Beberapa hari kemudian, suara burung berkicau di pohon menyejukkan suasana pagi hari ini.
Laura yang baru bangun dan beranjak dari tempat tidurnya ia menggeliatkan kedua tangannya. Lalu keluar kamar untuk memastikan keadaan ayahnya yang sudah pulang dari rumah sakit beharap keadaannya semakin membaik. Baru saja dia berjalan menuruni tangga, terlihat ayah dan ibunya sedang bersama sang kaka berbicara santai namun terlihat sangat serius. "Jaga dirimu baik-baik selama di Prancis nanti nak, ibu ingin melihat mu menang di acara penghargaan aktris terbaik nanti," Imbuh nyonya Widia menatap lembut penuh kebanggaan pada Larisa. Larisa yang sedang mengemas beberapa barang ke kopernya, hanya mengangguk patuh. "Ibu dan ayah tenang saja, pokoknya aku akan membawa kabar baik untuk kalian, oleh-oleh apa yang kalian inginkan setelah nanti aku pulang?" Tanya Larisa terdengar begitu manja. "Ayah tidak ingin apa-apa pulang lah dengan selamat nanti," sambung Tuan Bastian tersenyum, kata-katanya penuh restu saat mendukung karier putri sulungnya. Laura masih mematung di sudut tangga, pupil mata indahnya terlihat memerah menahan tangis, sesekali ia mengigit bibirnya menahan rasa sakit hati. Karena melihat sikap kedua orang tuanya yang tampak jelas berbeda padanya dan sang Kaka. Sekilas Laura dejavu, di mana saat Kecil mereka dulu. Larisa yang lebih cantik dan lebih pintar darinya selalu mengambil perhatian besar. Bahkan selalu di bangga-banggakan oleh orang tua mereka, sempat ada satu moment di mana dia memperlihatkan hasil wisudanya tidak pernah di gubris sekali pun. Malah memprioritaskan memilih satu agency terbaik untuk Larisa. "Apakah karena Kaka lebih cantik, lebih pintar dan lebih membanggakan? Sampai mereka tidak pernah mengganggap ku ada?" Beberapa pertanyaan menyeruak dalam batin Laura. Perih dan sakit menyelimuti hati Laura, namun apalah daya sebagai putri terkecil dia tidak mempunyai kemampuan untuk merubah semua keadaan yang membelenggunya saat ini. "Tuan, tidak usah khawatir. Putri saya sudah setuju dengan pernikahan ini jadi kami akan menyiapkan pesta pernikahan yang mewah dan megah untuk kedua anak kita." Suara bariton sang ayah membuyarkan lamunan Laura. Jantungnya berdegup sangat kencang. Perasaan gelisah ketika ayahnya begitu bersemangat untuk membahas pernikahan itu. Membuat dia semakin sedih, lalu memutuskan kembali ke kamarnya dengan langkah kaki yang pelan hampir tak terdengar. Namun Larisa yang sudah melihat, segera memanggil. "Adik, kamu sudah bangun?" Langkah Laura terhenti, ia menarik nafas dalam-dalam lalu perlahan memutar badan dan memancarkan senyum manis, untuk menutupi rasa sedih saat melihat moment hangat mereka. "Kakak, iya aku baru bangun. Bagaimana kondisi ayah apa sudah membaik?" Tanya Laura berusaha melupakan yang telah dia lihat tadi lalu menghampiri dan ikut bergabung di ruang keluarga. Tuan Bastian yang baru saja selesai menutup pembicaraan dengan calon besannya perlahan membalikan badan menatap serius pada Laura. "Ayah sudah membaik, ingat Laura. Kamu harus bersiap karena pesta pernikahan akan di langsungkan beberapa hari lagi." "Setelah resmi menikah, jadilah istri dan menantu yang baik di sana. Jangan membuat keluarga kita malu." Laura mengangguk, wajah manisnya terlihat pasrah saat kedua orang tuanya mewanti-wanti, karena percuma juga beradu argument apa lagi jika sampai membahayakan kondisi penyakit jantung ayahnya. "I-iya ayah, ibu. Aku tahu.." Laura tersenyum getir, mata indahnya berkaca-kaca. Berusaha menerima apa yang sudah di putuskan demi kebaikan keluarga. "Bagus! Ibu pegang kata-kata mu." "Jika dia berani merubah keputusan, lebih baik ayah dan ibu usir saja dari rumah," Usul Larisa memutar kedua bola mata malas, seraya mengukir senyum sinis di wajah oval-nya. Kedua paruh baya itu setuju, Laura hanya menghela nafas berat. Saat mendengar perkataan kakaknya yang selalu bersikap semena-mena. Tak ingin membuang waktu lagi, Larisa yang memiliki jadwal sebuah acara penting. kini wanita berprofesi sebagai aktris itu pun bergegas pamit. Tuan Bastian dan Nyonya Widia, mengantarkan Larisa ke depan rumah dan membantu membawa beberapa barangnya. Namun ketika mereka membuka pintu rumah di kejutkan oleh seorang pria berjas hitam dan beberapa rekannya yang baru saja akan menekan bel. "Selamat siang, apakah ini rumah tuan Bastian?" Sapa pria itu melontarkan satu pertanyaan dengan tubuh setengah membungkuk penuh rasa hormat. Kedua paruh baya itu dan Larisa pun saling menatap dengan kening yang berkerut penuh keheranan, Laura yang berada di belakang hanya bisa mendengar suara samar-samar di depannya. Tanpa ragu tuan Bastian membenarkan dan mengklaim, jika dia memang pemilik rumah dan orang yang di cari lalu dia berbalik tanya pada pria itu apa maksud dan tujuan mereka. Sebagai seorang utusan tuan Handoko sekaligus asisten kepercayaannya putra sulung sang konglomerat nomor satu, dia mulai menjelaskan jika kedatangan mereka hanya untuk mengantarkan beberapa mahar pernikahan yang sudah di janjikan untuk mempelai pengantin wanita. Kedua bola mata Nyonya Widia dan Larisa terbelalak, saat melihat para pengawal yang berjajar sangat banyak kurang lebih berjumlah dua puluh orang membawa satu kotak berwarna merah yang berisi beberapa emas berupa batang dan koin, serta barang-barang wanita tas, sepatu dan beberapa gaun mewah dari brand terkenal dunia. Membuat ibu dan anak itu menelan ludah, sampai tatapan mereka berbinar-binar melihat semua barang berharga dan mewah yang ada di depan mata. "Bu, barang-barangnya mewah sekali aku mau," bisik Larisa menatap iba penuh harap. "Tenang, nak. Itu semua untuk mu," Kata Nyonya Widia memegang lengan Larisa. Larisa bernafas lega seraya memancarkan senyum penuh kemenangan, setelah ibunya menjamin jika barang-barang itu akan di simpan untuknya. Setelah melihat apa yang ada di kotak-kotak mewah, tuan Bastian tanpa sungkan menerima semua mengingat tadi hal ini sudah di bicarakan di telepon. "Tolong simpan semuanya di sana," Titahnya menunjuk ke arah meja. "Baik tuan." Para pengawal itu segera berjalan dan menata rapih semua Hadiah mas kawin yang sengaja di kirim oleh bos mereka lebih awal ke kediaman tuan Bastian. Setelah mereka pergi, Laura yang baru melihat begitu banyak kotak tersusun rapih di atas meja. Membuat ia menghampiri ibu dan kakaknya. "Bu, mereka siapa dan barang-barang itu apa?" Celetuk Laura dengan sikap polos dan rasa penasaran. Karena tadi tidak sempat melihat terhalang oleh mereka. Larisa melirik dan mendengus kesal, saat adiknya bertanya. "Kamu ini kepo sekali Laura, tidak ada urusan dengan mu sana pergi lebih baik buatkan aku jus mangga sebelum aku berangkat," Perintahnya. Laura tersentak, saat melihat tanggapan sang kakak. "Ma-maafkan aku ka, aku hanya bertanya saja. Kakak tidak perlu semarah itu." "Heh, sudah jangan banyak tanya lagi, apakah kamu tuli? Buatkan aku jus sekarang!" "Ba-baik ka," Laura menggelengkan kepala, sungguh terkadang dia tidak mengerti dengan sikap Larisa selalu kasar tanpa ada alasan yang jelas.Baru saja Laura mengusap layar ponsel mewah milik Dave, karena rasa penasarannya begitu besar, ingin tahu selama kepergiannya apa benar dia setia dan masih menunggunya kembali. "Ma—mas Dave, maaf jika aku lancang," Gumam kembali fokus pada layar persegi canggih itu. Belum sempat terbuka pola kunci layarnya. Tiba-tiba saja ada bi Ira mengetuk pintu membuatnya kaget, dan segera kembali. Bi Ira terus masih setia berdiri dan mengetuk pintu, memanggil penuh hormat. Laura pun memastikan lebih dulu. "Siapa?" "Ini bibi nyonya, maaf menganggu. Tapi tadi bibi baru saja mengunci gerbang depan. Tapi ada seorang pria muda penampilannya juga keren, dia bilang mau ketemu dengan nyonya," Jelas Bi Ira. Kedua bola mata sipit Laura melebar,dia sangat yakin jika itu adalah orangnya Dave, yang mungkin akan mengambilnya. Tanpa membuang waktu lagi ia segera beranjak dan membuka pintu. Terlihat bi Ira yang terlihat gelisah, dia meminta maaf karena sudah mengganggu waktu istirahat sang nyonya. T
"Ayah, aku tidak ingin jika sampai Laura masih hidup, jangan ada Dave nanti malah kembali padanya," Protes Larisa kesal.Bastian beranjak dari tempat duduknya, lalu berusaha menenangkan putri kesayangannya. "Larisa, tentu saja ayah tidak akan membiarkan Laura bersama Dave lagi, setelah kita mengambil tanda tangannya, baru kita habisi Laura, seperti Erik," Jelas Bastian mengeram. Larisa terdiam, dia baru mengerti rencana sang ayah, yang memanfaatkan Laura terlebih dahulu sebelum menghabisinya jika memang benar masih hidup. Tak ingin putrinya tantrum lebih dulu, Bastian kini menyuruh Larisa agar beristirahat yang tenang karena orang yang selalu mengancamnya kita sudah dia singkirkan. "Larisa! Sebaiknya beberapa minggu ini kamu jangan banyak nongkrong di luar, ayah tidak ingin jika sampai kamu di curigai," Bastian mengingatkan. "Baik ayah, terima kasih. Karena ayah sudah membantu aku terlepas dari pria brengsek itu!" Peluk Larisa. Ketika Bastian sedang berbicara serius dengan putrin
Laura berjalan mengikuti Dave dari belakang, sampai mereka tiba di depan rumah. Suasana di antara mereka terasa sangat canggung."Apa yang ingin tuan katakan pada ku? Kenapa harus di luar," Laura memulai topik pembicaraan di antara mereka berdua. Dave memutar badan, bukannya menjawab Laura. Malah dia bertanya kenapa tadi Laura sampai tidak masuk ke dalam ruangannya dan lebih memilih pergi. Laura terdiam, sebenarnya dia tidak ingin berpendapat tentang masalah pribadi Dave, akan tetapi agar tidak salah paham terpaksa menjelaskan jika ia tidak ingin menganggu keberadaan sepasang kekasih yang sedang asyik berdua. Mendengar jawaban konyol Laura, Dave tak habis pikir. jika desainer yang selalu di banggakan oleh sahabatnya itu malah bersikap tidak profesional. Dan satu lagi ia lebih suka tadi Laura masuk tanpa menghiraukan Larisa."Aku takut nanti pacar tuan marah, kalau ada orang masuk di saat kalian bersama.""Sudah ku bilang, Larisa adalah Kaka dari istri ku. Dia hanya Kaka ipar tidak
"Tapi mommy, aku sangat penasaran apakah tentang Dady sepelti paman tampan ini, baik dan juga hebat?" Pertanyaan Gavin membuat Dave yangsedang fokus menyetir pun terlihat sangat gugup, sampai telinganya memerah. Bahkan sampai reflek menginjak rem mendadak. Ckiiit...Laura terkejut, saat mobil yang mereka tumpangi hampir saja menerobos pohon, sampai Gavin menjerit ketakutan. "Aaakh, mommy. Aku takut..." Rengek Gavin memeluk erat. Laura memberanikan diri melirik ke samping. "Tu—tuan ada apa? Kenapa anda tiba-tiba menghentikan mobilnya?"Dave terlihat kikuk, dia berusaha tetap tenang bersikap biasa. "Maaf tadi terlihat seperti ada kucing di depan jadi sedikit kaget," jawab Dave beralasan. "Benalkah paman? Aku Kila tadi paman kaget kalena ucapan ku?" Ledek Gavin dengan celotehnya. "Astaga Gavin, nak jangan bicara seperti itu ssstt, tuan Dave maafkan kelancangan putra saya," ungkap Laura terdengar pelan. Dave menarik nafas, lalu dia mengatakan jika itu bukanlah masalah untuknya. Tanp
"Tapi Oma, apa yang aku katakan itu benarkan? Keluarga kita tidak menerima tamu setelah jam enam sore," Merry berdalih, dengan hati yang di baluti rasa cemburu. Oma Nena sudah muak, saat menanggapi pembelaan Merry, dengan tegas mengatakan jika Merry tidak punya hak untuk mengatur kebijakan di rumahnya. Merry membeku, saat mendapatnya di tegur dan tidak di terima."Heh, baik Oma, padahal aku cucu mantu Oma, nona Airin hanya orang asing, Daniel ayo kita tidur nak," ajak Merry. "Baik mom, Gavin aku tidur dulu ya," pamit Daniel sembari melambaikan tangan mungilnya. "Okey Daniel, sampai ketemu besok," sahut Gavin membalas lambaian tangan sahabat baiknya. Dave berdecak kesal, saat melihat sikap Merry yang membuatnya sangat muak dan jijik, apa lagi setelah tadi saat mencoba untuk merayunya. "Nyonya besar, saya sudah menerima jamu anda dan tuan Dave. Sungguh bagu saya suatu kehormatan yang tidak akan bisa dia lupakan, tapi saya harus pulang sekarang," Laura pamit dan beranj
"Oma bicara apa sih aku tidak mengerti," Dave menggeleng tak habis pikir. "Iya siapa tahu mommy-nya Gavin single," seloroh Oma Nena sengaja menggoda cucunya. Gavin dengan spontan mengatakan jika mommy-nya memang benar apa yang di katakan. "Oma, mommy ku memang single parents," celetuk bocah kecil itu dengan nada lirih. Sampai membuat Dave dan Oma Nena terkejut, karena bagaimana bisa begitu kebetulan. Seorang pelayan pun akhirnya kembali dan memberitahukan. Dan di saat yang sama, Laura yang masih berdiri setia di depan pintu terlihat sangat gugup dan gelisah karena ini pertama kali menginjakkan kaki di kediaman Farmosa setelah enam tahun kembali. "Ya tuhan, semoga tidak ada yang mengenali aku di sini," batin Laura gugup. Seorang pelayan datang menghampiri, lalu mengatakan padanya jika dia di persilahkan untuk masuk. Laura terbuyar dari lamunannya, segera dia memutar badan dan kaget. "A—apa bi? Saya masuk? Tidak usah bi, saya buru-buru," Tolak Laura karena tidak ingin ada lama di