Laura terduduk lemas di kursi tunggu ia menutup wajah dengan kedua tangan mungilnya, hati dan pikirannya saat ini seolah tengah berperang hebat.
Dia sangat dilema, antara impian dan baktinya pada kedua orang tua. Kedua hal itu saat ini membayangi isi kepala. "Apa yang harus aku lakukan?" Tanyanya dalam hati penuh kebingungan dan kegelisahan. Sementara Larisa dan ibunya duduk di sebrang, sebagai putri pertama yang selalu di manja oleh kedua orang tuanya membuat Larisa tak bosan mengingatkan. "Bu, ibu harus membujuk Laura bagaimana pun caranya. Aku tidak mau jika kita sampai jatuh miskin. Bisa-bisa karier ku terancam juga," Larisa menggerutu sembari menatap nyalang ke arah Laura yang ada di depannya. Widia memegang erat tangan Larisa, wanita paruh baya itu pun meyakinkan. "Larisa, kamu tenang saja nak, ibu tidak akan membiarkan putri membanggakan seperti mu, menghabiskan waktu untuk menikahi pria yang berwajah cacat dan kejam biarkan Laura saja," Bisik Widia mengusap lembut rambut panjang putri kesayangannya itu. Larisa memancarkan senyum licik, hatinya merasa tenang. "Makasih Bu, ibu memang ibu terbaik," Larisa merangkul dan memeluk erat ibunya. Laura menatap nanar pemandangan pahit, saat ibunya memeluk penuh ketulusan pada sang kakak. Bohong jika dia tidak cemburu karena selama ini dia tidak pernah merasakannya. "Ibu dan ayah sangat menyayangi Ka Larisa, kenapa aku tidak pernah mendapatkan pelukan seperti itu?" Batin Laura bertanya-tanya. Tapi Laura berusaha menepis semua pemikiran negatif. "Ayah dan ibu juga sangat menyayangi ku," tegas Laura mengepalkan kedua tangan dan berusaha menghibur diri sendiri. Suara pintu terbuka membuyarkan lamunan Laura, terlihat seorang pria berjas putih baru keluar ruangan IGD. Membuatnya segera beranjak lalu menghampiri. "Dokter, bagaimana kondisi ayah?" "Suami ku kondisinya bagaimana Dok?" Dokter Harun menghela nafas sejenak, perlahan dia melepaskan kaca mata putihnya lalu menjawab pertanyaan yang di lontarkan oleh Laura dan nyonya Widia. "Pasien mengalami serangan jantung ringan beruntung segera di bawa ke sini, jadi kami masih bisa menanganinya, tapi.." Ujar sang Dokter yang terjeda sejenak. Laura, ibu dan kakaknya menghela nafas lega. Akan tetapi melihat raut wajah sang Dokter terlihat begitu serius membuat kening Laura berkerut. "Ta-tapi kenapa Dokter?" Laura meminta Dokter Harun untuk memperjelas perkataannya. "Jangan sampai pasien marah atau syok berat karena mungkin akibatnya akan lebih fatal dan kami tidak bisa menjamin keselamatannya," imbuh Dokter Harun dengan nada tegas. Lalu dia pergi setelah memberikan penjelasan. Laura terdiam dan mencerna semua peringatan Dokter Harun, ibu dan kakaknya lebih dulu masuk ke dalam ruangan memastikan keadaan sang ayah. "Untung ayah selamat, aku tidak boleh membuatnya marah dan kaget lagi," Laura berjanji pada dirinya sendiri. Suara langkah kaki pelannya mulai memasuki dan menggema di ruangan di mana tuan Bastian kini tengah terbaring tak berdaya, beberapa alat medis terlihat menghiasi tubuhnya. Terutama alat Elektro kardiogram, terlihat tak stabil. Membuat Laura sangat sedih. "Ayah!" Tuan Bastian perlahan membuka kedua bola matanya, saat mendengar suara Laura. Ingin sekali dia berbicara namun mulutnya terhalang oleh alat bantu pernapasan. Laura menggelengkan kepala, ia menatap nanar wajah tua sang ayah dengan penuh rasa penyesalan. "Ayah jangan banyak bergerak dulu, maafkan aku, aku sangat menyesal." Ungkap Laura meremas kedua jemari dengan wajah yang tertunduk. Baru saja nyonya Widia ingin menegur Laura, karena sudah berani berdebat dan membangkang perintah suaminya. Tiba-tiba saja terdengar suara ponsel tuan Bastian yang terus saja berdering, membuat kebisingan di sana. Karena kesal nyonya Widia segera meraih benda pipih persegi canggih itu lalu membuka dan membaca pesan yang membuatnya sangat terkejut. "Ibu, ada apa?" Tanya Larisa penasaran, saat melihat raut wajah ibunya yang berubah menjadi muram. Nyonya Widia memperlihatkan pesan chat dari tuan Handoko, yang bernada peringatan jika pernikahan kedua putra mereka tinggal menghitung hari dan harus benar-benar di langsungkan sesuai yang sudah di sepakati, jika tidak semua aset dan rumahnya akan di sita sebagai pelunas hutang tuan Bastian yang sudah menumpuk pada mereka. Larisa sangat cemas, dia tidak ingin Jika sampai jatuh miskin. Ia menoleh dan membidik ke arah Laura. "Kamu lihat Laura, ayah sangat tertekan. Selain para karyawan yang demo sekarang koleganya menekan tidak kah kamu merasa kasihan?" Satu pertanyaan Larisa membuat Laura semakin terpojok, di tambah nyonya Widia yang semakin menatap tajam membuat gadis yang baru berusia dua puluh tiga tahunan itu pun memejamkan kedua pelupuk matanya. "A-aku bersedia menikah selama itu membuat ayah sembuh dan terbaik untuk keluarga kita," Laura setuju, suaranya terdengar gemetar. Meskipun hatinya berat. Entah sosok pria macam apa yang akan menjadi suaminya nanti, yang jelas kesembuhan sang ayah adalah prioritas utama yang lebih penting dari segala-galanya untuk saat ini. Kedua bola mata Nyonya Widia dan Larisa membeliak, senyum sinis penuh kepuasan terjerat jelas di raut wajah keduanya. "Nah, begitu dong. Harusnya kamu dari tadi setuju tidak harus berdebat dengan ayah dulu, ibu sangat bangga pada mu nak," Imbuh Widia mendaratkan tangan tepat di bahu putri bungsunya. Laura hanya mengangguk patuh dia menatap sang ayah, terlihat tuan Bastian yang tengah terbaring bernafas lega. Begitu juga dengan Larisa, hatinya sangat lega setelah sang adik mau patuh atas keputusan mereka. "Ingat Laura, kamu jangan sampai berubah pikiran lagi. Kalau tidak mau keluarga kita hancur dan jadi gembel. Lagi pula menjadi ibu rumah tangga sangat cocok untuk mu," Ledek Larisa menatap remeh Laura sembari melipat kedua tangan di dada dengan penuh kesombongan. Laura tidak ingin menyanggah lagi, karena dia tidak ingin ayahnya sakit yang nanti akan menjadi penyesalan dalam hidupnya. *** Sementara di kediaman tuan Handoko (Farmosa Family) terlihat seorang pria pria berdiri di atas balkon kamar besar dalam suasana gelap yang hanya di terangi cahaya bulan. Langkah kaki besar pria paruh baya yang di kenal sebagai konglo merat nomor satu di seluruh kota, mendekati putra sulungnya yang saat ini tengah berdiri membelakanginya. "Dave! sebentar lagi pernikahan kalian akan segera di langsungkan. Ayah harap kamu segera memberikan keturunan." Tuan Handoko tak pernah absen untuk mengingatkan putra tertua dari ketiga saudara itu, mengingat begitu banyak isu liar yang beredar di circle bisnisnya atau pun di dunia Maya. Jika setelah mengalami kecelakaan itu putranya sangat jarang mengandeng seorang wanita ke setiap acara formal perusahaan atau pun acara resmi lain. Lelaki yang bertubuh tinggi dan berbahu tegak itu hanya menjawab dengan sebuah deheman saja, sesekali terlihat menghembuskan asap filter rokoknya. Melihat sang putra yang diam membuat Tuan Handoko kesal. "Ingat Dave! jangan hanya karena satu wanita kau menghancurkan hidup mu!"Baru saja Laura mengusap layar ponsel mewah milik Dave, karena rasa penasarannya begitu besar, ingin tahu selama kepergiannya apa benar dia setia dan masih menunggunya kembali. "Ma—mas Dave, maaf jika aku lancang," Gumam kembali fokus pada layar persegi canggih itu. Belum sempat terbuka pola kunci layarnya. Tiba-tiba saja ada bi Ira mengetuk pintu membuatnya kaget, dan segera kembali. Bi Ira terus masih setia berdiri dan mengetuk pintu, memanggil penuh hormat. Laura pun memastikan lebih dulu. "Siapa?" "Ini bibi nyonya, maaf menganggu. Tapi tadi bibi baru saja mengunci gerbang depan. Tapi ada seorang pria muda penampilannya juga keren, dia bilang mau ketemu dengan nyonya," Jelas Bi Ira. Kedua bola mata sipit Laura melebar,dia sangat yakin jika itu adalah orangnya Dave, yang mungkin akan mengambilnya. Tanpa membuang waktu lagi ia segera beranjak dan membuka pintu. Terlihat bi Ira yang terlihat gelisah, dia meminta maaf karena sudah mengganggu waktu istirahat sang nyonya. T
"Ayah, aku tidak ingin jika sampai Laura masih hidup, jangan ada Dave nanti malah kembali padanya," Protes Larisa kesal.Bastian beranjak dari tempat duduknya, lalu berusaha menenangkan putri kesayangannya. "Larisa, tentu saja ayah tidak akan membiarkan Laura bersama Dave lagi, setelah kita mengambil tanda tangannya, baru kita habisi Laura, seperti Erik," Jelas Bastian mengeram. Larisa terdiam, dia baru mengerti rencana sang ayah, yang memanfaatkan Laura terlebih dahulu sebelum menghabisinya jika memang benar masih hidup. Tak ingin putrinya tantrum lebih dulu, Bastian kini menyuruh Larisa agar beristirahat yang tenang karena orang yang selalu mengancamnya kita sudah dia singkirkan. "Larisa! Sebaiknya beberapa minggu ini kamu jangan banyak nongkrong di luar, ayah tidak ingin jika sampai kamu di curigai," Bastian mengingatkan. "Baik ayah, terima kasih. Karena ayah sudah membantu aku terlepas dari pria brengsek itu!" Peluk Larisa. Ketika Bastian sedang berbicara serius dengan putrin
Laura berjalan mengikuti Dave dari belakang, sampai mereka tiba di depan rumah. Suasana di antara mereka terasa sangat canggung."Apa yang ingin tuan katakan pada ku? Kenapa harus di luar," Laura memulai topik pembicaraan di antara mereka berdua. Dave memutar badan, bukannya menjawab Laura. Malah dia bertanya kenapa tadi Laura sampai tidak masuk ke dalam ruangannya dan lebih memilih pergi. Laura terdiam, sebenarnya dia tidak ingin berpendapat tentang masalah pribadi Dave, akan tetapi agar tidak salah paham terpaksa menjelaskan jika ia tidak ingin menganggu keberadaan sepasang kekasih yang sedang asyik berdua. Mendengar jawaban konyol Laura, Dave tak habis pikir. jika desainer yang selalu di banggakan oleh sahabatnya itu malah bersikap tidak profesional. Dan satu lagi ia lebih suka tadi Laura masuk tanpa menghiraukan Larisa."Aku takut nanti pacar tuan marah, kalau ada orang masuk di saat kalian bersama.""Sudah ku bilang, Larisa adalah Kaka dari istri ku. Dia hanya Kaka ipar tidak
"Tapi mommy, aku sangat penasaran apakah tentang Dady sepelti paman tampan ini, baik dan juga hebat?" Pertanyaan Gavin membuat Dave yangsedang fokus menyetir pun terlihat sangat gugup, sampai telinganya memerah. Bahkan sampai reflek menginjak rem mendadak. Ckiiit...Laura terkejut, saat mobil yang mereka tumpangi hampir saja menerobos pohon, sampai Gavin menjerit ketakutan. "Aaakh, mommy. Aku takut..." Rengek Gavin memeluk erat. Laura memberanikan diri melirik ke samping. "Tu—tuan ada apa? Kenapa anda tiba-tiba menghentikan mobilnya?"Dave terlihat kikuk, dia berusaha tetap tenang bersikap biasa. "Maaf tadi terlihat seperti ada kucing di depan jadi sedikit kaget," jawab Dave beralasan. "Benalkah paman? Aku Kila tadi paman kaget kalena ucapan ku?" Ledek Gavin dengan celotehnya. "Astaga Gavin, nak jangan bicara seperti itu ssstt, tuan Dave maafkan kelancangan putra saya," ungkap Laura terdengar pelan. Dave menarik nafas, lalu dia mengatakan jika itu bukanlah masalah untuknya. Tanp
"Tapi Oma, apa yang aku katakan itu benarkan? Keluarga kita tidak menerima tamu setelah jam enam sore," Merry berdalih, dengan hati yang di baluti rasa cemburu. Oma Nena sudah muak, saat menanggapi pembelaan Merry, dengan tegas mengatakan jika Merry tidak punya hak untuk mengatur kebijakan di rumahnya. Merry membeku, saat mendapatnya di tegur dan tidak di terima."Heh, baik Oma, padahal aku cucu mantu Oma, nona Airin hanya orang asing, Daniel ayo kita tidur nak," ajak Merry. "Baik mom, Gavin aku tidur dulu ya," pamit Daniel sembari melambaikan tangan mungilnya. "Okey Daniel, sampai ketemu besok," sahut Gavin membalas lambaian tangan sahabat baiknya. Dave berdecak kesal, saat melihat sikap Merry yang membuatnya sangat muak dan jijik, apa lagi setelah tadi saat mencoba untuk merayunya. "Nyonya besar, saya sudah menerima jamu anda dan tuan Dave. Sungguh bagu saya suatu kehormatan yang tidak akan bisa dia lupakan, tapi saya harus pulang sekarang," Laura pamit dan beranj
"Oma bicara apa sih aku tidak mengerti," Dave menggeleng tak habis pikir. "Iya siapa tahu mommy-nya Gavin single," seloroh Oma Nena sengaja menggoda cucunya. Gavin dengan spontan mengatakan jika mommy-nya memang benar apa yang di katakan. "Oma, mommy ku memang single parents," celetuk bocah kecil itu dengan nada lirih. Sampai membuat Dave dan Oma Nena terkejut, karena bagaimana bisa begitu kebetulan. Seorang pelayan pun akhirnya kembali dan memberitahukan. Dan di saat yang sama, Laura yang masih berdiri setia di depan pintu terlihat sangat gugup dan gelisah karena ini pertama kali menginjakkan kaki di kediaman Farmosa setelah enam tahun kembali. "Ya tuhan, semoga tidak ada yang mengenali aku di sini," batin Laura gugup. Seorang pelayan datang menghampiri, lalu mengatakan padanya jika dia di persilahkan untuk masuk. Laura terbuyar dari lamunannya, segera dia memutar badan dan kaget. "A—apa bi? Saya masuk? Tidak usah bi, saya buru-buru," Tolak Laura karena tidak ingin ada lama di