Share

Kopi Pahit Di Tepi Sudiya
Kopi Pahit Di Tepi Sudiya
Penulis: Rere Fa

1 Ara dan Tuhannya

Ada kalimat penutup bagus di halaman terakhir buku yang kubaca. Mungkinkah aku resah karena semua yang telah terjadi dalam hidupku, lalu orang-orang mengira aku telah kehilangan jati diriku, bahkan kehilangan akalku?

Aku hanya merasakan bahwa Dia tidak butuh semua yang telah kulakukan selama ini untuknya. Dia tidak butuh semua omong kosong yang aku lakukan, Dia sama sekali tidak butuh itu.

Aku tidak tahu apa yang Dia 

butuhkan, tapi aku rasa Dia sebenarnya tidak butuh apa-apa dariku. Dibiarkannya aku di sudut kota ini, melakukan apa yang kusenangi tanpa harus merisaukan keberadaan-Nya.

Karena Dia tidak ingin dirisaukan, Dia sama sekali tidak butuh segala kegelisahanku mengenai-Nya. Aku sadar, selama ini aku terlampau mengada-ada, bahwa Dia menghiraukanku, Dia memedulikanku, sampai pada suatu saat ketika aku menyadari, Dia 

tidak pernah membutuhkanku.

“Orang-orang sedang berarak menuju pusat kota sekarang, sebaiknya kita segera bersiap-siap.” Zidni mengambil jaketnya yang tergantung di belakang pintu dan menatap kami. Tidak. Seperti biasa dia selalu melewatkanku.

“Haruskah kita meliput hal seperti ini? Lagi?” aku menatapnya. Tapi, dia 

memunggungiku dengan dalihnya merapihkan dokumen di meja dan mengambil lensa kamera.

“Siap, Brur?” kudengar Zidni menolehkan kepala pada Megantara atau Tara, dia biasa dipanggil. Aku mendesah mulai kesal. Yang mengangguk dua orang, Tara dan Juna.

“Zidni! Kenapa kamu selalu menganggapku tidak pernah ada?!” aku melesat cepat, membentak dengan kesal tepat di hadapan Zidni. Aku mengerang dengan susah payah.

“Jangan selalu menjadi pa-ra-sit.” Zidni berkata lamat-lamat sambil menunjuk wajahku dengan tatapan yang dapat kuartikan sebagai rasa jijik, amarah, dan emosi yang 

meluap-luap. Lututku goyah mendapati dirinya semuak itu padaku.

Tapi, aku terus menantang tatapannya, semakin menunjukkan bahwa aku layak menjadi pecundang di hadapannya.

“Sudah puluhan tahun perjuangan kita, berapa banyak orang yang masih tersisa? Yang tetap berdiri sebagai jurnalis, melakukan ini bersama-sama sebagai langkah independen 

kita terhadap kebijakan negara. Kita dibutuhkan sebagai penerus gagasan supaya rakyat tetap terjaga kewarasannya. Lima menit, kita tunggu di bawah.” Zidni mendengus di dekat wajahku dan meninggalkan ruangan, diikuti Tara dan Juna.

“Berbesar hatilah, Ara. Semua butuh itu sekarang ini.” Juna berbaik hati menepuk punggungku, lalu terdengar suara pintu yang ditutup dengan pelan.

Orang-orang mati. Entah apakah mereka layak mati lebih dulu atau entah kenapa mereka begitu cepat mati.

“Berbahaya, Ra, lebih baik kamu tidak pernah ikut hal seperti ini.” Zidni berulangkali menatapku dengan gelisah. Sejak awal aku tahu dia tidak senang aku terlalu sering menganggu jadwalnya dengan Faraz.

Sampai pada akhirnya aku memutuskan ikut bergabung meliput berita ke lapangan bersama mereka. Faraz hanya tersenyum manis seperti biasa, terlalu mencintaiku, tidak pernah sanggup mengatakan tidak.

“Lalu, tugasku hanya sekedar menempel-nempel berita dari kalian di dinding kota? Ayolah, kalian berdua tahu tugas seperti ini sangat membosankan, ya, kan?” aku merajuk 

sambil menatap Faraz. Faraz mengangguk mantap dengan meyakinkan.

“Aku tidak bertanggung jawab atas keselamatannya.” Zidni memandang Faraz.

“Tentu saja, karena itu tanggung jawabku.” Faraz menatap geli ke arahku dan aku pun terkikik geli. Zidni memandangi kami berdua bergantian dan setelah itu usaha Zidni melarangku untuk terjun ke lapangan pun berakhir.

Hari itu cerah, seperti biasa cuaca begitu kering dan panas saat musim kemarau seperti ini. Iklim di negeri kami cukup ideal di dataran yang tinggi dan lautan yang rasanya 

begitu jauh. Negeri kami berupa dataran dikelilingi dengan banyak gunung, beberapa ratus ribu aliran sungai dan air terjun.

Keringat membasahi dahiku dan Faraz mengelapnya dengan tangannya yang halus, lalu aku tersipu. Bertiga, aku, Faraz dan Zidni melintasi jalan-jalan yang sepi dengan jeep milik Zidni. Kabarnya akan ada aksi massa lagi kali ini, yang lebih besar dari dua hari 

kemarin. Negara ini semakin kacau balau dan tidak terkendali.

Rakyat terus-menerus protes soal ketersediaan bahan pangan yang tersendat, soal agar negara memilih pemimpin yang tepat untuk memimpin negara yang carut-marut akibat perang antar-suku dan daerah.

Semua suku berperang, antar-suku saling menyerang, tidak ada lagi kedamaian. Perang sudah berlangsung sejak aku belum bisa mengenal dunia luar selain rumahku, hingga kini. Aku akhirnya terbiasa mencecap kepahitan sejak aku belia. 

Di ibukota ini, yang telah berpindah ke sebuah kota di wilayah barat, semakin berat hidup di sini, apalagi jika kau tidak termasuk salah satu suku bangsa yang mendominasi. 

Sebuah rapat besar negara meyakini bahwa ribuan suku patut dieliminasi dan tinggal beberapa suku yang berhak tinggal di bumi pemberian ini. Suku-suku yang selama ini 

dianggap tidak berguna, selalu berbuat onar, dianggap paling minoritas akan dibumihanguskan.

Maka akan berdirilah sebuah negara aman dan tentram di atas puing-puing tengkorak manusia.

Entah apa yang rakyat inginkan sebenarnya, sudah tiga pemimpin negara sebelumnya mundur karena tidak sanggup menangani keadaan negeri yang semakin tak menunjukkan tanda-tanda membaik.

Bantuan dari luar negeri bahkan perhatian negeri tetangga diblokir 

oleh rakyat sendiri, intervensi asing sekecil apa pun sama sekali tidak diijinkan untuk masuk, karena ini masalah pribadi negara. Sesama sudah sangat saling mencurigai, sipit sedikit ditawan, hitam sekali disiksa, pirang sedikit dibunuh.

“Ara, pakai kerudungmu!” Zidni mengingatkan. Kami bersiap segera turun dari jeepdan mengambil titik terbaik untuk meliput keadaan. Aku bergegas mengeluarkan kerudung 

hijau yang diberikan Faraz jauh sebelum ini, milik ibunya. Kerudung yang selalu aku simpan untuk menenangkanku. Aku segera memakainya.

“Pakai yang benar!” bentak Zidni lagi. Aku mencibir dengan kesal ke arahnya, orang ini mengesalkan sekali. Faraz tertawa dan memakaikan kerudungku. Menyelipkan anak 

rambutku ke sekitar belakang telingaku, merapihkan kerudungku.

Aku benar-benar tersipu. Faraz sangat menyenangkan, tipe lelaki idaman. Ia berbadan tegap dan tampan, matanya 

cemerlang dan tubuhnya selalu harum.

Kami turun dan berjalan mengendap-endap ke posisi yang telah ditentukan. Tentara jaga terlihat bersiaga di sekitaran gedung-gedung penting. Mereka melihat kami.

Zidni langsung mengacungkan cermin kecil dan memberikan kode tertentu yang dimengerti oleh sesama jurnalis dan tentara penjaga.

Bahwa kami adalah jurnalis dan para jurnalis, mungkin akan jadi orang yang mati terakhir di medan peperangan. Setidaknya kupikir begitu.

Karena posisi jurnalis begitu penting untuk menyiarkan apa yang terjadi dan apa yang terbaru dari kondisi negara, kondisi ibukota, kondisi korban peperangan dan lainnya yang berhubungan dengan kemelut di negeri ini.

Aku menarik napas lega saat sudah sampai di posisi. Letupan senjata terdengar dari kejauhan. Aku diberitahu Faraz dan mengenalinya sebagai sesuatu.

Bahwa letupan senjata itu biasanya mengiringi arakan para demonstran dari berbagai macam wilayah, untuk menenangkan sekaligus menertibkan.

Kabarnya, para demonstran menuntut perang segera diusaikan dan mereka ingin hidup dengan tenang dan damai. Tapi, negara ingin bahwa suku yang harus dibinasakan harus benar-benar habis dulu baru negara bisa dikatakan tenang.

Zidni menoleh dengan cemas ke jalan yang disinyalir akan menjadi jalan yang dilewati para demonstran pertama kali. Faraz menggenggam tanganku. Angin semilir di 

tengah udara yang panas menyengat menyentuh kerudung hijauku.

Gelombang ribuan demonstran merayap begitu cepat diluar perkiraan kami. Suara-suara mereka terdengar bergemuruh seperti koloni tawon dari berbagai penjuru bumi yang berkumpul menjadi satu.

Zidni sigap dengan kameranya, Faraz bersiap menekan bidikan pertama pada tombol kameranya, aku merasakan emosi yang dalam bergemuruh dalam dadaku.

Aku, entah beruntung atau tidak, termasuk dalam suku mayoritas. Begitu pula Zidni, dan Faraz, tidak ada masalah dengan kependudukan kami.

Kebanyakan orang-orang dari 

suku minoritas telah habis di kota ini hingga sepertinya tidak ada yang tersisa. Kami harus menjadi orang-orang munafik untuk terus bertahan hidup.

Apakah kau sanggup melihat sesamamu mati dibantai dihadapanmu? Aku rasa tidak 

jika kau merasa bahwa kau masih manusia normal. Kami bertiga benar-benar masih manusia tetapi kami memilih untuk bertahan hidup agar ada orang yang mau menyampaikan kabar berita, seburuk apa pun itu. Sejatinya, manusia itu begitu liar, lebih daripada binatang. 

Sayangnya, tidak ada lagi binatang di kota ini, mereka juga kebanyakan ikut terbunuh, terkena martir dalam perang. Sehingga, tidak ada lagi yang bisa diperbandingkan. Manusia 

benar-benar menjadi liar seliar-liarnya. Sampai pada saat aku sadar, bahwa pandanganku terhadap harapan kedamaian di negeri ini sirna sudah.

“Nona, rekan Anda ini orang asing? Nona tahu orang asing tidak boleh berada di sini!” salah seorang demonstran langsung menodongkan pistolnya ke arah kami. Aku, seumur 

hidup tidak pernah menghadapi penodongan pistol tepat di depan hidungku. Pistol itu mengarah pada Faraz. Faraz terlihat pias dan menengadahkan tangan pertanda ia menyerah.

“Apa maksud Tuan?” tanyaku gemetar.

“Saya kenal dengan baik wajah-wajah orang asing seperti ini! Negara sudah sepakat, untuk menghentikan perang suku ini, untuk menyongsong kedamaian, semua suku minoritas 

dan orang asing harus mati di negeri ini! Semua orang asing adalah penyusup!”

Lalu sorak-sorai mulai membahana di sekitarku. Provokator! Zidni menarik tubuhku ke belakang. Sedetik yang terasa hening ditelingaku. Seperti tidak ada suara apa-apa. Tetapi, 

ternyata kepalaku berdenging. Atau itu telingaku yang berdenging? Aku menatap ke sekeliling, bergerak dalam gerakan lambat. Kesadaranku tidak juga pulih kecuali saat aku 

menyadari bahwa sebuah tubuh telah roboh didepanku.

“Faraaaaazzzzz!!!” aku memekik begitu hebatnya sampai tenggorokanku sakit. Aku tidak tahu setelah itu karena hanya ada gelap di sekelilingku. Kejadian itu sudah tiga tahun yang lalu tapi seakan baru terjadi tiga menit yang lalu. 

Keadaan tetap sama dan negara tetap sama. Tidak ada kedamaian setelah hampir semua suku minoritas binasa.

“Ara, kamu ikut kita atau tidak? Atau tinggal saja kalau kamu tidak ingin pergi.” 

Suara Zidni masam sekali. Aku membuka pintu dan memakai kerudung hijauku. Aku berjalan pelan-pelan di belakang Zidni, Tara dan Juna. Jeep Zidni lenyap beberapa waktu lalu, entah dijarah siapa. Diparkir di tepi jalan saat kami akan meliput dan hilang ketika kami 

hendak pulang. Kami berjalan terseok-seok sejauh lima kilo untuk pulang setelahnya.

Sejak saat itu, sejak kejadian Faraz mati ditembak, aku memusuhi Zidni. Atau kurang lebihnya terlihat seperti itu di mata orang-orang. Aku marah padanya karena tidak melindungi Faraz, aku marah karena ia tidak membela Faraz, aku sangat marah karena dia diam saja.

Bahwa Faraz termasuk ke dalam jajaran orang asing, seperti yang dimaksud para demonstran atau lebih tepatnya si provokator itu. Bagaimana aku menghadapi kepergian Faraz saat itu, bagaimana ia akhirnya dimakamkan, apa yang terjadi padaku setelah itu, aku tidak ingat sama sekali. Dan aku pun memutuskan untuk tidak bertanya pada siapa pun.

“Faraz memang bukan orang dari salah satu suku di negara kita. Yang bisa aku jelaskan padamu, Faraz adalah orang asing yang berlindung di ibukota ini sampai keadaan 

lebih aman agar dia bisa kembali ke negaranya.”

“Lalu kenapa kamu tidak sedikit pun melindunginya?” tanyaku gusar. Aku baru bisa berbicara dengan Zidni enam bulan setelah kejadian itu dan memutuskan bergabung kembali 

sebagai jurnalis.

“Melindunginya? Maka aku dan kamu sama saja nasibnya seperti Faraz sekali pun kita termasuk mayoritas dan perjuangan kita akan berhenti sampai di hari kematian Faraz.”

Hanya itu. Lalu, aku mulai membenci Zidni.

“Pakai kerudungmu,” pesan Zidni setelah kami jauh berjalan meninggalkan Rumah Jurnalis kami. Aku mengeluarkan kerudung hijau dari saku jaketku.

“Astaga, Ara! Apakah kamu tidak punya kerudung yang lain selain itu?!” tanya Zidni dengan wajah kesalnya. Aku menggeleng.

“Sebenarnya apa agamamu?” tanya Zidni setengah mengerang.

Aku lupa menyampaikan bahwa agama masih menjadi satu hal yang dipegang teguh di negara ini. Tetapi, hanya satu agama saja yang sejatinya diakui hanya karena pengikutnya 

paling banyak, agama dan keyakinan yang lainnya dianggap sesat.

Banyak pemeluk agama yang paling diakui ini menganggap dirinya paling memahami apa yang dianutnya sehingga dengan mudah mengatakan orang lain tersesat dan perlu dimusnahkan. Aku berjalan dengan hati terluka.

“Bisa tidak, setelah perang ini berakhir, orang tidak lagi saling bertanya apa sukumu, apa agamamu?” tanyaku ketus entah pada siapa. Tara dan Juna menoleh ke arahku, aku lalu melanjutkan ucapanku.

“Kita ini jurnalis. Jurnalis independen. Yang tidak seharusnya bertanya apakah kita akan ke surga atau ke neraka.”

Aku berjalan mendahului yang lain dan membidikkan kamera tepat ke arak-arakan orang yang nantinya akan memenuhi pusat kota. Zidni terdengar mendengus lagi dan menyumpah serapah. Aku terus berjalan sambil memegangi kamera. Yang dulu selalu 

dipakai Faraz.

*****

Aku pulang ke rumah. Rumahku terletak di tengah kota, berhimpitan dengan rumah-rumah orang lain. Rumah-rumah kami berupa kotak-kotak dan kotak, masing-masing berukuran 21x21m, dua kamar sempit, satu dapur dan satu kamar mandi.

Perang suku telah berkecamuk selama lebih dari dua puluh tahun sejak aku belia, bahkan sebenarnya lebih lama dari itu awalnya, awal mula terpicunya dan belum selesai 

hingga kini. Pemerintah telah membangun perumahan khusus untuk kaum-kaum mayoritas 

yang akan melanjutkan keberadaan orang-orang di negara ini yang semakin terasa tiada.

“Bagaimana pekerjaan hari ini?” tanya ayahku yang dulu begitu tegap sebagai kuli angkut barang, kini telah terlihat begitu tua dan layu karena kekejaman perang. Tidak ada lagi yang membutuhkan tenaga dari seorang lelaki tua.

“Baik, ayah. Besok kita akan dapat jatah roti jagung dan susu kedelai,” ujarku menenangkannya. Dia mengangguk. Hanya itulah sekarang yang dipikirkannya, apakah 

besok kami bisa makan?

Dua adikku menghilang setelah pamit pergi bekerja tiga tahun yang 

lalu. Mereka dua laki-laki yang bersemangat melakukan apa pun demi makanan. Tapi, sekarang mereka tidak ada di sini. Mungkin inilah yang terus menggerogoti semangat hidup 

ayahku. Aku hanyalah seorang anak perempuannya, yang semakin kurus dengan rambut kumal tidak terawat, sesering apa pun aku mengeramasi rambutku sepulang bekerja.

Aku membilas wajahku yang kusut terpanggang matahari seharian dengan air dingin. 

Jangan selalu menjadi parasit, Zidni bilang. Aku kini menganggap menjadi jurnalis adalah satu-satunya harapanku untuk membuat jiwa ayahku tetap berada di tempatnya.

Aku ingin memastikan bahwa ayahku tetap bisa menyaksikanku pulang dan makan. Menjadi jurnalis membuatku mendapat jatah makanan yang layak dari pemerintah.

Wajah ayahku muncul dibalik pintu kamarku. “Sudah sembahyang?” tanya ayahku. 

Aku menggeleng. “Sudah lama sepertinya ayah tidak lihat kamu sembahyang, Ara.” Ayah 

berkata setengah menggumam. Aku hanya tersenyum dengan kecut. Tidak ingin menentang ayah, tidak untuk saat ini, saat semangat telah jauh meninggalkannya.

Aku duduk di kursi dekat meja bundar kecil yang semakin rapuh dimakan usianya sendiri. Menyesap kopi hitam pekat yang dibuatkan ayahku setiap aku pulang bekerja. Rasanya hangat dan pahit. Menenangkan.

Kata ayah, kopi bisa menyamarkan rasa lapar hingga tidak terasa lapar lagi untuk waktu yang sangat lama. Roti persediaan kami sudah habis kemarin.

“Apa kamu merindukan ibu?” tanya ayah tiba-tiba. Aku menoleh sesaat pada ayahku dan menekuri lantai. Aku mengangguk pelan. “Begitupula ayah. Ayah ingin tahu apakah kehidupan di surga begitu menyenangkan sampai ibumu lupa pada ayah dan tidak pernah datang lagi?”

Ayah selalu bermimpi tentang ibu. Betapa kuatnya jalinan cinta dan kasih sayang di antara mereka. Sudah beberapa waktu ini ibu tidak datang ke mimpi ayah. Itu hal yang sangat 

menyakitkan bagi ayah. Tapi, pikirku, apakah benar ibu ada di surga?

Katanya surga adalah tempat untuk orang-orang baik. Aku tahu ibuku orang baik, aku juga pernah meyakini bahwa ibu sekarang ada di surga. Aku tidak bisa menjawab kegelisahan ayah. Lebih baik tidak. Aku 

tidak percaya surga. Aku tidak percaya neraka pula. Manusia setelah mati hanyalah tiada. 

Setelah mati, hanyalah mati. Seperti Faraz yang pergi meninggalkanku.

“Apakah waktu ayah segera tiba? Ibu merindukan ayah dan sedang menanti ayah di sana?” mata ayah yang redup menerawang ke langit-langit lalu matanya terpejam.

Sejenak aku mengkhawatirkan bahwa ayah akan pergi begitu saja. Semua yang kusayangi selalu pergi begitu saja meninggalkanku. Aku menyentuh tangannya yang hitam. Napasku berhenti. Lalu menyadari bahwa ayah hanya duduk sambil tertidur, suara dengkurnya kini terdengar mengalun teratur. Aku pun bernapas kembali.

Aku beringsut dari kursiku, mengambil selimut di kamar dan menyelimuti tubuh ayahku. Kembali aku duduk didekatnya, menyesap kopi hitam, yang rasanya begitu pahit dan 

dingin. Melanjutkan lamunanku tentang kehidupan damai dengan taman hijau dan air mancur berair jernih yang sepertinya tidak akan pernah tercipta.

****

Nabil sedang menjemur pakaian saat aku melamun di halaman belakang rumah kotak kami. 

Ia menegurku berkali-kali tapi aku membatu, begitu katanya.

“Apa yang sedang kamu lamunkan sampai kamu tidak sadar ada orang di sini?” tanya Nabil.

Dia temanku semasa sekolah menengah sekaligus tetanggaku yang paling dekat. Aku tidak dekat atau bersahabat dengan siapa pun, tapi Nabil setidaknya menjadi salah satu orang yang paling mengetahui diriku dan hidupku. Aku hanya menggeleng pelan. Nabil mengangkat embernya.

“Kamu tidak mau ke sini dan sarapan bersamaku? Aku punya dendeng daging sapi, semalam Zein membawakannya untukku,” tawarnya manis.

Zein adalah lelaki baik, hanya itu yang bisa kukatakan. Aku tahu Nabil sangat dekat dengan Zein, tapi aku tidak pernah bertanya seperti apa atau bagaimana sosok Zein itu.

Hasrat memakan daging sangat menggebu, sudah lama aku tidak makan daging, tawaran dari Nabil benar-benar sangat menggoda dan sayang untuk dilewatkan. Maka aku 

akhirnya masuk ke halaman belakang rumahnya. Halaman kami tidak bersekat apa pun, karena kami satu suku. Tidak ada sekat apa pun jika kami satu suku.

“Aku ingin sekali bekerja sepertimu, tapi Zein melarangku. Katanya aku bisa cepat terbunuh mengingat aku orang yang cepat panik,” celoteh Nabil sambil membuka lemari makanan dan meletakkan seiris dinding menggiurkan di atas piring kecil, berikut dengan secuil roti.

Aku sudah tidak sabar, tapi ternyata Nabil tidak melupakan minumannya juga. Ia membuatkan teh hangat untukku.

“Percayalah, aku bekerja hanya agar aku dan ayah bisa makan. Kamu bagus punya Zein yang memerhatikan keluargamu,” ujarku langsung meraih piring yang dibawa Nabil. 

Nabil mendesah. Ia sangat disayangi orang tuanya dan harus tinggal di rumah demi keselamatan dirinya. Kedua orang tuanya masih bekerja di pabrik sepatu, pabriknya lebih 

banyak memproduksi sepatu tentara untuk berperang sekarang. Siapa yang butuh sepatu olahraga di situasi seperti ini?

“Ayahmu baik?” tanya Nabil dengan tatapannya yang bening dan lembut. Pantas saja Zein begitu menyayanginya. Nabil perempuan yang sangat baik dan perhatian. Aku 

mengangguk.

“Dua adikmu belum ada kabarnya?” tanyanya lagi. Aku kali ini menggeleng sambil tersenyum. Nabil mendesah dengan suara sedih.

Aku menggigit dendeng sekeras kulit kayu tapi nikmat ini dengan semangat. Enak sekali, rasa asin dan gurih daging menyentuh lidahku. Dengan tambahan secuil roti dan didorong dengan teh hangat, perutku terasa nyaman.

“Bawakan untuk ayahmu.” Nabil beranjak lagi dari kursinya dan segera membungkus dendeng dan roti dalam kertas.

“Kau selalu baik hati, Nabil,” ucapku.

“Terima kasih.”

“Makanan semakin sulit kita dapatkan. Kita harus berbagi walau pun sedikit,” ujarnya 

begitu bijak. “Jangan lupa pakai kerudungmu kalau kemana-mana, Ara. Biar kamu selamat 

terus.” Nabil tersenyum.

Aku hanya mengangguk dengan kikuk. Tidak menyadari bahwa selama ini ia begitu memerhatikanku.

Aku membenci atribut. Pertama soal cap suku di tangan kiriku ini. Yang membuat aku berbeda dari sebagian yang lain. Rambutku hampir sama hitam seperti sebagian penduduk negara ini, tapi itu pun harus ditutupi dan dilengkapi atribut lagi seperti kerudung agar membedakan aku dengan kelompok lain atau kelompok agama lain. Yang kucari adalah 

persatuan dan kedamaian, bukan perbedaan dan perpecahan. 

Tapi, yang sudah terjadi di negara ini tidak begitu. Jika aku berasal dari suku mayoritas dan aku tidak memakai kerudung sebagai simbol agama mayoritas, yaitu agama yang benar-benar diakui, maka aku dianggap makar dan dianggap salah. Ya, atribut kedua yang kubenci adalah kerudung.

Pengkotakan ini, agar lebih mudah satu sama lain untuk saling membunuh.

Aku memang hampir menyerahkan diriku sendiri untuk dibunuh hanya karena tidak memakai kerudung. 

Seandainya saja aku bertemu tentara negara atau salah satu suku mayoritas di jalan tanpa berkerudung, maka darahku halal untuk mereka bunuh karena aku mencerminkan si 

kaum minoritas, jika mereka tidak sempat menanyakan apa sukuku.

Sementara jika aku bertemu dengan kaum minoritas dengan berkerudung, maka aku juga halal dibunuh karena 

aku termasuk dalam bagian mayoritas dan kumpulan manusia-manusia keji dan serakah yang hendak menghancurkan mereka.

Atau, jika aku bertemu suku minoritas ini dengan tidak berkerudung, maka aku akan ditanya asalku, sukuku, agamaku, dan aku akan tetap dibunuh. 

Jadi, nyawaku terancam di mana pun. Tapi, sampai kini, setidaknya aku masih hidup dan bertahan.

****

Suku-suku yang dianggap mayoritas adalah suku Maurice, Majama, Malamba, Sayana, Galari dan Karda. Nama-nama pun dibuat menjadi lebih mudah. Ayahku bernama Zaid Sayana. Aku Ara. Otomatis namaku menjadi Ara Zaid Sayana.

Kami semua memiliki tanda dan sudah terbiasa mengenali tanda. Mereka semua suku mayoritaslah yang sekarang ini berkuasa di 

pemerintahan. Presiden yang diangkat setelah kematian Faraz bertahan hingga saat ini. 

Perang suku memang masih berkecamuk, tapi hanya untuk menunggu suku minoritas habis tak bersisa. Suku-suku minoritas itu, Sendang, Kireng, Zandai, Mahenai, Matena, Juntai, Jagara, Lau, Halasi, dan ratusan suku lainnya yang tidak dapat kuingat namanya lagi, terus berperang sebagai upaya terakhir mempertahankan keturunan mereka.

Mereka juga bahkan harus berperang pula melawan suku-suku minoritas lain karena perbedaan ideologi dan agama.

Jika kau mengalami kebingungan mengenai pertanyaan jika bercampurnya suku dengan suku yang lain melalui pernikahan, suku apa yang akan kamu sandang? Patrilinial. Itu berarti jika ayahmu dari suku Sayana dan ibumu dari suku Karda seperti ibuku, maka kamu 

akan menyandang suku dari suku ayahmu. Seperti aku.

Suku ini seperti cap yang tidak bisa kau hapus kecuali kau mati dan tanganmu tinggal tulang-belulang. Ada tanda berlambang huruf bertinta hitam permanen di telapak tangan kiriku. Seperti tato. Pertanda bahwa kami adalah suku pekerja. Tanda ini terbuat dari campuran tinta permanen yang tidak bisa hilang, seperti yang sudah aku bilang, kecuali kau mati atau kehilangan tangan kirimu.

Aku menyadari sesuatu saat memandangi tanda di telapak tangan Faraz saat aku pertama kali berkenalan dengannya. Tanda itu bertinta merah, yang aku kenali sebagai tanda dari suku Galari, sama seperti Zidni Ahmed Galari, bahwa mereka berasal dari suku yang 

sama, suku terdidik yang biasa ditempatkan di kantor-kantor pemerintahan, menangani perputaran uang bank dan hal semacam itu.

Tapi, tinta di telapak tangan Faraz terkadang samar yang aku kira sebagai akibat dari pertambahan umur sehingga tanda itu mulai memudar dengan sendirinya. Ternyata, jauh kini kusadari, bahwa tanda itu dibuat, bukan cap asli. Faraz bukan termasuk ke dalam suku mana 

pun. Dia benar-benar tampak seperti bagian dari suku Galari.

Alangkah bahagianya terlahir dan hidup tanpa mengemban tanda dan nama suku. Faraz harus bersyukur karena hal itu. Karena sebuah tanda, akan membuatmu diburu dan dibinasakan.

Percayalah, perang antar-suku ini membuatku begitu lelah. Dan menua. Aku memang sudah dua puluh tujuh tahun dan aku merasa seperti terperangkap dalam tubuh nenek-nenek berusia tujuh puluh tahun. Renta dan rapuh.

Pipiku kempot, mataku cekung dan hitam, rambutku coklat panjang seperti rambut jagung dan bercabang. Hanya hidungku saja yang sepertinya masih terasa bagus di saat segalanya tidak ada yang bagus, bertengger tinggi dan angkuh, khas suku Sayana.

Rata-rata dari kami, suku Sayana, bermata coklat dan berambut coklat, berhidung mancung dan berkulit kuning langsat yang bersih. Tapi, kulitku yang bersih pun telah 

mengkhianatiku, kulit yang kumiliki kini setengah bersisik.

Aku sudah tidak pernah memakai pelembab tubuh apa pun, sejak kematian Faraz. Aku tidak ingin tampil menarik untuk siapa pun setelah kematiannya.

Setelah kematiannya pula, aku telah begitu banyak menyaksikan kematian dan pembantaian.

Aku pernah pergi meliput perang, mengikuti truk tentara negara, yang 

mengatasnamakan dari suku mayoritas melawan suku terbuang, Jagara. Suku Jagara memiliki pemanah-pemanah terbaik, putra dan putri mereka berdiri di garis depan medan pertempuran.

Aku membawa kameraku jauh naik ke atas pohon, berlindung di antara pasukan pertahanan suku mayoritas yang berkoloni sebagai sekutu dan bersatu menjadi sebuah negara saat ini.

Aku diam-diam bangga melihat putra-putri Jagara, mereka sigap, mereka memiliki mata yang tajam, mereka sedang berjuang membela hak hidup mereka. Dan, aku, perempuan 

pecundang ini, berdiri di atas pohon untuk meliput kegiatan mereka yang menyenangkan; berperang.

Mereka menembakkan anak-anak panah mereka, tombak dan lembing mereka ke arah tentara pertahanan, sebagian mengenai beberapa tentara dan membuat mereka semakin 

merapatkan tameng ke depan dada mereka. Merangsek maju. Ini tidak adil, pikirku. Mereka hanya punya panah dan lembing sedangkan tentara-tentara ini memiliki peluru dan martir.

Aku bergegas turun dari atas pohon saat tentara dikomando untuk melemparkan bola-bola yang bisa meledak. Aku sudah menapakkan kakiku di tanah saat granat pertama meledak dan salah satu putra Jagara berteriak sambil meledak menjadi serpihan daging merah dengan asap mengepul. 

Aku tidak sanggup lagi, aku mundur dengan kaki goyah, berlari dan terus berlari, menuju ke truk tentara yang menjadi tumpanganku kemari. Aku terduduk di sisi ban truk, menangis sendirian dengan kaki gemetar, menutup kedua telingaku yang tetap saja berdentam-dentam, berdenging menyakitkan, aku tidak dapat mendengar apa-apa. Berharap 

semua ini hanyalah mimpi buruk belaka. Saat esok aku terbangun, yang ada hanyalah kota yang hijau dengan taman-taman dan air mancur yang jernih.

****

Selain menjadi jurnalis, tugasku yang lain adalah membantu merawat para korban perang, kebanyakan biasanya dari para tentara. Rakyat sipil sudah lama tidak ikut berperang, mereka 

sudah tidak tertarik menjadi sukarelawan perang. Mereka semua sudah bosan dengan perang 

ini. Tapi, pada kenyataannya negara tetap memaksa rakyatnya untuk terus berperang.

Kali ini aku merawat tentara-tentara terluka, hasil dari perang negara melawan suku Halasi.

Aku melihat Zidni dari kejauhan. Dia sedang membalutkan perban ke luka di kaki seorang tentara. Aku tidak tahu bahwa Zidni juga ada di sini.

Kemudian aku sudah sibuk 

membersihkan luka tembak seorang tentara.

Dulu aku bisa pingsan melihat darah. Sekarang aku melihatnya tidak lebih dari sekedar selai stroberi yang tumpah dari tempatnya. Selai stroberi sudah lama langka, atau sudah lama tidak ada atau tepatnya tidak pernah aku nikmati lagi sehingga menyenangkan sekali rasanya melihat genangan darah sebagai selai stroberi.

“Cabut saja pelurunya pakai pinset besar itu,” ujar sang tentara yang kurawat tanpa kelihatan merasakan sakit di dekat perutnya yang terkena tembak, dia menunjuk Zidni yang tampak mengacungkan pinset bernoda darah dan peluru bulat.

“Tidak aku sangka, Halasi 

disuplai senjata dari suku sekutu, mereka masih punya banyak pistol di tangan mereka.” Aku diam saja setelah merobek kain bajunya, lalu meninggalkan tentara ini untuk bertanya pada Zidni apakah aku bisa meminjam pinsetnya. Zidni menoleh padaku dan menarik napas.

“Biar aku saja,” katanya sambil melangkah ke tentara yang tadi coba kurawat. Aku meremas tanganku. Aku rasa aku juga tidak mungkin bisa melakukannya. Mencabut peluru 

dari dalam daging. Aku tidak pernah melakukan hal semacam itu selama hidupku. Bisa-bisa aku malah mendorong dan melesakkan peluru itu jauh semakin dalam dan bisa jadi malah menggelontorkan pelurunya ke dalam ke lambung.

Setelah tentara negara yang terluka sepertinya berhasil dirawat semua, Zidni menemuiku di kantin barak, satu-satunya tempat yang terlihat bersih dan nyaman dengan 

lampu-lampu yang berpendar ke sekitar ruangan. Aku sedang meminum kopiku saat Zidni duduk disebelahku dan ikut memesan kopi pada penjaga kantin.

“Dulu, kita sangat membutuhkan uang untuk membeli pakaian, membeli makanan enak, membeli emas, membeli perabot mahal. Sekarang seberapa banyak pun uang yang kita 

miliki, tidak akan pernah bisa membeli kedamaian. Kapan perang ini akan berakhir?” aku tidak tahu berbicara pada siapa karena aku tidak menujukan pertanyaan itu untuk Zidni, aku lebih memilih berbicara pada tembok kusam yang sedang kuhadapi.

“Tentunya setelah semua suku minoritas binasa.” Zidni meletakkan gelas kopinya yang masih penuh di atas meja. Dia pun pergi berlalu. Aku merasakan keperihan lagi. Suara 

Zidni menggema ke dalam dinding-dinding perutku yang sudah tercemari kopi. 

Suara yang begitu mendukung pembantaian. Dirinya yang senang ketika mendengar berita bahwa suku minoritas ini atau suku minoritas itu kampungnya telah dibakar tak bersisa, tidak ada amnesti untuk suku ini atau suku itu sesedih apa pun mereka menghiba.

Zidni bahkan senang melihat pembantaian terjadi di depan matanya. Apakah perang yang 

menjadikannya jahat ataukah dia memang benar-benar seseorang yang jahat?

Aku tahu tidak ada yang bisa kami lakukan selain bertahan hidup di negara yang sudah berbau mayat ini. Kami harus memaksa diri untuk tetap benapas dan tidak menyerah, 

mengikuti kemauan negara, karena kalau tidak, maka habislah sudah dan tidak akan pernah ada generasi penerus dariku, seandainya aku nanti benar-benar bisa melanjutkan garis 

keturunanku.

Impianku telah kandas saat Faraz pergi. Aku ingin mati saja tapi aku takut merasakan sakit, sehingga akhirnya aku terpaksa terus hidup, walau rasanya tetap saja seperti mayat.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status