"Rumah sakit mana, Pak? Abang saya kenapa? Kecelakaan?" tanya Bara cepat, suaranya naik beberapa oktaf. Jennie yang mendengar itu langsung menatapnya dengan ngeri. Dadanya berdebar hebat, kakinya terasa lemas. Gara baru sembuh dari kecelakaan, sekarang harus kecelakaan lagi.“Bukan, Pak, bukan kecelakaan,” jawab suara itu cepat-cepat, “saya pemilik warung yang mengantar bapak ini ke rumah sakit. Tadi beliau pingsan di warung saya setelah makan.”“Pingsan? Gara pingsan? "Bapak siapa?" tanya Bara, masih bingung."Saya Tarno, Pak. Pemilik Warung Bakso Mercon 'Meledak di Mulut'," jawab pria itu."Makan apa?" tanya Bara lagi, berusaha memahami situasinya.Terdengar nada ketakutan dari seberang telepon. “Sumpah, Pak, makanan di warung saya tidak beracun kok, Pak. Saya berani jamin. Jangan tuntut warung saya, Pak. Saya cuma orang kecil.”Bara mengernyit. "Saya tidak bilang makanan Bapak beracun. Saya cuma tanya, memangnya abang saya makan apa di sana?"Pria itu terdengar ragu sejenak sebelu
Gara tersenyum. Hatinya terasa sedikit lebih lega, seperti tanah kering yang akhirnya disirami embun pagi.Keheningan yang canggung menyelimuti mereka. Suara detak jam di dinding ruang tengah terdengar begitu keras, menghitung setiap detik ketegangan yang belum sepenuhnya sirna. "Kamu mau tidur lagi?" Jennie bertanya dengan suara yang nyaris berbisik, takut salah bicara lagi. Tangannya saling meremas di depan tubuhnya, sebuah kebiasaan yang muncul setiap kali ia gugup. "Kalau mau tidur lagi, di kamar aja. Biar lebih nyaman."Tawaran itu tulus. Jennie tahu punggung Gara sering sakit jika tidur di sofa atau kasur tipis di kamar tamu. Ini adalah caranya untuk mengatakan, ‘Aku ingin kau kembali. Aku ingin semuanya normal lagi.’Gara menggeleng pelan. Rasa lelah masih menggelayut di pelupuk matanya, tetapi amarahnya sudah jauh mereda, berganti menjadi kekecewaan yang dingin. "Boleh aku ke kamar mandi?" Gara juga terdengar canggung. Rasanya aneh harus meminta izin di rumah istrinya sendir
“Aku laper, Kak. Kalau ngobrol sama dia nggak ada udahnya. Kapan aku makan kalau ngomong terus.” Anisa tertawa dan diam-diam mengacungkan jempol pada arah kamera.“Apa maksudnya? Suaminya dibilang buaya, tapi dia nggak membela, malah mengacungkan jempol,” gumam Bara pelan sambil cemberut.Gara tersenyum melihat wajah kesal adiknya. Kemudian ia kembali menatap layar ponsel. Di layar, ia melihat meja yang penuh dengan makanan. Makanan yang sangat pedas. Makanan yang selalu ia hindari. Melihat semua makanan itu, membuat Gara teringat saat Jennie memaksanya makan makanan pedas dan berakhir di rumah sakit. Tapi rasa sakit itu segera tergantikan oleh kelegaan yang luar biasa saat melihat Jennie tertawa.Gara tahu betul, Jennie adalah wanita yang kuat. Ia mungkin marah, mungkin kecewa, tapi ia tidak akan membiarkan dirinya terpuruk terlalu lama. Melihatnya bisa bersenang-senang dengan Anisa, meskipun menurutnya dengan cara menyiksa lidah seperti itu, membuat Gara merasa sedikit lebih tenang.
"Itu bagus. Akhiri hubungan kalian sampai di sini, lalu buka lembaran baru," kata Anisa dengan nada serius yang dibuat-buat, namun ada kilat jenaka di matanya.Jennie mengangkat wajah, sedikit terkejut dengan usulan frontal itu. Mengakhiri hubungan? Semudah itukah? Hatinya mencelos sesaat sebelum ia menyadari nada bicara Anisa.Anisa melanjutkan, tak bisa lagi menahan senyumnya. "Mas Gara tuh terlalu mencintai Kakak. Dia itu tipe pria yang payah dalam berekspresi, tapi jago dalam memberi bukti. Yang dia pikirkan cuma bagaimana caranya memberi kejutan untuk orang yang dicintainya, tapi sialnya sebelum hari bahagia itu datang, udah ketahuan duluan." Anisa akhirnya tertawa kecil, berhasil memecah ketegangan di ruangan itu.Tawa Anisa menular. Jennie merasakan beban di dadanya sedikit terangkat. Benar juga. Gara memang seperti itu. Suaminya bukan tipe pria romantis yang pandai merangkai kata, tapi tindakannya selalu berbicara lebih keras. Kejutan yang gagal itu, yang menjadi sumber perten
"Bang, lepasin. Biarkan Kakak ipar sendiri dulu. Dia butuh waktu."Suara Bara memecah keheningan yang mencekam. Tangan Gara yang menggenggam erat lengan Jennie akhirnya melonggar, namun matanya tetap tak berpaling darinya. Ia menatap Anisa, sang mantan yang sekarang menjadi adik iparnya, seolah meminta persetujuan.Anisa menatap Gara, lalu mengangguk, meyakinkan bahwa ia akan menjaga Jennie. Gara akhirnya melepaskan. Jennie segera berlari keluar rumah. Kecewa, marah, sedih, semua bercampur aduk, membuatnya hanya ingin menjauh."Mas, aku temenin Kak Jen ya," pinta Anisa."Tapi, Sayang...." Bara khawatir pada istrinya."Kalau kamu khawatir, cukup kirim pengawal rahasia Mas Gara aja untuk jagain aku dan Kak Jen. Saat ini dia butuh teman."Bara mengangguk setuju. Ia tahu kakak iparnya sedang sedih, dan kehadiran Anisa mungkin bisa membantu menenangkan hati Jennie.Anisa segera mengejar Jennie. "Kak Jen!" panggilnya.Jennie yang berjalan cepat sambil menangis menoleh. "Aku mau sendiri dulu
Suasana di ruang tamu yang mewah berubah drastis. Beberapa menit lalu masih hangat, sekarang penuh keterkejutan. Jennie tiba-tiba meminta cerai, dengan suara dingin yang membuat Andin dan Haidar terdiam. Alasannya? Karena Gara, anak mereka, lumpuh. Dan sekarang, Gara kembali membuat mereka terkejut.Kini, Andin dan Haidar mengerti. Ucapan pedas Jennie, yang awalnya mereka kira sebagai puncak kekecewaan seorang istri, ternyata memiliki makna tersembunyi. Menantu mereka yang cerdas itu rupanya sudah mengetahui kebohongan Gara.Jennie sengaja melontarkan kata-kata tajam, berharap kejujuran akan tumbuh dari keterpurukan sang suami. Sebuah taktik yang berani, bahkan sedikit ekstrem, pikir Andin.Pemandangan Gara yang kini bersimpuh di hadapan Jennie, menggenggam erat jemari istrinya yang berusaha menarik diri, terasa begitu intim dan menyakitkan. Andin, dengan hati bergejolak antara marah dan iba, menggandeng tangan Anisa dan Bara."Ayo kita pergi dari sini," bisik Andin, berusaha menjaga