Demi biaya pengobatan sang ayah, Audrey rela menggantikan posisi kakak kembarnya untuk memberikan seorang anak pada Tuan Dante Arnaud. Sayangnya, keadaan Audrey begitu sulit karen harus menerima banyak tuduhan dan kebencian dari perilaku buruk sang kembaran di masa lalu, termasuk Dante.... Lantas, bagaimana nasib Audrey? Apakah ia akan berhasil atau justru identitasnya diketahui oleh Dante ...?
Lihat lebih banyakDi tengah malam yang gelap gulita, Audrey duduk menghadap telepon umum.
Digenggamnya beberapa koin uang yang tersisa.
Sejak perceraian orang tuanya, masa kecil Audrey hanya penuh dengan pemandangan suram. Sang ayah terjatuh dalam jurang depresi. Setiap hari dia berangkat bekerja sebagai buruh pabrik dan meninggalkan Audrey sendirian di rumah. Upah buruh yang tidak seberapa selalu habis untuk biaya makan dan mabuk-mabukan Arman, tidak jarang Arman menjual barang-barang rumah demi bisa mabuk. Audrey pun harus bertahan di rumah yang berdinding tambalan kayu yang saat hujan akan bocor dan saat musim salju selalu ada banyak arang yang terbakar di setiap penjuru tempat karena tidak ada penghangat ruangan. Audrey sangat marah. Namun, dia tidak bisa membenci sikap ayahnya setelah mendengar cerita dari banyak orang bahwa Arman berubah menjadi pemabuk semenjak ditinggal oleh isterinya yang berselingkuh. Menyedihkannya sejak Audrey menginjak usia lima belas tahun, Arman mulai berhenti bekerja karena terkena kanker. Sehingga, ketika Audrey lulus sekolah SMA, dia harus banting tulang menerima pekerjaan apapun untuk menggantikan peran ayahnya agar bisa bertahan hidup dan mencari biaya pengobatan. Satu tahun setelah Audrey lulus sekolah, kini keadaan Arman semakin parah dan tidak lagi bisa hanya meminum obat di rumah. “Keadaan ayah Anda semakin memburuk, namun biaya untuk kemoterapi cukup banyak, pihak rumah sakit tidak dapat memberi keringanan lagi,” ucap seorang perawat, “Untuk melakukan beberapa kali kemoterapi dan biaya lainnya, kemungkinan Anda butuh seratus ribu dollar.” Audrey terhenyak kaget, darimana dia bisa mendapatkan uang sebesar itu? “Apa dengan kemoterapi, ayah saya bisa sembuh?” tanya Audrey. “Ya, ada banyak pasien yang bersih dari kanker setelah kemoterapi.” Audrey mengusap sikunya dengan tangan yang berkeringat dingin. “Tolong lakukan yang terbaik untuk ayah saya, saya akan mengusahakan semua biayanya,” pinta Audrey dengan suara bergetar menahan tangisan. “Waktu Anda hanya tinggal dua hari lagi Nona Audrey. Hubungilah kerabat Anda agar bisa mereka bisa membantu.” “Saya akan mengusahakannya,” jawab Audrey penuh keyakinan saat itu. Tapi, kini Audrey putus asa. Seluruh kenalan dan kerabat Arman yang ditelpon untuk meminta pertolongan–menyatakan bahwa mereka tidak bisa. Tes! Gerimis mulai turun, membawa kilauan cahaya di bawah terangnya lampu jalanan. Wajah Audrey terangkat, matanya berkaca-kaca menahan tangisan putus asanya, tidak tahu harus kemana lagi kini dia meminta pertolongan. Dikeluarkannya buku kecil dari saku jaketnya yang lusuh, melihat satu-satunya nomer telepon yang belum dia coba hubungi, yaitu ibunya. Sejak ditinggal pergi bercerai, wanita itu sama sekali belum pernah datang berkunjung menemui Audrey, bahkan sekadar menanyakan kabar. Sejujurnya, Audrey sama sekali tidak pernah tahu seperti apa kehidupan ibu dan kembarannya sekarang. Begitupun dengan rupa ibunya yang telah tidak ada lagi dalam ingatan. Apakah bisa, kini Audrey menghubunginya untuk meminta tolong? Setelah cukup lama mempertimbangkannya dalam perenungan, Audrey masuk ke dalam ruang telepon umum lagi dan memasukan koin-koin terakhir yang dia miliki, mengharapkan bantuan ditengah keputus asaannya. Suara deringan telepon yang tersambung terdengar. Audrey menantinya sambil merapalkan do’a, berharap ibunya bersedia membantunya. “Hallo,” suara seorang wanita terdengar dibalik telepon. Bibir Audrey bergetar, beberapa kali dengan mengatur napas untuk mengumpulkan keberanian berbicara, “Saya ingin berbicara dengan Nyonya Salma.” “Saya Salma, Anda siapa?” Audrey meringis, menekan dadanya yang berdebar kencang menyadari bahwa itu suara ibunya yang selama ini tidak pernah diketahui. “Sa saya Audrey, adik Aurelie.” Hening…. Salma tidak memberikan reaksi apapun dibalik teleponnya setelah tahu dia berbicara dengan Audrey, kembarannya Aurelie. “Kebetulan sekali, bagaimana kabarmu Audrey?” tanya Salma setelah cukup lama diam. Audrey mengusap sudut bibirnya tidak kuasa menahan tangisan yang sudah mendesak. “Saya baik-baik saja, ta tapi ayah sakit,” jawabnya terbata. “Kau butuh bantuan?” tanya Salma langsung menyadarinya. Audrey terdiam sejenak, menggenggam erat gagang telepon. “Jika Ibu berkenan, saya ingin meminta tolong kepada Ibu,” jawab Audrey tidak membuang waktu, itu koin terakhirnya dan dia tidak bisa menghubungi Salma lagi jika waktunya telah habis. “Jadi apa yang kau butuhkan?” Audrey tercekat kaget mendengar tanggapan ibunya yang begitu cepat menjawab tanpa meminta banyak kepastian apakah Audrey jujur atau berbohong. Beberapa kali Audrey mengatur napasnya, mengumpulkan keberanian untuk berkata, “Saya butuh seratus ribu dollar untuk ayah kemoterapi,” jawab Audrey terbata. “Itu uang yang cukup besar, kau bisa mendapatkannya asal bersedia memenuhi satu syarat.” Tanggapan baik Salma yang langsung bersedia membantu meski harus syarat, sedikitpun tidak memunculkan kecurigaan, justru membangkitkan harapan Audrey untuk bisa memperjuangkan kesembuhan ayahnya. “Syarat apa yang harus saya penuhi?” tanya Audrey dengan penuh semangat.Apapun akan dia lakukan jika itu bisa membuat ayahnya kemoterapi dan sembuh dari sakitnya.
Mungkin, Tuhan menjawab doanya lewat sang ibu?
“Bagaimana kabarmu Jach?” “Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja,” jawab Jach.“Kau menikmati statusmu sekarang?” tanya Mante lagi, mempertanyakan kepeminpinan organisasai yang telah diambil alih oleh Jach.Tangan Jach terkepal erat, rahangnya mengeras dengan tatapan tajam, memandangi senja bermega merah yang menggantung dibalik gumpalan awan. Jach sangat benci mendengar pertanyaan Mante, nada suaranya yang sinis seperti sedang menuduhnya seolah posisi tertinggi yang Jach raih saat ini adalah hasil dari rampasan yang bukan haknya.Harusnya Mante sadar, jika saja Mante tidak pergi semua hal ini tidak akan terjadi! “Aku diam dan tidak memiliki banyak keputusan di malam itu karena aku terkejut, tidak percaya bahwa ternyata perempuan yang akan aku nikahi dalam waktu beberapa jam lagi, dia seorang intelegent polisi yang ditugaskan untuk menangkapku,” cerita Mante.Mante mulai bernapas dengan berat, pria itu membakar cerutu dan menghisapnya beberapa kali, menciptakan keheningan dite
Dante meremas kuat tangan yang berkeringat dingin, matanya tidak berhenti melihat kepenjuru arah, menunggu kepulangan Serena yang sebentar lagi akan tiba.Selama Serena pergi ke luar negeri, dia sudah mencoba memantau pergerakannya hingga mendapatkan informasi bahwa wanita itu melakukan proses operasi plastik. Dante sudah tahu apa yang Serena lakukan, namun yang belum dia ketahui, operasi apa yang Serena lakukan?Selama Serena pergi, diam-diam kepemilikan gallery seni mulai dipindah tangan kepada Inka dan Serena melelang semua asset-nya.Serena telah melakukan sesuatu yang tidak terbaca. Sesungguhnya, bukan masalah bagi Dante jika Serena enyah selama-lamanya dari kehidupannya, bila perlu mereka tidak pernah bertemu lagi sampai nanti mati, mungkin dengan begitu Dante akan bisa memaafkan semua kesalahannya yang selama ini diperbuat. Akan tetapi, bagaimana jika justru apa yang Serena lakukan saat ini adalah bagian dari rencana untuk mengganggu kehidupannya lagi?Bagaimana jika Serena ma
Aurelie mengusap kembali sisi kursi roda, naluri yang sempat hilang perlahan terhubung diantara mereka saat tatapan mereka saling bertemu dan mengikat.Audrey bisa menjawab dengan kata-kata yang lembut dan menenangkannya, namun matanya berlainan arah. Aurelie mulai tidak dapat membaca isi hati saudaranya yang kini entah berada dimana.Apa keinginan Aurelie agar Audrey bisa bersatu dengan Dante adalah sesuatu yang sangat mustahil bisa terjadi? Saat Audrey akan kembali menyuapinya, Aurelie menahan tangan Audrey dan perlahan menurunkannya. “Hal apa sebenarnya yang telah memberatkanmu Audrey?”Audrey mulai meletakan kembali sendoknya ke mangkuk. Audrey sudah berusaha menjelaskannya dengan sederhana, namun Aurelie masih ingin membahasnya seolah jawabannya tidak cukup memuaskan hatinya. Apalagi yang sebenarnya harus Audrey sampaikan kepada semua orang? Audrey sudah sangat bosan terus menerus mendengar desakan seperti ini, rasanya dadanya sesak tidak memiliki waktu untuk kembali tenang.
Jenazah Salma berada dalam peti.. Di dalam ruangan yang dingin itu, Audrey berdiri memperhatikannya dalam waktu lama. Menatap lekat wajah perempuan yang telah melahirkan dirinya. Seorang perempuan yang hidupnya berakhir tragis setelah menghancur apapun yang ada disekitarnya demi uang, berpikir bahwa waktu dan kesenangan akan terus berada ditanganya, dan nyatanya kini dia berakhir tanpa kemenangan. Tangan Audrey terkepal kuat dengan tarikan napas beratnya, terus menerus memandangi wajahnya yang akan segera dibawa pergi untuk proses kremasi dan dimakamkan sebaik-baiknya sebagaimana dulu dia dilahirkan dengan baik. Hari-hari berlalu, peristiwa datang silih berganti dalam hidup Audrey. Namun kematian Salma tidak meninggalkan jejak sedikit pun di hatinya. Tak ada duka, tak ada kehilangan. Hanya sunyi yang tak berarti. Meskipun begitu, Audrey tahu bahwa perempuan itu tetaplah ibunya.. Audrey mengusap permukaan peti jenazah itu dengan senyuman pedihnya. “Aku telah memaafkan seor
Audrey mengangkat wajahnya sekali lagi, mempertahankan air matanya agar tidak lagi terjatuh hari ini. Berkali-kali dia berusaha untuk mengenyahkan sakit yang bersarang dalam dada kala dengar rintihan penuh penyesalan Donna yang mulai menyayat hati.Itu adalah tangisan seorang ibu yang tengah menyesali kecerobohannya yang secara tidak langsung telah menjadi sumber kehancuran anaknya sendiri.Audrey tahu persis perasaan itu sekarang, perasaan seorang ibu yang rela melakukan apapun demi kebahagiaan putranya, bersujud di bawah kaki orang lain demi secuil pengampunan.Tak ada yang lebih memilukan daripada seorang ibu yang jatuh karena kesalahan pada darah dagingnya sendiri.Kerasnya hati Audrey yang tertutup rapat dari perdamaian, akhirnya dia buka melalui tangan kecil menyentuh bahu Donna. Perlahan Audrey turun dari kursinya dan duduk di lantai, membuka tangannya dan memeluk Donna yang tengah bersujud.Tangis Donna pecah semakin keras, seakan seluruh penyesalan hidupnya tumpah dalam sat
Suara tangisan Matthias terdengar dari rumah kecil itu, Donna berdiri dalam keragun, dia mulai kehilangan keberaniannya untuk melangkah lebih jauh.“Ibu, kenapa diam saja?” tanya Dante menyentak keterdiaman Donna.Donna tersenyum sungkan, berjam-jam dia menunggu Audrey di rumah sakit, namun karena Aurelie masih belum sadarkan diri di ruang ICU. Audrey tidak diizinkan datang membawa bayi.Karena itulah Donna datang ke tempat ini ditemani oleh Dante. Donna sudah tidak kuat untuk menahan lebih lama permintaan maaf yang begitu ingin dia ucapkan kepada Audrey atas segala hal yang telah terjadi.“Ayo, Ibu,” ajak Dante menarik lembut tangan ibunya yang sejak kemarin berusaha mendapatkan kesempatan untuk bisa berbicara dengan Audrey.“Ini waktu yang tepat kan Dante?” tanya Donna masih ragu.“Meminta maaf tidak membutuhkan waktu yang tepat, Ibu,” jawab Dante menyakinkan.Akhirnya Donna pun mengikuti langkah putranya dan pergi ke teras kayu kediaman Audrey, menunggunya keluar dengan beberapa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen