Cih!
Adam berdecak kesal.
Posisinya benar-benar sedang tak ingin diganggu dan hasratnya sudah terlanjur tersentuh dengan aura malam pertama, tapi si pengganggu sepertinya tak peduli.
Sementara Irene terkesiap. Tak menyangka kalau ada yang berani membuka kamar pribadi Adam tanpa mengetuk pintu.
“Seharusnya kau mengunci pintu, Kakakku. Atau kau lebih suka dilihat orang?” kekehan sinis mengikuti di belakang kalimat tanya itu.
Dengan wajah kesal, Adam turun dari tempat tidur dan menghujamkan pandangannya pada si pengganggu. Ia menyisir kasar rambutnya seraya melemparkan protes keras, “Kau yang harusnya punya sopan santun, Al.”
“Aw … maaf kalau begitu. Aku hanya terlalu bersemangat untuk memberi ucapan selamat pada kakak iparku,” ujar laki-laki yang wajahnya sangat muda itu.
Ada sedikit kemiripan dengan Adam terlihat di sana. Seperti lesung pipit yang terbentuk saat tersenyum, Irene pernah menangkap keberadaan lesung pipit itu saat Adam berbincang dengannya di ruang makan kala lalu.
Lagi, tamu tak diundang itu bertanya, “Apa wanita ini istrimu? Kau pandai sekali memilih istri. Cantik.”
Kalimat itu terdengar seperti pujian, tapi entah kenapa Irene merasa takut dengan kehadiran pria yang memanggil Adam dengan sebutan kakak. Ia pun segera beringsut mendekati Adam dan bersembunyi di balik tubuh tinggi sang suami yang tengah berdiri membelakanginya.
Menghela napas kesal, Adam tak punya pilihan selain mengenalkan mereka. “Irene, honey. Ini adikku, Aldrich. Al, ini istriku. Irene.”
Otak Irene sempat membeku saat Adam menggunakan panggilan sayang itu. Namun, ia sadar kalau itu adalah isyarat baginya agar bersikap layaknya seorang istri.
Spontan Irene menganggukkan kepala dan menyapa, “Senang bertemu denganmu, Aldrich.”
“Hai! Kakak ipar. Aku juga senang akhirnya bisa melihat istri kakakku. Dia sangat menentang ide untuk membagikan foto kalian.”
“Diam, Al.” Adam tak berniat membiarkan Aldrich berada di kamar pribadinya lebih lama lagi. Jadi, ia menambahkan, “Kita bicara di ruang kerja saja.”
Agar terlihat lebih natural, Adam mendekat dan mengecup kening Irene sambil berkata, “Hon, kau tidur saja duluan. Aku menyusul nanti.”
“Aw! Goodnight, kakak ipar cantik!” seru Aldrich sambil dipaksa keluar dari kamar itu oleh Adam yang terus mendorong punggung sang adik.
Irene mengangguk lemas di tempatnya berdiri. Ia benar-benar tidak menyangka kalau tugasnya jadi bertambah. Menjadi artis dadakan dengan peran istri kesayangan CEO.
Barulah setelah Adam menutup pintu kamar, Irene bisa bernapas lega.
“Mau mati rasanya. Udah deg-degan mau malam pertama, malah kedatangan adiknya Pak Adam,” keluh Irene sambil menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. “Kayaknya mereka nggak akur ya. Apa aku salah?”
Tengah larut dalam pikirannya, tiba-tiba pintu kamar diketuk. Irene langsung melompat lagi dari kasur dan membetulkan jubah malamnya.
“Sebaiknya aku sekalian balik ke kamar,” batin Irene sambil membuka pintu kamar itu.
Namun, ketika pintu dibuka, Irene melihat Nannia sudah berada di sana dengan koper miliknya. “Nannia? Ngapain bawa-bawa koper saya?”
“Non Irene, perintah dari Pak Leon, untuk sementara waktu Nona pakai kamar Tuan Adam. Saya akan segera membawa semua barang-barang Nona ke sini. Apa ada yang penting perlu diambil selain pakaian dan tas kerja?”
Netra Irene membelalak, kaget dengan keputusan tiba-tiba ini. “Tapi, kenapa?”
Nannia tersenyum sambil menjawab, “Kan sudah resmi menikah. Memang harus satu kamar, kan?”
Rasanya Irene ingin berteriak, memprotes Leon yang pernah mengatakan hal yang berbeda dengan yang terjadi saat ini.
“Katanya cuma kalau ada hal yang penting aja aku sekamar sama Pak Adam! Sekarang kenapa jadi begini?!” raung Irene dalam hati.
Tak sampai 10 menit, semua barang-barang Irene sudah berada di kamar Adam. Sambil bersenandung Nannia meletakkan semua itu di tempat masing-masing, tinggallah Irene termenung meratapi nasibnya.
“Non, sudah saya rapikan barang-barang Nona. Pakaian ada di lemari, sabun-sabun dan semua kebutuhan mandi sudah ada di kamar mandi. Selamat malam, Non Irene.”
Irene hanya bisa mengangguk dan membiarkan ART-nya itu keluar dari kamar yang sekarang menjadi kamar Irene juga.
“Aduh! Kenapa jadi begini ya?!” keluh Irene sambil mengacak-acak rambutnya.
Sibuk meratapi diri, seseorang kembali mengetuk pintu kamar Adam. Kali ini Leon mendatanginya.
“Nona, saya perlu menjelaskan beberapa hal,” ujar Leon sambil melangkah masuk ke dalam kamar.
Melihat wajah Leon yang absen senyuman, Irene bisa menangkap kalau apa yang akan dikatakan Leon adalah hal yang kurang menyenangkan.
Setelah pintu tertutup rapat, Leon mulai membuka mulut, “Tuan Aldrich berencana menginap selama 2 minggu di sini. Oleh karena itu, sampai beliau pergi dari sini, Nona Irene mohon menjadikan kamar ini sebagai kamar pribadi Nona juga.”
“Apa?! 2 minggu, Pak Leon? Apa tidak bisa diusir saja?” keluh Irene yang sudah membayangkan kelelahan yang akan ia tanggung karena menahan rasa canggung berada di kamar yang sama dengan Adam.
Leon menggelengkan kepala, merasa kecewa juga dengan keadaan yang terjadi sekarang. “Ada kemungkinan ini juga adalah perintah dari Tuan besar untuk memata-matai Tuan Adam. Jadi, saya mohon kerjasama Nona untuk membuat pernikahan ini tak terlihat dipaksakan.”
Mulut Irene spontan membuka untuk protes, tapi tidak ada kalimat yang terpikirkan yang bisa ia lontarkan. Ia sudah menandatangani perjanjian itu, bahkan Adam sudah memenuhi kewajibannya dengan menyelesaikan utang Irene terhadap perusahaan lamanya.
“Saya bukan lulusan sekolah artis, Pak Leon. Bagaimana saya harus pura-pura?” Lagi, Irene mengeluhkan besarnya tanggung jawab yang harus ia emban.
Karena kalau salah langkah sedikit saja, ia akan menghancurkan seluruh rencana Adam.
Kali ini Leon tersenyum. “Tenang saja, Nona. Sebisa mungkin, Tuan Adam akan berusaha menjauhkan Tuan Aldrich dari Nona. Kemungkinan besar Nona harus berpura-pura adalah saat makan pagi bersama.”
Dahi Irene berkerut tak setuju. “Saya kan harus berangkat ke kantor, Pak Leon.”
“Ah … Tuan Adam akan mengurus hal itu. Nona bisa berangkat saat Tuan Aldrich sudah tidak ada di rumah. Jangan sampai Tuan Aldrich mengetahui Anda bekerja di perusahaan Bright.” Leon menjelaskan dengan tenang, karena sebenarnya yang mengurus semua itu adalah Leon. Ditambah lagi, ia sudah selesai mengurus hal ini sebelum mendatangi Irene tadi.
“Bagaimana kalau Aldrich datang ke kantor?”
“Tidak perlu khawatir. Tuan Aldrich tidak diperbolehkan menginjakkan kaki di kantor Bright Co.Ltd. Hal itu sudah menjadi perjanjian Tuan Adam dengan Tuan besar Adolf Allaster.”
Setelah penjelasan panjang lebar itu, Leon akhirnya pamit.
Irene menatap sekeliling kamar Adam kemudian menghela napas panjang, membayangkan 2 minggu ke depan ia akan pulang ke kamar ini.
“Nggak cuma satu atap, tapi malah satu kamar,” keluh Irene sembari berbaring di atas tempat tidurnya.
Sisi kiri yang ia pilih, dekat dengan kamar mandi, kalau-kalau ia mau kabur saking gugupnya.
“Memandang langit-langit yang sama dengan Pak Adam. Bagaimana aku bisa tidur di samping pria itu?!”
10 tahun sejak kelahiran Bella Jackson Allaster. Noah sudah berusia 12 tahun dan berhasil melompati kelas sehingga tahun ini ia sudah masuk SMP.“Apa kau yakin, kau bisa mengikuti pelajaran di SMP?” tanya Irene khawatir. “Kau bisa belajar dulu di rumah sampai usia 13 tahun, Noah.”Noah memutar bola matanya kemudian menoleh ke arah Adam yang sibuk mengisi piring Bella dengan berbagai menu sarapan. “Dad, please jelasin ke Momma. Dia terlalu khawatir.” “Momma hanya takut kau dibully, Noah,” ujar Adam menengahi. “Pertanyaannya hanya kamuflase. Tidak mungkin Momma meragukan kejeniusan Noah. Benar kan, Sayang?”Mendengar ucapan itu, Irene merasa tertegur. Ia baru sadar kalau ucapannya mengecilkan sang putra. Tak mau Noah sakit hati, Irene segera mengiyakan ucapan Adam.“Kau paling muda sendiri di SMP, Noah.”Dengan senyum penuh kebanggaan Noah menjawab, “Aku sudah dapat blue belt-ku, Mom. Jangan khawatir.”Adam menatap Irene kemudian tersenyum penuh arti. Meminta sang istri untuk berhenti
“Tidak, tidak! Ma–maksudku, iya. Ah! Bukan! Tunggu sebentar!” pekik Giana panik. Ia mengangkat kedua tangannya, berusaha menenangkan diri. Irene yang tak bisa percaya bahwa sang sahabat menyembunyikan berita baik itu, mengiriminya tatapan penuh protes, tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya.“Oke, oke. Kujelaskan. Aku tunangan, yes. Tapi bukan berarti aku sedang hamil.”“Tunangan!” pekik Irene dengan nada kesal. “Kenapa aku nggak diundang?!” Giana terkekeh, walau ia tahu Irene sedang kesal betulan. Dengan sabar ia menjelaskan, “Kau tahu kondisimu 3 bulan lalu masih nggak memungkinkan untuk turun dari tempat tidur, Irene. Ini aja aku ke sini karena Adam sudah membuka gembok rumah kalian.”Bibir Irene maju 5 centi. Cemberut. Merajuk kesal, tapi tidak bisa membalas penjelasan Giana. Pasti Adam yang sudah memblokir semua kegiatan luar, supaya dirinya tidak berpikir untuk memaksakan diri hadir. “Siapa tunanganmu?” tanya Irene yang akhirnya menyerah. Dengan penuh semangat Giana mengel
“Tuan Adam, ini kainnya,” ucap Nannia yang akhirnya bisa masuk ke ruang makan.Sebenarnya sejak tadi ia sudah tiba di sana, tetapi karena melihat majikannya sedang saling mengutarakan rasa cintanya dengan bahasa tubuh, ia memutuskan untuk menunggu sampai ada celah baginya untuk masuk.Adam segera mengambil kain itu dan melingkarkannya di tubuh Irene yang memeluk Noah. “Bilang kalau terlalu kencang ya.”“Mm. Sudah pas,” ujar Irene sambil menganggukkan kepala. “Thanks, Adam.”Sementara Irene menaruh perhatian penuh pada Noah, Adam memanggil Leon untuk membahas kebutuhan makan malam yang ia janjikan pada Irene. “Pesan kotatsu*. Juga meja makan pendek. Kursi yang lembut dan empuk untuk Irene bisa duduk di lantai. Siapkan untuk malam ini.” Adam memberi perintah pada Leon. Pria tua yang mendengarkan sang majikan, melirik jam yang melingkar di tangannya. Jelas waktunya tidak akan cukup jika harus memesan kotatsu asli dari Jepang.Namun, Leon tetap menjawab, “Baik, Tuan Adam. Akan segera sa
3 bulan setelah pemeriksaan.“Ini obatnya, Nyonya.” Nannia menyerahkan piring kecil berisi 5 butir pil yang harus diminum Irene. Semenjak hasil pengecekan rahim berjalan tak terlalu bagus, Darren sibuk mencarikan obat-obatan yang bisa memperkuat kondisi rahim dan juga janin di dalamnya.Rahim Irene sedikit melemah, sejak keguguran. Saat kehamilan Noah pun, Darren berusaha memberi semua yang terbaik, demi kehidupan sang putra mahkota itu. Saat itu, ia tidak memberitahu kondisi ini karena melahirkan Noah adalah sebuah keadaan yang harus terjadi bagaimanapun caranya. Setelah kehilangan bayi mereka karena kecelakaan yang ditimbulkan oleh Sarah, Darren tak punya hati untuk memberitahu mereka bahwa ada kondisi di mana 50% kehamilan Irene akan gagal. Karena itu, ia berjuang sendiri untuk menjaga kehamilan Irene. Namun, kali ini berbeda. Anak kedua bukan hal yang wajib terjadi. Adam sudah memenuhi syarat untuk menjadi pewaris Allaster. Itulah kenapa, akhirnya Darren memutuskan untuk memb
“Aku aman.”Ucapan yang terdengar mantap dari Giana tadi justru membuat Irene merasa was-was. Ia berharap bisa menempatkan orang yang ia percaya untuk menjaga Giana. Namun ia tahu, meminta Regan yang menjadi bodyguard Giana tidak akan disetujui Adam.Dan saat ini Irene sudah bersama Adam untuk kembali pulang. Tengah panik dengan semua bayangan negatif di kepalanya, Adam tiba-tiba berkata, “Ir, jangan khawatir. Masalah ini sudah kuceritakan pada Grandpa Allan. Kau tenang saja. Oke?”Irene menatap sang suami dengan tatapan terpana, seolah sang suami sudah melakukan hal terhebat baginya. Ia memeluk Adam erat sambil berkata, “Thanks, Adam. Aku nggak tahu lagi kalau sampai Giana terbawa-bawa dengan urusan Franz.”Adam mengusap punggung Irene dengan sayang. Walau Irene tidak meminta, tapi ia sudah menempatkan Regan di restoran Giana. Ia tidak suka melihat istrinya menghamburkan air mata kalau-kalau terjadi sesuatu pada sahabatnya itu.“Sampai Grandpa Allan memberi tanda kalau kondisi sudah
Beberapa hari setelah perkenalan Franz pada keluarga besar Allaster, Irene mendapat undangan dari Giana untuk datang berkunjung. Sahabatnya itu membuka area bar di lantai 2 restorannya. Tak pernah menebak bahwa Giana akan punya hubungan dengan Franz, Irene pun datang ke acara sang sahabat bersama dengan Noah. Tentu saja, seperti perintah Adam, ia juga membawa Regan bersamanya. “Kenapa ada orang itu di sini? Apa Giana sudah langsung membuka bar-nya untuk publik?” batin Irene bertanya-tanya, ketika ia mendapati sosok Franz tengah berbincang ramah dengan Giana di meja bar.“Oh! Irene! Noah! Sudah datang!” seru Giana sambil berjalan keluar dari belakang meja bar. Berusaha bersikap tenang, Irene pun membalas sapaan sang sahabat dengan ucapan selamat. “Congratz, Gi! Bar-nya keren banget!”Ha! Ha! Ha!Giana tergelak menerima pujian tulus Irene itu. Ia kemudian mendorong pundak Irene untuk duduk di salah satu sofa yang nyaman untuknya dan Noah.“Dan ibu menyusui nggak boleh minum di sini,