"Mau apa ke sini?" Tanya Agatha ketus ketika ia sudah sampai di dekat mobil. Kelvin menoleh, senyumnya merekah sempurna. Kelvin segera melangkah mendekati Agatha, sementara Agatha, semakin Kelvin mendekatinya, sorot matanya makin menjadi tajam. "Aku jemput istriku pulang kuliah, Sayang. Yuk pulang! Sini, biar aku yang nyetir!" Kelvin meraih tangan Agatha, membawanya menuju ke sisi lain mobil dan membuka pintunya untuk Agatha. "Ka-kamu?" Agatha nampak terkejut, Kelvin terkekeh, membantu istrinya masuk ke dalam lalu memakaikan sekalian sabuk pengamannya. "Maaf kalau nggak izin kamu dulu, Sayang. Aku ambil duplikatnya tadi. Mama khawatir terus sama kamu." Gumam Kelvin menjelaskan. "Oh jemput aku karena disuruh sama mama ternyata?" Tanya Agatha dengan nada ketus. Kelvin yang hendak menutup pintu mobil kontan membelalak, tawanya seketika pecah. Kelvin mengulurkan tangan, mencubit gemas pipi Agatha yang seketika dibalas pukulan oleh Agatha. "Nggak lah! Aku emang udah niat mau jemput
"Kira-kira mama dibelikan apa, Yang?" Tanya Kelvin ketika mereka sudah kembali masuk ke dalam mobil. Agatha melirik sekilas, ia menghela napas panjang sambil memangku sebucket bunga tulip pemberian suaminya. "Perlu aku ingatkan, mama tidak lagi konsumsi makanan gluten, makanan dengan kandungan gula, garam dan pengawet, stop konsumsi daging merah dan tidak makan makanan instan." Jelas Agatha yang sepertinya sia-sia sebenarnya. Kelvin mahasiswa pendidikan spesialis, meskipun spesialis yang dia ambil adalah kesehatan anak, tapi secara garis besar Kelvin tentu lebih paham dari Agatha yang baru mahasiswi pre klinik. "I see, Sayang. Oh aku tahu!" Desis Kelvin kemudian. Agatha mengerutkan kening, ia menoleh sekilas dan menatap wajah itu dari tempatnya duduk. Ada secercah perasaan rindu dalam hatinya, mengingat ia pernah menghabiskan momen-momen manis bersama lelaki ini. Momen indah yang berujung dengan luapan gairah yang memabukkan itu sekarang sudah tinggal kenangan. Meskipun belum per
"Hah? Ke Thailand, Ma?"Agatha memekik, ia menjatuhkan sendok ke piring dengan reflek spontan. Matanya tak lepas dari Handira yang malam ini makan berdua bersama Agatha. Handira mengangguk pelan, ia segera meraih gelas berisi air putih dan meneguknya perlahan. Setelah memastikan mulutnya kosong, Handira kembali menjelaskan niat dan tujuannya pergi ke negara Gajah Putih itu. "Ikhtiar nggak ada salahnya, kan? Nanti mama mertua kamu ikut sama mama. Kita bakalan berdua perginya. Jangan khawatir.""Bentar!" Kini gantian Agatha yang meneguk air putih, "Mama yakin? Ada kontradiksi sama pengobatan medis yang mama lakukan nggak? Terus manfaatnya, apakah bisa membantu mama menekan atau bahkan membunuh sel-sel itu dalam waktu sebelas hari? Atau--.""Tha ... Pelan-pelan, Sayang!" Potong Handira lembut. "Jadi begini, mereka itu sebenarnya tidak bisa dikatakan pengobatan. Kalau untuk berobat, mereka tidak bisa jamin karena tiap kasus penyakit kan sendiri-sendiri, Tha. Dan ini semi spiritual juga.
"Mama yakin terbang sendiri?" Agatha mengenggam tangan Handira ketika ia dan Kelvin mengantarkan Handira pergi ke bandara. "Siapa bilang mama sendiri? Dewi udah nungguin di Jakarta, nanti kami terbang sama-sama, Sayang." Handira melepaskan tangan Agatha, mengelus lembut pipi anak semata wayangnya itu dengan mata berkaca-kaca. "Ini mustahil di ilmu yang kita dalami, Ma. Tapi aku harap mama bisa benar-benar sembuh dengan cara ini." Desis Agatha menahan tangis. "Tidak mustahil juga sebenarnya. Kamu tahu apa makanan paling disukai sel kanker? Di sana semua di stop, benar-benar stop. Kamu tahu apa yang terjadi kalau sel kanker itu kelaparan, Tha?""Jika mereka kelaparan, beberapa akan memakan sesamanya sendiri dan lama-lama mereka lenyap dari tubuh." Sambung Kelvin yang sontak membuat Handira dan Agatha kompak menoleh. "Nah itu teori simpelnya, untuk lebih lanjut nanti mau mama Dewi teliti, Tha. Kita bisa bahas sama-sama nanti sekeluarga kalau mama pulang, sambil kita bandingkan nantin
"Jangan turun dulu! Tunggu, ya?" Pesan kelvin sebelum turun dari mobil. Agatha hanya mengangguk pelan. Ia membiarkan Kelvin turun dari mobil dan menuruti kata suaminya itu untuk diam-diam saja di dalam mobil. Tak butuh waktu lama, pintu mobil dibuka. Kelvin datang dengan dua orang perawat plus brankar yang mereka dorong. Kelvin segera melepas seat belt Agatha, lalu mengangkat perlahan tubuh Agatha dan membaringkan tubuh itu ke atas brankar. "Biasanya kontrol sama siapa, Dok?" Tanya satu perawat sambil mendorong bed itu masuk IGD."Sama dokter Nico, Mbak Na. Tolong hubungi beliau dong. Nggak lagi cuti, kan?" Tanya Kelvin masih dengan mode panik. "Nggak, Dok. Biar aku hubungin dulu. Istrinya biar dianamnesa Retno dulu, ya?"Agatha hanya memejamkan mata, tidak heran kalau perawat IGD itu begitu akrab dengan Kelvin, ini rumah sakit tempat dia menjalani pendidikan spesialis. Rumah sakit ke dua tempat dokter Nico praktek selain klinik yang biasa Agatha kunjungi untuk kontrol rutin. Aga
"Ah, kenapa lama banget?"Agatha berbaring di atas bednya dengan wajah gelisah. Kelvin sudah pergi sejak tadi dan belum kembali sampai sekarang, membuat Agatha sedikit resah dan berharap lelaki itu lekas kembali. "Apa gini rasanya ketika nanti aku nggak punya siapa-siapa lagi?" Sulit bagi Agatha untuk tetap tenang, pikirannya terlanjur kemana-mana. Mungkin Handira masih ada di Jakarta sekarang, namun ia sudah membayangkan seolah-olah dia harus kehilangan sosok itu untuk selamanya. Dia akan seorang diri, hanya bersama janin dalam rahimnya. Bayangan seram yang entah mengapa sirna begitu saja ketika Kelvin ada di sisinya. Segala macam kemarahan dan kebencian Agatha lenyap. Digantikan sebuah perasaan hangat, nyaman dan terasa dilindungi ketika Kelvin berada di sisi Agatha. Apakah ini artinya ..."Lama nunggunya, ya?"Agatha tersentak, entah sejak kapan, Kelvin mendadak sudah berdiri di dekat bed dengan koper pink milik Agatha, benda yang langsung membuat Agatha membelalak seketika. "O
"Istri kenapa, Vin? Dari anak obsgyn bilang opname, ya?" Kejar Widi ketika Kelvin muncul dari pintu masuk. "Hooh, bleeding parah tadi. Cuma untung nggak apa-apa. Disuruh bedrest, daripada aku pikiran yaudah aku suruh aja dokter Nico rawat, mertua sama mama aku pas ke Thailand soalnya." Jelas Kelvin panjang-lebar. Widi hanya mengangguk-angguk, ia tak lagi banyak bertanya terlebih begitu duduk di kursi, Kelvin segera membuka laptop dan nampak begitu serius. Meskipun di satu rumah sakit yang sama dan Kelvin bisa sewaktu-waktu berkunjung, namun mau bagaimana pun dia tetap tidak tenang. Rasanya ingin Kelvin terus berada di sisi Agatha, terlebih Agatha sudah menunjukkan sikap yang berbeda, ia sudah kembali menjadi Agatha-nya yang dulu! Mendadak Kelvin teringat sesuatu, ia meraih ponsel yang dia taruh di meja. Satu persatu riwayat panggilan dia cek, sampai kemudian dia menemukan kontak itu. Kelvin segera menekan nomor itu, berharap bisa meminta bantuan untuk sedikit mengurangi rasa khawa
"Welcome home, Sayang!"Kelvin membuka pintu apartemen mereka lebar-lebar, mempersilahkan istrinya masuk ke dalam. Kelvin bergegas menutup pintu dan membawa koper mereka masuk. "Untung cuma empat hari doang udah boleh balik. Nggak bisa bayangin kalo beneran harus seminggu." Gumam Agatha lalu masuk ke dalam kamar. "Iya, aku juga nggak bisa bayangin harus jadi joki konsulen di IGD nggak kenal waktu." Cibir Kelvin dengan wajah masam. Agatha terkekeh, ia duduk di tepi ranjang sambil melepas tas selempang yang dia gunakan untuk menyimpan ponsel. "Nggak apa-apa, mayan kan banyak bahan belajar." Komentar Agatha berusaha menghibur suaminya. "Iya sih, cuma enakan mereka dong. Aku yang kerja, mereka yang gajian." Kelvin merebahkan tubuh ke atas kasur."Makanya semangat, biar cepet lulus dan gajian juga."Mendengar itu mata Kelvin langsung terbuka. Ia tersenyum melihat Agatha memperhatikan dirinya sambil tersenyum manis. Seketika Kelvin bangkit, beringsut mendekati Agatha dan mencondongkan