Share

Pertemuan dengan sang bunda

Mas Alen, tolong jangan lakukan itu!" kata Naya memohon. Kedua matanya berbinar dan seakan tak mampu menahan air mata yang berkumpul di kelopak mata.

Naya pasrah. Air matanyapun menetes mengiringi di saat matanya terpejam.

Alen menghela nafas panjang. Dengan cepat ia menjauhkan diri dari tubuh Kanaya. Lagi dan lagi, ia tak bisa menatap air mata seseorang. Hatinya seakan teriris-iris melihatnya. 

Naya mulai membuka kedua matanya. Jantungnya berdetak begitu cepat mengimbangi tegakan salivanya dengan paksa. Ia melirik ke arah lelaki yang saat ini sangat marah kepadanya. Naya terbangun dan duduk seraya ingin meminta maaf atas kesalahan yang telah ia perbuat.

"Mas ...," kata Naya.

Alen menoleh dengan tatapan kesal.

"Seharusnya aku membiarkan kamu bersama tua bangka itu!" ucapan Alen membuat Naya terperangah.

Naya menggelengkan kepalanya. Rasa ketidaksetujuan mulai menghampiri dirinya.

"Mas ...," ucap Naya terhenti saat Alen mengambil kontrak perjanjian itu dan melempar tepat ke arah wajahnya.

"Baca dengan teliti! Apa yang harus kamu lakukan setelah menandatangani kontrak perjanjian itu!" ketus Alen seraya menopangkan kedua tangan di pinggangnya.

Perlahan, jari jemari tangan Naya mulai membuka kontrak yang ia tandatangani. Kedua matanya mengerling melihat konsekuensi jika ia melanggar kontrak tersebut.

"Jika salah satu ada yang melanggar, pihak ke dua bisa menghukum pihak pertama sesuka hatinya," gumam batin Naya melirik ke arah Alen.

"Jika kamu ingin terhindar dari kontrak itu, kamu bisa kembali dengan si tua bangka itu!" tegas Alen duduk dan menyilangkan kedua kakinya.

Naya melipat bibirnya. Sangat sulit dan susah untuk keluar dari masalahnya tersebut.

"Ya Tuhan, jika aku harus memilih aku ingin pergi meninggalkan semua ini. Aku tak mau menikah dengan pak Lukman ataupun dengannya," kata batin Naya berpikir.

"Kenapa diam? Bukankah itu yang kamu inginkan?"

"Mas Alen ...," kata Naya terhenti.

Drt ... Drt ...

Rumah sakit calling . ..

Alen mengerling dan dengan cepat mengangkatnya.

"Halo! Baik, saya akan segera ke sana!" ucapnya datar.

 Kedua mata Alen memicing menatap Naya dengan penuh amarah. Ia berdiri dan bersia untuk pergi."Jika kamu ingin melanjutkan kontrak itu, ikut aku ke rumah sakit sekarang!" 

Naya menghela nafas panjang. Kedua matanya tak berhenti menatap Alen yang mulai hilang dari belokan pintu kamar. Ia bingung harus bagaimana mengatasi  semua ini.

"Mungkin aku harus menyerah dengan semua ini. Meskipun dia sangat kasar tapi dia jauh lebih baik daripada pak Lukman," gumam Naya memicing menatap foto Alen yang menyeringai didalam pelukan seorang wanita yang seumuran dengan mamanya.

Suara mobil Alen terdengar begitu jelas. Naya mendongak dan berlari mengejarnya.

Dengan cepat, ia menuruni anak tangga yang menjulang tinggi di rumah tersebut. Dan 

Buk

Tubuh Naya terpental. Kedua matanya mengerling saat Surti juga terjatuh karenanya.

"Maaf, saya nggak sengaja!" ucap Naya terbangun dan menolong Surti yang kesakitan.

"Tidak apa, Non. Lagian, saya yang salah," ucap Surti seraya membersihkan tangannya yang penuh dengan tepung.

Naya menghela nafas panjang. Sudut matanya mengerut menatap ke arah jendela. Terlihat jelas, mobil Alen pergi begitu saja tanpa menunggu dirinya lebih dulu.

"Bagaimana ini?" desah Naya menenggelamkan wajah tepat di kedua lututnya. Kedua tangannya menyatu merangkul kedua kakinya yang membentuk gunung.

Surti mengernyit. Ia bingung melihat Kanaya tertunduk seraya menahan kesedihan yang mendalam.

"Non Naya kenapa? Apa Non Naya dan Mas Alen bertengkar?" tanya Surti membelai punggung Naya. 

Perlahan Naya mendongak. Mata indahnya berbinar seakan menahan tangis yang tertahan di pelupuk mata.

****

Di rumah sakit, Alen berlari menuju ruang rawat ibunya. 

"Bunda, jangan pergi sekarang! Alen mohon, bertahanlah!" gumam batin Alen. Kedua matanya memerah menahan rasa takut kehilangan pada dirinya.

Ceklek

Sejenak, Alen menyeringai. Senyum manis yang sempat hilang beberapa bulan yang lalu kini mulai muncul kembali di hadapannya. Mata yang sayu, berselangkan infus di tangan membuat Alen tak berdaya melihat bundanya terbaring  lemah tak berdaya.

"Kami tak bisa berkata apa lagi, Mas Alen. Penyakit bunda semakin hari semakin parah. Saya tidak yakin jika beliau bisa bertahan lima tahun lagi. Dan saya harap, mas Alen mengikhlaskan jika sewaktu-waktu beliau pergi sebelum waktu yang telah di tentukan oleh sang pencipta." Perkataan dokter Grag kembali melintas di pikirannya. Ia seakan tak percaya jika umur bundanya tak akan lama lagi.

"Alen," lirih Bunda melambaikan tangan.

Perlahan, Alen menutup pintu itu   dengan pelan. Langkah kakinya mulai melangkah menghampiri sang bunda. Senyum manisnya mengembang dan bersikap tegar di hadapan sang bunda. Ia tak mau terlihat rapuh di depan orang yang ia sayang.

"Apa ada yang sakit?" tanya Alen menggenggam erat tangan Bunda dan menciumnya tiada henti.

Bunda Elena terharu melihat putra kesayangannya sangat perhatian kepadanya.

"Alen, bunda baik-baik saja! Kamu jangan sedih, ya?" ucap sang Bunda seraya membelai rambut Alen yang hitam kecoklatan.

"Bunda, apa bunda tau?" tanya Alen.

"Tau apa?" tanya bunda penasaran.

 "Sekarang, Alen sudah memegang hotel sesuai keinginan Bunda," tutur Alen yang membuat sang bunda seakan tak percaya.

"Seriously?"

Bunda seakan tak mampu menahan air matanya. Ia sangat terharu melihat Alen benar-benar menuruti keinginannya.

"Jadi, kamu mengabulkan permintaan bunda, Sayang?" tanya Bunda tersenyum saat Alen menganggukkan kepalanya."Makasih ya, Nak. Kamu mau menurutinya. Dan maafkan bunda juga, karena bunda menyuruhmu untuk meninggalkan impian kamu."

"It's Ok, Bun!" jawab Alen mencium punggung tangan sang Bunda tiada henti.

"Sayang. Tapi, bagaimana keinginan bunda yang terakhir? Apa kamu mau mengabulkannya?" Pertanyaan bunda membuat Alen terkejut.

Pertanyaan inilah yang membuatnya berpikir dua kali lagi untuk mengabulkannya. Keinginan yang membuat dirinya harus menjadi seorang suami dan ayah untuk cucu sang bunda nanti.

"Aku harus bilang apa? Wanita itu lebih memilih tua bangka itu daripada denganku," kata batin Alen menunduk seraya menggaruk-garuk alis tebalnya.

Bunda mengerling. Ia seakan merasa bersalah melihat putranya tertekan akan permintaannya.

"Sayang, kamu tau 'kan umur bunda mungkin tidak akan lama lagi. Sebelum bunda pergi, bunda ingin melihat kamu menikah dengan wanita yang kamu cintai dan memberikan bunda seorang cucu," kata Bunda yang membuat Alen bingung menjawabnya.

Bunda mengernyit. 

Perlahan, tangan kanannya mulai menggenggam erat tangan Alen.

"Sayang, kamu nggak mau mengabulkannya?" tanya bunda yang membuat Alen mendongak menatapnya..

Kedua mata bunda yang sayu terlihat sangat mengharapkan kabar baik dari putranya.

"Bunda ...," kata Alen terhenti saat pintu ruang rawat itu terbuka.

Ceklek

Suara pintu yang membuat mereka menoleh secara bersamaan. Alen terkejut, terperangah dan seakan tak percaya melihat  Naya yang datang ke rumah sakit.

Bunda mengernyit heran. Dalam hati ia selalu bertanya, siapa wanita asing yang tiba-tiba datang menjenguknya seraya membawa makanan.

"Sore, Bunda!" sapa Naya melangkah menghampiri.

"Sore!" jawab Bunda tak berhenti memandang.

Alen terdiam. Entah kenapa hatinya masih terasa sakit dengan apa yang Naya lakukan. Sebuah pengkhianatan, kebohongan membuat Alen tak mau melihatnya.

"Sayang, siapa gadis cantik ini?" bisik bunda menarik tangan putranya.

Naya melirik Alen yang terlihat masih marah kepadanya. 

"Dia buk ...," jawab Alen terhenti saat Naya memotong pembicaraannya.

"Saya Naya, Bunda. Kekasihnya mas Alen," sahut Naya yang membuat Alen mengernyit, memicing menatapnya. 

"Bunda, se ...." Alen terdiam. Untuk kedua kalinya, Naya memotong pembicaraannya.

"Oiya, Bunda. Tadi, Naya masak bubur ayam buat bunda. Semoga bunda suka, ya!" kata Naya meletakkan rantang makanan itu di atas meja.

"Bunda tidak suka bubur ayam," sahut Alen memudarkan senyum Naya.

Bunda menatap ke arah mereka secara bergantian. Terlihat sangat jelas, jika mereka sedang bertengkar.

"Sayang, kata siapa bunda tak suka. Bunda sangat suka, kok!" ujar bunda melirik ke arahb Kanaya."Naya, bisa  minta tolong suapin bunda?" pinta bunda menatap wajah cantik yang di miliki Kanaya.a

"Iya, bunda. Naya suapin bunda, ya!" jawab Naya membuka rantang makanan yang ia bawa.

Sesaat, jari jemari tangan Naya terhenti. Ia melirik ke arah Alen yang meninggalkan dirinya tanpa menoleh sedikitpun terhadapnya.

"Kenapa dia marah? Bukankah ini keinginannya?" batin Naya bertanya.

"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status