Share

Blueberry Mousse Cake

Leo menarik napas panjang, tak habis pikir dengan apa yang telah ia lakukan. Hari ini, malam ini lebih tepatnya adalah malam ketiga sejak pertama kalinya ia datang ke 'Kopi dan Lemon' kafe. Entah apa yang merasukinya hingga tanpa sadar ia melajukan mobil Mini Countryman merah miliknya menuju kafe dimana perempuan yang humoris itu bekerja. Ah, mungkin ia hanya ingin melihat wajah itu sekali lagi.

Memutuskan untuk masuk ke dalam kafe, Leo mematikan mesin mobil. Sekali lagi ia menarik napas panjang sekadar untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia datang hanya untuk makan malam dan kebetulan ia menyukai jus lemon kafe itu. Tangannya yang panjang meraih gangang pintu, membuka pintu itu pelan sebelum mengayunkan kakinya dengan mantap menuju pintu kafe yang berjarak sekitar tiga sampai lima meter dari tempat ia memarkir mobil mininya. 

Leo disambut oleh aroma harum asap kopi yang mencari jalan menuju paru-parunya. Kopi, sudah lama sekali sejak ia terakhir meminum minuman pekat itu. Ia melangkah semakin dalam ke dalam kafe yang tenang, tak banyak pengunjung dari sejauh mata memandang hanya ada beberapa gelintir orang yang duduk di bangku-bangku di bawah sinar lampu putih kekuningan, membawa kesan hangat nan romantis. 

Leo menghampiri meja yang sama tempat Alya dan seorang laki-laki berpelukan tiga hari yang lalu. Sejujurnya, pemandangan itu terus mengusik hatinya. 

"Hai," sapanya canggung. 

Mario, yang kebetulan sedang bersantai sambil memainkan game favoritnya terkejut untuk sesaat lalu bangkit dari kursi tinggi yang ia duduki. "Selamat datang di Kopi dan Lemon kafe, kami tutup jam sepuluh malam tet!" Mario, yang dikenal juga dengan Rio mengakhiri seruanya dengan senyuman sopan.

Leo meletakkan pantatnya di kursi bulat tinggi lalu kedua tangan bersantai di atas meja kayu yang panjang, pemisah antara dirinya dan pelayan kafe, mengawasi situasi sebelum kembali menatap Mario, "Saya mau pesan jus Lemon dan .... "

"Maaf tetapi jus lemon hanya menu untuk sarapan dan makan siang!" seru Mario memotong Leo sebelum ia selesai dengan ucapannya.

"Kalau begitu saya pesan .... " ucapannya kembali terpotong ketika ia mendengar suara gaduh tak jauh dari tempat ia duduk.

"Gue nggak mau tahu! Gue mau makan blueberry mousse cake! Sekarang!" suara yang cukup familiar itu membuat Leo terdiam dan mendengarkan.

Mario tersenyum sopan, ia menarik buku menu dan menyodorkannya ke Leo, "Silakan dilhat-lihat dulu," Mario berpesan sebelum menghilang ke sebuah pintu yang terbuka.

"Ya elah, Mbak, besok kenapa, sih?"

"NGGAK!" tegas Alya dengan dua tangan di pinggang. "Pokoknya buatin gue blueberry mousse cake sekarang!"

"Besok pagi aja ya, mbak. Janji, besok saya berangkat pagi sekali, hmmm?" bujuk Reno, ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul sepuluh malam kurang tiga puluh menit.

"Al, suara lo kecilin dikit dong? Malu tuh sama customer!" tegur Mario dari ambang pintu.

"Lo diem aja, ini urusan gue sama Reno!" Alya melempari Mario dengan tatapan mematikan sebelum beralih menatap Reno dengan tatapan memohon, "Sekarang, please! Gue nggak bisa tidur sebelum gue makan blueberry mousse cake!" Alya mengubah strategi perangnya, ia merajuk manja kepada Reno, ia yakin tak ada yang bisa menolaknya jika ia mengunakan bakat terpendamnya itu.

"Lo kayak orang bunting aja!" komentar Mario sinis, Alya melempari Mario dengan buah blueberry kering yang ia bawa beberapa saat yang lalu. 

Klentang! Suara stainless steel menabrak lantai keramic terdengar nyaring.

Kedua laki-laki itu menggerang pelan melihat tingkah Alya yang super, tiada duanya, hanya ia yang bisa membuat kegaduhan dan lolos tanpa hukuman di tempat itu. "Reno, please! Gue lagi pengen makan blueberry mousse cake, gue nggak bisa tidur ntar, besok gue ada kondangan, kalo gue jelek gimana?" Alya menarik lengan Reno dan menggoyaknya pelan menatap Reno dengan puppy eyes sementara mulutnya manyun.

Sementara Mario hanya bisa bersimpati kepada Reno.

"Muka emang udah jelek dari lahir," komentar Mario. Sekali lagi, Alya mengancam Mario dengan tatapannya.

Reno mendesah, gemas juga dengan sikap Alya, sempat tergiur untuk memberi pelajaran mulut pedas itu dengan ciuman kasar yang akan membuat Alya bungkam seketika, namun ia merasa mereka akan terlalu canggung setelahnya hingga Reno menggurungkan niatnya, berkali-kali.

"Di depan masih ada strawberry mousse cake, Al!" Mario kembali berkata.

"Blueberry! Blueberry! Lo budeg ato gimana? Udah pergi sana jangan ganggu!" teriak Alya menatap Mario seolah Mario adalah makhluk paling tidak berotak di dunia.

"Whatever! Pokoknya kecilin suara lo, ato gue tenggelemin lo di laut!"

Alya melengos, mengabaikan Mario ia kembali memfokuskan perhatiannya kepada Reno, "Please!"

"Kalo saya bikin sekarang, paling nggak mbak baru bisa makan ntar jam satu dini hari! Mbak mau nunggu?" jelas Reno berharap Alya menggurungkan niatnya. Ia sangat lelah, sepanjang pagi hingga malam ia terus berdiri hanya sempat berbaring saat istirahat salat dan makan.

"Nggak papa!"

"Saya yang capek, Mbak!" keluh Reno, namun daripada fisik, sebenarnya yang lebih membutuhkan perhatian adalah batinnya. Siapa yang bisa bersikap waras jika setiap hari menghadapi perempuan cerewet, banyak maunya, suka membuat keributan namun tetap manis?

"Ya udah buatin sekarang aja, ntar gue bawa pulang pakek cooler trus gue masukin kulkas pas di rumah!" sambut Alya ceria. "Udah ayo buruan, bentar gue ambilin blueberry yang baru ya?" Alya tersenyum cerah, ia memeluk Reno yang hanya  bisa menarik napas panjang, nasib jadi babu! pikirnya. 

Alya berlari menuju gudang penyimpanan makanan, sebelum itu ia mampir ke pantry dimana Mario melayani Leo. 

"Yo, beresin tuh lantai! Awas lo!" Alya mengacungkan tinjunya ke udara, ia terlalu fokus kepada Mario hingga ia tak menyadari keberadaan Leo yang berada tepat di depan Mario.

"Kenapa, Yo?" tanya Siska yang baru saja membersihkan meja. Masih ada lima pelangan yang belum pulang. Mereka harus lembur malam ini rupanya, setidaknya mereka butuh waktu setengah jam untuk berberes-beres sebelum pulang ke rumah masing-masing.

"Biasa, si Alya kumat!" jawab Mario lirih, namu Leo masih bisa mendengarnya.

Telinganya begitu tajam, begitu pula ingatannya, ia bisa memutar ulang percakapan fenomenal itu jika ia mau.

Senyumnya masih tersembunyi di balik wajah datarnya. Leo menyesap kopinya pelan, bukan manikmati sajian hangat itu, ia sengaja mengulur waktu, menunggu kafe tutup dengan berlama-lama dengan secangkir kopinya, mungkin ia bisa bertemu dengan Alya atau bahkan mengobrol jika ia beruntung. Dari apa yang ia dengar, ia mengira Alya bukanlah pelayan sembarangan di kafe itu, bisa jadi ia adalah orang kepercayaan pemilik Kafe. 

"Alhamdulillah, besok mbak Al nggak dateng ke kafe!" Siska bersorak, tidak bukannya ia membenci Alya atau apa, ia hanya ingin istirahat dari drama yang terjadi jika Alya bersama mereka. Akan ada saja keributan yang terjadi. Apapun itu, tiada hari yang terlewat di kafe itu tanpa teriakan Alya.

Sudut bibir Leo terangkat ke atas sedikit mendengar pembicaraan mereka, sepertinya Alya memang orang yang unik. Ia memainkan jarinya di cakir putih polos itu sambil terus mendengarkan obrolan kedua pelayan itu diam-diam. Ia ingin mengorek lebih banyak informasi mengenai Alya, perempuan yang selama tiga hari terakhir terus mengusiknya. Ia bahkan sempat kehilangan konsentrasi saat rapat tadi pagi karena gadis itu tiba-tiba mengambil alih pikirannya.

"Iya-iya, gue keluar! Buruan buatnya, gue ngantuk nih!" gerutu Alya keluar dari dapur.

Suara langkahnya semakin keras membuat Leo berpura-pura memainkan ponselnya, setidaknya ia tidak ingin terlihat begitu antusias menemui seseorang yang baru sekali ia temui lebih buruk lagi mengintipnya dengan sembunyi-sembunyi, sungguh itu bukanlah kepribadiannya. Ia tak ada waktu untuk menunggu, apalagi jika hanya menunggu seorang perempuan, namun entah mengapa kini ia rela menunggu hanya untuk melihat Alya.

"Oh, Leo? Hi!" suara Alya kembali pada tingkat keceriaan seratus setelah sebelumnya berada pada titik sepuluh. 

Ia mengambil duduk tepat di depan Leo, di kursi yang sama tempat Mario menggerutu beberapa menit lalu. "Kamu disini?" 

"Yeaaah, " jawab Leo canggung. 

"So?"

"So?"

"Kamu mau kerja disini?"

"Kerja disini?" tiga orang yang menguping sontak bersuara dengan keras, ya, seorang lagi, Joni bergabung dengan mereka. 

Alya melempar sinyal peringatakan dengan tatapannya, lalu kembali menatap Leo yang menahan tawanya, "Sorry, jadi gimana?"

"Kurasa aku tidak bisa, aku baru selesai kerja sekitar jam tujuh atau jam delapan malam,"

"Oh.... " Alya mengangguk, "Tapi tidak masalah, kamu bisa datang setelah itu, dan di hari sabtu dan minggu kamu bisa mulai dari pagi hingga malam, gimana?"

Leo tertawa pelan, ia merasa Alya sangat ingin mempekerjakannya. Adakah sesuatu yang ia sebunyikan? Semisal niat terselubung? "Apa kamu tertarik kepadaku, Alya?" tanya Leo pelan, ia menatap Alya lekat, mengawasi setiap gerakan yang dibuat oleh perempuan berparas menarik itu, mulai dari ketika ia mengigit bibir bawahnya saat gugup, meremas tangannya, hingga memainkan bola matanya. 

"Ya!" jawanya spontan, Leo menyeringai, membuat Alya akhirnya tersadar ia telah mengatakan hal yang salah, yang tidak seharusnya, "Iya, maksudku, kamu cukup menarik, aku yakin kamu bisa menarik banyak pelanggan. Well, you know .... kafe ini sepi." Alya berdalih, namun tidak sepenuhnya karena ia memang memiliki niat tersembunyi dengan menginginkan laki-laki itu di kafenya.

"Ah," Leo mengangguk, "Jadi kamu tidak tertarik kepadaku sebagai seorang gadis?"

"Tidak juga,"

"Ehem!" Mario memberikan sinyal bahaya kepada Alya untuk segera menyudahi acara keakraban itu sesegera mungkin atau Mario akan bertindak.

"Well, kalau kamu tertarik kamu bisa datang besok malam," Alya berpesan.

"Ehem!" Mario kembali berdehem, kali ini disertai batuk-batuk yang dibuat-buat membuat Alya memutar kepala mentapnya, 'Diem Lo ato gue tonjok!' Ancam Alya dengan gerakan bibir tanpa suara dan tinju yang mengudara.

Sementara Leo, ia hanya tersenyum, merasa terhibur oleh sikap Alya. Menarik! Dari yang ia amati, tak mungkin Alya memiliki hubungan spesial dengan laki-laki itu. Ia yakin hubungan mereka tak lebih dari hubungan pertemanan namun tak urung ia masih merasa terganggu karena Alya terlalu bersikap familiar dengan laki-laki. Kenyataan itu tidak begitu ia sukai.

"Ya udah, bye." Alya hendak bangun dari kursinya namun Leo mencegahnya dengan mencekal pergelangan tangan Alya, 

"Tunggu!" ia berguman.

Alya melihat jari-jari beku yang memeluk erat pergelangan tangannya, ya, laki-laki itu dingin, tubuhnya dingin maksudnya. "Bolehkan aku meminta nomor telponmu, Alya?" Leo mengutarakan maksudnya, suaranya cukup keras untuk didengar Mario.

"EHEM!" Mario kembali terbatuk-batuk sambil memukul pelan dadanya beberapa kali, matanya menyorot lurus kepada Leo seperti laser. 

Leo tersenyum simpul, "Sepertinya pacarmu keberatan kamu bicara denganku," ungkap Leo sambil melirik Mario sekilas, menghadiahi laki-laki itu dengan tatapan yang sama tajamnya. Ia tidak suka ada yang menganggunya saat ia bicara. 

"Aku tidak punya pacar. Aku single!" Alya berterus terang, terdengar terlalu bersemangat bagi Mario.

"Al, lo dicari Reno tuh!" Mario berteriak.  Tak ingin Alya mengatakan hal yang tidak seharusnya kepada orang asing. Ya, baginya Leo adalah orang asing dan ia tak ingin Alya membeberkan informasi pribadinya secara cuma-cuma di pertemuan singkat mereka. Meski terlihat seperti laki-laki baik-baik, namun Mario tahu jelas bahwa meski laki-laki baik-baik juga bisa tergoda untuk berbuat jahat jika memiliki peluang. Mario tak ingin memberikan peluang itu kepada Leo. Setidaknya tidak sekarang.

Alya memutar kepalanya, mengerutu kepada Mario tanpa suara yang hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua. Mario tidak senang dengan kenyataan Alya mengumunkan status singlenya kepada orang asing yang baru dikenalnya. Manurutnya Alya terlalu polos untuk menjalin hubungan dengan laki-laki, apalagi turis asing, mereka bisa sangat berbahaya bagi perempuan.

Tertawa canggung, Alya berniat untuk menarik lengannya, "Ponselku tertinggal di kantor, aku tidak hafal nomerku. Tapi kalau kamu tertarik kamu bisa datang besok malam," tuturnya halus, tak ingin menimbulkan kesalahpahaman atas penolakannya. 

"Oh .... " Leo melepaskan tangan Alya dengan tiba-tiba, ia mengira tak mungkin seseorang tak hafal nomer ponselnya namun lebih tidak mungkin lagi meninggalkan ponselnya. Itu hanya bentuk penolakan halus saja. 

Mengaruk belakang kepalanya atas kecanggungan yang terjadi, ia sedikit tak nyaman dengan situasinya saat ini. Jika boleh jujur, ia sedikit kecewa. Belum pernah ia meminta nomer telpon seorang perempuan apalagi ditolak, ini pertama kali dan terakhir kalinya, ia berjanji detik itu juga. Ia tidak pernah memohon kepada seseorang dan ia tak memiliki niatan untuk mengawalinya dengan Alya, tidak peduli meski ia dibuat penasaran olehnya. 

"Oh, well.... " Leo melirik jam tangannya, pura-pura saja sebenarnya, "Gotta go, senang melihatmu, Alya." Ia menawarkan senyuman yang mungkin akan menjadi hadiah terakhirnya untuk Alya, kupikir aku tak perlu datang lagi kemari, gumannya sedikit menyesal. Ia belum pernah mengejar seorang perempuan dan ia tak ingin memulainya sekarang atau bahkan selamanya.

"Ya, malam Leo." Alya melambaikan tangannya beberapa kali, saat Leo mulai melangkah menjauh. Alya memonyongkan bibirnya, menatap Mario sebal sebelum kembali mengawasi kepergian Leo. Laki-laki itu bahkan tak mau mengintipnya lagi, "BYE!" teriaknya berharap Leo akan menoleh ke arahnya, meski sesaat tetapi Leo tidak melakukannya. Ia pergi tanpa menoleh ke belakang.

Tekadnya sangat kuat, jika ia mengatakan tidak maka ia tidak akan pernah mendekati sesuatu itu lagi dan Alya adalah deretan kata tidak yang baru ia sisipkan dalam daftar hitamnya.

"Mbak, kenapa sih, hobi banget teriak-teriak?" Dito yang baru saja selesai merapikan satu meja yang ditinggal pelangan menegur Alya saat ia meliha Alya terdiam di depan meja pantry.

"Kepo!" Alya melenggang pergi. 

#####

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status