"Welcome home, Adel!"Kelvin membuka pintu kamar mereka lebar-lebar, mempersilahkan Agatha yang tengah menggedong Adel masuk terlebih dahulu ke dalam. Koper yang dibawa Handira sudah berpindah ke dalam ruang laundry, kini ia menyusul Agatha dan cucunya masuk ke dalam kamar. "Bobo sini, ya?" Dengan perlahan Agatha menurunkan Adel dari gendongan, membaringkan bayi menggemaskan itu ke dalam boknya. Sebuah bok yang Kelvin beli dan rakit sendiri beberapa minggu yang lalu. Saksi bahwa Kelvin sangat antusias sekali menyiapkan segala macam keperluan untuk menyambut gadis kecilnya yang cantik dan menggemaskan. "Lepas aja itu bedongnya, gerah siang-siang begini dibedong." Handira menatap Adel dari sisi kiri, nampak rona bahagia itu abadi di wajahnya. "Iya-iya, Ma. Ini Thata lepas." Agatha segera menuruti perintah mamanya, dengan lembut dan perlahan bedong itu dia lepas. Handira tersenyum, ia menarik kain bedong itu dan membawanya dipundak. Matanya belum mau lepas menatap wajah cantik dan
Handira tertegun, ia meletakkan ponsel di atas meja. Matanya memerah. Ingin dia meledakkan tantis saat ini juga. Namun tidak di tempat ini. Info yang masuk ke dalam ponsel dan emailnya adalah valid! Semua data dan infromasi yang dia terima juga bukan dari orang sembarangan. Handira harus segera bergerak, sebelum semuanya hancur berantakan! "Ya ampun, Gusti!" Handira mendesis perlahan. Segala macam rasa sedih, marah dan kecewa menyeruak dalam hatinya. Belum lagi perasaan bersalah itu ... Semua bergumul menjadi satu dan menghajar Handira dengan begitu luar biasa. Tidak! Ini bukan tentang penyakit mematikan yang dia derita! Tetapi ini tentang Agatha. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Bayangan senyum manis dan gelak tawa wajah itu terbayang di dalam pikiran Handira, hanya beberapa detik karena kemudian bayangan itu digantikan oleh bayangan wajah berurai air mata dengan tangis yang menyayat hati Handira. Handira menarik selembar tisu, ia menyeka air mata yang tak kuasa ia b
"Kenapa ini?"Handira meletakkan pulpen di meja, ia segera menjawab panggilan yang Dimas layangkan padanya. "Kenapa, Dim? Ada masalah?"Handira hendak kembali serius dengan jurnal yang tengah dia baca ketika kemudian Dimas bersuara dengan nada yang cukup serius. "Saya berubah pikiran, Dok."DEG!Jantung Handira seperti hendak meloncat dari tempatnya. Ketakutan itu mendadak menyergap hati Handira dengan begitu kuat. Ada apa ini? Kenapa Dimas tiba-tiba berubah pikiran? "Berubah pikiran yang bagaimana?" Tanya Handira dengan nada panik. Jangan bilang kalau .... "Saya berubah pikiran, Dok. Saya mau izin sama Dokter bahwa saya mengundurkan diri dari misi ini. Kalaupun nanti menantu Dokter dan Namira berpisah, itu bukan karena saya membantu Dokter, tetapi karena saya benar ingin serius dengannya dan menarik dia dari belengu yang dibuat oleh menantu Dokter sendiri."Hening! Handira mengerjapkan matanya, ia tidak salah dengar, kan? Apa yang tadi Dimas katakan? Dia bilang bahwa .... "Ka-k
Namira melangkah keluar kamar, ia hendak ke kamar mandi ketika lamat-lamat bayangan tubuh itu mencuri atensinya. Langkah Namira terhenti, ia menoleh dan mendapati di teras rumah, Dimas, lelaki yang kini berstatus suaminya itu, tengah menjemur cucian di sana. Alis Namira berkerut, bukankah Dimas baru pulang jaga? Namira pikir dia tengah membersihkan diri dan makan di meja makan, rupanya ... Namira melangkah mendekat, ia baru saja hendak memanggil Dimas ketika suaminya itu lantas menoleh lebih dulu. "Loh, kamu bangun? Ziel bobok?" Tanya Dimas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Mau pipis tadi. Aku pikir kamu mandi apa makan gitu. Kenapa malah jadi nyuci?" Tanya Namira lalu membungkuk dan hendak membantu sang suami menjemuri pakaian-pakaian bayi itu. "Et!" Dimas mencekal tangan Namira. "Tadi mau pipis, kan? Sana pipis dulu! Nggak bagus nahan pipis."Namira tersenyum, ia urung membantu suaminya dan segera melangkah masuk kedalam rumah setelah mencubit gemas perut Dimas. Ia berge
Lima tahun kemudian .... "Ziel, ayolah Sayang, kita harus berangkat sekarang!" Namira berteriak, ia memulas lisptick dengan terburu lalu meraih tas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar kamar, hendak berbelok ke kamar Ziel ketika bocah itu sudah lebih dulu muncul dengan seragam biru-putih dan dasi kupu-kupu. "Siap hari pertama sekolah?" Tanya Namira dengan bersemangat. "Siap dong, Ma! Berangkat sekarang, kan?" Senyum Ziel merekah, senyum yang merupakan warisan dari Dimas ada di wajah itu. Namira mengangguk pelan, ia meraih tangan Ziel dan melangkah bersama keluar dari rumah. Nampak wajah mereka berbinar cerah. Hari ini hari pertama Nazriel Dewangga Putra bersekolah. Tentu bocah lima tahun itu sangat excited sekali, terlebih sang mama sampai menukar shift jaga hanya demi mengantar dan menunggui Ziel di hari pertamanya sekolah. "Nanti pulangnya makan steak ya, Ma?" Ocehnya sambil naik ke atas mobil. "Boleh, yang deket tempat kerja p
“Memang usia mereka terpaut cukup jauh.”Suasana kafe yang cukup sunyi membuat suara lirih itu tidak mampu disamarkan lagi. Dengan jelas, lawan bicaranya mampu mendeteksi bahwa suara tersebut menyimpan tangis dan terpaku.Dewi meletakkan kertas-kertas yang sedari tadi dia bolak-balik dan perhatikan dengan saksama ke atas meja, bercampur dengan segala macam kertas dan dokumen lain yang berserakan di sana. Wanita paruh baya itu melepas kacamatanya, membuat sepasang mata yang telah memerah makin tampak jelas. Entah karena minus matanya yang makin bertambah ditambah ia sudah memelototi berkas-berkas berserakan itu sejak tadi atau karena permohonan sang sahabat yang membuat hatinya teriris perih. "Kamu yakin dengan keputusanmu?"Dewi menatap sosok itu, sosok yang langsung dengan sangat mantap menganggukkan kepala sebagai jawaban dari apa yang tadi Dewi tanyakan padanya. Jawaban yang kembali membuat Dewi diliputi kebimbangan yang teramat sangat. "Cuma kamu sekeluarga yang bisa tolong aku,
“Dijodohkan?”Agatha mematung di depan meja rias. Ia menatap bayangan dirinya seraya mengingat kembali apa yang ia curi dengar dari kamar sang mama. Kejutan apa lagi yang mau diberikan Handira untuknya? Dia pikir, ia akan dapat hadiah karena sudah lulus dan nantinya berhasil masuk fakultas kedokteran, ternyata malah begini.“Non ... Non Agatha!”Agatha tersentak mendengar panggilan dan ketukan di pintu kamar. Ia menghela napas panjang dan segera bangkit. Langkahnya sedikit berat, entah mengapa ia jadi macam orang linglung setelah mendengar obrolan Handira kemarin.“Kenapa, Mbak?”Agatha bersandar malas di pintu, tanpa ia tanya, sebenarnya ia sudah paham kenapa sampai asisten rumah tangga mamanya menyusul Agatha ke kamar.“Kok kenapa sih, Non? Jam berapa ini? Udah ditunggu ibu di meja makan, Non!” jawabnya sambil tersenyum.Benar, bukan?Agatha hanya balas tersenyum dengan anggukan kepala cepat. Sudah waktunya sarapan. Ia meraih tas ranselnya, menutup pintu kamar lalu melangkah dengan
Agatha menatap nanar kepergian Handira dari meja makan. Jadi dia diundang sarapan hanya untuk berdebat sengit macam tadi dan ditinggalkan begitu saja seperti ini? Tangis Agatha pecah, ia terisak dengan kepala tertuntuk. Segala macam susu dan pancake yang tersaji di meja sama sekali tidak menggiurkan di mata Agatha lagi.“Mama benar-benar sudah gila!” Agatha mendesis, kepalanya mendadak terasa begitu pusing.Bahkan Handira melakukan tindakan ekstrim dengan tidak membiarkan dia kemana-mana sendiri. Dia sudah seperti tahanan kota yang harus diawasi kemanapun dia pergi.“Loh, kok nggak dimakan, Non?”Suara itu nampak terkejut ketika Agatha bangkit dengan membawa tas ranselnya. Ia buru-buru menyeka air mata dan balas menatap sosok itu dengan senyum dipaksakan.“Simpenin buat nanti, Mbak. Aku mau langsung berangkat, ada urusan.” Kilahnya lalu buru-buru pergi.Ia tidak ingin dikasihani oleh siapapun atas nasib buruknya, jadi lebih baik ia segera menyingkir saja. Mbak Indah pasti mendengar se