Laura terkejut, terperangah dan tak menyangka jika orang itu adalah pak Lukman, orang yang akan menikah dengan saudara tirinya.
"Laura ... Laura ...?" Jentikan tangan pak Lukman membuyarkan lamunan Laura.
"I-ya pak Lukman," jawab Laura gugup. Kedua matanya tak berhenti mengerjap menatap betapa gagahnya om lukman itu. Meskipun seumuran dengan ayahnya, tapi tetap saja daya tariknya begitu memikat hati.
"Ternyata ia tak setua yang aku pikirkan!" gumam batin Laura menegak salivanya dengan paksa.
"Apa mama kamu di rumah?" ulang Pak Lukman kembali.
"Ada, silahkan pak Lukman duduk dulu!" kata Laura begitu santun."Laura akan panggil mama," kata Laura pergi meninggalkan pak Lukman dan ketiga orang yang mengikuti langkah pak Lukman.
Laura berlari menghampiri mamanya yang sibuk merias diri. Lantunan musik yang keras membuat mama Dina tak mendengar teriakan dari putrinya.
Ceklek
"Ya ampun, mama!" teriak Laura mematikan musik.
Mama Dina menoleh dan terkejut saat Laura mematikan musiknya secara tiba-tiba.
"Laura, kamu itu apa-apaan sih? Ganggu waktu mama saja," kata Mama Dina menggerutu dan mencoba untuk menyalakan musiknya kembali.
"Ma, ada pak Lukman di bawah," ucap Laura yang mengejutkan mamanya.
"Pak Lukman? Pak Lukman ke sini?" tanya mama seketika berdiri menghampiri Laura.
Laura mengangguk pelan. Sudut matanya mengerut melihat mamanya melonjak kegirangan.
"Yes, akhirnya!"
Tanpa pikir panjang, mama Dina bergegas untuk menemui calon menantunya yang akan memberikan sesuatu padanya.
"Pasti pak Lukman akan memberikan bonus untukku. Yach, sesuai janjinya padaku. Aku kan sudah melaksanakan apa yang ia inginkan," gumam mama Dina seraya menuruni anak tangga yang menjulang tinggi di rumahnya. Wajahnya sumringah melihat pak Lukman yang tersenyum ke arahnya.
"Pagi, Pak Lukman!" sapa mama Dina yang mulai duduk tepat di depan rentenir itu.
"Pagi!" jawab Pak Lukman tersenyum tipis. Tatapan matanya tertuju pada rumah yang terbilang sangat mewah yang ia kunjungi saat ini.
"Ternyata, rumah kamu bagus juga!" kata Pak Lukman mengamati seisi rumah mama Dina.
"Ah, ini mah nggak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan rumah pak Lukman atu," ujar mama Dina yang tak sabar dengan bonus yang akan di berikan oleh pak lukman. Kedua matanya melirik ke arah bodyguard yang berdiri di belakang rentenir tersebut.
Mama Dina celingak-celinguk menatap para bodyguard yang tak membawa apa-apa di tangan mereka.
"Ah, aku tau! Pasti hadiahnya di salah satu saku mereka. Tak sabar ingin mengendarai mobil sendiri," gumam batin mama Dina berharap.
****
Naya terdiam. Kedua matanya tak berhenti menatap ke arah pintu masuk yang bisa membuatnya kabur dari rumah mewah itu.
"Seharusnya saat ini aku sudah mendesign beberapa baju pengantin untuk Bu Ana," gumamnya mendesah sebal. Sejenak, ia mengerling saat teringat akan kontrak yang telah di sepakati oleh dirinya dan Bu Ana.
"Kanaya, ibu sudah percaya sama kamu. Dan ibu tak mau kamu bekerja dengan orang lain kecuali dengan saya. Jika kamu berkhianat, ibu pastikan semua perusahaan tidak akan mau menerima kamu untuk menjadi designer mereka." Perkataan Ibu Ana yang mulai terlintas dalam benak Kanaya.
"Kalo itu terjadi. Aku tak akan bisa meraih impianku," ujar Naya bingung harus bagaimana.
Sesaat, ia menoleh ke arah bawah. Mendadak, niat untuk kabur dari rumah Alen terlintas di benaknya. Bibirnya bergetar mengimbangi giginya yang ia eratkan. Rambut hitam panjangnya kian menari mengikuti semilir angin yang berhembus.
"Apa aku harus kabur?" tanyanya bimbang sembari menggigit bibirnya, "Tapi, jika aku kabur bagaimana kontrak perjanjian itu?"
Sejenak, Naya terdiam dan berusaha mencari solusi untuk keluar dari masalahnya tersebut. Ia mendongak dan tersenyum tipis saat teringat dengan orang yang bisa menolongnya untuk keluar dari masalah besarnya ini.
"Ibu Ana! Yach, hanya dia yang bisa membantuku!" gegas Naya pergi.
******
Ceklek
Alen mengerling saat melihat mantan ayah tirinya datang ke kantornya.
"Alen, bagaimana kabar kamu?" tanya pak Lukman duduk tanpa menunggu Alen untuk mempersilahkannya.
Seketika, Alen melempar laporan yang ia pegang tepat di atas meja hingga mengeluarkan suara.
"Selamat datang, Lukman Argantara!" jawab Alen sinis.
Kedua matanya memicing menatap ke arah orang yang telah menyakiti hati bundanya.
"Heh, kamu tidak pernah berubah Alen. Sombong! Sama seperti bunda kamu," tegas pak Lukman mengernyit. Dengan santainya, ia mengambil kopi Alen yang tersaji di dekatnya.
Alen menghela nafas panjang. Ingin rasanya kepalan tangannya ia layangkan tepat ke arah Lukman.
"Ah, sungguh nikmat!" kata Lukman meletakkan kopi itu kembali.
"Apa kamu membawanya?" tanya Alen merekatkan kedua tangannya. Sudut matanya mengerut melihat Lukman terkekeh.
"Aku tidak akan menyerahkannya sebelum kamu mengembalikan barang kesayanganku, Kanaya!" ketus pak Lukman membuat Alen terkejut mendengarnya.
"Barang kesayanganmu? Heh, mudah sekali kamu menyamakan dia dengan sebuah barang?"
Pak Lukman menghela nafas panjang. Untuk kesekian kalinya ia harus berdebat dengan mantan anak tirinya itu. Begitu menyusahkan dirinya dalam bernegosiasi.
"Di mana dia?" tanya Pak Lukman.
"She is mine, apa kurang uang yang saya berikan kemarin? Dan seharusnya itu sudah lebih dari cukup untuk membayar semua hutangnya." Perkataan Alen membuat pak Lukman tak bisa membantahnya lagi.
Naya mulai keluar dari rumah tanpa sepengetahuan Surti. Dengan cepat, ia menyetop taksi untuk membawanya ke arah kantor milik Bu Ana.
"Ya Tuhan, semoga saja Bu Ana bisa menolongku," gumam Naya berdoa dalam hati. Senyum manisnya mulai tertoreh setelah dua hari ia tahan dalam keadaan yang memaksa. Rasanya seakan terlepas dari beban dalam hidupnya.
Setengah perjalanan, ia mengerling saat taksi yang ia tumpangi berhenti secara mendadak.
Naya mengernyit dan bingung dengan apa yang terjadi.
"Kenapa Pak?" tanya Naya penasaran seraya celingak-celinguk melihat keadaan di depan.
"Maaf, Mbak. Kayaknya, bannya pecah. Saya ganti dulu, ya!" kata sopir itu yang mulai keluar dari taksi.
Naya menghela nafas sambil menyandarkan kepalanya kembali di jok taksi. Jari jemari tangannya tak berhenti mengipaskan ke arah wajahnya yang mulai mengeluarkan keringat.
"Ya Tuhan, bagaimana ini? Andai saja aku punya uang, pasti aku sudah cari taksi lain agar cepat-cepat ke tempat Bu Ana," gumamnya mulai turun dari taksi tersebut.
Dari kejauhan, bodyguard pak Lukman memicing menatap Naya yang berdiri di bawah pohon untuk berteduh.
"Bukankah itu nona Inzen?" tanya Roy mengernyit.
*****
"Tunggu apa lagi!" usir Alen.
"Kamu benar-benar sombong, Alen Towsar!" kata pak Lukman memicing dengan pengusiran Alen yang tertuju padanya.
Drt ...
Getaran ponsel mengejutkan Pak Lukman.
Sesaat, wajahnya yang tadinya kecewa berubah ceria kembali saat mendapat pesan dari anak buahnya.
Sudut mata Alen mengerut saat melihat pak Lukman tersenyum ke arahnya.
"Kamu bilang dia milikmu? Heh, berkhayallah untuk memilikinya, Alen Towsar. Karena sebentar lagi aku akan memilikinya," ucap pak Lukman pergi begitu saja.
Alen mengernyit dan mulai mencerna semua kata-kata yang terlontar dari mulut pak Lukman.
"Akan memilikinya? Apa jangan-jangan ...," kata Alen dengan cepat mengambil jasnya dan berlari mengejar Lukman yang pergi terlebih dulu.
Naya tak berhenti mengipaskan sepotong kardus ke arah wajahnya yang cantik. Keringatnya mulai mengalir saat menunggu pak taksi yang sedari tak kunjung selesai.
"Selamat siang, Nona Inzen!" Suara Roy yang mengagetkan Kanaya. Kanaya terkejut, terperangah dan tak peracaya jika ia akan bertemu dengan orang kemarin yang membawanya ke rumah pak Lukman.
"Mau apa kalian?" tanya Kanaya berjalan mundur. Ia seakan tak mampu menegak salivanya melihat sopir taksi itu juga tak berkutik dengan ancaman mereka.
"Maaf, Nona. Saat ini, pak Lukman ingin bertemu dengan Anda."
"Tidak! Saya sudah tak ada urusan lagi dengan pak Lukman! Dan bukankah, hutang saya sudah lunas? Jadi kalian tak bisa memaksa saya untuk ikut dengan kalian!" ketus Naya menghentikan langkah mereka.
"Ayolah, Nona Inzen. Jangan buat kami gagal lagi," keluh Roy kaget saat Naya berlari begitu cepat.
"Nona Inzen, tunggu!" teriak mereka mengejar.
"Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini!" gumam Naya melihat mereka yang terus mengejarnya."Kalo aku tau akan seperti ini, aku tak akan kabur dari rumah mas Alen," gumam batin Naya. Tubuhnya langsing membuat kecepatannya dalam berlari kian kencang.
Sesaat, langkah Naya terhenti saat ada mobil yang akan menabrak dirinya dari arah berlawanan.
A aaaaa ........
Naya berteriak seraya menutup ke dua telinga dan kedua matanya.
Ssssssttt
Bunyi rem mobil terdengar begitu jelas hingga memekikan telinga.
Jantung Naya berdetak begitu kencang. Perlahan, ia mulai membuka kedua matanya dan mengerling saat dirinya dalam keadaan baik-baik saja. Kedua matanya mengerling melihat sepasang sepatu kerja yang sama persis dengan sepatu milik Alen. Senyum manisnya mulai tertoreh. Ia tak menyangka untuk ke dua kalinya, Alen menolong dirinya dari kejaran pak Lukman.
"Akhirnya kita bisa bertemu, Cantik!"
Senyum Naya memudar saat suara itu bukan suara Alen. Ia mendongak dan terkejut saat orang itu adalah pak Lukman, orang yang akan menjadikannya istri.
"Selamat siang, Pak Lukman!" sapa Roy yang berada tepat di belakang Kanaya.
"Pak Lukman? Jadi, dia adalah pak Lukman?" tanya batin Naya menegak salivanya dengan paksa.
Senyum Naya memudar saat suara itu bukan suara Alen. Ia mendongak dan terkejut saat orang yang memanggil dirinya adalah orang yang seumuran dengan almarhum ayahnya.Sesaat, sudut matanya mengerut. Ia bingung dengan sikap orang itu yang terus tersenyum manis ke arahnya."Siapa dia? Kenapa dia tersenyum kepadaku? Apa dia temannya Ayah?" tanya batin Naya menebak seraya melihat orang itu dengan tajam.Hentakan kakinya mulai mendekat menghampiri Kanaya."Selamat siang, Pak Lukman!"Kanaya terbelalak kaget. Ia menoleh ke belakang. Kedua mata indahnya mengerling dan seakan tak percaya dengan apa yang terlontar dari mulut salah satu orang yang mengejar dirinya."Pak Lukman? Jadi, orang ini adalah pak Lukman?" tanya batin Naya melirik ke arah pak Lukman kembali.Perlahan, ia mulai berdiri. Kedua kakinya merapat dan berjalan mundur saat pak Lukman melangkah mendekati dirinya. Kanaya menghela nafas seraya melipa
Mas Alen, tolong jangan lakukan itu!" kata Naya memohon. Kedua matanya berbinar dan seakan tak mampu menahan air mata yang berkumpul di kelopak mata.Naya pasrah. Air matanyapun menetes mengiringi di saat matanya terpejam.Alen menghela nafas panjang. Dengan cepat ia menjauhkan diri dari tubuh Kanaya. Lagi dan lagi, ia tak bisa menatap air mata seseorang. Hatinya seakan teriris-iris melihatnya.Naya mulai membuka kedua matanya. Jantungnya berdetak begitu cepat mengimbangi tegakan salivanya dengan paksa. Ia melirik ke arah lelaki yang saat ini sangat marah kepadanya. Naya terbangun dan duduk seraya ingin meminta maaf atas kesalahan yang telah ia perbuat."Mas ...," kata Naya.Alen menoleh dengan tatapan kesal."Seharusnya aku membiarkan kamu bersama tua bangka itu!" ucapan Alen membuat Naya terperangah.Naya menggelengkan kepalanya. Rasa ketidaksetujuan mulai menghampiri dirinya."Mas ...," ucap Naya terhenti
Sesaat, jari jemari tangan Naya terhenti. Ia melirik ke arah Alen yang meninggalkan dirinya tanpa menyapa sedikitpun terhadapnya."Kenapa dia marah? Bukankah ini keinginannya?" batin Naya bertanya.Naya menghela nafas panjang dan mencoba bersikap tenang."Kanaya," panggil bunda.Naya menoleh. Senyum manisnyapun tertoreh saat bunda memanggil dirinya."Iya, Bun!" jawab Naya, ia mulai duduk seraya memegang makanan."Maafkan Alen, ya!" lirih bunda memegang tangan Naya.Naya tersenyum. Perlahan, ia menggenggam erat tangan yang berselangkan dengan infus itu."Iya, Bun. Kanaya baik-baik saja!" jawab Naya tersenyum."Naya suapi, ya?" pinta Naya yang membuat senyum bunda mulai tertoreh kembali."Iya, Sayang!" jawab bunda sumringah. Inilah momen indah yang di tunggu-tunggu oleh bunda Elena. Memiliki calon menantu yang bisa merawatnya hingga ia menghembuskan nafas terakhir.Dari balik pintu, Alen ter
DegKedua bola mata Naya terbelalak kaget saat melihat keponakannya ibu Ana tersebut."Kamu di sini!""Mas alen," kata Naya menegak salivanya dengan paksa.Ia tak menyangka jika keponakannya ibu Ana adalah Alen, orang yang menjadi masalah dalam kehidupannya."Ya Tuhan, kenapa aku berlari di tempat yang sama!" gumam batin Naya melipat bibir mungilnya.Naya terdiam. Ia tak tau harus lari kemana lagi. Selalu berlari mengitari kehidupan keluarga orang yang telah menolongnya dan yang akan menghancurkan masa depannya. Inikah takdir yang harus aku jalani? gumam batin Naya menghela nafas panjang.Alen menatap Naya yang tak mampu mendongakkan kepala.Ibu Ana tak berhenti menatap mereka secara bergantian. Tubuhnya meremang melihat dua orang ia sayang sudah mengenal satu sama lain."Kalian sudah saling mengenal?" tanya Ibu Ana memastikan."Dia calon istriku, Tante!" jawab Alen mengejutkan ibu Ana.
"Pakaikan untukku!" perintah Alen menyodorkan cincin itu.Hari ini, Naya pasrah dengan apa yang terjadi pada dirinya. Bibir mungilnya bergetar. Jari jemari tangan yang putih mulus mulai mengambil cincin pernikahannya.Memang ini sudah jalan hidupku, menikah dengan orang yang tidak aku cinta! batin Naya berkata seraya memakaikan cincin untuk Alen.Alen tersenyum sinis. Perlahan, ia mulai mendongakkan dagu Naya agar mau menatap dirinya. Wajahnya yang cantik terlihat begitu muram dan sama sekali tak ada kebahagiaan terpancar di diri Naya.Lentik indah bulu mata Naya tak berhenti mengerjap. Tatapan tajam yang mengarah kepadanya, membuat ketakutan kini menghampiri dirinya."Kamu akan baik-baik saja, jika kamu tidak melanggar kesepakatan yang telah kita sepakati!" ucap Alen mengingatkan Naya akan isi dari perjanjian kontrak tersebut."Aku tidak akan merubahnya, meskipun kamu berlutut sekalipun padaku, Kanaya."Naya menghela nafas panjan
Tangan Arga terhenti. Kedua matanya berputar menatap Alen menghentikan tangannya."Aku tak akan biarkan, tangan kotormu ini menyentuh ataupun melukai tubuh istriku!" ucap Alen yang mengejutkan Arga. Begitupun juga Naya.Perlahan, Naya membuka matanya dan menyeringai saat Alen menolong dirinya untuk kesekian kalinya."Sayang, tunggu aku di kamar!" perintah Alen yang membuat Arga tersenyum sinis mendengarnya."Iya, Mas!" gegas Naya pergi meninggalkan mereka.Arga melepas tangannya dari genggaman tangan Alen. Ia seakan tak percaya dengan apa yang terlontar dari mulut sepupunya itu."Sebucin itukah kamu padanya? Sampai kamu berhalusinasi menjadikan dia sebagai istri kamu?" Arga menatap sinis."Apa aku terlihat bercanda? Apa bicaraku juga kurang jelas?" tanya Alen balik.Arga menghela nafas panjang. Perlahan, kedua tangannya memegang pundak sepupunya yang jauh lebih lebar dari dirinya."Alen-alen, apa ka
DegLamunan Alen buyar. Kedua matanya tak berhenti mengerjap. Pandangannya tertuju ke arah bibir mungil istrinya yang terus bergetar tiada henti."Haruskah aku mencium bibirnya?"Hela nafas berhembus dari diri Alen. Kedua matanya berputar melihat hujan yang semakin deras mengguyur kota itu.Genggaman tangannya ikut bergetar saat Naya memegang tangan kirinya begitu erat. Dengan penuh perhatian, Alen membenarkan jas hitam yang menyelimuti tubuh istrinya itu.Diego memasang handfree sembari berbicara dengan salah satu pengawal yang berjaga di rumah sakit."Akses jalan menuju ke rumah sakit lumpuh total, jadi Mas Alen dan istrinya tidak bisa datang ke sana. Segera kamu beritahu ibu presdir!" kata Diego seraya menutup telponnya.Ia tersenyum akan pekerjaannya terlaksana begitu cepat, tanpa menunggu dirinya untuk sampai rumah seperti apa yang diperintahkan oleh Alen.Hem, pasti mas Alen akan senang melihatku yang selalu cepat d
"Tak seharusnya kamu menutupi apa yang sudah menjadi milikku!" Perkataan Alen membuat Naya terperangah mendengarnya. Ia tak menyangka jika Alen ingat akan apa yang menjadi haknya.Naya terdiam. Bibirnya melipat seraya berjalan mundur saat Alen berjalan menghampiri dirinya."Kamu tenang saja! Aku tak akan menyentuh tubuh yang tak menarik ini," tunjuk Alen memicing dengan tatapan penuh kebencian.Lentik indah bulu mata Naya tak berhenti mengerjap. Sesekali ia memperhatikan kesalahan yang ada pada tubuh idealnya."Kita akan tinggal di sini selama tiga hari. Kamu bisa melakukan apapun sesuka hatimu dan jangan pernah mengganggu waktu istirahatku! Mengerti!" ketus Alen."Mengerti, Mas!" jawab Naya seraya menganggukkan kepala."Bagus!" kata Alen melangkah pergi.Naya menghela nafas seraya menoleh ke arah Alen yang mulai merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.Sabar Naya sabar. Bagaimanapun juga, saat ini dia adalah suami kamu! kata