"Bi, siapkan makan malam!" perintah Rani dengan tegas pada Surti, pembantu yang baru ia rekrut beberapa waktu lalu. Surti, seorang wanita paruh baya, mengangguk patuh sambil tersenyum lembut. "Baik, Nya," ucap Surti sambil berlalu menuju dapur.
Rani tersenyum puas, merasa berkuasa dalam rumah peninggalan Lily. "Huh! Enaknya jadi Nyonya rumah, kenapa tidak dari dulu aku menyingkirkan Lily?" dengus Rani, menyesali kesalahan yang sudah ia perbuat. Rani menghela napas panjang, seraya memikirkan keberuntungan yang baru saja ia nikmati. "Ternyata begini rasanya jadi orang kaya, tinggal tunjuk sana tunjuk sini memberi perintah, semua pekerjaan rumah pun beres," ujarnya bergumam dalam hati, sambil memainkan kuku-kukunya yang telah ia beri warna merah menyala, lalu Rani melipat kedua tangannya di atas meja makan sembari menunggu terhidangnya makanan dengan lauk pauk yang lezat. Merasa bosan karena menunggu lama, Rani berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya yang dulu milik Lily. Kini, ia berhak menempati kamar tersebut dan menikmati segala fasilitas yang ada di dalamnya. Tangannya mengelus kasur empuk yang terasa begitu mewah, sementara matanya menatap langit-langit kamar yang tinggi. Rani baru tinggal beberapa hari di rumah itu. Selama inj Crish menyembunyikan keberadaannya dari khalayak ramai. Dan satu minggu yang lalu Crish menjemputnya dari tempat persembunyiannya selama ini karena Rani terus-menerus merengek minta pindah ke rumahnya Lily yang besar dan mewah. Sambil tersenyum lebar, Rani memutuskan untuk memanjakan dirinya dengan mandi air hangat yang telah diberi minyak esensial aroma terapi di bak mandi besar yang terletak di sudut kamar mandi. Pikirannya melayang pada betapa hidupnya berubah drastis sejak ia berhasil menyingkirkan Lily, dan bagaimana ia kini menjadi penguasa di rumah ini. "Ah! Betapa indahnya hidup ini," gumam Rani, tenggelam dalam kebahagiaan yang tak terhingga. Rani mengenakan pakaiannya, ia menyisir rambutnya sambil bersenandung. Pintu kamar terbuka dan menampilkan wajah letih suami tercintanya. "Sayang, kamu sudah pulang? Bagaimana pertemuannya? Lancarkan?" Rani memberondong Crish dengan banyak pertanyaan. Ia tak menghiraukan wajah lelah suaminya itu. "Semuanya lancar. Semoga saja tender itu jatuh pada perusahaan kita," jawab Crish sembari membuka jasnya dan Rani mengambilnya dari tangan Crish lalu meletakkannya di atas ranjang besar beralaskan kain sprai bermotif bunga mawar kesukaannya. Rani membantu Crish membuka dasi yang melingkar di leher Crish, bibirnya terus mengulas senyum. "Kelihatannya kamu sedang senang?" tanya Crish pada Rani. "Iya. Aku sangat bahagia bisa memiliki semua ini, sungguh aku tak menyangka akan semudah itu menyingkirkan Lily si brengsek itu," tutur Rani. Kalimat terakhirnya mengandung kebencian yang begitu dalam pada Lily. Crish menoel hidung Rani lembut, ia tersenyum saat mendengar ucapan Rani. "Apa sekarang kamu sudah benar-benar bahagia?" tanya Crish. "Tentu aku sangat bahagia, bagaimana tidak? Aku kini menjadi orang kaya dengan harta melimpah. Apa pun yang aku inginkan dapat aku wujudkan dengan sangat mudah," ungkap Rani tanpa rasa malu. Waktu berjalan begitu cepat, sudah setahun sejak kecelakaan tragis yang menimpa Lily, istri dari Crish. Kini, perusahaan yang semestinya direbut kembali oleh Lily, tetap berada di tangan Crish, karena takdir memilih jalan lain untuk Lily. Di sebuah ruang perawatan rumah sakit, seorang wanita tengah terbaring dengan seluruh tubuhnya ditutupi dengan selimut khas rumah sakit. Wanita itu adalah Lily yang kini terjebak dalam wajah baru dan tampilan baru sebagai Marsanda. Pagi itu, Abraham mendatangi Lily. "Bangun!" Perintah Abraham sembari menarik selimut yang menutupi seluruh tubuh Lily. Lily menahan selimut itu dengan kuat. "Biarkan aku mempersiapkan mentalku dulu," pinta Lily. "Aku belum sepenuhnya menguasai diriku sebagai Marsanda, istrimu," lanjutnya. "Baik. Aku akan memberimu waktu. Dalam 5 menit aku minta kamu sudah harus siap," tegas Abraham sembari melirik arloji mahal yang melingkar di pergelangan tangannya. "Baik, Tuan Abraham," sahut Lily. Di dalam selimut, Lily menghela napas dalam-dalam. Dalam tatapan nanar pria itu, terlihat betapa ia merindukan senyum manis Marsanda, istri tercintanya yang kini ada pada diri Lily. Entah bagaimana bisa senyuman Lily dan Marsanda begitu mirip. Terlebih setelah ia menjalani operasi, kemiripan itu kian semakin jelas. Senyuman yang selama ini ia rindukan itu Abraham dapatkan secara diam-diam dari Lily. Sekalipun banyak yang menganggap pria itu sebagai pria kejam dan tak memiliki hati nurani, namun di hadapan Marsanda, ia selalu menjadi sosok yang baik ,lembut dan penyayang. Marsanda lah yang menjadi alasan Abraham untuk berjuang menjadi orang yang baik dan tak lagi kejam, namun kini wanita itu terbaring tak bernyawa di bawah tumpukan tanah merah. Sekarang, tak ada lagi alasan baginya untuk merubah dirinya menjadi orang baik. Abraham kembali menarik selimut itu dengan kuat dan menghempaskannya ke lantai. "Cepat bangun!" "Aku tak banyak waktu untuk semua ini," kata Abraham dengan sorot mata tajam dan dingin. Tak ada senyuman yang terukir di wajah bengisnya. Lily balik menatap mata tajam itu. "Aku akan bangun," kata Lily. "Cepat kenakan itu!" Abraham melempar tote bag ke sisi lain di mana Lily sedang duduk di tepi ranjang brangkar. Lily tak merespon, ia tetap diam dengan kedua mata yang terus menatap Abraham dengan berani. "Tidak bisakah kau berlaku sedikit lembut pada patner kerjamu ini?" protes Lily sambil meraih tote bag yang Abraham lemparkan tadi. Abraham berbalik, ia berjalan menuju pintu keluar. Lily mengganti pakaiannya dengan baju yang baru saja Abraham berikan padanya. "Aku sudah siap!" teriak Lily. Ia tahu kalau Abraham tak pergi jauh. Lalu, terdengar langkah kaki yang menjauh dan pintu terbuka. "Nyonya, saatnya kita kembali," ucap sang asisten Abraham pada Lily. Lily berjalan di belakang Abraham. Ia terus memandang punggung tegap pria yang berjalan di depannya itu. "Tak buruk. Hanya saja.... dia terlalu dingin dan berwajah masam," gumam Lily dalam hati. Menyadari kekeliruannya, Lily pun memukul kepalanya sendiri. "Ish! Apaan sih?" protesnya pada dirinya sendiri. Sepanjang perjalanan tak ada sepatah kata pun yang terucap di antara keduanya. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. "Kamu lapar tidak?" tanya Lily pada Abraham secara tiba-tiba. Lily mengelus perutnya sendiri, "Aku lapar," ujarnya. Lalu, ia pun pergi meninggalkan Abraham. Lily pergi ke sebuah toko yang ada di area bandara, ia membeli sepotong roti dan sebotol air mineral untuknya. Ketika akan membayar, ia baru teringat bahwa dirinya tak memiliki uang sepeser pun. "Bagaimana ini?" tanya Lily dalam hati dengan wajah bingung.Tubuh Rina membeku saat Crish jatuh tersungkur dengan kepala pecah akibat peluru yang Abraham tembakan padanya. Matanya membelalak lebar dengan mulut yang ternganga karena terkejut. Abraham dengan dingin menatap Rani. "Bawa dia!" Perintah Abraham pada anak buahnya. Dua orang anak buah Abraham menyeret tubuh Rani dengan paksa. Lily melangkah mendekati tubuh Crish yang tak lagi bernyawa. Darah menggenang di lantai kayu gudang yang lembap, menciptakan bau anyir yang menusuk hidung. Ia menatapnya tanpa ekspresi, lalu menghela napas pelan. "Seharusnya kau tahu bagaimana akhirnya permainan ini, Crish," gumamnya dingin. Abraham menyimpan kembali pistolnya, menatap Lily sekilas sebelum berbalik. "Kita harus pergi dari sini." Lily mengangguk. Namun, sebelum mereka melangkah keluar, ponsel Crish yang masih tergeletak di lantai bergetar. Nama di layar membuat Lily langsung meraih ponsel itu. Leonard. Lily menekan tombol jawab dan mendekatkan ponsel ke telinganya. "Kau benar-benar c
Rani duduk diam di sudut ruangan kumuh itu, memeluk tubuhnya sendiri seolah berusaha mencari kehangatan dalam dinginnya ketakutan yang menyelimuti dirinya. Waktu terus berjalan, tetapi pikirannya masih berputar tanpa menemukan jalan keluar. "Jika aku menjalankan perintah Lily, aku akan kehilangan segalanya. Tapi jika aku menolak, dia tidak akan membiarkanku hidup dengan tenang." Matanya beralih ke amplop yang masih berada di genggamannya. Jari-jarinya mengusap permukaan amplop itu dengan ragu. Ia tahu, di dalamnya terdapat perintah Lily—perintah yang bisa mengubah takdirnya, entah menuju kehancuran atau kelangsungan hidupnya. Tok! Tok! Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak. Jantungnya berdegup kencang saat seorang pria berbadan tegap masuk ke dalam ruangan. Itu salah satu orang kepercayaan Lily. "Waktumu hampir habis, Rani," katanya dengan suara dingin. Rani menelan ludah. Napasnya tersengal. Ia tak punya pilihan lain selain membuat keputusan sekarang. Tapi… keputu
Lily melangkah pelan memasuki bangunan reyot yang hampir roboh. Bau busuk menyengat menyambutnya, tetapi ia tak terganggu sedikit pun. Di sudut ruangan yang lembap dan gelap, Rani terduduk dengan tubuh penuh luka. Rambutnya acak-acakan, wajahnya kotor, dan pakaiannya compang-camping. Ia hampir tak terlihat seperti wanita angkuh yang dulu merampas segalanya dari Lily. "Lama tak bertemu, Rani." Suara lembut Lily menggema di ruangan sunyi itu, namun ada nada dingin di dalamnya. Rani mengangkat wajahnya dengan susah payah. Matanya nanar, penuh ketakutan dan kepasrahan. "Lily…" suaranya serak, hampir seperti bisikan. "Tolong… aku… aku tak bisa lagi." Lily tersenyum samar dan berjalan mendekat, lalu berjongkok di depan Rani. "Tolong?" ia tertawa kecil. "Kau tidak ingat bagaimana dulu aku memohon padamu? Bagaimana aku hampir mati karena permainan kotor yang kau lakukan?" Rani menggeleng lemah, air matanya jatuh satu per satu. "Aku salah… aku menyesal… aku bersedia menebus sem
Rani menatap bayangannya di cermin mobil. Wajahnya sudah sempurna dengan riasan halus yang menonjolkan kecantikannya. Gaun merah elegan yang membalut tubuhnya seakan menjadi senjata terakhirnya untuk menghadapi Abraham. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu… Ini sama saja dengan menggali kuburnya sendiri. "Abraham tak mudah didekati, apalagi disentuh," gumamnya sambil menatap gedung bertingkat tempat pria itu berkantor. Tangannya sedikit gemetar saat membuka pintu mobil. Ia sadar, sekali ia melangkah masuk, maka ia tak akan bisa mundur lagi. Langkah demi langkah ia tempuh dengan hati berdebar. Para karyawan yang lalu lalang di lobi meliriknya sekilas, tetapi ia mengabaikannya. "Aku harus melakukannya. Jika aku ingin bertahan, aku harus membuatnya percaya." Sesampainya di depan ruang utama, ia menarik napas panjang sebelum berbicara kepada sekretaris Abraham. "Aku ingin bertemu dengan Tuan Abraham," ucapnya dengan senyum yang ia paksakan. Sekretaris itu menatapnya denga
Rani mundur selangkah, ponselnya hampir terjatuh dari tangannya. Napasnya tersengal, jantungnya berdetak kencang. "Tidak... ini tidak mungkin," bisiknya ketakutan. Ia dengan cepat menutup semua tirai apartemennya, lalu berlari ke pintu untuk memastikan kuncinya masih terpasang. Ia bahkan menekan tubuhnya ke pintu, seolah-olah itu bisa melindunginya dari ancaman yang terasa semakin nyata. Notifikasi ponselnya berbunyi lagi. "Jangan buang waktu, Rani. Aku menunggumu." Rani menggeleng, menggigit bibirnya untuk menahan kepanikan. Crish benar-benar serius. Dia masih bisa menjangkaunya, bahkan saat ia berpikir sudah aman. Tangannya mulai berkeringat saat ia mencoba berpikir jernih. Pilihan apa yang aku punya? Jika ia menolak, Crish pasti akan terus memburunya, mungkin lebih dari sekadar ancaman. Tapi jika ia menuruti perintahnya, itu berarti ia harus berhadapan dengan Abraham dan Lily lagi. Dua pilihan, dan keduanya sama buruknya. Ia mendongak, menatap bayangannya di cermin
Crish dibawa pergi oleh anak buah Abraham, tapi bahkan saat borgol terpasang di tangannya, seringai puas masih menghiasi wajahnya. Ia dilempar ke dalam mobil, namun sebelum pintunya ditutup, ia menatap Abraham dengan penuh arti. "Kau terlalu percaya diri, Abraham," katanya. "Jangan berpikir bahwa menyingkirkanku akan membuat hidupmu lebih mudah. Karena bahkan di balik jeruji, aku masih bisa menyentuh Lily." Abraham mengepalkan tangannya. "Kau menyentuhnya sekali lagi, dan aku pastikan kau tidak akan pernah melihat dunia luar lagi." Crish tertawa. "Kau pikir aku perlu menyentuhnya sendiri? Dunia ini penuh dengan orang-orang yang bisa dibayar, Abraham. Kau tahu itu lebih baik dariku." Abraham tidak berkata apa-apa lagi. Ia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menutup pintu mobil, lalu mobil itu melaju, membawa Crish ke tempat di mana dia seharusnya berada—penjara. Namun, perasaan tidak nyaman mulai mengusik Abraham. Lily duduk di ruang kerja Abraham, menatap keluar jend