Juan berlari menyusul Jane yang saat itu sudah berlari keluar bar. Juan tidak berharap banyak Jane akan membaik kalau seandainya dia datang untuknya. Tapi setidaknya Jane tidak sendiri. Juan berharap kedatangannnya menghibur Jane dari kesedihan. Langkah Juan berhenti tepat di tepi jalan. Dia melihat Jane duduk di tepi jalanan sambil menangis. Juan tidak berani mendekat, Dia tidak cukup pengalaman untuk menenangkan seorang wanita yang tengah menangis. Pun dia mengambil ponselnya lalu mengetik di pencarian,'Cara menghibur wanita yang sedih.'Ada begitu banyak jawaban, dari memberi sebuah pelukan, mengusap bahu dan menepuknya, juga mengajaknya berbelanja. Poin paling mudah adalah mengajaknya berbelanja. Tapi dia bukan Regan yang mempunyai banyak uang. Opsi kedua dan ketiga boleh juga, memeluk dan mengusap bahu. "Ah tidak-tidak. Tidak boleh memeluk," gelengnya."Baiklah. Aku akan mengusap punggung dan bahunya saja agar dia sedikit tenang." Lanjutnya. Juan kembali berjalan untuk mende
Jane naik ke lantai dua. Kamar tidur di sana ternyata tidak begitu besar. Hanya cukup untuk satu orang saja. Lantas kalau dia tidur di ranjang itu, Jey tidur dimana? Apakah di lantai bawah? Tidak ada sofa hanya ada karpet saja.Masih belum mendapatkan mood yang lebih baik, Jane memilih mandi. Dia membuka lemari Juan yang tidak begitu besar itu, lantas memilih satu kaos dengan ukuran besar. Air dingin mengguyur tubuhnya yang lengket. Minuman yang sempat dia tenggak di discotik tadi mulai terasa efeknya. Kepalanya pusing, namun tidak sampai membuatnya kehilangan kesadaran. Dia hanya sedikit pusing dan merasa berat. Tidak sampai 15 menit, Dia menyelesaikan mandinya lantas memakai baju Juan tanpa memakai dalaman sama sekali. Terlalu kotor bra dan pantynya jika harus dia pakai lagi. Pun dia tak punya pilihan lain selain tidak memakainya. Karena yah, panjang baju Juan mampu menutup sampai atas dengkulnya."Juan?" Panggilnya saat turun ke bawah. Namun Juan masih belum datang. Perutnya ker
Paginya.Sejak bangun di pagi hari, Juan dan Jane tidak bertegur sapa. Itu di karenakan mereka sama-sama canggung mengingat hal yang semalam. Juan selalu menghindar setiap bersitatap dengan Jane secara tidak sengaja. Wajahnya merah sampai telinga, bahkan dia sampai menabrak meja entah barang yang lain di depannya. Jane sendiri bukannya merasa malu karena sudah melakukannya bersama Juan. Tapi dia mendadak merasa tidak enak karena dia juga melakukan itu dengan adik Tuannya. Kalau Regan tahu bagaimana? Apa dia akan kena sanksi karena sudah tidur dengan Juan padahal yang membayar dirinya adalah Regan? "Ah sial! Kenapa semalam aku menggodanya? Kau bodoh Jane, kau bodoh!" Jane menampar dirinya sendiri berulang kali saat dia berada di kamar mandi. Menatap pantulan dirinya di depan cermin sambil menyesali perbuatannya. Tiba-tiba pintu di ketuk dari luar."Jane, turunlah. Kita sarapan dulu sebelum pulang," ucap Juan dari luar. "Iya," sahut Jane setengah berteriak."Kendalikan dirimu, Jane.
Ada sebuah kesenjangan yang tidak terlihat. Seperti tembok tebal berdiri antara Yohan dan juga Jane. Keduanya saling diam. Yohan berada di mejanya tengah sibuk menulis sesuatu di atas kertas kosong, dan Jane hanya memperhatikan keadaan sekitar tanpa mengatakan apa-apa. Pandangannya tertuju pada banyaknya alat musik di sana. Terlebih dengan piano di ujung ruangan. Sungguh besar ruangan ini sampai gitar, piano juga drum berada di satu tempat. Ini bukan kamar tidur, tapi studio musik. Pikir Jane. "Sebenarnya aku masih malas bicara denganmu, tapi aku harus menanyakan ini, Kenapa kau menolongku? Aku sungguh tidak mengharapkan kau yang membawaku," ucap Jane memecah kesunyian. "Aku juga tidak ingin membawamu ke kamarku. Ini terpaksa. Karena ayah. Garis bawahi itu," jawab Yohan ketus tanpa melihat Jane yang kini berwajah masam."Apa ayahmu tidak akan kesini? Kalau kita ketahuan, kau akan habis.""Tenang saja. Ayahku membenciku. Dia tidak akan pernah datang kesini. Aku bisa menjamin itu."
Yohan pergi keluar kamar setelah berdebat kecil dengan Jane. Dia pergi ke sisi lain rumah tanpa turun melewati ruang tamu yang pasti ada ayahnya di sana. Yohan tidak tahu kalau Jane mengikutinya dari belakang. Hingga sampai di sebuah rumah kaca yang berada di belakang rumahnya, Yohan berhenti melangkah. Dia memutar tubuhnya, membuat Jane terkejut."Kenapa kau mengikutiku?" Tanya Yohan dingin. "Em...""Seharusnya kau berdiam diri di dalam kamarku.""Aku takut ayahmu akan mendatangi kamarmu lagi. Jadi aku..."Yohan menghela napasnya dalam. Lantas duduk di bangku kayu yang ada di sana. Ada kotak kecil di bawah meja, sebotol anggur tersimpan di sana.Jane mendekati Yohan ragu. Tatapannya melirik ke kanan dan ke kiri karena tempat ini sangat asing."Aku baru tahu kalau ada tempat ini dirumahmu," ucap Jane masih meneliti setiap bagian dari rumah kaca yang di tumbuhi bunga. Yohan tidak menjawabnya. Dia asik meminum anggur yang tinggal separuh."Sepertinya kau sering kemari sendirian.""Pe
Regan sama sekali tidak bisa tidur. Padahal ini sudah larut, dan besok dia sibuk dengan rapat perusahaan.Berulang kali dia memperbaiki posisi tidurnya namun tetap tidak bisa memejamkan matanya. Tubuhnya memang lelah, tapi pikirannya tidak bisa istirahat. Pun akhirnya dia kembali terduduk. Dia ingin menelfon Jane untuk memberitahu soal kemauan ayahnya tadi. Tapi dia ragu.Saat ayahnya pulang, Dia dan juga Juan tidak menemukan keberadaan Jane dan juga Yohan. Entah Yohan membawa Jane kemana, mereka tidak tahu. Yang penting untuk sementara, Jane aman. Sekarang pukul 23. 15.Regan akhirnya keluar dari kamarnya dan berniat bicara dengan Jane secara langsung. Hal penting seperti ini memang tidak bisa di bicarakan lewat telfon. Ketukan pertama di pintu kamar Jane terdengar pelan. Wanita itu tidak menjawab. Dua ketukan dan akhirnya tiga ketukan, terdengar suara kunci pintu di buka. Jane mengintip sedikit. Saat tahu kalau Regan yang berdiri di depan pintunya, Dia membukanya lebar. "Tuan? K
Hampir memakan waktu empat puluh lima menit menuju rumah utama keluarga Foster. Saat sudah sampai, di depan rumah banyak pria berbadan besar memakai setelan berdiri di setiap sisi rumah.Mata Jane melebar sesaat, lantas bertanya pada Juan yang ada di sampingnya. "Juan, kenapa di rumahmu banyak bodyguard? Seperti rumah mafia saja," bisiknya terdengar oleh Regan. Membuatnya tersenyum. "Oh...ayah suka berlebihan kalau sudah berhubungan dengan keamanan," jawab Juan.Yohan menyahut,"Pria tua itu merasa kalau di dalam rumah banyak hal penting yang harus di jaga."Regan menimpali,"Ayah adalah pemilik saham terbesar di beberapa perusahaan orang. Dia khawatir kalau ada saingan bisnisnya yang tidak suka dengannya, dan mengirim orang untuk mencuri berkas penting di brankasnya.""Kalau begitu, kenapa kalian hidup terpisah? Tuan Abraham kan sudah tua. Alangkah lebih baik kalau tinggal dengannya."Ketiganya terdiam. Yohan terkekeh,"Kau harus bicara secara langsung padanya, baru kau bisa bicara
"Kapan kalian menikah?"Pertanyaan itu mampu mendiamkan ketiga pria yang tengah duduk di sana. Sedangkan Jane, bukan hanya terkejut, tapi dia memastikan lagi pendengarannya. Dia tak percaya dengan apa yang di dengarnya."A-apa anda bilang?" "Aku tanya, kapan kalian menikah? Sudah berjalan selama satu tahun, kan? Tidak baik menunda terlalu lama hubungan yang sudah serius.""Saya belum memikirkan sampai sana_"Regan berdiri,"Ayah? Aku tidak mau menikah. Maksudku, kami belum ingin menikah. Aku masih sibuk dengan urusan perusahaan dan Katrina masih ingin menjalani kehidupannya.""Sampai kapan?" Tanya ayahnya lagi."Sampai kapan menjalani kehidupan sendiri-sendiri? Caty tidak mempunyai orang tua, alangkah lebih baik kalau kau segera menikahinya. Dia tidak akan lagi sendirian." "Saya baik-baik saja, Tuan. Menurut saya, kalau harus membahas soal pernikahan, memang terlalu cepat jika harus di lakukan. Kami sama-sama belum siap," imbuh Jane mulai berkeringat dingin. "Aku sudah membuktikan ka