LOGINDemi menebus hutang sang ayah, Laura terpaksa menggantikan kakaknya sebagai mempelai. Ia dipersunting oleh Dave Alexander, pria yang digambarkan kejam dan buruk rupa—hingga keluarganya enggan menyerahkan Larisa, putri kesayangan mereka. Kini Laura harus menghadapi pernikahan yang sarat misteri dan ketidakpastian. Mampukah ia menjalankan takdir yang dipaksakan kepadanya?
View More"Ayah, Aku tidak ingin menikah dengan orang yang tidak aku kenal!"
Suara lembut namun terdengar gemetar dan tegas memecah keheningan di sudut ruang keluarga besar dan mewah, terlontar di bibir merah seorang gadis belia bernama Laura Moanna, wajah manisnya terlihat pucat matanya memerah menahan tangis. Sang ayah menatap dengan wajah datar dan mata yang dingin. "Ini sudah keputusan ayah, dan kamu tidak bisa mengubahnya kakak mu tidak bisa menikah, jadi kamu yang harus menggantikannya." Laura merasa seperti di hantam badai, perintah bernada penuh penekanan dan tak bisa di tawar itu membuatnya seketika terhuyung. "Tapi, ayah.. Kaka tidak bisa menikah karena dia mungkin sudah punya pilihan sendiri, tidak kah ayah bertanya aku setuju atau tidak? pernikahan hal yang sakral aku hanya ingin menikah dengan orang yang aku cintai." Darah tuan Bastian mendidih dan menggeram, saat mendengar protes dari putri keduanya, pria paruh baya itu pun menggelengkan kepala. "Ayah tidak peduli dengan cinta, yang penting nama keluarga dan kekayaan, kamu akan menikah dengan putra tertua keluarga Farmosa, karena hanya ini jalan satu-satunya agar kita tidak jatuh miskin!" Tak hanya nada bentakan sang ayah, kedua pasang mata sinis pun memindai ke arah Laura dengan ekspresi penuh amarah dari ibu dan kakaknya. "Laura! Apa yang di katakan oleh ayah itu benar, kamu harusnya berbakti pada kami," Sindir Nyonya Widia seraya berkacak pinggang. Laura masih mematung, kata-kata ayah dan ibunya seolah menjadi tamparan keras, bahkan di sidang keluarga dia sangat terpojok, akan tetapi di usia yang masih muda prinsipnya masih tetap ingin menggapai karier dan cita-citanya lebih dulu. "Maafkan aku ayah, ibu. Aku tidak ingin menikah sekarang dan aku janji akan berbakti pada kalian dengan cara ku sendiri, bekerja dengan giat agar bisa membantu keluarga kita." Laura mengangkat wajah dengan netra yang berkaca-kaca, helaan nafas panjang dan berat tersirat jelas ketika memberanikan diri menolak perintah. Alih-alih mendapatkan respon baik dari sang ayah, malah penolakan Laura semakin menyulut emosi. "Kau berani membangkang ayah.." Rahang tuan Bastian mengeras, belum sempat dia menuntaskan perkataan tiba-tiba saja tangannya memegang erat dada sebelah kiri. Bruk! Tiba-tiba saja tubuhnya limbung terjatuh di depan semua orang yang ada di sana. "Ayah!" Seketika, semua mata langsung terlihat cemas dan panik terutama Laura. Beberapa kali Laura berusaha memangil dan memegang tangan sang ayah untuk memastikan kondisinya. Namun tidak ada sahutan atau pun respon dari tuan Bastian. Larisa mendelik, lalu menepis kasar tangan adiknya. "Laura! ini semua gara-gara kamu, sekarang cepat telepon ambulans," Maki Larisa mengarahkan jari telunjuk ke arah telepon yang berada di meja samping, bahkan sampai mendorong kasar tubuh Laura. Laura nyaris terjatuh, gadis itu berusaha berdiri. Kakinya yang lemas berjalan dengan langkah tertatih. Kedua pupil mata indahnya tertuju ke pada benda komunikasi canggih yang ada di sudut ruangan, lalu mengangkat gagangnya dengan tangan yang gemetar. "Halo, pak. Tolong segera datang ke kompleks permai indah," Pinta Laura dengan nada serak parau di iringi isak tangis. "Tentu saja nona, kami akan segera ke sana." Kata sang petugas. *** Dua jam berlalu, setibanya di Pramedika Hospital. Semua para tenaga medis berpakaian seragam serba putih segera menghampiri dengan membawa brankar, lalu mereka membaringkan tuan Bastian untuk segera memberikan tindakan medis. Setelah berjalan setengah berlari menyusuri lobi gedung beraroma obat-obatan itu, akhirnya sampai di instalasi Gawat Darurat. Para suster di sana menutup pintu, dan meminta pihak keluarga agar tetap menunggu di luar. Meskipun Laura sempat ingin masuk,Tapi demi keselamatan nyawa ayahnya ia terpaksa harus sabar menunggu, rasa penyesalan dan gelisah semakin berkecambuk dalam hati. "Ayah!" Laura menatap nanar pintu ruangan yang penuh ketegangan di sana. Mengingat apa yang telah terjadi pada sang suami, Nyonya Widia semakin geram saat melihat sikap keras kepala putrinya. "Ini kan yang kamu inginkan Laura? Melihat penyakit ayah kambuh lagi? Atau kamu senang melihatnya sampai mati?" Pertanyaan ibunya membuat Laura terperanjat kaget, sampai menelan ludah beberapa kali lalu menggelengkan kepala. "Maafkan aku Bu, aku tidak bermaksud membuat ayah sakit lagi," Laura menyanggah dan berusaha membela diri. Kedua jemarinya meremas ujung dress. Menahan rasa sakit atas pertanyaan bernada tuduhan sang ibu. Sebagai seorang Kaka, Larisa bukannya menjadi penengah. Malah sengaja memprovokasi. Jika semua ini di sebabkan oleh Laura. Dia mengatakan saat ini kariernya baru saja naik sebagai aktris dan tidak baik jika harus menikah buru-buru. Berbeda dengan Laura, menurutnya lebih layak untuk berkorban demi keluarga. Apa lagi mengingat adiknya yang baru magang di sebuah perusahaan Fashion. "Gaji mu itu kecil Laura, tidak akan bisa membantu masalah ayah. Jadi lebih baik kamu terima perintahnya," Bentak Larisa menunjuk-nunjuk kecil dahi Laura. "Benar, yang di katakan Kaka mu. Jika kamu tidak mau, rasanya ibu sangat menyesal telah melahirkan putri egois seperti mu." Sambung Nyonya Widia. Laura masih bergeming, saat menerima cacian dan makian ibu dan kakaknya dengan kata-kata pedas bak belati tajam menusuk ke dalam hati. Membuat ia menghela nafas berat dan sesekali memejamkan mata dengan wajah yang tertunduk. Ketika mereka tengah berbicara serius, terlihat seorang pria berjas hitam menghampiri dengan raut wajah penuh kebingungan. Sebagai orang kepercayaan tuan Bastian, lelaki bernama Haris itu memberanikan diri menyampaikan berita darurat, jika saat ini semua karyawan tengah berdemo menuntut upah mereka yang masih belum di bayar dua bulan ini. Jantung nyonya Widia seperti berhenti berdetak, kepalanya terasa nyeri dan pusing sampai dia hampir terjatuh. Dengan sigap Larisa segera menahan ibunya. "Ibu..ibu tidak apa-apa?" Nyonya Widia menggelengkan kepala, seraya memijat kening. Dia semakin kalang kabut atas apa yang menimpa perusahaan sang suami yang hampir kolep. Tak ingin membuat istri bosnya marah, Haris pun segera undur diri setelah menyampaikan berita penting itu. "Laura, kamu dengar itu nak? tidak kah kamu ingin membantu ayah dan ibu?" Nyonya Widia tak henti-hentinya mengingatkan dan terus menekan. Laura mengigit bibir atasnya, hatinya tak karuan saat melihat kondisi dan mendengar berita buruk perusahaan properti ayahnya yang di bangun dari nol saat ini tengah berada di ujung tanduk. "Ya tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku masih ingin mengejar impian ku sebagai seorang desainer, tapi aku juga tidak ingin jika sampai ayah sakit dan putus asa dengan keadaan keluarga kami yang sekarang." Laura benar-benar tertekan di saat ibu dan kakaknya terus menyudutkan dirinya. "Jika sampai terjadi apa-apa pada ayah maka ini salah mu Laura!" Bentak Larisa menatap nyalang penuh emosi.Baru saja Laura akan duduk, saat ia berjalan tak sengaja tersandung. Hingga membuatnya terjatuh ke atas pangkuan Dave, rambut wig yang dia kenakan pun terjatuh. Membuat dia sangat terkejut. "Laura!" Dave terkejut, sungguh dia sangat tidak percaya saat melihat wanita yang selama ini dia rindukan ternyata ada di depan matanya. Laura tertegun, mereka berdua saling menatap satu sama lain dengan kedua bola mata berkaca-kaca. Tak bisa lagi mengelak saat Dave melihat semuanya. "Laura! Ini beneran kamu sayang?" Dave tersenyum getir, dia menyangkup dagu lancip istri tercinta. "Mas Dave, a—aku..." Belum sempat Laura menuntaskan perkatannya. Dave memeluk erat istrinya, dia melepas rindu. Laura tidak bisa membohongi perasaannya sendiri, dia pun tidak peduli lagi tentang apa pun. "Mas Dave, maafkan aku," Sesal Laura.Perlahan Dave mengecup dahi Laura, mereka saling menatap satu sama lain dengan tatapan yang sangat dalam. Laura segera beranjak. Dave masih menunggu apa yang sebenarnya terjadi.
"Akhirnya mas Dave, sudah melihat video itu pasti dia sudah sangat membenci Laura," Larisa menyeringai puas, saat mendapatkan satu pesan dari orang kepercayaannya. Widia yang baru saja selesai menyajikan makan siang, ia tak sengaja melihat putrinya, segera dia menghampiri. "Larisa, kamu kenapa nak senyum-senyum sendiri?" Tanya Widia penasaran sembari menepuk bahu putrinya. Larisa terhenyak kaget, saat z sang ibu yang tiba-tiba saja berada di belakangnya. "Astaga ibu, kena Deepa bikin Ku kaget," Larisa menggerutu kesal. Sampai bibirnya mengerucut. "Ibu cuma mau kasih tahu kalau makan siang 3eeLarisa tahu betul, jika ibunya tidak e hal yang di tutupi darinya, sampai ia tidak w pilihan lain lagi selain menceritakan semuanya tentang dia yang sudah merekayasa sebuah video mirip Laura sedang bermesraan bersama pria lain. Kedua bola mata Widia berbinar, dia sangat senang. Karena langkah awal yang dia sarankan sudah di lakukan oleh putrinya. "Wah itu bagus Larisa, setelah Dave benci Lau
Rio memperlihatkan video rekaman di mana Erik dan seorang wanita yang tak cukup jelas sedang mengintai dari jauh ke arah Erland, saat mereka dulu sedang melakukan jumpa fans. "Kau sudah tahu siapa mereka?" Dave memastikan pada Rio, dengan nada menekan, dan tidak mau tahu jawabnya harus Jelas. Setelah Rio mengawasi, dia baru ingat jika Erik adalah seorang mantan aktor yang baru saja meninggal beberapa waktu Lalu, dia juga baru ingat jika di dalam berita kematian sang mendadak dan cukup misterius. Dave terdiam sejenak, dia berusaha berpikir karena pria itu sangat tidak asing untuknya. "Kau telisik lebih jauh lagi akun media sosialnya," Titah Dave tak mau di bantah. "Ba—baik tuan," Rio di saat itu juga mencari akun Erik, yang untungnya masih ada, dan hal yang membuat dia terkejut saat mendapati foto mesra dengan Larisa. Kedua alis tebal Dave menyatu, saat melihat Rio terlihat sangat terkejut dan seperti syok sekali. "Kenapa kau seperti itu?" Rio terhenyak, lalu dia memperlihatkan a
Laura akhirnya selesai mengemas beberapa barangnya, Irish pun yang dari tadi sudah membantu baru saja akan memesan taxi online. Namun tiba-tiba saja Deril datang, dan sengaja menawarkan diri untuk mengantar mereka pulang. "Nona Irish, dan Airin, kebetulan aku bawa mobil kalian bisa ikut," Ucap Deril sengaja menghampiri. Irish dan Laura terkejut, karena tiba-tiba saja Deril ada di sana. "Kamu, ko bisa ada di sini?" Irish menatap keheranan. "Kebetulan aku jadi investor di rumah sakit ini, jadi sekalian aja aku ajak kalian pulang," Deril memberi penjelasan. Awalnya Laura ingin menolak, tapi entah kenapa Irish merasa tidak tega pada Deril yang sudah berniat baik. "Laura, gimana kalau kita terima niat baik tuan Deril? Lagian pake mobil pribadi lebih nyaman. Kalau pake taxi harus nunggu lama," Irish berusaha membujuk. Laura tidak punya pilihan lain lagi, hingga akhirnya dia hanya menuruti keinginan jagoan kecilnya dan sang sahabat. Gavin yang baru saja keluar dari toilet bersama peng
Beberapa hari kemudian, Laura yang sudah berkemas akan pulang dia di bantu jagoan kecilnya, terlihat sangat semangat. Namun mereka di kejutkan oleh kedatangan kedua pria berjas hitam membawa paper bag besar yang sudah di kirimkan oleh Dave, untuk Gavin. "Selamat pagi," ucap salah satu pria itu. Laura dan putranya saling menatap penuh keheranan, lalu ia mencecar sebuah pertanyaan penuh waspada. "Kalian siapa?" "Maaf nona jika kami telah menganggu anda, kami hanya ingin mengantarkan hadiah ini dari tuan untuk putra Nona," Jelas salah satu itu sembari menyodorkan. Gavin menatap dengan wajah mendongak, dia baru ingat jika paman tampan pamannya itu sudah janji akan memberikan banyak permen padanya. "Woah, ini pasti dari paman tampan mommy, sini kasih ke aku om-om," Pinta Gavin terlihat sudah tak sabar. Pria itu segera memberikan kedua paper bag berukuran besar itu, bocah kecil itu terlihat sangat antusias dan senang karena apa yang di janjikan sudah di penuhi. "Waw, lihat mommy. Per
"Tante kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" Laura melontar balik pertanyaan sampai dia tersedak. Nyonya Rosa menjadi canggung, rasanya dia tidak enak hati jika harus mengatakan jika Billy, sudah cukup mencari calon istri. "Ah, tidak apa. Kamu tidak baik nak kalau single terus, biar ada yang jagain kamu dan Gavin," Nyonya Rosa mengutarakan pendapatnya. Laura terdiam sejenak, jemarinya meramas erat selimut, sampa tangannya berkeringat dingin. Dia mengatakan jika saat ini dirinya hanya fokus pada pekerjaannya dan Gavin saja. Nyonya Rosa melihat jelas, seperti ada keraguan dalam diri Laura untuk membangun hubungan baru dengan seorang pria. "Sepertinya bukan waktu yang tepat untuk mendekatkan Laura dan Bily, aku harus sedikit memberi waktu. Billy tidak ingin ibunya membuat Laura tidak nyaman, dia segera masuk ke dalam dan mengajaknya pulang. " Ibu, ini sudah malam, Laura perlu istirahat gimana kalau aku antar ibu pulang duku ya," ajak Billy mengedipkan sebelah mata pada












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments