Mereka sama-sama tidak mengerti, kenapa harus mereka menikah jika kenal saja tidak? Tapi agaknya keputusan itu sudah bulat. Mereka terpaksa mengalah dan pasrah dengan takdir yang dipilihkan oleh ke dua orangtua, hingga kemudian, waktu menjawab semuanya tepat ketika rahasia Kelvin terbongkar dan membongkar rahasia lainnnya. "Dia hamil, kan? Maka dari itu ceraikan aku!" Agatha Amelia Putri "Kenapa harus begitu? Kau pun hamil! Di rahim kamu ada anakku!" dr. Kelvin Hardyanto. "Kalian tidak akan bercerai! Sampai kapanpun mama tidak akan pernah merestui kalian pisah!" dr. Dewi Ardyanika, Sp. S.
View More“Memang usia mereka terpaut cukup jauh.”
Suasana kafe yang cukup sunyi membuat suara lirih itu tidak mampu disamarkan lagi. Dengan jelas, lawan bicaranya mampu mendeteksi bahwa suara tersebut menyimpan tangis dan terpaku.Dewi meletakkan kertas-kertas yang sedari tadi dia bolak-balik dan perhatikan dengan saksama ke atas meja, bercampur dengan segala macam kertas dan dokumen lain yang berserakan di sana.Wanita paruh baya itu melepas kacamatanya, membuat sepasang mata yang telah memerah makin tampak jelas. Entah karena minus matanya yang makin bertambah ditambah ia sudah memelototi berkas-berkas berserakan itu sejak tadi atau karena permohonan sang sahabat yang membuat hatinya teriris perih."Kamu yakin dengan keputusanmu?"Dewi menatap sosok itu, sosok yang langsung dengan sangat mantap menganggukkan kepala sebagai jawaban dari apa yang tadi Dewi tanyakan padanya. Jawaban yang kembali membuat Dewi diliputi kebimbangan yang teramat sangat."Cuma kamu sekeluarga yang bisa tolong aku, Wi. Cuma kamu satu-satunya orang yang aku percaya di dunia ini. Jadi tolong ... jangan kamu tolak permintaan aku ini, Wi!"Dewi mengangguk pelan. Mereka memang sudah lama sekali kenal. Sejak berjuang pre-klinik di universitas sampai sekarang masing-masing sudah menjadi spesialis.Keduanya adalah sahabat dekat, jadi tidak heran kalau Dewi menjadi orang yang paling dipercaya oleh sahabatnya tersebut."Tapi bagaimana dengan mereka, Ra? Seperti yang kamu bilang, selisih umur mereka cukup jauh,” ucap Dewi kemudian. “Kamu yakin anak kamu bakalan mau sama anak aku?"Sejak tadi, inilah yang mengganggu pikiran Dewi. Bila dibandingkan dengan Karina, anak ketiganya, sekalipun, usia putri sahabatnya yang bernama Agatha itu terpaut cukup jauh.Apalagi jika gadis itu harus menikah dengan putra nomor duanya, Kelvin?Dewi tidak bisa membayangkan penolakan yang akan dikoar-koarkan oleh kedua anak tersebut."Masalah itu ... biarkan aku yang atur semua.” Wanita di hadapan Dewi kembali berkata. “Aku yang bakalan kasih penjelasan sama Agatha tentang rencana kita ini. Tugas kamu cuma satu, Wi .... Tolong jelaskan pada Kelvin tentang permintaan aku, tanpa perlu kamu beri tahu soal alasan sesungguhnya. Kamu bisa, kan, Wi?"Sekali lagi suara itu begitu lirih, begitu parau terdengar, membuat Dewi kembali merasakan hatinya teriris pedih. Ia kembali menatap mata memerah itu dengan saksama, sebuah tatapan yang kembali membuat Handira, sahabatnya tersebut, buka suara."Aku percaya, Kelvin bisa jaga dan lindungi Agatha, Wi. Aku percaya ke depannya mereka akan bahagia, meskipun aku tahu, sadar, dan yakin betul semua keputusan ini akan sulit untuk mereka terima pada awalnya. Akan tetapi, aku percaya, suatu hari nanti mereka akan menjadi pasangan yang berbahagia."Dewi menghela napas panjang, ia meraih tangan Handira yang ada di atas meja, meremas lembut tangan itu sebagai bentuk dukungan kepada sosok tangguh yang selama ini berdiri sendiri setelah kematian suaminya."Kenapa kamu nggak jujur aja sih, Ra? Kenapa malah ha--""Cukup aku dan kamu yang tahu tentang semua ini, Wi. Tolong. Jangan sampai anak-anak tahu. Aku mohon!"Dewi terbungkam, ia tidak lagi melanjutkan protes dan pilih kembali menganggukkan kepala. Jujur, kepalanya sejak tadi terasa begitu pusing.Bagaimana tidak? Ia sedang berhadapan dengan permintaan sahabatnya yang agak tidak masuk akal, tetapi tidak bisa ia tolak!"Jadi ... kapan kamu akan bilang ke Agatha?” tanya Dewi pada akhirnya kemudian, Ia benar-benar tidak sanggup menolak permintaan Handira. “Kapan mereka akan kita pertemukan?""Bulan depan kita ada arisan, kan? Kita bawa mereka dan biarkan mereka banyak mengobrol berdua.” Handira menjelaskan. Kali ini, suaranya terdengar lebih kuat. “Mengenai perjodohan ini, aku akan sampaikan secepatnya. Bahkan kalau aku sudah sampai rumah nanti, aku akan langsung bilang ke Agatha.""Bagaimana kalau dia menolak? Dia masih muda sekali, bahkan dia belum lulus SMA, Ra. Siapa tahu juga dia punya pacar." Dewi kembali ragu. Ia juga tidak yakin putranya masih lajang. Kelvin sudah cukup berumur!"Dia tidak akan menolak, Wi! Percaya padaku! Punya atau tidak, satu-satunya lelaki yang aku inginkan menjadi pendamping Agatha cuma Kelvin! Kelvin anakmu, bukan Kelvin yang lain lagi."Dewi kembali mengangguk pelan, rasa bimbang dan galau itu makin memporak-porandakan hatinya. Segala macam kemungkinan berputar dalam otak Dewi.Namun, untuk menolak permintaan Handira, sekali lagi dia tidak mampu."Kamu setuju dengan rencana ini kan, Wi?"***"Wi, ayolah! Bukankah kita sudah sepakat tadi?"Handira berdiri di depan jendela kamar. Ponsel keluaran terbaru itu menempel rapat di telinga, tampak wajahnya begitu serius."Aku benar-benar takut kalau perjodohan ini hanya akan menyakiti masing-masing anak kita, Ra. Ingat, Agatha masih sangat muda sekali."Handira menghela napas panjang. Matanya terpejam dengan satu tangan memijit pelipis perlahan. Tidak perlu Dewi ingatkan, Handira sudah tahu, tahu betul bahwa Agatha memang masih sangat muda jika dipaksakan menikah. Handira adalah ibu kandung dari Agatha sendiri. Mana mungkin ia tidak menyadarinya?Namun, demi kebaikan putrinya tersebut, perjodohan ini harus tetap dilangsungkan."Tidak akan ada yang tersakiti. Ah mungkin awalnya begitu, tapi sebagai ibu, naluriku mengatakan bahwa mereka akan bahagia, Wi. Mereka cuma butuh waktu!" Handira kembali menegaskan. Untuk masalah ini dia sama sekali tidak mau dibantah!"Tapi, Ra ... apa tidak se--""Sudah kau bicarakan dengan suamimu, Wi?" potong Handira yang sudah tidak ingin mendengar penolakan atau sanggahan apa pun lagi."Be-belum, Ra!"Handira mendesah. Ia menatap nanar halaman rumah belakang dengan ketakutan yang kembali menganggunya. Bayangan Agatha bercokol dalam otak, membuat Handira harus memastikan bahwa rencana perjodohan ini harus berhasil bagaimanapun caranya!"Bicarakan pada suamimu segera. Lalu kita atur pertemuan mereka, Wi. Agatha dan Kelvin harus segera dipertemukan!" tegas Handira.Kini helaan napas berat Handira dengar dari seberang, membuat matanya terpejam dengan hati risau.Bagaimana dia bisa tenang kalau rencananya ini gagal? Apa yang harus dia lakukan padahal dia sama sekali belum menyusun plan B untuk masalah ini."Baik, secepatnya akan aku bicarakan, " ucap suara sahabatnya itu pada akhirnya."Bagus! Terima kasih banyak, Wi.” Handira membalas segera. Namun, tiba-tiba sebuah pertanyaan menyusup ke dalam otaknya. “Wi, Agatha tidak terlalu jauh dari kriteria menantu idaman kamu, kan?"Handira tahu, Agatha masih sangat kekanakan. Tapi ia yakin bahwa kelak, Agatha bisa menjadi menantu dan istri yang baik untuk Kelvin. Bisa menjadi menantu kebanggaan keluarga Dewi dan Ahmad."Agatha sempurna, Ra. Cantik, cerdas, sopan dan tutur katanya baik. Hanya saja untuk kriteria, Kelvin lebih berhak menentukan karena dia yang akan menjalani."Handira tersenyum getir. Dari kalimatnya, ia tahu betul bahwa sahabatnya ini sangat mementingkan perasaan anak-anaknya. Dua dari tiga anak Dewi sudah menikah dan Dewi tidak pernah mendikte kriteria menurut pandangannya pada anak-anak. Mereka dibebaskan memilih sendiri, bahkan anak nomor tiga pasangan itu memilih lelaki yang usianya terpaut cukup jauh dan Dewi sama sekali tidak keberatan asal bibit, bebet, dan bobotnya jelas!"Agatha akan menjadi istri yang baik, pasangan yang baik untuk Kelvin, Wi. Aku janji bahwa anakku tidak akan pernah mengecewakan kalian sekeluarga."Mata Handira memanas, dadanya mendadak sesak membayangkan kelebat wajah itu."Aku percaya soal itu, Ra.” Dewi berucap lembut.Hening.Hingga akhirnya, Dewi kembali berucap, “Baiklah, akan aku kabari segera untuk waktu yang tepat untuk mempertemukan mereka."Lega sekali hati Handira mendengar kalimat itu. Air matanya menitik bebarengan dengan senyum lega yang mengembang di wajah. Ia menyeka bulir bening yang menitik dari pelupuk mata, kembali fokus dengan obrolan.Wanita paruh baya itu tidak sadar bahwa ada sesosok gadis berdiri di balik pintu kamar yang sedikit terbuka sejak tadi. Tangannya yang putih bersih itu bergetar hebat. Sepasang matanya memanas.Ingin rasanya ia berteriak, tetapi entah mengapa ia seperti kehabisan daya. Batinnya bergumam:“Mama ingin jodohin aku sama anak tante Dewi? Kenapa? Apa yang terjadi?”Lima tahun kemudian .... "Ziel, ayolah Sayang, kita harus berangkat sekarang!" Namira berteriak, ia memulas lisptick dengan terburu lalu meraih tas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar kamar, hendak berbelok ke kamar Ziel ketika bocah itu sudah lebih dulu muncul dengan seragam biru-putih dan dasi kupu-kupu. "Siap hari pertama sekolah?" Tanya Namira dengan bersemangat. "Siap dong, Ma! Berangkat sekarang, kan?" Senyum Ziel merekah, senyum yang merupakan warisan dari Dimas ada di wajah itu. Namira mengangguk pelan, ia meraih tangan Ziel dan melangkah bersama keluar dari rumah. Nampak wajah mereka berbinar cerah. Hari ini hari pertama Nazriel Dewangga Putra bersekolah. Tentu bocah lima tahun itu sangat excited sekali, terlebih sang mama sampai menukar shift jaga hanya demi mengantar dan menunggui Ziel di hari pertamanya sekolah. "Nanti pulangnya makan steak ya, Ma?" Ocehnya sambil naik ke atas mobil. "Boleh, yang deket tempat kerja p
Namira melangkah keluar kamar, ia hendak ke kamar mandi ketika lamat-lamat bayangan tubuh itu mencuri atensinya. Langkah Namira terhenti, ia menoleh dan mendapati di teras rumah, Dimas, lelaki yang kini berstatus suaminya itu, tengah menjemur cucian di sana. Alis Namira berkerut, bukankah Dimas baru pulang jaga? Namira pikir dia tengah membersihkan diri dan makan di meja makan, rupanya ... Namira melangkah mendekat, ia baru saja hendak memanggil Dimas ketika suaminya itu lantas menoleh lebih dulu. "Loh, kamu bangun? Ziel bobok?" Tanya Dimas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Mau pipis tadi. Aku pikir kamu mandi apa makan gitu. Kenapa malah jadi nyuci?" Tanya Namira lalu membungkuk dan hendak membantu sang suami menjemuri pakaian-pakaian bayi itu. "Et!" Dimas mencekal tangan Namira. "Tadi mau pipis, kan? Sana pipis dulu! Nggak bagus nahan pipis."Namira tersenyum, ia urung membantu suaminya dan segera melangkah masuk kedalam rumah setelah mencubit gemas perut Dimas. Ia berge
"Kenapa ini?"Handira meletakkan pulpen di meja, ia segera menjawab panggilan yang Dimas layangkan padanya. "Kenapa, Dim? Ada masalah?"Handira hendak kembali serius dengan jurnal yang tengah dia baca ketika kemudian Dimas bersuara dengan nada yang cukup serius. "Saya berubah pikiran, Dok."DEG!Jantung Handira seperti hendak meloncat dari tempatnya. Ketakutan itu mendadak menyergap hati Handira dengan begitu kuat. Ada apa ini? Kenapa Dimas tiba-tiba berubah pikiran? "Berubah pikiran yang bagaimana?" Tanya Handira dengan nada panik. Jangan bilang kalau .... "Saya berubah pikiran, Dok. Saya mau izin sama Dokter bahwa saya mengundurkan diri dari misi ini. Kalaupun nanti menantu Dokter dan Namira berpisah, itu bukan karena saya membantu Dokter, tetapi karena saya benar ingin serius dengannya dan menarik dia dari belengu yang dibuat oleh menantu Dokter sendiri."Hening! Handira mengerjapkan matanya, ia tidak salah dengar, kan? Apa yang tadi Dimas katakan? Dia bilang bahwa .... "Ka-k
Handira tertegun, ia meletakkan ponsel di atas meja. Matanya memerah. Ingin dia meledakkan tantis saat ini juga. Namun tidak di tempat ini. Info yang masuk ke dalam ponsel dan emailnya adalah valid! Semua data dan infromasi yang dia terima juga bukan dari orang sembarangan. Handira harus segera bergerak, sebelum semuanya hancur berantakan! "Ya ampun, Gusti!" Handira mendesis perlahan. Segala macam rasa sedih, marah dan kecewa menyeruak dalam hatinya. Belum lagi perasaan bersalah itu ... Semua bergumul menjadi satu dan menghajar Handira dengan begitu luar biasa. Tidak! Ini bukan tentang penyakit mematikan yang dia derita! Tetapi ini tentang Agatha. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Bayangan senyum manis dan gelak tawa wajah itu terbayang di dalam pikiran Handira, hanya beberapa detik karena kemudian bayangan itu digantikan oleh bayangan wajah berurai air mata dengan tangis yang menyayat hati Handira. Handira menarik selembar tisu, ia menyeka air mata yang tak kuasa ia b
"Welcome home, Adel!"Kelvin membuka pintu kamar mereka lebar-lebar, mempersilahkan Agatha yang tengah menggedong Adel masuk terlebih dahulu ke dalam. Koper yang dibawa Handira sudah berpindah ke dalam ruang laundry, kini ia menyusul Agatha dan cucunya masuk ke dalam kamar. "Bobo sini, ya?" Dengan perlahan Agatha menurunkan Adel dari gendongan, membaringkan bayi menggemaskan itu ke dalam boknya. Sebuah bok yang Kelvin beli dan rakit sendiri beberapa minggu yang lalu. Saksi bahwa Kelvin sangat antusias sekali menyiapkan segala macam keperluan untuk menyambut gadis kecilnya yang cantik dan menggemaskan. "Lepas aja itu bedongnya, gerah siang-siang begini dibedong." Handira menatap Adel dari sisi kiri, nampak rona bahagia itu abadi di wajahnya. "Iya-iya, Ma. Ini Thata lepas." Agatha segera menuruti perintah mamanya, dengan lembut dan perlahan bedong itu dia lepas. Handira tersenyum, ia menarik kain bedong itu dan membawanya dipundak. Matanya belum mau lepas menatap wajah cantik dan
"Aduh-aduh si Gemoy!"Ruang inap Agatha jadi riuh. Sore hari, Dewi dan Ahmad benar-benar datang. Bahkan papa mertuanya itu masih sangat rapi karena pulang mengisi simposium langsung terbang demi melihat cucunya. "Adel, Ma. Namanya Adel!" Desis Kelvin merevisi, Kelvin sendiri sudah dengan setelan scrub, ia izin sebentar pada chief residennya untuk menemui Ahmad dan Dewi yang baru datang. "Biarin ih! Panggilan kesayangan kok." Balas Dewi tak mengindahkan. Kelvin mencebik, ia malah jadi macam kambing congek. Tidak ada yang peduli padanya. Semua perhatian tertuju pada Adel! Dia bintangnya sekarang. "Gimana, Tha? Ada keluhan?" Ahmad duduk di kursi yang ada di sebelah bed Agatha, Agatha sendiri duduk di tepi ranjang, tengah memperhatikan bagaimana para nenek itu sedang heboh menggendong cucunya. "Biasalah, Pa. Bekas jahitannya ini." Jawab Agatha sambil tersenyum getir, meskipun tidak sesakit kontraksi atau pas melahirkan, namun tetap saja rasa perih itu sangat menganggu dan membuatnya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments