kata Alen menarik tangan Naya menuju ke arah motornya.
Kanaya menegak salivanya dengan paksa. Pandangan matanya tertuju ke arah pak lukman dan anak buahnya yang tak berkutik saat teman-teman Alen menghadang mereka.
Jentikan tangan membuyarkan lamunan Naya.
"Naik!" seru Alen.
"Iya!" jawab Naya memakai helm dan mulai menaiki motor balap yang tidak pernah ia naiki sebelumnya."Sudah, Mas!"
Alen mendesah melihat Naya sangat canggung saat bersamanya. Dengan cepat, ia meraih kedua tangan Naya agar melingkar di pergelangan pinggangnya yang sispex.
Naya tak berhenti mengerjap. Jantungnya berdetak begitu kencang saat tubuhnya menempel di punggung Alen. Aroma wangi tubuh Alen begitu terasa hingga membuatnya tak mau lepas dari pelukan tersebut.
"Alen Towsar, berani-beraninya kamu memperlakukan aku seperti ini," gumam batin Pak Lukman menahan sakit seraya menatap ke arah mereka yang pergi begitu saja.
*****
Laura menghampiri mamanya yang terdiam seraya berpikir. Terlihat jelas di raut wajah sang mama menyimpan sesuatu yang tidak ia ketahui.
"Ma, ada apa?" tanya Laura duduk di samping mama Dina.
"Hah, mama bingung! Bisa-bisanya Kanaya kabur dari pak Lukman. Trus, bagaimana caranya mama membujuk dia agar mau menikah dengan pak Lukman?" ujar Mama Dina mengejutkan Laura.
"Kanaya kabur?"
"Ya. Dan pak Lukman mengancam mama kalo mama tak berhasil membujuk Kanaya, pak Lukman akan menarik semua fasilitas yang ia kasih pada kita."
Laura terbelalak kaget. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana kehidupan ia dan mamanya jika kemewahan itu hilang begitu saja.
"Oh My God! Bagaimana kalo rumah ini, mobil dan barang-barang mewah lainnya hilang dariku? Semua teman kuliahku pasti akan menghinaku habis-habisan," gumam Laura mondar-mandir ke sana kemari.
"Makanya, kamu bantu mama membujuk Kanaya. Kalo perlu, kita paksa dia!" kata Mama Dina.
"Tapi, Ma. Bagaimana caranya membujuk Kanaya? Kanaya pasti sudah tau kalo mama yang menjaminkan dia pada pak Lukman," kata Laura mengingatkan mamanya.
"Ya, trus bagaimana lagi? Mama juga bingung. Apa perlu kita menyuruh orang untuk menculiknya?"
*****
Sesampai di rumah, Alen menarik tangan Naya begitu kuat. Langkah kakinya seakan terburu-buru membawa Naya untuk menaiki anak tangga yang menjulang tinggi di rumahnya.
Sesaat, Naya mengerling saat Alen melewati kamar yang ia tempati.
"Mas Alen, kenapa mas Alen?" tanya Naya terkejut saat Alen membawanya masuk ke kamar yang lain.
Naya terperangah saat dirinya hampir terjatuh saat Alen mendorongnya begitu keras.
Ceklek
Alen mengunci pintunya dan berjalan ke arahnya dengan tatapan penuh amarah yang memuncak.
"Mas Alen," ujar Naya menegak salivanya dengan paksa. Kedua mata indahnya mengerling melihat Alen yang terus membuatnya berjalan mundur.
Naya terjatuh tepat di atas ranjang.
"Mas Alen ...," kata Naya tak berhenti mengerjap. Detakan jantungnya kian menjadi saat Alen memegang kedua tangannya dengan kuat.
"Berani-beraninya kamu melanggar kontrak perjanjian kita! Bukankah kamu sudah berjanji akan melakukannya dengan baik sampai kontrak itu berakhir?" ketus Alen sangat marah.
Naya terdiam dan tak mampu berkata-kata. Bibirnya bergetar, mulutnya seakan terkunci dan tak mampu berucap lagi.
"Maaf. Maafkan aku!" jawab Naya terhenti.
"Kamu benar-benar membuatku kecewa! Dan seharusnya aku menyentuh tubuh kamu ini dulu, agar kamu tidak lari dariku," ucap Alen yang bersiap menjamah tubuh Naya.
"Mas Alen, tolong jangan lakukan itu!" kata Naya memohon. Kedua matanya berbinar dan seakan tak mampu menahan air mata yang berkumpul di kelopak mata.
Mas Alen, tolong jangan lakukan itu!" kata Naya memohon. Kedua matanya berbinar dan seakan tak mampu menahan air mata yang berkumpul di kelopak mata.Naya pasrah. Air matanyapun menetes mengiringi di saat matanya terpejam.Alen menghela nafas panjang. Dengan cepat ia menjauhkan diri dari tubuh Kanaya. Lagi dan lagi, ia tak bisa menatap air mata seseorang. Hatinya seakan teriris-iris melihatnya.Naya mulai membuka kedua matanya. Jantungnya berdetak begitu cepat mengimbangi tegakan salivanya dengan paksa. Ia melirik ke arah lelaki yang saat ini sangat marah kepadanya. Naya terbangun dan duduk seraya ingin meminta maaf atas kesalahan yang telah ia perbuat."Mas ...," kata Naya.Alen menoleh dengan tatapan kesal."Seharusnya aku membiarkan kamu bersama tua bangka itu!" ucapan Alen membuat Naya terperangah.Naya menggelengkan kepalanya. Rasa ketidaksetujuan mulai menghampiri dirinya."Mas ...," ucap Naya terhenti
Sesaat, jari jemari tangan Naya terhenti. Ia melirik ke arah Alen yang meninggalkan dirinya tanpa menyapa sedikitpun terhadapnya."Kenapa dia marah? Bukankah ini keinginannya?" batin Naya bertanya.Naya menghela nafas panjang dan mencoba bersikap tenang."Kanaya," panggil bunda.Naya menoleh. Senyum manisnyapun tertoreh saat bunda memanggil dirinya."Iya, Bun!" jawab Naya, ia mulai duduk seraya memegang makanan."Maafkan Alen, ya!" lirih bunda memegang tangan Naya.Naya tersenyum. Perlahan, ia menggenggam erat tangan yang berselangkan dengan infus itu."Iya, Bun. Kanaya baik-baik saja!" jawab Naya tersenyum."Naya suapi, ya?" pinta Naya yang membuat senyum bunda mulai tertoreh kembali."Iya, Sayang!" jawab bunda sumringah. Inilah momen indah yang di tunggu-tunggu oleh bunda Elena. Memiliki calon menantu yang bisa merawatnya hingga ia menghembuskan nafas terakhir.Dari balik pintu, Alen ter
DegKedua bola mata Naya terbelalak kaget saat melihat keponakannya ibu Ana tersebut."Kamu di sini!""Mas alen," kata Naya menegak salivanya dengan paksa.Ia tak menyangka jika keponakannya ibu Ana adalah Alen, orang yang menjadi masalah dalam kehidupannya."Ya Tuhan, kenapa aku berlari di tempat yang sama!" gumam batin Naya melipat bibir mungilnya.Naya terdiam. Ia tak tau harus lari kemana lagi. Selalu berlari mengitari kehidupan keluarga orang yang telah menolongnya dan yang akan menghancurkan masa depannya. Inikah takdir yang harus aku jalani? gumam batin Naya menghela nafas panjang.Alen menatap Naya yang tak mampu mendongakkan kepala.Ibu Ana tak berhenti menatap mereka secara bergantian. Tubuhnya meremang melihat dua orang ia sayang sudah mengenal satu sama lain."Kalian sudah saling mengenal?" tanya Ibu Ana memastikan."Dia calon istriku, Tante!" jawab Alen mengejutkan ibu Ana.
"Pakaikan untukku!" perintah Alen menyodorkan cincin itu.Hari ini, Naya pasrah dengan apa yang terjadi pada dirinya. Bibir mungilnya bergetar. Jari jemari tangan yang putih mulus mulai mengambil cincin pernikahannya.Memang ini sudah jalan hidupku, menikah dengan orang yang tidak aku cinta! batin Naya berkata seraya memakaikan cincin untuk Alen.Alen tersenyum sinis. Perlahan, ia mulai mendongakkan dagu Naya agar mau menatap dirinya. Wajahnya yang cantik terlihat begitu muram dan sama sekali tak ada kebahagiaan terpancar di diri Naya.Lentik indah bulu mata Naya tak berhenti mengerjap. Tatapan tajam yang mengarah kepadanya, membuat ketakutan kini menghampiri dirinya."Kamu akan baik-baik saja, jika kamu tidak melanggar kesepakatan yang telah kita sepakati!" ucap Alen mengingatkan Naya akan isi dari perjanjian kontrak tersebut."Aku tidak akan merubahnya, meskipun kamu berlutut sekalipun padaku, Kanaya."Naya menghela nafas panjan
Tangan Arga terhenti. Kedua matanya berputar menatap Alen menghentikan tangannya."Aku tak akan biarkan, tangan kotormu ini menyentuh ataupun melukai tubuh istriku!" ucap Alen yang mengejutkan Arga. Begitupun juga Naya.Perlahan, Naya membuka matanya dan menyeringai saat Alen menolong dirinya untuk kesekian kalinya."Sayang, tunggu aku di kamar!" perintah Alen yang membuat Arga tersenyum sinis mendengarnya."Iya, Mas!" gegas Naya pergi meninggalkan mereka.Arga melepas tangannya dari genggaman tangan Alen. Ia seakan tak percaya dengan apa yang terlontar dari mulut sepupunya itu."Sebucin itukah kamu padanya? Sampai kamu berhalusinasi menjadikan dia sebagai istri kamu?" Arga menatap sinis."Apa aku terlihat bercanda? Apa bicaraku juga kurang jelas?" tanya Alen balik.Arga menghela nafas panjang. Perlahan, kedua tangannya memegang pundak sepupunya yang jauh lebih lebar dari dirinya."Alen-alen, apa ka
DegLamunan Alen buyar. Kedua matanya tak berhenti mengerjap. Pandangannya tertuju ke arah bibir mungil istrinya yang terus bergetar tiada henti."Haruskah aku mencium bibirnya?"Hela nafas berhembus dari diri Alen. Kedua matanya berputar melihat hujan yang semakin deras mengguyur kota itu.Genggaman tangannya ikut bergetar saat Naya memegang tangan kirinya begitu erat. Dengan penuh perhatian, Alen membenarkan jas hitam yang menyelimuti tubuh istrinya itu.Diego memasang handfree sembari berbicara dengan salah satu pengawal yang berjaga di rumah sakit."Akses jalan menuju ke rumah sakit lumpuh total, jadi Mas Alen dan istrinya tidak bisa datang ke sana. Segera kamu beritahu ibu presdir!" kata Diego seraya menutup telponnya.Ia tersenyum akan pekerjaannya terlaksana begitu cepat, tanpa menunggu dirinya untuk sampai rumah seperti apa yang diperintahkan oleh Alen.Hem, pasti mas Alen akan senang melihatku yang selalu cepat d
"Tak seharusnya kamu menutupi apa yang sudah menjadi milikku!" Perkataan Alen membuat Naya terperangah mendengarnya. Ia tak menyangka jika Alen ingat akan apa yang menjadi haknya.Naya terdiam. Bibirnya melipat seraya berjalan mundur saat Alen berjalan menghampiri dirinya."Kamu tenang saja! Aku tak akan menyentuh tubuh yang tak menarik ini," tunjuk Alen memicing dengan tatapan penuh kebencian.Lentik indah bulu mata Naya tak berhenti mengerjap. Sesekali ia memperhatikan kesalahan yang ada pada tubuh idealnya."Kita akan tinggal di sini selama tiga hari. Kamu bisa melakukan apapun sesuka hatimu dan jangan pernah mengganggu waktu istirahatku! Mengerti!" ketus Alen."Mengerti, Mas!" jawab Naya seraya menganggukkan kepala."Bagus!" kata Alen melangkah pergi.Naya menghela nafas seraya menoleh ke arah Alen yang mulai merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.Sabar Naya sabar. Bagaimanapun juga, saat ini dia adalah suami kamu! kata
Sesaat, kedua matanya tertuju ke arah koper yang ia bawa."Satu koper? Apa ini tidak akan jadi masalah jika mas Alen tau?" tanya Naya menghela nafas dan mulai memasuki kamar yang seharusnya menjadi saksi bisu malam pertama buat dirinya.Langkah Naya terhenti. Dua bola mata indahnya tak berhenti mengerjap melihat betapa kekar dan sexinya tubuh Alen yang terlihat setengah badan. Dadanya yang bidang, rambut pirangnya yang basah, cara khasnya dalam minum minuman yang begitu perfect membuat Naya tak mampu menegak salivanya sendiri.Alen menoleh dan berjalan menghampiri sang istri yang terdiam seperti patung menatap dirinya. Jentikan tangan yang berbunyi membuat lamunan Naya buyar sudah."Apa yang kamu lihat?" tanya Alen yang mengejutkan Kanaya."Ti-dak, Mas. A-ku ...," kata Naya terhenti saat koper yang ia pegang beralih ke tangan suaminya."Aku mau ganti baju dan kamu tunggu di luar!" perintah Alen yang mendorong tubuh Naya hingga keluar d