Setelah kembali dari lamunannya tentang awal kedekatannya dengan Leon, Lara menghela napas panjang. Dia melangkah masuk ke kantor, mengenakan sikap profesional yang menjadi ciri khasnya. Tak ada yang bisa menebak apa yang baru saja berkecamuk di pikirannya.
Di ruangan Leon, pria itu tampak tenang seperti biasa, fokus pada tumpukan dokumen yang sedang ia pelajari. Mereka saling menyapa dengan formalitas yang biasa dilakukan rekan kerja, lalu melanjutkan pekerjaan masing-masing tanpa membahas apa pun yang terjadi tadi pagi.
Namun, menjelang waktu makan siang, ponsel Lara bergetar. Sebuah pesan dari Leon muncul di layar:
"Ke rooftop, kita perlu bicara."
Lara menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit. Jantungnya sedikit berdebar, tetapi ia menenangkan dirinya. Dengan langkah mantap, ia menuju rooftop gedung kantor.
Saat tiba di sana, Leon sudah menunggu di tepi pagar, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Angin siang yang sejuk membuat rambutnya sedikit berantakan, namun wajahnya tetap tenang.
“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” kata Leon, membuka percakapan begitu Lara mendekat.
Lara menyilangkan tangan di depan dada, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kamu nggak perlu menjelaskan apa-apa, Leon. Aku cuma mau tahu satu hal.”
Leon mengangkat alis, menatap Lara dengan intens. “Apa?”
“Kenapa kamu bilang seperti itu tadi pagi di depan orang tuaku? Di depan Cantika pula,” Lara berkata dengan nada tegas, tapi ada sedikit emosi yang ia tahan.
“Aku tahu kamu lagi marah dan kecewa sama Cantika, tapi kenapa harus begitu caranya? Jangan jadikan aku alat buat melampiaskan kemarahan kamu.”
Leon menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya ke horizon kota di kejauhan. “Lara, aku nggak melibatkan kamu karena emosi sesaat.”
“Jadi, maksud kamu apa?” Lara menuntut jawaban, nadanya semakin tajam.
“Kamu tahu, ucapan kamu itu bukan sesuatu yang bisa dianggap enteng. Aku nggak mau jadi bagian dari permainanmu, Leon. Apalagi kalau ini cuma untuk menyakiti orang lain.”
Leon menoleh, tatapannya serius tapi tidak mengintimidasi. “Lara, aku nggak pernah main-main. Apa yang aku katakan tadi pagi itu bukan ucapan asal. Aku sudah mempertimbangkan semuanya. Dan soal Cantika, aku tahu, Lara... kamu juga nggak suka sama dia, kan?”
Lara sedikit tersentak, tidak menyangka Leon akan membahas hal itu. “Apa maksud kamu?” tanyanya, mencoba tetap tenang.
Leon menghela napas, suaranya terdengar lebih pelan namun tetap tegas. “Aku lihat sendiri, Lara, bagaimana kamu diperlakukan keluargamu dibanding Cantika. Kamu mungkin nggak sadar, tapi sudah berkali-kali kamu menceritakan kekecewaan kamu, rasa iri kamu... semuanya. Dan aku dengar itu, Lara. Aku tahu itu berat buat kamu.”
Lara mengalihkan pandangannya, menatap lantai rooftop yang terasa dingin di bawah kakinya. Kata-kata Leon membuat dadanya terasa sesak, seolah ada bagian dari dirinya yang terkuak tanpa ia sadari.
“Lalu, apa hubungannya semua itu dengan kamu?” tanyanya, nadanya terdengar defensif.
Leon menatapnya dengan tajam, tapi tetap tenang. “Hubungannya?... Karena aku tahu bagaimana Cantika memperlakukan kamu, bagaimana dia mempermainkan situasi untuk merendahkanmu di hadapan keluargamu, bahkan aku tahu dia merasa bisa menempatkan dirinya di atasmu didepan semua orang. Dan kemarin, Lara, kamu dengar sendiri, kan? Bagaimana dia merendahkanku di depan saudara-saudara kamu yang lain. Aku nggak bisa terima itu.”
Lara menatap Leon, bingung sekaligus marah. “Jadi, kamu ingin menikahiku... karena kamu marah sama Cantika?”
Leon menggeleng pelan, tapi tatapannya semakin dalam. “Ini bukan hanya soal marah. Ini tentang mengambil kendali, Lara. Aku tau bagaimana keluargamu memandangku dan berharap atas hubunganku dengan salah satu putri dari keluarga Ariatama, Aku juga sudah cukup berusaha mendekati Cantika, bahkan aku tahu dia menyukaiku. Tapi kalau aku harus terus dipermainkan, dipermalukan... aku nggak akan membiarkan itu terjadi. Dan kamu tahu apa yang akan membuat mereka semua terdiam?”
Lara menggeleng perlahan, tidak yakin ingin mendengar jawabannya.
“Kita menikah,” ujar Leon dengan nada tegas. “Meskipun itu hanya pernikahan palsu.”
Lara terkejut, menatap Leon dengan mata yang membulat. “Kamu nggak serius, kan?”
Leon mengangkat bahu, wajahnya tetap tenang. “Aku selalu serius, Lara. Pernikahan ini akan mengubah semuanya. Untuk aku, untuk kamu... dan untuk keluarga kamu.”
Lara menarik napas panjang, pikirannya kembali pada Leon—pria cerdas dan sabar yang memikul luka masa lalu. Ironisnya, keluarga Lara menyimpan rahasia kelam yang menjadi sumber penderitaan Leon.
Ia mengingat bagaimana Leon mendekati Cantika dengan tulus, hanya untuk diperlakukan semena-mena. Lara sering menyaksikan Leon dihina tanpa belas kasihan, meski pria itu tetap menghadapi segalanya dengan kepala tegak.
Diam-diam, rasa kagum Lara pada Leon berubah menjadi cinta, meski ia sadar cinta itu penuh rintangan. Saat Leon berdiri di hadapannya dengan keyakinan kuat, Lara hanya ingin satu hal: melihatnya bahagia.
“Yaudah, Leon. Atur semuanya... asal kamu senang,” ucap Lara, tegas namun tulus.
Leon terdiam, sejenak menatap Lara dengan sorot mata yang sulit diartikan, campuran antara kejutan, rasa terima kasih, dan sesuatu yang lebih dalam. Namun, Lara tidak ingin menganalisis lebih jauh. Dalam hatinya, ia hanya berjanji satu hal: melindungi Leon dari kebenaran yang dapat menghancurkannya, meskipun itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.
***
Sore hari tiba, Saat jam kerja berakhir, Lara melangkah keluar kantor dengan langkah lelah. Ia menuju mobil jemputannya, yang sudah terparkir di depan gedung. Ketika ia masuk dan duduk di kursi belakang, tiba-tiba pintu mobil terbuka lagi. Cantika masuk tanpa permisi, membuat Lara sedikit terkejut.
“Cantika, Kamu tumben ikut masuk,” Lara berkata santai, meski nada heran tak bisa disembunyikan. “Biasanya kan bawa mobil sendiri.”
Cantika tidak menjawab langsung. Gadis itu menatap Lara dengan wajah murung, ada campuran emosi di matanya,kesal, bingung, dan terluka.
“Kak...” Cantika akhirnya bicara dengan nada lirih.
“Kakak ini maksudnya apa? Kenapa tiba-tiba Leon tadi pagi bilang begitu? Semua orang juga tahu, Ka, Leon itu sukanya sama aku. Dia selama ini dekatin aku. Bahkan waktu pesta pernikahan keluarganya, dia datang bareng aku.”
Cantika terdiam sejenak, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku juga kan sebenarnya suka sama Leon, Ka. Kenapa jadi begini? Kenapa Kakak begini? Kenapa tiba-tiba semuanya berubah?”
Lara mendengarkan dengan tenang, tapi ada sesuatu dalam kata-kata Cantika yang membuatnya kesal. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab.
“Maksud kamu apa bilang begitu sama Kakak?” Lara menatap adiknya dengan tatapan tajam. “Emang Kakak ngapain? Kakak tuh cuma diem, Cantika. Yang bicara kan Leon, bukan Kakak. Kalau kamu mau tanya sesuatu, ya tanya langsung sama dia. Jangan sama Kakak!”
Nada Lara semakin tegas. “Lagi pula, kamu ini gimana, sih? Nggak ada dewasanya sama sekali. Kenapa semua orang harus tahu tentang kamu? Kenapa semua orang harus tahu apa yang orang lain perbuat untuk kamu? Tapi kamu sendiri, apa yang sudah kamu tahu tentang Leon? Apa yang kamu kasih buat dia?”
Cantika terpaku, tidak menjawab. Lara melanjutkan dengan nada lebih rendah tapi penuh emosi.
“Kamu tahu nggak apa yang sebenarnya terjadi sama Leon? Kamu nggak tahu apa-apa, Cantika. Kamu bahkan nggak paham apa yang sudah dia lalui. Kamu nggak berhak untuk disukai sama Leon.”
Ucapan terakhir Lara seperti pukulan telak bagi Cantika. Wajah adiknya memerah, campuran antara malu dan marah. Tanpa berkata apa-apa lagi, Cantika membuka pintu mobil dengan kasar dan keluar, membanting pintunya keras-keras.
Lara terdiam di dalam mobil. Ia menghela napas panjang, menutup matanya sejenak untuk menenangkan diri. Hatinya bergejolak antara rasa bersalah karena kata-katanya tadi dan rasa lega karena akhirnya ia mengutarakan apa yang selama ini terpendam.
"Kak Marisa nggak banyak bicara lagi. Dia cuma melirik ke arah Indra, yang waktu itu lagi sibuk telepon di sudut ruangan. Setelah teleponnya selesai, mereka berdua langsung pergi buru-buru. Ibu nggak sempat nanya lebih jauh."Marina mengusap matanya dengan punggung tangan, seolah ingin menghapus kenangan pahit itu. "Tapi ada satu hal yang nggak pernah Ibu lupa, Leon. Waktu mereka berdua mau keluar pintu, Kak Marisa sempat berhenti, balik badan, dan lihat ke arah aku. Dia bilang, 'Jaga Leon baik-baik ya.“"Kenapa Ibu nggak tanya lagi waktu itu?" suara Leon hampir berbisik, menahan emosi yang mulai menguasainya."Ibu terlalu takut, Leon. Situasi waktu itu sudah kacau sekali. Orang-orang di sekitar kami juga mulai saling curiga. Ibu cuma tahu, Kak Marisa pergi karena ada yang masih belum beres dengan Ayah kamu dan Ariatama Marten itu."Suasana hening. Hanya terdengar detak jam di dinding yang semakin menguatkan tekanan di ruangan itu."Dan sejak malam itu... mereka nggak pernah pulang la
Marina termenung sejenak, matanya menatap jauh ke depan, mengingat masa lalu yang penuh dengan kenangan dan perasaan yang tertinggal. Leon memperhatikan dengan seksama, menunggu dengan sabar saat ibunya memulai cerita yang sudah lama terpendam."Iya, Nak... Jadi, yang kakak kandung ibu itukan ibu kandung kamu, dan ibu kamu adalah keluarga ibu satu-satunya pada saat itu," Marina mulai bercerita dengan suara pelan, namun penuh makna."Sebenarnya, ibu nggak banyak cerita tentang mereka karena, tentu rasanya sangat menyakitkan. Tapi seiring berjalannya waktu, melihat kamu yang sudah seperti sekarang ini, luka ibu mulai terobati."Marina menghela napas, mencoba meredakan perasaan yang kembali mengemuka."Ibu kandung kamu, Kak Marisa, itu orangnya sangat cerdas. Dia berani kuliah, sedangkan ibu aja nggak bisa, kalau ayah kamu, ibu nggak begitu dekat. Ibu banyak berada di rumah orang tua kamu waktu itu, hanya untuk mengasuh kamu saat ibu dan ayah kamu pergi bekerja, tapi kami nggak banyak ng
“Orang tua kandung Leon ya, Bu.” Jawaban itu keluar dari mulut Leon dengan nada datar, senyum tipis tetap menghiasi wajahnya. Namun, matanya tak bisa menyembunyikan sorot yang lebih dalam, seolah ada lapisan perasaan yang sulit dijangkau. Pandangannya melayang ke jendela, pikirannya dipenuhi berbagai hal yang belum terungkap, seperti pintu-pintu tertutup yang menanti untuk dibuka.Leon tersenyum lembut, menatap ibunya penuh syukur tanpa banyak kata, seperti biasa—ia selalu tenang dan tidak banyak bicara. Dalam diamnya, Leon tahu bahwa inilah tempat ia selalu ingin kembali.“Kamu sudah makan, Nak? Ibu sudah masak banyak, semuanya makanan kesukaan kamu,” kata Marina dengan wajah penuh antusias. “Ayo, kita makan.”Leon tersenyum hangat. “Iya, Bu, nanti. Leon ganti baju dulu,” ucapnya sambil menatap ibunya dengan penuh rasa sayang. “Tapi... Leon masih ingin di sini, Bu... masih ingin ngobrol sama Ibu. Besok pasti Ibu sudah sibuk lagi di toko, seperti biasanya. Ini mumpung toko tutup, Ibu
Leon berbaring perlahan di atas tempat tidur, ingatan itu muncul kembali, bersama dengan satu nama yang sejak dulu terus membayangi pikirannya Ariatama Marten. Ingatan bagaimana dia mengetahui dan mulai masuk ke Perusahaan Marten Energy***Sore itu, langit terlihat mendung. Di toko bunga bertuliskan “Melati Florist,” papan bertuliskan closed sudah terpasang lebih awal dari biasanya. Barulah sore itu, papan tersebut menggantung, menandakan toko tersebut tutup. Marina, sang pemilik toko, berjaga di ruang tamu rumahnya yang mana halaman rumahnyalah dia buat menadi toko bunga itu dan terdapat taman bunga dengan banyak bunga segar.Sesekali, Marina keluar ke jalan, menengok kanan dan kiri, berharap yang ditunggu telah sampai. Namun, belum ada tanda-tanda. Berkali-kali ia memeriksa ponselnya, berharap ada notifikasi kabar perjalanan yang dinanti namun belum juga ada. Satu-satunya orang yang sedang ia tunggu adalah Leon, anak sambungnya—anak kandung kakaknya yang ditinggalkan oleh ibu dan
Leon menghentikan langkahnya, lalu berbalik perlahan. Matanya bertemu dengan milik Lara. "Apa? Direktur Keuangan?" dengan senyum tipis. "Ambil aja,"Lara tampak terkejut. "Kamu serius?"Leon mengulurkan tangannya ke arah Lara, matanya menantang. "Deal ya."Lara menatap tangan Leon sejenak sebelum akhirnya menerima uluran itu. "Oke," jawabnya singkat, menggenggam tangan Leon dalam kesepakatan.Setelah itu, Leon berdiri tegak kembali, menghela napas ringan. "Kayaknya aku mau istirahat sebentar. Kamu mau istirahat juga atau tetap di sini? Kalau mau istirahat, aku siapin kamarnya."Lara menggeleng kecil. "Aku di sini aja. Tiduran di sofa juga nggak apa-apa kan?"Leon mengangguk pelan, nada setengah bercanda tetap ada dalam suaranya. "Hati-hati loh, nanti ada petir lagi."Lara mengangkat alis, bibirnya membentuk senyum tipis. "Petir? Sereman tawon deh kalau tiba-tiba nongol, kan di sini banyak bunga."Leon tertawa kecil. "Ya makanya, yaudah masuk kamar aja, lebih aman."Lara mengerutkan a
Suara petir yang keras kembali menggema di langit, mengguncang keheningan ruangan. Lara sedikit tersentak, tangannya tanpa sadar bergerak ke dada, mencoba menenangkan degup jantungnya.Leon memperhatikan reaksi itu, lalu tanpa berpikir panjang, tubuhnya bergerak refleks seolah ingin melindungi. Namun, dia menghentikan dirinya di tengah jalan, menyandarkan tubuh kembali ke kursi dengan ekspresi datar, menyembunyikan niat awalnya.“Kamu takut petir?” Tanya Leon, nada suaranya tenang, tapi ada sedikit keisengan yang tersirat.Lara memutar bola matanya dengan santai, meski bibirnya mengerucut sesaat. “Emang siapa di dunia ini yang nggak takut petir? Atau kamu berani? Ada petir begini, terus kamu samperin?”Leon tersenyum kecil, seperti terhibur oleh jawaban itu. “Kurang kerjaan banget nyamperin petir,” balasnya, nadanya setengah bercanda.Lara mendengus pelan, tapi kali ini tatapannya berubah lebih tajam. “Tapi bukankah kesepakatan yang kita buat ini, Leon, sama saja seperti petir? Berbah