Abraham menghela napas panjang saat melihat Lily mengambil makanan dari rak dan menuju kasir tanpa sedikit pun rasa ragu. Ia hanya bisa menggeleng pelan sebelum akhirnya merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kartu untuk membayar makanan yang diambil oleh wanita itu.
"Tak punya uang tapi ingin jajan," ujar Abraham, nada suaranya terdengar datar namun penuh sindiran. Lily tak menoleh, tak tertarik membalas ucapannya. Baginya, yang terpenting saat ini adalah mengisi perutnya. Ia merobek bungkus roti dengan cepat dan mulai melahapnya tanpa beban. Mereka keluar dari toko itu tanpa banyak bicara. Mereka kembali melanjutkan perjalannya yang sempat terhenti oleh Lily. Sebuah mobil mewah hitam menjemput mereka di bandara. Abraham akhirnya menghentikan langkahnya sebelum sampai pada mobil jemputannya itu. "Lily, ingat! Kamu bukan lagi Lily saat ini, melainkan Marsanda, istriku. Kamu tahu? Dia begitu anggun dan...." tanyanya serius. Lily berhenti sejenak, masih mengunyah makanannya. Ia memotong ucapan Abraham dengan berani. "Aku tahu bagaimana dia. Tak perlu kau terus mengingatkanku bagaimana dia. Kau tahu? Dalam hati ini aku terluka." tanyanya santai. "Kamu harus ingat tentang kontrak kerja sama kita." Lily tertawa kecil. "Tentu saja aku ingat, Tuan Abraham. Aku cuma lapar, dan kamu kebetulan ada di sini." "Kamu tahu bukan itu maksudku," suara Abraham terdengar lebih tegas. "Aku tidak mau ada masalah sebelum rencana balas dendam ini berjalan lancar. Tapi... kalau terus begini, apa tak sebaiknya kerja sama ini kita batalkan dan kau membayar dendanya sebesar 30 Milyar?" bisik Abraham tepat di samping telinga Lily. Lily menatapnya dengan tatapan sulit ditebak, lalu kembali berjalan tanpa menjawab. Abraham mendesah. Ia tak tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Lily. Wanita itu selalu saja seperti ini—seolah dunia hanya tentang dirinya sendiri, seolah ia tak peduli bagaimana orang lain memandangnya. Namun, di balik sikapnya yang santai dan acuh, Abraham tahu Lily menyimpan kepahitan dalam hidupnya lebih dari dirinya. Lily melangkah masuk ke dalam mansion besar yang mewah, matanya terus menatap ke sekeliling melihat langit-langit tinggi dengan lampu kristal yang berkilauan. Lantai marmer mengkilap memantulkan cahaya dari lampu gantung raksasa di tengah ruangan. Deretan pelayan berjejer rapi di sisi kanan dan kiri, menundukkan kepala dengan penuh hormat. "Selamat datang, Tuan dan Nyonya Abraham," ucap seorang pria tua dengan pakaian serba hitam, yang tampak seperti kepala pelayan. Lily menoleh ke arah Abraham dengan penuh tanya. Ia berbisik pelan, "Rumah siapa ini?" Abraham tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke depan, membiarkan Lily mengikutinya dengan rasa penasaran yang semakin membesar. Setelah beberapa langkah, ia akhirnya berhenti dan menatap Lily dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ini rumah tempat kita merencanakan balas dendam kita," ucapnya dingin. "Balas dendam pada mereka yang telah menyakiti dan mengkhianati kita." Lily menggigit bibirnya, hatinya berdebar saat dirinya ingat bagaimana Crish dan madunya berusaha menyingkirkannya dari muka bumi. Semua yang ia alami membuatnya memutuskan untuk bekerja sama dengan Abraham. Abraham sejauh ini terasa misterius, tetapi ia tahu ada alasan di balik semua ini. "Tapi..." Lily masih ragu. "Bukankah waktu itu kamu menunjukkan sebuah rumah sederhana padaku?" Abraham tersenyum miring, lalu berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke taman luas. "Itu hanya tempat peristirahatan sementara aku dan Marsanda. Aku tidak bisa langsung membawamu ke sini sebelum yakin bahwa kamu siap." Lily menatap punggung Abraham. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat bulu kuduknya meremang. Bukan ketakutan, melainkan rasa penasaran yang bercampur dengan ketidakpastian. "Apa maksudmu dengan 'siap'?" Abraham menoleh perlahan, matanya menatap tajam ke arah Lily. "Siap untuk mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya. Dan siapa aku... yang sebenarnya." Lily merasakan hawa dingin menjalari tengkuknya. Ia tidak tahu apakah ia harus merasa takut atau justru semakin ingin tahu tentang semua ini. Yang jelas, malam ini, ia baru saja memasuki dunia yang sama sekali berbeda. Dunia yang penuh dengan rahasia dan balas dendam. "Antarkan dia ke kamar!" Abraham memberi perintah pada kepala pelayan mansion itu. Pria itu mengangguk patuh. "Mari Nyonya," ajak kepala pelayan itu merasa heran dengan permintaan tuannya. "Kenapa seperti orang baru di rumah ini," gumam kepala pelayan dengan nada suara yang dibuat sepelan mungkin. Namun, Abraham menyadari kecurigaan kepala pelayannya pada Lily. "Ingat Roberto. Dia baru siuman dari tidur panjangnya dan ia juga mengalami sedikit gegar otak yang membuat dirinya melupakan beberapa hal, misalnya mengenai rumah ini," kata Abraham. pria itu mengangguk, memahami apa yang Abraham sampaikan pada mereka semua. Lily berjalan mengikuti Robeto yang akan menunjukan kamar tidurnya. "Nyonya, silahkan beristirahat dengan nyaman," ucap Roberto sambil mempersilahkan Lily untuk masuk ke dalam kamar. "Kamar yang sangat luas, lebih luas dari kamarku yang dulu," gumam Llly dalam hati sambil melangkah masuk mengagumi kamar itu. Robeto merasa sangat asing dengan Lily yang berpenampilan sebagai Marsanda, nyonya rumah yang mereka tempati. "Jangan banyak berpikir. Mungkin apa yang tuan Abraham katakan adalah benar," gumamnya sambil menutup pintu kamar.Tubuh Rina membeku saat Crish jatuh tersungkur dengan kepala pecah akibat peluru yang Abraham tembakan padanya. Matanya membelalak lebar dengan mulut yang ternganga karena terkejut. Abraham dengan dingin menatap Rani. "Bawa dia!" Perintah Abraham pada anak buahnya. Dua orang anak buah Abraham menyeret tubuh Rani dengan paksa. Lily melangkah mendekati tubuh Crish yang tak lagi bernyawa. Darah menggenang di lantai kayu gudang yang lembap, menciptakan bau anyir yang menusuk hidung. Ia menatapnya tanpa ekspresi, lalu menghela napas pelan. "Seharusnya kau tahu bagaimana akhirnya permainan ini, Crish," gumamnya dingin. Abraham menyimpan kembali pistolnya, menatap Lily sekilas sebelum berbalik. "Kita harus pergi dari sini." Lily mengangguk. Namun, sebelum mereka melangkah keluar, ponsel Crish yang masih tergeletak di lantai bergetar. Nama di layar membuat Lily langsung meraih ponsel itu. Leonard. Lily menekan tombol jawab dan mendekatkan ponsel ke telinganya. "Kau benar-benar c
Rani duduk diam di sudut ruangan kumuh itu, memeluk tubuhnya sendiri seolah berusaha mencari kehangatan dalam dinginnya ketakutan yang menyelimuti dirinya. Waktu terus berjalan, tetapi pikirannya masih berputar tanpa menemukan jalan keluar. "Jika aku menjalankan perintah Lily, aku akan kehilangan segalanya. Tapi jika aku menolak, dia tidak akan membiarkanku hidup dengan tenang." Matanya beralih ke amplop yang masih berada di genggamannya. Jari-jarinya mengusap permukaan amplop itu dengan ragu. Ia tahu, di dalamnya terdapat perintah Lily—perintah yang bisa mengubah takdirnya, entah menuju kehancuran atau kelangsungan hidupnya. Tok! Tok! Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak. Jantungnya berdegup kencang saat seorang pria berbadan tegap masuk ke dalam ruangan. Itu salah satu orang kepercayaan Lily. "Waktumu hampir habis, Rani," katanya dengan suara dingin. Rani menelan ludah. Napasnya tersengal. Ia tak punya pilihan lain selain membuat keputusan sekarang. Tapi… keputu
Lily melangkah pelan memasuki bangunan reyot yang hampir roboh. Bau busuk menyengat menyambutnya, tetapi ia tak terganggu sedikit pun. Di sudut ruangan yang lembap dan gelap, Rani terduduk dengan tubuh penuh luka. Rambutnya acak-acakan, wajahnya kotor, dan pakaiannya compang-camping. Ia hampir tak terlihat seperti wanita angkuh yang dulu merampas segalanya dari Lily. "Lama tak bertemu, Rani." Suara lembut Lily menggema di ruangan sunyi itu, namun ada nada dingin di dalamnya. Rani mengangkat wajahnya dengan susah payah. Matanya nanar, penuh ketakutan dan kepasrahan. "Lily…" suaranya serak, hampir seperti bisikan. "Tolong… aku… aku tak bisa lagi." Lily tersenyum samar dan berjalan mendekat, lalu berjongkok di depan Rani. "Tolong?" ia tertawa kecil. "Kau tidak ingat bagaimana dulu aku memohon padamu? Bagaimana aku hampir mati karena permainan kotor yang kau lakukan?" Rani menggeleng lemah, air matanya jatuh satu per satu. "Aku salah… aku menyesal… aku bersedia menebus sem
Rani menatap bayangannya di cermin mobil. Wajahnya sudah sempurna dengan riasan halus yang menonjolkan kecantikannya. Gaun merah elegan yang membalut tubuhnya seakan menjadi senjata terakhirnya untuk menghadapi Abraham. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu… Ini sama saja dengan menggali kuburnya sendiri. "Abraham tak mudah didekati, apalagi disentuh," gumamnya sambil menatap gedung bertingkat tempat pria itu berkantor. Tangannya sedikit gemetar saat membuka pintu mobil. Ia sadar, sekali ia melangkah masuk, maka ia tak akan bisa mundur lagi. Langkah demi langkah ia tempuh dengan hati berdebar. Para karyawan yang lalu lalang di lobi meliriknya sekilas, tetapi ia mengabaikannya. "Aku harus melakukannya. Jika aku ingin bertahan, aku harus membuatnya percaya." Sesampainya di depan ruang utama, ia menarik napas panjang sebelum berbicara kepada sekretaris Abraham. "Aku ingin bertemu dengan Tuan Abraham," ucapnya dengan senyum yang ia paksakan. Sekretaris itu menatapnya denga
Rani mundur selangkah, ponselnya hampir terjatuh dari tangannya. Napasnya tersengal, jantungnya berdetak kencang. "Tidak... ini tidak mungkin," bisiknya ketakutan. Ia dengan cepat menutup semua tirai apartemennya, lalu berlari ke pintu untuk memastikan kuncinya masih terpasang. Ia bahkan menekan tubuhnya ke pintu, seolah-olah itu bisa melindunginya dari ancaman yang terasa semakin nyata. Notifikasi ponselnya berbunyi lagi. "Jangan buang waktu, Rani. Aku menunggumu." Rani menggeleng, menggigit bibirnya untuk menahan kepanikan. Crish benar-benar serius. Dia masih bisa menjangkaunya, bahkan saat ia berpikir sudah aman. Tangannya mulai berkeringat saat ia mencoba berpikir jernih. Pilihan apa yang aku punya? Jika ia menolak, Crish pasti akan terus memburunya, mungkin lebih dari sekadar ancaman. Tapi jika ia menuruti perintahnya, itu berarti ia harus berhadapan dengan Abraham dan Lily lagi. Dua pilihan, dan keduanya sama buruknya. Ia mendongak, menatap bayangannya di cermin
Crish dibawa pergi oleh anak buah Abraham, tapi bahkan saat borgol terpasang di tangannya, seringai puas masih menghiasi wajahnya. Ia dilempar ke dalam mobil, namun sebelum pintunya ditutup, ia menatap Abraham dengan penuh arti. "Kau terlalu percaya diri, Abraham," katanya. "Jangan berpikir bahwa menyingkirkanku akan membuat hidupmu lebih mudah. Karena bahkan di balik jeruji, aku masih bisa menyentuh Lily." Abraham mengepalkan tangannya. "Kau menyentuhnya sekali lagi, dan aku pastikan kau tidak akan pernah melihat dunia luar lagi." Crish tertawa. "Kau pikir aku perlu menyentuhnya sendiri? Dunia ini penuh dengan orang-orang yang bisa dibayar, Abraham. Kau tahu itu lebih baik dariku." Abraham tidak berkata apa-apa lagi. Ia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menutup pintu mobil, lalu mobil itu melaju, membawa Crish ke tempat di mana dia seharusnya berada—penjara. Namun, perasaan tidak nyaman mulai mengusik Abraham. Lily duduk di ruang kerja Abraham, menatap keluar jend