"Hey, lihat siapa yang datang?!" "Waaahhh .... cantiknya ..." gumam pria muda menahan dagunya yang hampir terlepas begitu melihat sosok pendatang baru di kantor Ken. Semua mata tertuju pada sosok cantik idaman baru para pria di sana. "Halo, perkenalkan, nama saya Naira William. Saya di sini sebagai staff baru yang akan bergabung dengan tim di sini. Semoga kita bisa saling bekerja sama. Terima kasih," ucap Naira, tersenyum sopan memperkenalkan diri di hadapan beberapa staf bagian humas. Di ruangan itu terdapat tujuh pria dan enam wanita yang bekerja di mejanya masing-masing. Mereka memperhatikan penampilan Naira dari ujung kaki sampai kepala, dengan pakaiannya yang begitu modis, cukup membuat beberapa orang di sana takjub. Mereka juga tak menyangka jika di tim itu, ada sosok baru yang cukup menyegarkan mata ketika kantuk melanda. "Oke, silahkan duduk cantiiikkk ... kursi istimewa ini untukmu," ucap pria berdasi warna-warni menawarkan posisi meja yang kosong. Naira yang melihat a
Malam semakin larut, jam tangan Naira menunjukkan pukul sepuluh, setelah pekerjaannya selesai merevisi semua dokumen yang diberikan oleh Dominique, Naira bergegas pulang dengan langkah gontai menaiki sebuah taksi menuju apartemen Ken. "Kau darimana saja?" tanya Ken dengan nada suara dingin, begitu Naira tiba di apartemen. Ia menatap Naira yang terduduk di meja dapur, sedang meneguk air dingin. Rasa lelahnya bekerja di hari pertama membuatnya sedikit enggan berbicara. Namun, sosok di hadapannya tengah menatapnya serius seperti seorang ayah bertanya pada anak gadisnya. "Saya lelah bekerja, bisakah kau tak bertanya lagi 'saya darimana saja'?" pinta Naira, malas menjawab. Dengan Mata Naira yang layu, tak bertenaga, seperti lebih terasa dingin dari pertanyaan Ken. Dirinya bangkit menuju kamarnya, tanpa mengindahkan Ken yang masih duduk mematung menunggunya khawatir dari jam tujuh malam. 'Kenapa, dia?' batin Ken kebingungan, mengamati gelagat Naira yang berbeda. Tak semestinya Naira me
Hari itu, suasana kantor cukup tenang, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tumpukan berkas di tiap meja para staf, cukup mencuri waktu mereka untuk tak terdengar desas desus suara orang bergosip. Karena bulan itu, perusahaan Ken akan mulai merencanakan pameran besar-besaran untuk membuat kampanye lingkungan. Jeff, staf yang duduk bersebelahan dengan meja Naira, mulai mengirimkan kode-kode mengetuk meja, untuk memancing Naira yang tampak serius menyelesaikan sisa berkas tempo hari. Sementara dari arah ruangan yang terhalang kaca transparan, mata tajam sedang memantau keduanya. Tiba-tiba telepon di mejanya berdering, dengan cepat segera mengangkatnya. "Halo, dengan Dominique, ada yang bisa saya bantu?" "Tolong, kamu panggil karyawan barumu untuk menghadap ke ruangan saya sekarang." Suara dari ujung telepon, dengan nada yang terdengar datar. Mata Dominique langsung membulat, begitu tahu suara yang sedang meneleponnya. "Ba-baik, Pak! Tapi ... apakah sesuatu ini mendesak? Mengingat
Tanpa permisi, Andrew tiba-tiba muncul dari balik pintu. di susul Keisya dari belakang tubuhnya. Namun, sebelum Keisya ikut masuk, Andrew segera keluar dan menarik tangan Keisya untuk menjauh dan meminta kembali ke meja kerjanya. Keisya yang kebingungan, mempertanyakan dalam kebisuan kenapa dirinya tak boleh masuk ke ruangan bosnya. "Um ... kau mau mengirimkan berkas ini, kan?" tanya Andrew, tersenyum merebut map di tangan Keisya yang mengkerutkan kening. Ia hanya mengangguk cepat, tanpa berpikir lagi. "Oke, biar saya saja. Kebetulan ...ada rahasia antara saya dan Pak Ken, yang tak cocok untuk kamu dengar." bisiknya mengerlingkan satu matanya ke arah Keisya. "Ta-tapi, Tuan! Tu-tunggu!" Sergah Keisya menghentikan langkah Andrew. "No, no, no! Kau tunggu saja di meja kerjamu. Nanti berkasmu kau ambil sendiri setelah urusanku selesai. ya?" pinta Andrew merayu kembali agar Keisya tak perlu mengikutinya masuk ke ruangan Ken. Akhirnya, Keisya pun pasrah dan membiarkan Andrew masuk. Se
"Ehm." Ken berdehem di balik pintu setelah kepergian Andrew yang dipaksa keluar dari ruang kerja Ken. Langkahnya perlahan mendekat, berdiri di samping Naira yang terduduk membuang wajah ke arah lain. Ada banyak kalimat yang ingin Ken jelaskan pada Naira, namun, suaranya tiba-tiba tercekat. "Maaf," katanya. Hanya satu kata yang lolos dari bibirnya. Suasana di ruangan itu sejenak hening. Tak berselang lama dalam keheningan, tiba-tiba suara ponsel Ken berdering memunculkan nama kontak di layar, "Mama", mata Ken membesar, Jasmine meneleponnya saat itu. Tanpa berpikir panjang, Ken pun mengangkatnya, "Halo? Iya, Mam." "Mama dan Cath sebentar lagi menuju ruanganmu. Apakah kau sedang di kantor?" tanya Jasmine di ujung sambungan telepon. "A-apa?! Mama di kantorku?" tanya Ken terkejut, raut wajahnya yang baru saja sedikit tenang, kembali panik begitu tahu mama dan adiknya sebentar lagi masuk ruangannya. Otaknya segera menyadari ke
"Itu apa, Kak?" tanya Cath terkejut mendengar suara dari arah ruang ganti Ken. Ken yang sadar kehadiran Naira di dalam sana, lebih terkejut lagi dan panik. 'Aduh, jangan sampai ketahuan!' batin Ken berharap. Cath dan Jasmine yang langsung penasaran, segera melangkah cepat ke arah suara seperti benda terjatuh itu. Namun dengan langkah lebar Ken, langsung menghadang keduanya di depan pintu ruang ganti. Napasnya sedikit tercekat "Tu-tunggu! Mama dan Cath sebaiknya langsung pulang saja." "Lho, kenapa? Mama ingin tahu, di dalam ada apa. Jangan-jangan ada orang aneh yang menyelusup ke ruang kantormu." ucap Jasmine dengan ekspresi khawatirnya. "Oh, bu-bukan apa-apa, Mam! Ta-tadi itu ...sepertinya suara sepatu Ken yang terjatuh dari lemari." Ken berusaha menjelaskan. "Kakak kenapa gugup?" Cath mulai curiga mengamati gelagat Ken yang hari ini ia temui banyak keanehan. "Jangan-jangan benar lagi kata Mama, ada
Malam mulai marayap turun, melewati tirai jendela yang remang, pendar lampu-lampu menggantung tinggi menghiasi ruang keluarga yang megah. Berderet jenis makanan lezat yang menggugah selera, bersama beberapa jenis merk minuman anggur yang langka. Malam itu, keluarga Wilson merayakan ulang tahun Wilson yang ke-56. "Selamat ulang tahun, Papa kesayangan ..." ucap Cath memberikan kue ulang tahun ke hadapannya, tersenyum bahagia memeluk hangat Wilson, di susul Ken yang juga ikut memeluknya. "Selamat ulang tahun, Pap. Tetap jaga kesehatan dan perbanyak istirahat," Suara Ken terdengar hangat dan lembut. Wilson merangkul kedua anaknya sekaligus, menepuk punggung mereka dengan sayang. "Terima kasih, anak kebanggaan Papa ... Kalian memang selalu tahu cara membuat Papa merasa menjadi orang paling beruntung di dunia. Ucapan selamat dari anak-anak hebat seperti kalian... itu adalah kehormatan bagi Papa," Suaranya terdengar sedikit serak, dengan mata yang berkaca-kaca, ia tersenyum, menatap angg
Saat Ken tiba di balkon, serpihan pot pecah berserakan di sana. Matanya bergerak kesana kemari menyelidik tiap sudut ruangan sekitar tempat itu. Ia berharap, sedikit saja menemukan benda lain yang bisa jadi bukti siapa seseorang di atas tadi. Kakinya mulai melangkah lebar, berbalik cepat dan mulai mendekati kamarnya, membuka pelan knop pintu, lalu ia masuk dengan langkah hati-hati, mendekati siluet tubuh di balik selimut. Setelah menyingkapnya perlahan, Ken menghela napas lega. Naira tertidur lelap, bahkan belum sempat mengganti pakaiannya, dan sepatunya masih terpasang. Ken berusaha tidak terlalu.memikirkannya, mengingat terakhir kali ia ingat, Naira memang sedikit mabuk. Tanpa menunda, ia kembali keluar, mencari jejak sosok tadi sebelum terlalu jauh. Namun, usahanya sia-sia. Malam itu, ia benar-benar kehilangan jejaknya setelah memerikda seluruh sudut rumah. "Aku tak menemukan siapapun dilingkungan rumah ini, Pap," lapor Ken saat menghadap papanya. "Baiklah, Ken. Biarkan saja. N
Setelah sarapan selesai, William sibuk kembali merawat tanaman-tanamannya, dan mengerjakan pekerjaan lainnya. Setelah itu, ia beristirahat sejenak mengelap kaca matanya di sudut ruang tamunya, lalu memakaikannya kembali begitu menatap kalender yang terpasang di dinding. Lamat-lamat ia menghitung tanggal yang tertera dalam kalender satu bulan itu. "Huh! Dua minggu telah berlalu, aku belum menemukan pekerjaan apapun untuk mengisi waktuku selama masa pensiun," gumamnya lirih, menghela napas beratnya. Ia merenungi sulitnya mencari pekerjaan di usia segitu, apalagi memiliki riwayat sakit yang bisa kambuh kapan saja. Sementara, Naira yang sudah tidak bekerja di perusahaan Ken, hari itu ia hanya memantau beberapa laporan dari Irene, dan juga dari salah satu asistennya yang masih setia melaporkan perusahaan yang di kelola Antony di Indonesia. "Wait and see ...mari kita cek satu persatu," gumam Naira lirih, kembali ke kamarnya, menyalakan layar komp
Setelah kejadian gagalnya acara pertemuan dua keluarga Laura dan Ken, Jasmine hari itu tampak beberapa kali melihat ponselnya saat dapat panggilan telepon dan pesan dari Laura, memintanya untuk menemuinya di luar. Seperti teror di siang hari, dirinya merasa khawatir bercampur bingung menentukan sikapnya dan apa yang akan ia sampaikan pada Laura. Permintaan maafkah? Atau berpura-pura tidak tahu menahu, tapi mana mungkin? Laura yang malam itu menunjukkan sifat tempramennya di depan keluarga Wilson, sungguh membuatnya terkejut. Sedikitnya, dalam lubuk hatinya, ia merasa bersyukur acara pembahasan ulang pertunangan itu batal kembali. Karena ia akhirnya menyadari sikap dan sifat Laura memang benar-benar tak pantas untuk Ken. Kejadian akhir-akhir ini membuat perasaannya semakin kacau, apalagi sebelumnya tak sengaja mencuri dengar obrolan antara suaminya dan sahabat lamanya, William di paviliun. Jasmine hanya terkejut ketika tahu William ternyata suami Maladewi. Di man
Sekitar pukul sembilan pagi, Naira kembali ke apartemen miliknya. Sebelum berpisah dengan Ken, ia sudah mengabari papanya akan pulang. Ken juga mengizinkannya, dan mengantarnya sampai halte tempat Naira turun dekat apartemennya. Hal itu mereka lakukan untuk menghindari kecurigaan William. Ia menemui papanya yang tengah menyiapkan sarapan pagi di meja makan. Senyum hangat dan rasa rindu berhari-hari tidak bertemu, membuat William terlihat antusias menyambut kedatangan putrinya. "Selamat pagi, Nak. Ayo, sarapan dulu. Kau pasti lelah beberapa hari menangani masalah perusahaanmu itu," sapa William mempersilahkan Naira duduk di hadapannya. Naira pun menerima sambutan hangat papanya dengan senyum merekah dari bibirnya. Matanya berbinar menatap banyak makanan dengan asap yang masih mengepul. "Wah ...Ini terlihat lezat sekali," ucapnya, tak sabar ingin segera menyantap. Ia pun mengambil satu sendok olahan daging campur sayur dan dimasukkannya ke mulut dengan lahap mengunyahnya. "Um, yummy
Dahi Naira mengenyit, melirik sekilas ekspresi Ken yang juga tampak termangu mendengar John mengeja namanya dengan penekanan. Dengan sedikit rasa ingin tahu, Naira bertanya kepada pria paruh baya di hadapannya, "Maaf, apa Om sedang mengingat seseorang yang dikenal?" Tersadar dari keterdiamannya, John menjawab sedikit terbata, "A-ah ...ti-tidak! Mungkin hanya pikiran saya saja yang sedang melantur. Saya hanya teringat seseorang, tetapi nama William tentu bukan satu-satunya di negeri ini." Ia menambahkan tawa yang terdengar dipaksakan. Ken menimpali, berusaha menengahi suasana kikuk di antara mereka, "Sepertinya cafe kecil ini ramai sekali sampai membuatmu sedikit gugup saat mendengar nama yang hampir kau kenal." John mengangguk kecil, lalu tertawa, "Ah, ya, sepertinya begitu. Maklum, sudah kepala lima, hahaha ... seperti ayahmu saja. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarnya, Ken?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan. Ken membalas dengan sedikit menyindir, "Baik, baik sekali. Namun, se
Laura menggeser kasar kursinya hingga berderit. Ia keluar dengan langkah lebar dan wajah yang merah padam mendekati Naira secara berhadapan. "Kau?! Apa kau benar-benar istrinya Ken?" tanyanya dengan nada yang menekan dan suara napas yang menderu. Jantung Naira mencelos, napasnya sedikit tercekat. Ia berusaha menegakkan wajahnya memandang Laura yang menatapnya lekat dengan tatapan seolah hendak membunuh. Ia mengembuskan napasnya pelan, berusaha untuk menguasai dirinya. Jemarinya ia gerakkan, agar ketegangan sedikit mengendur dalam dirinya. "Ya, nona Laura!" jawabnya pelan dan suara sedikit bergetar. "Maaf, pertemuan pertama kita harus mengetahui kalau saya sudah jadi istrinya." Mendengar hal itu, darah Laura semakin mendidih. Kepalan tangannya yang erat, reflek menampar Naira, namun dengan kecepatan tangan Ken yang menahannya, tangan itu tak sampai mengenai pipinya begitu Naira reflek menghindar sambil memejamkan matanya. Sontak mata Jasmine melebar, di tambah tangan Cath yang menc
"Ken?" gumam Laura, terkejut dengan mulut terbuka. Kilatan matanya menangkap dua sosok di hadapannya. Semua mata tertuju pada kehadiran Ken dan Naira yang baru saja tiba dan menyapa semuanya. Dalam satu meja itu, hanya ekspresi Wilson yang terlihat biasa saja. Sementara Jasmine dan Cath, ikut terkejut dengan keberanian Ken menunjukkan istrinya di depan keluarga Laura. Ketakutan dan kegelisahan semakin menerpa keduanya. Di mana selama ini, Cath selalu menghubungi Laura dan mengatakan hal-hal tentang kakaknya yang masih mencintainya. Dan Jasmine, di hari sebelumnya yang menjanjikan pertemuan setelah mendapatkan hadiah dari Laura, kali itu membuatnya tak bisa berkutik dan tak berani menjelaskan keadaan sebenarnya. Sementara orangtua Laura sangat syok karena pertemuan itu memunculkan orang baru yang membuat benak mereka bertanya-tanya, "Siapa gadis itu?" "Apa-apaan ini, tuan Wilson?! Kenapa? Kenapa Ken membawa seorang perempuan lain, sementara kita akan membicarakan pertunangan anak ki
Orangtua dari pihak Laura baru saja tiba di depan rumah utama keluarga Wilson. Mereka disambut baik para pelayan yang sudah menunggunya di pelataran depan rumah. Jasmine dan Cath sudah berdiri di dalam, siap menyambut kedatangan keluarga Laura. Sementara Wilson masih di ruang kerjanya, ia masih menelepon seseorang dan terdengar pembicaraan serius. "Ya, ya, ya. Malam ini saya akan menemui putraku. Surat itu memang belum sempat kutanyakan padanya. Kau jangan terburu-buru. Karena ini bisa saja beresiko ke depannya," ucap Wilson dengan nada suara yang terdengar menenangkan, namun sedikit menyimpan kekhawatiran di dalamnya. "Kau percaya saja padaku, ini tak akan lama. Kalau begitu, saya tutup ya, panggilan ini. See You, Sir." Wilson mengakhiri sambungan telepon itu. Ia menghela napas berat. Garis kerut di dahinya menonjol, ia mengusap wajahnya kasar. "Ck. Ken ...Ken ...bagaimana ini?" gumamnya, sedikit mengurut keningnya, tampak khawatir. Matanya menyiratkan seolah tengah berpikir sesua
Ken menghampiri Naira yang bersembunyi di balik pilar, lalu dengan cepat menarik tangannya dan bergegas meninggalkan tempat itu. Sedikit terkejut, Naira hanya pasrah mengikuti langkah Ken menuju mobilnya. Ken membukakan dan mendudukannya di kursi penumpang, dan memakaikan sabuk pengamannya. Dengan langkah lebar, Ken segera memutar ke arah sisi pengemudi, dan duduk di kursinya. Ia melirik Naira yang masih terdiam dengan tatapan kosong ke depan. Perlahan, tangan Ken meraih tangannya dengan lembut, dan menggenggamnya sambil menundukkan wajah. "Maafkan aku, Sayang ..." gumam Ken lirih, suaranya terdengar berat. "Maaf, aku tak tahu jika dia berada di sana tadi. Dan menemukanku, sedikit jauh darimu." Mendengar permintaan maaf Ken, perasaan Naira yang campur aduk sedikit mereda. Ia pun meletakkan tangan satunya lagi di atas genggaman Ken. "Tak apa. aku ...hanya sedikit terkejut, mungkin aku sendiri yang terlalu kaku, mengingat hubunganmu dengannya terjalin cukup lama, jadi hal seperti itu b
"Kau di mana, Nak?" tanya William, dalam sambungan telepon dengan suara yang terdengar khawatir. "Um, maaf Pa, aku baru mengabarimu, aku ...sedang di rumah Irene. Aku sedang memiliki urusan pekerjaan dengannya, jadi maaf untuk beberapa hari aku tidak pulang dulu ya, Pa," "Kau sedang tidak bersama pria itu, kan?" tanyanya lagi membuat Naira sejenak termangu. Mata Naira melirik sekilas ke arah Ken yang sedang tersenyum di sebuah butik pakaian pria. "Ah, ti-tidak Pa, aku sudah lama tak menghubunginya," jawab Naira cepat, dengan jantung yang sedikit deg-degan. Sejenak hening, William tidak meresponnya. Suasana ruangan toko cukup tenang, membuat William di ujung sana tak begitu mencurigai keberadaannya. Saat itu Naira menelepon di samping ruang ganti pakaian. Sementara Ken berada di antara area rak pakaian dan sepatu. Ia masih fokus memilah-milah model sepatu sambil sesekali melirik Naira dengan tatapan lembut, tersenyum sambil melambaikan tangannya.