Malam itu, aroma tanah basah menyelimuti RS Sehat Sejahtera. Ken baru saja memarkir mobilnya, lalu melangkah cepat menuju ruang ICU tempat ayah mertuanya dirawat. Di lorong yang temaram, Naira dan Irene tampak duduk menunduk, terkantuk-kantuk. Ken melirik layar monitor kecil; suara bip ICU terdengar normal, namun rasa dingin menyusupi kulit siapa pun yang menunggu. Ken menghampiri Naira, lalu duduk perlahan di sampingnya agar tak membangunkannya. Ia meletakkan dua kantong makanan yang dibawanya dan melepaskan jaketnya, hendak menutupi punggung Naira yang hanya terbalut kemeja tipis. Rupanya Naira tersadar saat Ken sudah di sisinya. Lamat-lamat ia membuka mata, bergumam serak, "Ken?" Irene, yang juga di samping Naira, ikut terbangun dan menatap Ken. Keduanya pun meregangkan pinggang, bersandar di kursi besi. "Sayang, pakai ini. Kau kedinginan," bisik Ken lirih, memakaikan jaketnya ke tubuh Naira. Naira menerimanya. "Kalian pasti belum sempat makan malam. Ren, makanlah. Saya bawakan du
Ken bergegas meninggalkan kantor papanya, pikirannya dipenuhi kekacauan setelah mendengar kebenaran tentang ayah kandung Naira. Rapat yang Keisya ingatkan seolah luput dari perhatiannya, namun ia tahu harus kembali. Langkahnya cepat, dorongan untuk segera memberi tahu Naira membakar, tapi kenyataan William masih koma menamparnya. Terlalu riskan. Naira tak akan percaya jika bukan William sendiri yang berterus terang—ayahnya, setidaknya untuk saat ini. Setibanya di depan pintu ruang kerja, Keisya menghentikannya tiba-tiba, seketika langkahnya terhenti dan menoleh. "Ada apa Kei?" tanya Ken keheranan. Keisya tampak gelisah, jari-jarinya meremas map di tangannya, sorot matanya menatap ragu ke arah pintu ruang kerja Ken. Jelas ada sesuatu yang mengganjalnya."Pak, ma-maaf ...tadi ...saat Anda keluar, ada seseorang yang memaksa masuk dan ...menunggu di dalam," ucapnya lirih dan hati-hati. Satu alis Ken terangkat, melirik ke arah pintu ruangannya. "Siapa?" tanyanya penu
Naira masih duduk termenung di kursi besi rumah sakit, dinginnya menembus pakaian tipisnya. Siang itu, hujan kembali mengguyur kota, suara rintiknya berpadu dengan dengungan konstan peralatan medis di dalam. Suasana rumah sakit sibuk dengan para perawat yang bergegas lewat membawa buku pasien, dan suara derit kursi roda membawa pasien dengan berbagai riwayat terdengar melewatinya di depan. Tatapannya menoleh kembali ke arah ruang ICU (Intensive Care Unit) yang lengang dan sepi. Tampak di dalamnya sosok William terbaring lemah dengan semua selang infus dan peralatan medis lainnya yang terpasang di tubuhnya. Layar monitor pasien juga menampilkan tanda vital, garis-garis hijau yang berdenyut pelan, seolah menari di antara hidup dan mati. Tak berselang lama, suara ponselnya berdering menyadarkan lamunan Naira yang sendirian. Naira melihat layar ponsel, Irene meneleponnya. Ia pun mengangkatnya pelan, "Halo, Ren," "Nai, bagaimana keadaan papamu? Maaf sekali aku terlambat mengetahui, tad
"Halo, Ndrew, bagaimana hasilnya?" suara Ken terdengar renyah dari mode panggilan telepon, menggema di ruang kerjanya yang sunyi pagi itu. Ia menatap ke luar jendela, menanti jawaban."Ya, Ken. Mohon maaf, tadi pagi saya baru membacanya. Setengah jam lagi, stafku akan mengirimkan filenya via email langsung padamu," jawab Andrew di ujung sana, terdengar sedikit terburu-buru. "Baiklah, terima kasih," tutup Ken mengakhiri panggilan tersebut. Ia berjalan ke arah jendela, menatap pemandangan kota yang mulai sibuk. Tak lama, sosok Keisya masuk ke dalam ruangan, mengetuk pelan pintu sebelum masuk, lalu memberi hormat pada Ken."Pak Ken, Tuan Wilson ingin bertemu denganmu di kantornya. Tadi beliau meneleponmu, namun kau sepertinya tak mengangkatnya," lapor Keisya hati-hati, pandangannya sedikit waspada. Ken membalikkan tubuhnya menghadap Keisya dengan ekspresi wajah datar. "Katakan saja padanya, hari ini tak bisa menemuinya. Saya sedang sibuk," balasnya, kembali menghadap ke arah luar jend
Setibanya di rumah sakit sehat sejahtera, Naira dan Ken langsung berlari ke arah UGD. Seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan tersebut, menahan Naira yang hendak menerobos masuk ke dalamnya. "Mohon maaf Nona, Anda siapa?" tanya dokter itu sedikit terkejut dengan kedatangan mereka. "Saya Naira, putri dari pasien William Morgan, bagaimana keadaannya, dok?" ucap Naira dengan suara gemetar dan tampilan mata yang merah dan sedikit basah. Dokter itu pun menuntun mereka ke sebuah ruangan konseling yang lebih tenang dan duduk berhadapan dengan mereka, menatap satu per satu wajah yang dipenuhi kekhawatiran. "Baik, Nona Naira. Saya harus menyampaikan kondisi tuan William sejujurnya." Ia berhenti sejenak, mengumpulkan kata-kata. "Tuan William mengalami benturan yang sangat keras di kepala saat kecelakaan. Benturan itu menyebabkan pembengkakan pada otaknya dan juga ada pendarahan di dalam. Kami sudah melakukan operasi untuk mengurangi tekanan pada otaknya dan menghentikan pendarahan
William menaiki bus menuju apartemen Naira. Selama dalam perjalanan, ingatannya terus berputar pada pertemuan sebelumnya dengan Ken di kantornya. Kata-kata terakhir Ken bagai duri yang terus menusuk benaknya. 'Siapa sebenarnya pria itu? Mengapa bayangan wajahnya tak sedikit pun terlintas dalam ingatanku? Mungkinkah Naira mengenalnya lebih dari yang kukira?' Keraguan dan spekulasi bagai awan gelap yang menggelayuti pikirannya, membuat dahinya tanpa sadar berkerut dalam. Ken pun saat ditanyainya seolah pria itu menjadi senjata untuk melawan dirinya dalam restu pernikahan dengan Naira. Deru jantung dan helaan napas panas seolah tak mereda meskipun hujan mengguyur selama dalam perjalanan pulangnya. William merasa menyesal setelah ia tak mampu menyembunyikan rasa khawatirnya di depan Ken saat ada orang lain yang mengaku ayah kandung Naira. Jari-jemarinya sampai di bus masih terasa gemetar dan dingin. Matanya lolong menatap jalan yang tertutup sapuan hujan deras. Ia bahkan sedikit buram s