Share

Bab 7

“Harry.”

Nerissa tidak pernah menyangka jika Harry akan datang ke apartemennya. Jelas dia cukup takut mengingat di apartemen hanya dia sendiri. Ana belum pulang dari kantor.

“Kita harus bicara.” Harry menatap Nerissa.

“Tidak perlu ada yang dibicarakan.”

“Kamu sadar bukan jika kita harus bicara.” Harry meraih tangan Nerissa. “Jelaskan kenapa kamu selingkuh dariku?”

Namun, sebelum Harry meraih tangannya, Nerissa segera menarik tangannya. “Bukankah kamu yang selingkuh. Kenapa juga menuduh aku?”

“Kamu—”

“Sayang.” Belum sempat Harry selesai bicara, tiba-tiba suara bariton terdengar.

Nerissa dan Harry menoleh ke sumber suara. Tampak Naven di sana. Tentu saja keberadaan Naven itu membuat Harry takut.

Naven menghampiri Nerissa. Berdiri di samping Nerissa, tangannya merengkuh pinggang Nerissa. Seolah ingin menunjukan kepemilikannya.

“Siapa ini, Sayang?” tanya Naven.

“Saya teman Nerissa, Pak.” Harry segera menjawab sebelum Nerissa menjawab.

Naven menarik senyum menyeringai mendengar jawaban Naven.

“Lalu ada apa kamu ke sini?”

“Saya tadi mengantarkan tas Nerissa. Karena tadi dia tidak kembali ke kantor. Jadi saya ke sini.” Harry memberikan alasan pada Naven. “Kalau begitu saya permisi dulu.” Harry segera buru-buru pergi. Takut terlalu lama bersama Naven.

Saat melihat Harry pergi, Naven segera masuk ke apartemen Nerissa. Nerissa segera menutup pintu dan menghampiri Naven.

“Pak Naven masih di sini? Bukankah tadi Pak Naven bilang saya akan pergi?” Nerissa mencoba mengingat apa yang dikatakan Naven tadi.

“Aku memang sudah mau pergi, tapi aku melihat mantan kekasihmu. Jadi, aku kembali lagi.”

Ada kelegaan di hati Nerissa ketika Naven datang tadi, pria itu menyelematkan dirinya dari Harry. Jika Naven tidak datang, bisa saja Harry akan melakukan hal berbahaya padanya.

“Cepat bawa kopermu! Asistenku sudah datang. Aku memintanya menunggu di lobi.” Suara berat Naven kembali terdengar. Baru Nerissa bersyukur akan kedatangan Naven, tetapi pria itu bersikap dingin lagi.

Lantas, Nerissa buru-buru mengambil satu koper besar dan tas kecil miliknya yang ia letakkan di atas koper. Langkah Nerissa sempat terhenti ketika kopernya sulit ditarik. Masih sambil berusaha menarik kopernya, Nerissa melirik sekilas Naven. Pria itu tetap terus berjalan di depannya, tidak memedulikan dirinya yang kesulitan.

Hah, tetapi apa yang bisa diharapkan dari calon suami kontraknya itu? Mereka terpaksa menikah demi keuntungan mereka masing-masing. Tentu, Nerissa tidak bisa mengharapkan perhatian Naven, bahkan secuil pun, untuknya.

“Pergilah dengan Kiki!” Tepat di lobi, Naven memberikan perintah, setelah mengatakan hal itu, Naven berjalan ke mobil miliknya. Tidak membiarkan Nerissa mengucap sepatah kata pun.

Melihat sikap angkuh Naven itu, membuat Nerissa menguatkan dirinya. Nerissa yakin jika pernikahannya dengan Naven tidak akan mudah terlebih dengan sikap Naven yang seperti itu. Namun, saat mengingat kembali tujuan pernikahan mereka, Nerissa harus menyingkirkan pikirannya itu.

Beberapa waktu kemudian, Nerissa sampai di apartemen Naven. Seorang asisten rumah tangga membuka pintu dan mempersilakan Nerissa masuk.

Saat masuk, Nerissa disuguhkan dengan apartemen yang cukup besar. Tampak apartemen ini lima kali lebih besar dari apartemen yang ditinggali bersama Ana. Tentu saja, apartemen ini milik presdir, pasti ukuran apartemen ini jauh lebih besar.

“Silakan, Nona. Kamar Anda sebelah sini.” Asisten rumah tangga mempersilakan Nerissa untuk ke kamarnya.

Buru-buru Nerissa menarik kopernya, membawanya ke kamar.

“Bibi tinggal di sini?” Nerissa mengajak asisten rumah tangga berbicara.

“Biasanya saya datang setiap pagi untuk membersihkan apartemen saja, Non. Tapi, Pak Naven meminta tinggal di sini beberapa hari untuk menemani Nona.”

Nerissa bersyukur karena dia tidak tinggal di apartemen besar ini sendiri. Dia takut jika harus tinggal sendiri di apartemen sebesar ini.

Sesampainya di kamar, Nerissa dibuat terkejut dengan ukuran kamar yang cukup besar. Ukuran kamar jauh lebih besar dibanding kamar miliknya.

“Jika butuh apa-apa silakan panggil, Non,” ucap asisten rumah tangga, menarik kekagumannya akan ukuran kamar yang akan ia tempati ini.

“Baik, Bi.” Nerissa segera masuk ke dalam kamar.

****

“Cepat turun ke lobi!”

Mendapati perintah itu Nerissa hanya menautkan kedua alisnya. Apa Presdir itu ada di apartemen?

“Dia menjemputku?” Pertanyaan itu pun menghiasi kepala Nerissa.

Tak mau membuat Naven menunggu terlalu lama, akhirnya Nerissa segera ke lobi. Benar saja, ternyata di sana sudah ada mobil Naven. Nerissa segera masuk mobil Naven.

“Kenapa Pak Naven menjemput saya?” tanya Nerissa begitu memasuki mobil.

“Apa kata orang jika calon istri Presdir naik bus.” Naven menjawab tanpa menatap Nerissa.

Nerissa menghela napas. Sekali lagi, apa yang bisa diharapkannya dari pria ini? Calon suami kontraknya itu hanya memikirkan dirinya sendiri, dan tentu saja Nerissa harus menerimanya.

Nerissa memejamkan mata, ini adalah pilihannya menyetujui kontrak pernikahan dengan Naven, jadi ia harus menerima segala konsekuensi dari pilihannya sendiri.

Selama di dalam mobil, tidak ada pembicaraan sama sekali. Mereka dalam keheningan. Nerissa sediri begitu takut bicara, moengingat aura Naven begitu mengerikan.

Sesampainya di kantor, Nerissa segera turun. Semua mata tertuju pada mereka. Pastinya, menjadi calon istri Presdir akan membuat Nerissa jadi pusat perhatian.

Tentu saja, Nerissa tidak keberatan, karena dengan begitu ia tidak akan dipandang sebelah mata lagi. 

***

Sepuluh hari berjalan begitu cepat. Hari ini Nerissa akan menikah dengan Naven.

Ada perasaan berdebar yang dirasakan Nerissa. Walaupun ini adalah pernikahan keduanya, tapi tetap saja rasanya berbeda.

Tidak ada keluarga yang menemani Nerissa. Papanya sudah meninggal sejak empat tahun lalu setelah pernikahannya, saudara-saudara pun tidak ada yang hadir. Untung ada Ana yang senantiasa menemani Nerissa.

“Kamu cantik sekali.” Ana terpesona dengan Nerissa.

Dibalut dengan kebaya putih dengan jarit membuat Nerissa tampak begitu anggun. Riasan natural yang diberikan pada Nerissa pun menjadi pelengkap yang sempurna.

“Aku begitu berdebar.” Nerissa tidak bisa menyembunyikan perasaannya.

“Tenanglah. Semua akan berjalan dengan baik.” Ana berusaha menenangkan.

Ditemani Ana, Nerissa menuju ballroom hotel ketika pihak panitia pernikahan memanggil Nerissa.

Acara sore ini adalah acara ijab kabul. Hanya akan dihadiri keluarga saja.

Saat memasuki ballroom, Nerissa melihat Naven dengan jas putih pernikahan yang melekat di tubuhnya yang tegap, duduk menunggu Nerissa di depan penghulu.

Beberapa kamera menyorot kedatangan Nerissa. Sebagai anak dari pengusaha terkenal, tentu saja kabar pernikahan ini akan menjadi berita besar.

Nerissa duduk di samping Naven. Pria itu tampak tenang sekali ketika berada di depan penghulu.

Penghulu menjabat tangan Naven, mengucapkan ikrar pernikahan.

“Saya nikah dan kawinnya Nerissa Azalia binti Novel Azori dengan mas kawin tersebut tunai.” Dengan satu tarikan napas, Naven mengucapkan ikrar pernikahannya.

“Sah?” tanya penghulu pada saksi.

“Sah.” Saksi mengangguk.

Akhirnya Nerissa dan Naven menjadi sepasang suami-istri. Raven yang melihat putranya sudah menikah merasa lega. Anaknya adalah anak semata wayang, jadi memang pernikahan ini sangat diharapkan.

Semua keluarga dan kerabat dekat memberikan ucapan selamat pada Naven dan Nerissa. Mereka ikut senang karena melihat Naven akhirnya mau menikah.

Setelah proses akad nikah selesai, Nerissa dan Naven segera ke kamar mereka untuk dirias kembali.

Pernikahan ini masih akan berlanjut dengan pesta malam hari yang akan dihadiri tamu undangan. Resepsi nanti malam akan jauh lebih besar dari pada acara ijab kabul karena ada ribuan undangan yang telah disebar.

Acara resepsi malam ini Nerissa memakai gaun yang tempo hari dipilih oleh Naven. Gaun bervolume dengan hiasan kristal Swarovski. Gaun yang tampak begitu mewah.

“Ayo." Suara Naven menginterupsi keterpanaan Nerissa terhadap Naven. Pria itu mengenakan setelah tuxedo berwarna abu dihiasi bunga di dada sebelah kirinya. Tuxedo itu membalut tubuh Naven hingga tubuh tegapnya terlihat sempurna.

“Iya, iya.” Nerissa mengangguk terbata. Aura dominasi Naven membuatnya begitu patuh.

Mereka segera ke ballroom hotel untuk memulai acara. Naven dan Nerissa berjalan beriringan memasuki ballroom hotel. Nerissa melingkarkan tangannya di lengan Naven saat langkahnya diayunkan.

“Tersenyumlah!” Naven memberikan perintah dengan suara lirih.

Nerissa langsung memasang senyum manisnya, menuruti perintah Naven. Begitu pun dengan Naven, pria itu juga tersenyum di hadapan tamu undangan.

Naven dan Nerissa sampai di pelaminan. Serangkaian acara pun dilakukan dengan begitu meriah.

Semua orang dimanjakan dengan wajah semringah pasangan suami-istri baru itu.

Saat berdansa pun, Nerissa berusaha keras untuk melakukannya dengan baik. Tak mau membuat malu Naven di hadapan banyak orang.

Sehari sebelum pernikahan, Naven memberitahu jika mereka berdua akan berdansa. Tentu saja Nerissa langsung belajar dalam waktu singkat. Beruntung Nerissa dapat melakukan dengan baik, sehingga semua berjalan dengan lancar.

Tiba saat di penghujung dansa. Naven memiringkan tubuh Nerissa setengah melayang untuk memberikan akhir pertunjukan.

“Pak Naven akan mencium saya?” Dari tatapan Naven yang melihat ke arahnya, Nerissa bisa menebak.

Comments (9)
goodnovel comment avatar
Siti Nur janah
happy wedding nerissa dan naven.....semoga lanjut ga jadi kawin kontrak ya....
goodnovel comment avatar
vieta_novie
selamat ya naven & nerissa...meskipun awal nya nikah kontrak, semoga seiring berjalan nya waktu kalian bisa beneran saling mencintai...biar raven ga kumat lagi penyakit jantungnya...
goodnovel comment avatar
Renita gunawan
wkwk.. wkwk.. kasian deh loe,harry.gigit jari dah dirimu melihat nerissa benar-benar menikah dengan naven
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status