"Aku sangat merindukan kakak. Aku akan memeluk tubuh kakak yang hangat itu sebagai pengobat rinduku selama dua tahun ini!" Naya terperangah dan tak percaya mengingat kembali sebuah pesan yang membuat dirinya cemburu buta dan mengharuskan pergi dari rumah.Ya Tuhan, apa iya dia Rania yang mengirim pesan pada suamiku itu? batin Naya bertanya. Bibirnya merapat, ia seakan tak mampu menegak salivanya sendiri saat pikiran itu terus menaungi dirinya."Kamu mengenal suami saya?" tanya Naya penasaran.Rania tersenyum senang. Mungkin waktu ini sangat tepat untuk meminta maaf pada Naya dengan apa yang ia perbuat. Sebuah pesan yang seharusnya tak ia lakukan di saat Alen sudah mempunyai istri.***Ana Towsar seakan tak percaya dengan keputusan putranya itu. Meninggalkan rumah mewah yang sudah ia tempati beberapa puluh tahun lamanya."Sebenarnya apa sih yang ada di otak kamu, Ga? Bagaimana mungkin kita tinggal di rumah seperti ini? Kamu kan tau, penyakit mama akan kambuh jika hidup kekurangan seper
Aroma parfum Diego juga tercium jelas olehnya. Ia mendongak dan terkejut saat dirinya juga tak sadar akan tingkahnya yang dengan mudahnya bersandar di bahu bodyguard sang kakak.Oh my God! Apa yang aku lakukan? Bisa-bisanya aku bersandar di bahu Diego? batin Rania seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Lentik bulu matanya tak berhenti mengerjap. Dengan perlahan, ia mengangkat kepala dan mencoba menjauh dari pelukan Diego."Hush hush, Sayang. Kamu ingin cepat pulang, ya? Yuk! Kita ke mobil duluan. Tunggu papa dan mama di sana saja, ya!" ucap Rania mencoba menenangkan bayi yang ia gendong. Sebuah trik untuk menjauh dari Diego tanpa mengeluarkan kata-kata. Diego mengernyit. Jemari tangannya menggaruk kepalanya yang tak gatal seraya menatap wanita yang telah membuat perasaannya tak karuan."Rania, tunggu!" gegas Diego mengikuti langkah Rania.Alen melepas pelukannya. Ia menyeringai seraya membelai rambut indah istrinya yang terikat."Siapa yang mengikat rambutmu?" tanya Alen menyapu
Tepat dua tahun sudah, Kanaya meninggalkan kota kelahirannya. Kota yang meninggalkan banyak kenangan indah dan pahit bagi dirinya. Berparas cantik dan manis itulah yang melekat di diri seorang designer berbakat itu. Demi melunasi hutang ayahnya, ia harus bekerja keras untuk melunasinya seorang diri. Pagi yang cerah secerah senyum manis Kanaya. Kedua matanya yang berwarna coklat, lentik bulu matanya yang tebal tak berhenti mengerjap menatap pemandangan yang berlari mengikuti laju kendaraan yang ia tumpangi saat ini "Akhirnya, aku bisa pulang!" kata Naya yang seakan tak mampu menyembunyikan rasa bahagianya. Karena pekerjaannya yang menumpuk, kanaya tidak bisa mendapatkan cuti seperti teman-temannya yang lain. Sebuah tanggung jawab yang harus ia pikul seorang diri menjadi seorang designer di tempat kerjanya. Perlahan, kedua bola mata indah itu mulai terpejam. Sebuah rumah yang merupakan peninggalan terakhir dari ayahnya, mulai melintas dalam pikirann
Naya melirik ke arah Roy, orang yang selalu menjawab pertanyaannya sedari tadi. "Apa saya boleh bertanya?" tanya Naya memberanikan diri. Semua mata tertuju padanya. Raut mereka yang sangar memang tak seperti tampangnya. Mereka masih memiliki kesopanan dalam berbicara. "Silahkan, Nona!" jawab Roy. "Anda bilang, rumah saya tak bisa melunasi hutang ayah saya. Selama dua tahun ini, saya selalu membayar hutang ayah saya sesuai dengan jumlah yang di janjikan oleh pak lukman. Seharusnya, dengan penjualan rumah saya, itu sudah lebih dari cukup untuk melunasi hutang ayah saya 'kan?" Naya yang begitu memprotes. Senyum bodyguard itu mulai tertoreh. "Nona Inzen, mama anda juga meminjam uang sama pak Lukman dan dijadikan satu dengan hutang ayah nona sendiri," jawab Roy yang membuat Naya terkejut setengah mati. Ia tak menyangka jika mama tirinya secara tak langsung menjaminkan dirinya pada pak Lukman. "Mama Dina sungguh keterlaluan!
BukNaya terjatuh tepat di pelukan seseorang. Sosok lelaki yang mengenakan jas hitam terlihat begitu samar dalam penglihatannya."Tolong aku!" lirih Naya terkulai lemas tak sadarkan diri.Alen mengernyit. Kedua matanya tak berhenti mengerjap melihat paras cantik dan polos yang di miliki oleh Kanaya. Wajahnya yang putih bersih, hidungnya yang mancung, bibir merah mungilnya membuat Alen teringat sosok wanita yang ia kenal."Wanita ini?" tanya batin Alen menyapu rambut Naya yang sedikit menutupi wajahnya.Sesaat, pandangan Alen beralih ke arah Roy dan kawan-kawan. Alen menghela nafas panjang melihat mereka berulah lagi di hadapannya.***Di rumah, Alen menyandarkan kepala tepat di bahu kursi putarnya. Kedua matanya terpejam seraya mengingat kembali perkataan yang keluar dari mulut Roy."Maaf, Mas Alen. Tolong serahkan wanita itu pada kami!" kata Roy dengan hati-hati.Alen tersenyum sinis. Untuk pertama kalinya, ia men
"Kenapa diam!" bentak pak Lukman dengan amarah yang memuncak."Siapa dia?""Dia adalah mas Alen, Pak!" Jawaban yang membuat pak Lukman terkejut setengah mati. Ia seakan tak percaya jika mantan anak tirinya membayar semua hutang Kanaya yang jumlahnya sangat fantastis."Alen yang membayar semuanya?" tanya Pak Lukman memastikan."Iya, Pak! Saya rasa mas Alen memiliki hubungan khusus dengan nona inzen!" tutur Roy seraya menahan sakit di tubuhnya.Pak Lukman mengernyit. Ia kembali duduk seraya berpikir sejenak mencerna perkataan yang terlontar dari mulut bodyguardnya itu."Hubungan khusus? Sejak kapan dia tertarik pada wanita?" tanya batin pak Lukman memicing menatap ke arah anak buahnya yang tertunduk.****Jari jemari tangan Kanaya tak berhenti bergerak. Kedua bola matanya tak berhenti menatap wajah cantiknya yang terpantul di kaca rias. Tak ada senyum kebahagiaan yang tersirat dari wajahnya. Hanya sebuah penyesalan mendalam y
"Ini yang terakhir kalinya aku melihatmu menangis!" ketus Alen tanpa menoleh ke arah Naya sedikitpun.Naya menghela nafas. Jari jemari tangannya mulai mengambil sapu tangan yang berada di tangan Alen.*****Meriah dan megah itulah suasana yang terjadi di keluarga besar Towsar. Acara ulang tahun pemilik perusahaan properti terbesar di kota Bandung.Dhaniel Towsar, pengusaha terkaya yang tak lain adalah kakeknya Alen towsar, ayah dari sang bunda. Kekayaanya yang melimpah dan tak akan habis tujuh turunan, membuat semua kerabat dekatnya ingin menguasai hartanya.Semua mata tertuju ke arah opa yang berdiri di depan pintu masuk rumahnya. Setelan jas hitam membuat auranya terlihat begitu wibawa."Arga, ini sudah jam 8 malam. Coba kamu bujuk opa supaya mau melangsungkan acaranya," bisik Ana, mama Arga yang merupakan kakak angkat dari Elena towsar.Arga menoleh dan bergegas menghampiri."Opa? Ini sudah jam 8 lewa
"Alen Towsar yang akan memimpinnya," ucap Opa yang membuat mereka semua terkejut mendengarnya.Termasuk Alen. Ia tak menyangka jika sang kakek memberikan jabatan itu kepadanya.Naya menoleh ke arah Alen yang terlihat biasa saja setelah mendengar kabar baik itu."Apa dia tidak suka mendapatkan semua itu?" tanya batin Naya menunduk saat Alen menoleh ke arahnya.*****Semua terdiam dan hening di ruang makan yang di hadiri seluruh keluarga towsar.Alen terdiam seraya menopangkan kedua tangan di dada. Dia sudah mengira kalo ini semua akan terjadi pada keluarga towsar."Ini semua sudah menjadi keputusan opa! Kalo kalian tidak setuju, kalian bisa angkat kaki dari keluarga ini!" ucap opa dengan tegas.Semua terdiam dan tak berani membantah. Mereka sadar diri dengan posisi di keluarga Towsar. Dan memang hanya Alen satu-satunya keturunan asli dari sang opa.Alen memicing menatap seluruh keluarganya yang terlihat tak suka dengan di