“Bagaimana keadaan papa?” Naven segera mengambil kesempatan untuk tahu keadaan papanya itu.
“Papa diharuskan melakukan operasi memasang ring di jantungnya.” Ruby mencoba menjelaskan pada anaknya.
“Lalu kapan operasi pemasangan ring itu?” Naven menatap sang mama lekat. Begitu penasaran.
“Nanti setelah kamu menikah.” Pertanyaan kali ini dijawab oleh Raven sendiri.
“Kenapa harus menunggu aku menikah?” Naven tidak habis pikir dengan sang papa.
“Iya, agar kamu tidak menipu Papa dan tidak jadi menikah.” Raven menyeringai.
Naven hanya bisa menatap malas pada papanya. Ternyata papanya jauh lebih licik dibanding dirinya. Jika sudah begini, dia sudah tidak bisa menghindari pernikahan.
Usai mendapatkan kabar sang papa dan melihat sendiri keadaan sang papa, akhirnya Naven berpamitan. Dia mengajak serta Nerissa untuk ikut dengannya. Nerissa ikut saja dengan Naven. Ternyata Naven mengantarkan Nerissa untuk pulang.
“Kemasi pakaianmu, asistenku akan menjemputmu besok. Mulai besok, kamu tinggal di apartemenku.” Sebelum Nerissa keluar dari mobil, Naven memberikan perintahnya.
Dahi Nerissa berkerut dalam. Memikirkan kenapa dia harus tinggal di apartemen Naven. Padahal mereka belum menikah.
“Kenapa saya harus tinggal di apartemen Pak Naven?”
“Kamu harus di bawah pengawasanku. Agar kamu tidak macam-macam selama menunggu pernikahan. Jadi aku mau kamu tinggal di apartemenku sampai kita menikah.”
Sikap dominasi yang ditunjukkan Naven itu memang membuat Nerissa sedikit takut. Bayangan pernikahan yang akan selalu diatur oleh Naven pun terlintas. Namun, demi keinginannya terwujud, bukankah itu adalah sesuatu yang harus dibayar.
“Baiklah.” Nerissa mengangguk.
Nerissa segera turun dari mobil. Kemudian masuk ke apartemennya. Di apartemennya, Nerissa melakukan apa yang diminta oleh Naven. Mengemasi pakaiannya untuk dibawa ke apartemen Naven.
“Nerissa … Nerissa ….” Suara Ana terdengar menggema di dalam apartemen kecil yang mereka tempati.
Nerissa yang berada di kamar segera keluar dari kamarnya. “Kamu ini kenapa? Kenapa berteriak-teriak seperti itu?”
“Jelaskan dulu padaku. Bagaimana bisa Pak Naven mengakui jika kamu adalah calon istrinya?” Ana sedari tadi benar-benar penasaran sekali.
Nerissa sadar jika ada kontrak rahasia yang dilakukan dengan Naven. Jadi dia tidak bisa menceritakan itu pada siapa pun termasuk Ana. Ini adalah rahasia antara dirinya dan Raven.
“Ceritanya panjang. Intinya dia melamarku dan mengajak aku menikah.” Nerissa menjelaskan secara singkat.
Ana masih memikirkan apa yang dikatakan temannya itu. Namun, dia tidak mau ambil pusing. Dia langsung bersorak senang dan memeluk Nerissa.
“Aku senang kamu mendapatkan pria baik setelah diselingkuhi Harry.”
Nerissa memaksakan senyuman di wajahnya. Ana tidak tahu saja jika Naven tidak sebaik itu. Mereka hanya sedang melakukan kerja sama yang saling menguntungkan.
“Aku yakin Harry pasti akan menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya.”
Nerissa berharap Harry akan menyesali apa yang dilakukan padanya. Tak sabar juga untuk membalas semua yang dilakukan mantan pacar dan selingkuhannya itu.
Ana mengalihkan pandangan ke kamar Nerissa. “Kamu mau pergi?” tanyanya.
“Iya, Pak Naven meminta aku tinggal di apartemennya.”
“Aku pasti akan merindukanmu.” Ana memeluk Nerissa.
“Jangan berlebihan. Kita masih bertemu di kantor.” Nerissa mencibir apa yang dikatakan temannya itu.
“Yang terpenting adalah… aku sekarang punya teman istri Presdir.” Ana tertawa.
Nerissa ikut tertawa. Nerissa mungkin salah satu orang yang senang ketika dirinya menikah dengan Presdir. Namun, entah apa yang akan dilakukan teman-temannya yang lain.
Keesokan harinya adalah hari pertama pasca pengakuan Naven tentang status di antara mereka. Nerissa cukup berdebar ketika memasuki kantor Zorion, takut pandangan orang padanya.
Sayangnya, ternyata tidak semenakutkan itu. Karena setiap orang yang bertemu dengan dirinya selalu saja tersenyum, menyapa Nerissa dengan hormat.
“Kenapa mereka bersikap aneh padaku?” Nerissa berbisik pada Ana.
“Aneh bagaimana?” Ana balik bertanya.
“Mereka semua tersenyum padaku dan menyapa aku. Biasanya tidak.”
Ana langsung tertawa. “Jelas mereka melakukan hal itu. Kamu calon istri Presdir. Siapa yang berani?”
Nerissa merasa jika dampak yang terjadi cukup signifikan. Padahal dia masih menjadi calon istri Presdir, belum resmi menjadi istri Presdir.
Bersama Ana, Nerissa segera ke ruangannya dengan menggunakan lift. Saat sampai di ruangan, tampak Harry dan Arumi di sana. Nerissa yang melihat dua orang itu pun berlalu begitu saja, mengabaikan dua orang yang begitu dibencinya itu.
“Sombong sekali dia!” Arumi menggerutu ketika melihat Nerissa.
“Sialan!” Harry pun ikut kesal dengan apa yang dilakukan Nerissa.
Nerissa melakukan pekerjaan seperti biasa. Dengan status manajer pemasaran, dia hanya pindah meja. Namun, masih berada dalam ruangan yang sama dengan staf lainnya.
Semalam Nerissa mengemasi pakaiannya sampai malam. Jadi baru jam sepuluh, matanya sudah mengantuk. Tak mau membiarkan hal itu, Nerissa segera ke pantry, membuat secangkir kopi untuk menghilangkan kantuknya.
Saat di pantry, ternyata ada beberapa karyawan di sana, termasuk dengan Arumi. Mereka juga sama dengannya ingin membuat secangkir kopi.
Nerissa yang menyadari keberadaan Arumi, tampak tenang. Mengabaikan Arumi dengan membuat kopi.
“Nerissa, kapan kamu dan Pak Naven akan menikah?” Salah seorang teman bertanya pada Nerissa.
Nerissa mengalihkan pandangannya sambil mengaduk kopi yang berada di tangannya. “Tunggu saja undangannya.” Dia mengulas senyumnya, kemudian mengayunkan langkah keluar dari pantry.
Arumi yang melihat Nerissa sedikit kesal. “Aku masih ragu jika dia benar-benar akan menikah dengan Pak Naven. Apa jangan-jangan dia hanya meminta tolong Pak Naven untuk menyelamatkan dari rumor itu?”
Saat Arumi membicarakan Nerissa. Semua temannya langsung tutup mulut. Mereka ingat sekali ancaman dari Naven kemarin. Jadi mereka tidak berani membicarakan Nerissa.
Baru saja Arumi selesai bicara, tiba-tiba suara pesan masuk terdengar dari ponselnya. Tidak hanya ponsel Arumi saja yang berbunyi, tetapi juga ponsel teman-temannya. Pesan di ponsel mereka dikirim dari nomor khusus milik perusahaan ke grup karyawan. Berisi undangan pernikahan Naven dan Nerissa.
Arumi membulatkan matanya. Tidak menyangka jika Nerissa akan benar-benar menikah dengan Naven. Semua teman Arumi yang kebetulan berada di sana langsung melirik malas pada Arumi. Omongan Arumi nyatanya tidak benar, Nerissa akan menikah dengan Presdir mereka.
Harry yang berada di ruangannya tak kalah terkejut. Tidak menyangka jika dia mendapatkan undangan pernikahan Naven dan Nerissa. Padahal dia masih berpikir jika Nerissa hanya bersandiwara menjalin hubungan dengan Naven.
Jam istirahat tiba. Nerissa dan Ana memutuskan makan di kantin kantor. Mereka baru berjalan menuju lift, tanpa tahu Harry mulai mengejar mereka. Sejak perpisahannya dengan Nerissa, mereka berdua belum saling berbicara. Harry ingin mendapatkan penjelasan dari Nerissa. “Ne …” Belum selesai Harry memanggil Nerissa, panggilannya terhenti ketika melihat seseorang yang telah berada di lift lebih dulu.
“Ayo ikut aku!” perintah Naven dari dalam lift, diam menatap Nerissa.
Tanpa penolakan Nerissa segera ikut Naven, masuk ke lift. Sedang Ana dan teman-teman Nerissa yang lain tidak ada yang masuk ke lift. Tak berani berada dalam satu lift dengan Presdir mereka.
“Kita mau ke mana?” Saat pintu lift tertutup, Nerissa segera bertanya.
“Mempersiapkan semua keperluan pernikahan kita.”
****
Seharian Nerissa menyiapkan persiapan pernikahan. Dari mencari gaun pernikahan hingga cincin pernikahan. Dia mengikuti ke mana Naven membawanya.
“Untuk apa dia mengajak aku jika pada akhirnya dia yang memilih semuanya.” Nerissa hanya menggerutu dengan sikap Naven.
Seharian tadi dia ikut Naven untuk mencari gaun dan cincin pernikahan. Namun, Naven tidak sama sekali menanyakan pendapatnya. Memilih sesuai yang diingikan Naven sendiri. Nerissa tidak bisa bayangkan bagaimana kehidupan pernikahannya jika bersama dengan Naven yang diktator. Perintahnya tidak bisa dibantah.
Sesampainya di apartemen, Nerissa segera mengambil kopernya. Dia diminta Naven untuk segera membawa barang-barangnya, karena asisten Naven akan mengantarkan Nerissa ke apartemen milik Naven.
Segera dia keluar dari apartemen sambil membawa kopernya. Namun, tubuhnya membeku ketika melihat seseorang di depan pintu apartemennya
“Harry.” Nerissa tidak pernah menyangka jika Harry akan datang ke apartemennya. Jelas dia cukup takut mengingat di apartemen hanya dia sendiri. Ana belum pulang dari kantor. “Kita harus bicara.” Harry menatap Nerissa. “Tidak perlu ada yang dibicarakan.” “Kamu sadar bukan jika kita harus bicara.” Harry meraih tangan Nerissa. “Jelaskan kenapa kamu selingkuh dariku?” Namun, sebelum Harry meraih tangannya, Nerissa segera menarik tangannya. “Bukankah kamu yang selingkuh. Kenapa juga menuduh aku?” “Kamu—” “Sayang.” Belum sempat Harry selesai bicara, tiba-tiba suara bariton terdengar. Nerissa dan Harry menoleh ke sumber suara. Tampak Naven di sana. Tentu saja keberadaan Naven itu membuat Harry takut. Naven menghampiri Nerissa. Berdiri di samping Nerissa, tangannya merengkuh pinggang Nerissa. Seolah ingin menunjukan kepemilikannya. “Siapa ini, Sayang?” tanya Naven. “Saya teman Nerissa, Pak.” Harry segera menjawab sebelum Nerissa menjawab. Naven menarik senyum menyeringai mendengar
“Memang begitulah akhir pertunjukan dansa.” Naven tampak tenang menjawab. Dia sedikit membungkukkan tubuhnya untuk mendaratkan bibirnya. “Tapi, itu tidak sesuai dengan kontrak kita.” Nerissa berusaha mengingatkan. Mereka berbisik dalam tarian mereka. “Aku sudah mengubahnya. Akan ada kontak fisik di saat-saat mendesak.” Setelah berkata begitu, Naven mendaratkan bibirnya di bibir Nerissa.Jelas apa yang dilakukan Naven membuatnya terkejut. Bola mata indah yang dihiasi bulu mata palsu itu tampak membulat sempurna.Nerissa hanya bisa pasrah ketika Naven melakukan hal itu, apalagi berada di hadapan banyak orang. Jika Nerissa menolak, tentu ia akan membuat orang-orang curiga padanya. Sebenarnya Naven tidak benar-benar mencium Nerissa. Ia hanya menempelkan bibirnya di bibir Nerissa.Ciuman itu pun disambut tepuk tangan oleh tamu undangan. Tamu undangan melihat Nerissa dan Naven yang begitu sangat romantis.Pesta berlanjut dengan para tamu memberikan ucapan selamat. Satu per satu tamu unda
Perjalanan panjang akhirnya mengantarkan Nerissa dan Naven di Jepang. Mereka segera ke tempat menginap. Mengistirahatkan diri. Naven menyewa sebuah apartemen untuk tinggal selama di Jepang. Terdapat dua kamar. Jadi mereka bisa tidur di kamar masing-masing. Tidak mengganggu satu dengan yang lain. Sampai di kamar, Nessia langsung merapikan barang-barangnya. Sekalian mengecek apa baju apa yang dibawakan asisten Naven. Saat koper dibuka, terlihat beberapa baju hangat. Ternyata memang asisten Naven menyiapkan dengan baik. Suara ketukan pintu, mengalihkan perhatian Nerissa. Dia segera bangun dan membuka pintu. “Cepat, kita harus ke tempat wisata!” Baru saja membuka pintu, Nerissa sudah disambut dengan dengan perintah Naven. Mendapati perintah itu Nerissa merasa heran. Baru saja mereka sampai, tapi sudah diajak pergi. Padahal dia sangat lelah sekali. “Memang kita akan berapa lama di sana, Pak?” Alih-alih langsung pergi bersiap, Nerissa memilih bertanya lebih dulu. “Sepuluh hari.” N
Naven segera membuka pintu. Dilihatnya Nerissa di atas tempat tidur. Selimut tebal membungkus tubuh Nerissa yang kecil. Tentu saja itu membuatnya merasa bingung. Kenapa jam segini istrinya itu masih tidur. Rasa penasaran Naven mengantarkannya untuk segera menghampiri. Dilihatnya Nerissa meringkuk di dalam selimut. “Nerissa.” Naven memanggil wanita yang kini jadi istrinya itu. Sayangnya, tidak ada jawaban dari Nerissa. Hal itu membuat Naven segera menggoyangkan tubuh Nerissa. Nerissa hanya melenguh saja ketika dibangunkan. Saat menggoyangkan tubuh Nerissa, Naven merasa hawa panas dari tubuh Nerissa. Karena itu dia mencoba untuk menempelkan punggung tangannya di dahi Nerissa. Alangkah terkejutnya Naven ketika merasakan tubuh Nerissa yang panas. “Demam.” Naven begitu terkejut ketika menyadari jika Nerissa demam. Dia yang mendapati hal itu langsung membangunkan Nerissa lagi. “Bangunlah!” menggoyangkan tubuh Nerissa lebih kencang. Nerissa langsung membuka matanya ketika tubuhnya dig
“Wah … sayang sekali. Ternyata oleh-oleh yang aku bawa kurang.” Nerissa dengan polosnya mengatakan itu. Padahal dia sengaja sekali tidak mau memberikan pada Harry dan Arumi. Siapa juga yang mau memberikan sesuatu pada dua orang yang sudah melukai hatinya itu. Harry dan Arumi jelas tahu jika Nerissa sengaja melakukan itu. Tapi, tentu saja mereka tidak bisa memperlihatkan kekesalan itu. “Harry, Arumi, maaf oleh-olehnya kurang. Jadi kalian tidak dapat.” Nerissa berpura-pura meminta maaf. Memasang wajah memelas di hadapan dua orang yang dibencinya. “Tidak apa-apa.” Arumi memaksakan senyumnya. “Iya, tidak apa-apa.” Harry ikut menjawab. Nerissa tersenyum. Dia tahu jika Harry dan Arumi pasti tidak akan bisa marah. Jam kerja yang sudah mulai membuat mereka semua segera memulai bekerja. Nerissa memulai pekerjaannya juga. Mengecek laporan event yang akan diadakan bulan depan. Ada beberapa proposal yang dicek Nerissa. Salah satu proposal menarik perhatiannya. Karena yang membuat proposa
Ruby baru tahu jika Nerissa seorang janda saat hari pernikahan. Dia cukup terkejut ketika mendapati anaknya menikah dengan seorang janda. Mendapati pertanyaan itu membuat Nerissa terdiam. Tentu saja pertanyaan itu sedikit mengusik hatinya. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang. “Iya, Bu.” Mendapati jawaban Nerissa, Ruby mengembuskan napasnya. Merasa sedikit kecewa ketika mendapati kenyataan itu. Anaknya masih single, harusnya mendapatkan wanita yang sama-sama single. “Kenapa dulu bercerai?” Ruby tampak ingin tahu. “Karena dia pergi dengan wanita lain.” Takut-takut Nerissa menjawab. “Kalau bisa sembunyikan statusmu itu. Terutama dari nenek Naven.” Ruby tidak mau sampai disalahkan karena tidak bisa mengarahkan anak untuk memilih calon istri. “Baik.” Nerissa hanya mengangguk. Saat minuman jadi, mereka membawa minuman ke taman belakang di mana Naven dan sang papa berada. Naven meminum teh yang dibuatkan sang mama. Begitu pula dengan Nerissa. “Lain kali, kalian menginap di sini.
Naven yang baru saja masuk ke apartemen disambut dengan lemparan bantal sofa. Tentu saja itu membuatnya terkejut. Beruntung dia menghindar. “Kamu ini kenapa?” Naven melemparkan pertanyaan itu pada kekasihnya-Evelyn. “Bagaimana bisa kamu menikah ketika aku sedang berada di luar negeri?” Evelyn meluapkan kekesalannya. Evelyn baru saja pulang dari syuting film, tapi dikejutkan dengan kabar pernikahan kekasihnya itu dengan wanita lain. Naven hanya bisa pasrah. Akhirnya rahasia yang disimpannya terbongkar juga. Kemarin saat di Jepang dia ingin memberitahu kekasihnya itu. Namun, karena sedang syuting, dia tidak mau mengganggu mood dan merusak pembuatan film. “Aku bisa jelaskan.” Naven berusaha untuk membujuk kekasihnya. “Jelaskan apa?” Evelyn masih menangis dan belum bisa tenang. “Tenang dulu. Dengarkan aku dulu.” Naven mengayunkan langkahnya mendekat ke arah Evelyn. Evelyn berusaha untuk tenang. Karena dia ingin tahu alasan kekasihnya menikah dengan wanita lain. Saat melihat Evelyn
Tiba-tiba suara Harry terdengar. Nerissa membulatkan matanya ketika Harry keluar dan melihat dirinya di balik dinding. Jantungnya begitu berdebar sekali ketika baru saja ketahuan menguping.“Aku mau masuk, tapi tidak jadi karena tampaknya kalian sedang bicara.”Harry menatap curiga pada Nerissa. “Kamu menguping pembicaraan kami?” tanyanya menuduh.“Kurang kerjaan sekali aku mendengarkan pembicaraan kalian. Bukan sesuatu yang penting untukku.” Dengan santai dia menjawab.Tak mau berdebat dengan Harry, Nerissa pun segera berlalu ke pantry. Di sana dia membuat kopi. Di sana Nerissa melihat Arumi di sana.Melihat keberadaan Nerissa membuat Arumi semakin kesal. Baru saja wanita itu dibicarakan, sekarang sudah di depan mata.“Sepertinya sekarang kamu sedang berbahagia.” Arumi menyindir Nerissa.Nerissa yang membuat kopi tidak menjawab apa yang dikatakan Arumi. Namun, beberapa saat kopinya sudah selesai, barulah dia menghampiri Arumi.“Tentu saja aku bahagia. Apalagi setelah membuang sampah