“Kenapa aku harus menunggu disaat aku bisa meraihnya?” tanya Dante.“Karena aku tidak percaya dengan perasaanmu Dante!” jawab Jach meremehkan, “pernahkah sekali saja kau bertanya pada Audrey tentang mimpinya, hal yang dia suka hingga hal yang paling dia benci didunia ini? Pernahkan kau bertanya apa yang bisa membuatnya bahagia? Kau hanya memikirkan kebahagiaanmu sendiri, tapi lupa bagaimana cara membahagiakannya.”Dante menarik napasnya dalam-dalam, dadanya tergores sakit mendengar pertanyaan Jach yang telah menampar dirinya dengan hal-hal sederhana.“Enam bulan kau meninggalkannya saat dia mengandung, aku mengerti kau mengurus isterimu karena saat itu kau masih belum tahu kebenarannya. Demi Tuhan, Dante! Sebenci apapun kau pada Aurelie Harper saat itu, kau sangat tercela karena menyiksa darah dagingmu dalam kandungan hingga dia mengalami kelaparan karena pengabaian! Aku saksi hidupnya, Audrey berjuang untuk mempertahankan Matthias dan berjuang untuk mempertahankan nyawanya sendiri de
Jach menghela napasnya dengan berat, memandangi rumah Audrey yang kosong sejak empat hari lalu. Setiap hari Jach datang untuk memeriksa, namun Audrey tidak kunjung terlihat, Audrey tidak bisa dihubungi, terakhir kali Audrey memberinya kabar empat hari lalu melalui pesan suara singkatnya. ‘Aku ingin pergi sejenak Jach, tidak perlu dicari. Jangan khawatir, aku hanya butuh waktu untuk berpikir.’ Pesan singkat itu Jach pikir hanya sebatas pemberitahuan biasa, sama seperti saat dia berpamitan untuk menemui Matthias di rumah sakit agar Jach tidak salah paham. Jach tidak menyangka bahwa pesan singkat itu justru membawa Audrey pergi lebih dari satu hari lamanya. Jach telah masuk kedalam rumah itu, tidak ada satupun hal yang aneh, semuanya tertata rapi dan Audrey pergi membawa tasnya dengan beberapa pasang pakaian, masalahnya Audrey mematikan handponenya sehingga tidak bisa dihubungi dengan cara apapun. Entah kemana perginya Audrey sekarang, Jach merasa jika kini gadis itu sedang
"Menurutmu aku ini cantik atau tidak?" tanya Aurelie mendesak.Dante mendengus kesal, sepanjang malam dia dan Audrey menunggu Matthias yang tengah sakit. Bisa-bisanya pertanyaan pertama yang terucap dari mulut Aurelie sesuatu yang sama sekali tidak ada hubungannya denga Matthias."Kau datang sejauh ini hanya untuk bertanya omong kosong ini padaku!" tegur Dante. "Lihatlah Matthias di dalam! Dia tengah sakit karena permen yang kau masukkan kedalam mulutnya."Aurelie mengerjap, teguran keras Dante mengingatkan alasan utamanya datang ditengah malam ke rumah sakit.Untuk Matthias..Pandangan Aurelie langsung tertuju pada dinding kaca yang memperlihatkan segalanya. Matthias yang berada diranjangnya, Audrey yang meringkuk di sofa, pandangan Aurelie berpindah pada Dante yang masih berdiri dihadapannya.Berkali-kali Aurelie melihat mereka bergantian dengan renungan. Lalu dilihatnya diri sendiri yang terpantul dalam bayangan dengan tangan gemetar, siapapun yang melihatnya, mereka pasti akan tah
“Kupegang kata-katamu Jach!” ucap Aurelie terdengar seperti ancaman.Jach mulai berbalik sepenuhnya dan menutup pintu mobil, pria menghadap Aurelie sekali lagi. Awalnya dia tidak ingin membuang waktu untuk bicara dengan Aurelie, namun sepertinya dia perlu menuntaskan sesuatu dan membuat perubahan agar berhenti berlarut-larut dalam ketidak pastian.Semua hal harus kembali pada tempatnya masing-masing.“Bagaimana denganmu sendiri Aurelie?” Jach balik bertanya, “apa kau yakin, kau ingin membuat Audrey dan Dante bersama?”Kepala Aurelie sedikit memiring, gadis itu sedang mencoba memahami akan kemana arah perkataan Jach selanjutnya jika dia menjawab. “Kau tidak memiliki perasaan apapun pada Dante setelah belasan hari kau menghabiskan waktu bersama dengannya?” tanya Jach sekali lagi, menguji kejujuran Aurelie yang hanya bisa dilihat dari sorot matanya.Deg!Kini giliran Aurelie yang dibuat terguncang oleh pertanyaan Jach. Apakah Aurelie memiliki perasaan pada Dante?Belasan hari setelah ti
Menyadari kedatangan Jach, Aurelie bergeser menjaga jarak, pria selalu membuatnya tidak nyaman karena intimidasi liar yang tidak terucap. Jach menyapukan pandangannya, melihat penampilan Aurelie yang hanya mengenakan gaun tipis dan sandal berbulu, tubuhnya bergerak gelisah dan matanya yang liar berusaha menghindari kontak mata menyiratkan bahwa dia sedang mengalami masalah. Perhatian Jach terpusat pada tangan kecilnnya yang gemetar memegang cerutu agar tidak jatuh dari genggaman. “Bagaimana kabar Matthias?” tanya Aurelie. “Baik-baik saja, tidak ada yang perlu kau khawatirkan,” jawab Jach menggantung, “harusnya kau masuk ke dalam, jika terlalu lama disini, kau akan bergabung dengan pasien lain karena hipotermia.” “Tutup mulutmu,” geram Aurelie kesal, dia sedang risau dan tidak berani menghadap Dante maupun Audrey, dengan entengnya Jach memintanya masuk. Jach berdecih menatap dingin, lebih dingin dari dinginnya salju yang berjatuhan. “Apa kau tidak bosan dan ingin terus se
Aurelie tertidur lelap dilantai tanpa alas, cuaca dingin yang menusuk tampaknya tidak begitu berpengaruh padanya yang telah mendapatkan obat.Ditengah kesunyian kamarnya yang tenang, sekelebat bayangan bergerak diremang-remang cahaya, mendekat kearahnya degan hati-hati.Bayangan itu semakin mendekat, terlihat ada tangan yang mengeluarkan sesuatu dari balik punggung dan terayun, tepat saat bayangan itu hendak melakukan sesuatu, mata Aurelie terbuka dan langsung bangun dengan waspada, mencengkram tangan orang asing itu dan menahannya untuk tidak melakukan apapun.Aurelie sudah terbiasa diborgol dan mendapatkan berbagai perlakuan, sesuatu yang berbahaya seperti ini sudah menjadi bagian dari hidupnya.“Siapa kau?” tanya Aurelie dengan teriakan.Cengkraman erat Aurelie ditepis kasar, tubuhnya didorong mundur hingga tersungkur mundur.Bayangan itu menjauh dan berlari, Aurelie bangkit ke dinding menyalakan seluruh lampu. Anehnya lampu tidak kunjung menyala hingga butuh waktu berkali-kali me