Dengan gugup, Alya berjalan menuju meja Leo, dengan nampan di atas tangan, ia bisa merasakan detak jantungnya yang berpacu semakin cepat dengan jarak diantara mereka yang semakin rapat. Mengedipkan mata berkali-kali, Alya berhenti sejenak hanya untuk menarik napas panjang, entah sudah yang keberapa kalinya, mengumpulkan keberanian. Syukurlah bahasa Inggrisnya cukup memadai. Terima kasih untuk Rara yang selalu memanas-manasinya hingga ia berhasil mengenal bahasa tersebut.
"Jangan lupa bilang, 'Hi Mister' dulu sebelum ngomong macem-macem!" Alya memperingatkan dirinya sambil kembali menapaki jalanan rata namun terasa menaiki tangga karena kini napasnya mulai berantakan kembali. Ia harus menenangkan diri sebelum mempermalukan diri, mempermalukan perempuan Indonesia. Ia membawa nama baik perempuan Indonesia di pundaknya, ia harus bersikap baik dan memberi kesan yang sama baiknya.
Alya merasa lega ketika laki-laki itu masih menelpon, ia menunggu sejanak sebelum akhirnya laki-laki itu mengakhiri panggilan telepon pintar, dengan sigap Alya maju selangkah, meletakkan napan di meja laki-laki itu lalu mengambil duduk tepat di hadapan laki-laki yang ternyata jauh lebih memukau jika dilihat dari dekat. Pilihannya memang tidak pernah salah.
Alya menelan ludah, gugup bercampur tergiur untuk mengecup pipi berlesung itu atau sekadar meyusuri wajah yang terpahat keras itu dengan jarinya yang mulai gatal. Ciri khas yang dimiliki kebanyakan bule. Rahang kokoh dan tajam, hidung berdiri tegak, sepasang alis yang terajut sempurna, ah, jika saja alis miliknya bisa serapi dan seindah itu, ia tak akan memerlukan pensil alis, Alya cemburu. Belum lagi sepasang mata hitam legam, Alya belum pernah melihat seseorang denga lensa mata sepekat itu, seolah-olah ia sepasang adalah blackhole yang bisa menariknya masuk dan tak mengijinkannya untuk kembali.
Alya berdehem, ia melihat mulut yang terdiri dari sepasang bibir merah menggoda itu bergerak-gerak, tidak tipis tidak juga terlalu tebal, namun bibir bagaian bawahnya lebih tebal daripada bagian atas dan ada garis tipis yang membelah bibir penuh itu menjadi sayap kiri dan sayap kanan, terlihat sangat kissable, Alya bisa menebak laki-laki itu pasti sudah ribuan kali menggunakan aset berharganya itu. Tunggu, dia ngomong apa? batinnya berkata, kehilangan kesadaran untuk sesaat. Sial! Laki-laki tampan sudah pasti diperawani banyak orang dari ujung kaki hingga rambutnya.
"Ehm, yeah?" Alya merasa ada yang aneh dengan suaranya, ia tidak terdengar seperti kodok yang mengalami kecelakaan lalulitas?
"Ini meja saja, mine!" Laki-laki itu dengan tegas kembali berkata, tatapannya tajam membuat Alya sempat ingin melarikan diri jika saja ia tidak ingat akan calon naskah di dalam kepalanya yang menunggu kedatangan man role.
"Yeah, yeah, I know." Alya menjajal bahasa Inggrisnya yang kurang fasih karena jarang ia pratikan.
And? Tatapan Leo memberitahunya, kedua tangannya bersilang di dada, menyandarkan punggung pada punggung kursi, mengawasi Alya dengan mata lasernya.
"Ah, Alya, my name is Alya?" Alya mengunpat dalam hatinya, sudah tahu laki-laki itu bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar bahkan fasih, ia malah sok-sokan menggunakan bahasa Inggris yang garing.
"Maksud saya, saya Alya," Alya memperjelas saat tak ada respon.
Dengan satu alis terangkat, Leo menyahut, "Kamu sudah mengatakannya tadi."
"Oh, iya-ya," Rasa malu Alya sudah menjalar ke pipinya yang mulai merona, Sial! Harusnya ia menyapa dengan gaya yang lebih elegan. Terkekeh aneh, Alya mendorong nampan itu lebih dekat kepada Leo."Ini untukmu, jadi siapa namamu?" Ia mencoba untuk bersikap santai.
"Aku tidak memesannya," berkata dengan dingin, Leo berharap pelayan itu berhenti mengganggunya.
"Ini untukmu dariku, aku yang traktir, my treat-my treat!" Alya merasa perbincangan mereka semakin tak bertujuan.
"Thanks but no."
"Tidak usah malu-malu, banyak kok bule yang .... "
"Kenapa?" potong Leo membuat Alya berhenti mengoceh untuk sementara.
"Oh, nama-nama, kamu belum memberitahuku." Alya buru-buru mengubah topik pembicaraan.
"Leo," jawab Leo akhirnya menyerah juga. Lagipula mengetahui namanya tidak akan membawa perempuan itu kemana-mana.
"Kamu dari mana? Sudah lama di Indonesia?"
Leo tertawa, akhirnya ia mengerti mengapa perempuan itu ngotot ingin bicara padanya, rupanya ia mengira dirinya adalah seorang turis. Ini sungguh sangat lucu, batin Leo mengawasi wajah tegang sekaligus malu-malu Alya. Ah, namanya Alya, gumannya dalam hati.
Memutuskan untuk mengikuti permainan perempuan itu, Leo menjawab, "Ah, Canada. Aku sudah disini selama...." Leo mengangkat dua telapak tangannya ke udara, lalu menghitung dengan jarinya, "Satu, dua, tiga, .... Ehm, dua belas bulan."Ia menghadiahi Alya senyuman tipis.
"Oh, kapan kamu akan kembali?" Alya bertanya lagi, "ke Canada maksudku," sambungnya.
"Don't know, I love being here," Leo menjawab.
"Ah.... " Alya mengangguk beberapa kali, "do you need a job?"
"Pardon?"
"Ehm, please forgive me for this but are you by any chances run out money?" Leo tak menyahut, ia hanya menatap Alya, "You... Bekerja disini, kerja-kerja, working? Work?" Alya mengerutkan alis dengan bola mata yang berdansa, memikirkan kata mana yang paling cocok. "Here, we... we're sorta run out people." Alya kembali nyengir.
Leo tertawa, "Me? Working in here?"
"Yeah, yeah. We can paid you handsomely and then you can go back home!" Alya bersorak ketika kalimat itu terucap dengan lancar.
Sekali lagi Leo tertawa, "That's great. But I don't have that skills?"
"Your handsome face will do," guman Alya lirih, berharap Leo tak mendengarnya, sayangnya telinga Leo terlalu tajam untuk mengabaikan pujian seseorang atas aset warisan kedua orangtuanya.
"Aku ada kerjaan lain, "Leo berkata dengan datar menahan diri untuk tidak tertawa meski perutnya sudah bergejolak.
"Tidak masalah," jawab Alya, selama ia bisa mengamati atau melihat Leo setiap harinya ia tak keberatan. "Kamu bisa datang sore, sepulang kerja. Kami tutup jam sepuluh malam."
"You're not kidding?"
"No. One hundred percent serious!" Alya menunjukkan kesepuluh jadinya dihadapan Leo sambil tertawa renyah.
"Well, let me think." Leo mengawasi Alya, masih terkejut dengan tawaran yang ia terima..
"Yeah-yeah, well then, nice to meet you." Alya berdiri dari kursinya, senang atau katakanlah ketagihan ingin mengobrol dengan bule itu lagi.
"Wait a second," cegah Leo saat Alya hendak pergi meninggalkan mejanya. Alya memutar kepalanya lalu menatap Leo dengan alis terangkat, jangan katakan ia akan meminta nomer ponselku? "Aku alergi gandum," lanjut Leo.
"Oh," sedikit kecewa, Alya menerima sodoran sebuah piring berisi roti gandum yang tak tersentuh. "Enjoy-enjoy...," Alya kembali berbicara lalu berbalik, melangkah pergi menuju pantry.
Leo mengawasi kepergian Alya, "Dia perempuan mungil dan unique," gumannya tak bisa menyembunyikan rasa geli akibat drama yang baru saja disajikan Alya. "Alya? Not bad, huh," imbuhnya ketika mengingat perempuan mungil itu setidaknya memiliki kepribadian yang baik. Mengerang pelan, Leo tidak menyangka seseorang menawarinya pekerjaan sebagai pelayan kafe. Meski bukan pekerjaan yang buruk, ia merasa sedikit kecewa, apakah tampangnya seperti pengemis? Rasa-rasanya tidak.
"AAA...!"
Mendengar suara melengking di dalam kafe yang tenang itu, sontak membuat Leo mencari sumber suara yang tak lain adalah teriakan Alya.
Senyumnya kembali merekah, setidaknya, pikirnya, perempuan itu tertarik kepadaku dan berani menunjukkannya.
Ia mengawasi Alya yang berjingkrak-jingkrak riang menunjukkan betapa, "Senangnya ia bertemu denganku," guman Leo merasa geli namun cukup menyenangkan. Ya, perasaan itu cukup menyenangkan.
Ia sadar, ia memiliki kelebihan soal wajah, ah, bukan hanya wajah, bahkan tubuhnya itu pun telah berhasil menggoda banyak perempuan selama ini. Tak heran jika Alya juga merasa harus ikut mengambil bagian.
Leo kembali menarik napas panjang, ia mengawasi Alya sekali lagi sebelum ia menyelesaikan sarapan paginya.
"Ehm..., " Leo mengangguk puas, ia menyukai pancake itu. Lembut, manis, dan saus blueberry, ini pertama kalinya ia memakan pancake dengan saus blueberry.
Leo menikmati sarapan paginya dengan antusias, setelah beberapa groan sebagai tanda kepuasan, akhirnya ia berhasil membuat piring-piring cantik itu kembali mengkilap seperti sedia kala.
"Wow," ia melihat piring-piring kosong itu, takjub dengan apa yang baru saja ia alami, sarapannya kali ini adalah sarapan pertama dimana seolah-olah ia sedang sarapan di rumah bukan di kantor dengan meminta sekretarisnya untuk memesan, memesan makanan yang itu-itu saja.
Leo menyapu sudut bibirnya dengan sapu tangan yang bersembunyi di balik saku kemejanya lalu menutup prosesi pagi itu dengan meneguk sisa jus lemonnya.
Melirik jam tangan keperakan di tangan kirinya, ia terperanjat, berapa lama waktu yang ia habiskan di meja itu? Rasa-rasanya ia hanya sebentar duduk di kursi jati kecoklatan dengan meja persegi. Mungkin ia terlalu tengelam dalam menikmati sarapan paginya atau obrolannya dengan pelayan kafe.
Ia menarik tubuhnya berdiri dari kursi, tangan kanannya dengan cepat mengeluarkan dompet dari saku belakang celana hitam yang ia kenakan, megeluarkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu rupiah dan meletakkannya di atas meja untuk membayar semua makanan yang telah tersimpan dengan baik di dalam perutnya. Tidak, ia tidak senang dengan makanan gratis. Ia tidak suka dan tidak mau menerimanya karenanya ia melebihkan uang itu plus tip untuk si perempuan mugil.
Mungkin ia bisa pergi untuk sarapan di tempat itu lagi besok.
#####
Malam datang dengan cepat. Alya merasa waktu terlalu cepat berjalan, saat ini jam dinding yang mengantung malas di dinding Kafe menunjukkan pukul sembilan malam. Alya kembali melirik jam tanpa kaca itu sambil mengeluarkan napas lelah lalu kembali menatap keluar jendela kaca yang basah akibat diterjang hujan yang kini mulai mereda.
Kafenya sepi.
Tetapi bukan ketidakhadiran pengunjung yang membuat hatinya gelisah, melainkan kehadiran seseorang yang ia tunggu-tunggu namun hingga kini tak ada kabar berita. Harusnya tadi gue minta nomer W******p-nya! sesalnya. Ya, ia sendang menunggu kedatangan Leo, Alya terlalu percaya diri laki-laki itu akan tertarik kepadanya, atau paling tidak tertarik untuk bekerja di Kafe miliknya. Ah, mungkin ia salah. Laki-laki sepertinya mungkin saja adalah seorang fotografer atau videografer Natgeo yang kebetulan mampir ke Jakarta dan tentu saja dikelilingi banyak perempuan cantik adalah keharusan.
Ah, gue konyol banget sih! Mana mau dia kerja jadi babu? Kalau dengan senyum aja dia bisa dapet duit? pikir Alya sinis mengulang rekaman kejadian tadi pagi di dalam benaknya, saat laki-laki itu membiusnya dengan senyuman yang mematikan.
"Ngapain lo disini, Al?" Mario menyapa Alya yang duduk di kursi dekat jendela, pandangannya terpaku pada kaca jendela yang menampilkan kesibukan malam ibu kota Jakarta.
"Al?" Mario memanggil dengan suara lebih keras membuat Alya tersentak.
Sepasang mata bulat agak lonjong itu menyipit, menatap Mario dengan tatapan sebal "Apaan sih?" lalu kembali berpaling menatap keluar jendela.
"Lo ngapain disini? Tumben belum pulang?" Mario mengambil duduk di depan Alya. Alya tak menyahut, mengira Alya masih marah akibat pertengkaran mereka tadi pagi, Mario berniat meminta maaf, "Sorry, ya. Lo nggak marah, 'kan?" sesal Mario. "Eh, lo belum makan malem, 'kan? Ini gue buatin mini pizza, pakek tepung gandum, banyak dagingnya, lo tenang aja."
Alya memutar kepalanya, menatap Mario begitu mendengar penuturan laki-laki itu, memang sudah terlalu biasa Mario menyesali pertengkaran pagi mereka pada malam harinya. Bukan hal yang baru, namun yang tidak biasa adalah ia mau menawarkan diri untuk menyiapkan makanan untuknya sebagai permintaan maaf.
"Ekstra keju," Mario menambahkan ketika Alya hanya diam dengan pandangan lurus kepadanya, membuat Mario sedikit tidak nyaman. Tidak mungkin Alya masih marah, 'kan?
"Lo mau bikin gue gendut?"
"Gendut apaan sih, Al? Badan kayak lidi gitu," cibir Mario.
"Lo pikir gue kurang gizi?" desis Alya mulai emosi.
Mario memutar bola matanya, "Emang susah ngomong sama lo, ya?" lanjutnya dengan nada jengkel.
"Ya udah jangan ngomong sama gue!"
Mario mencibir, "Ya udah jadi mau nggak nih, pizza daging extra keju kalo enggak gua bawaa pulang aja!" ancam Mario sambil menarik nampang berisi pan pizza yang hanya mampu memuaskan satu perut saja. Terutama jika perut itu adalah perut Alya.
"Enak aja mau lo bawa pulang!" Alya melirik makanann berkalori tinggi itu dengan tajam.
"Lo bilang nggak mau?"
Alya masih menatap Mario sinis, sementara kedua tangannya merayap menuju nampan yang berada di tangan Mario, dengan sigap ia menyingkirkan tangan Mario dari nampan itu dan menariknya ke dalam pelukannya, nampan pizza maksudnya.
"Siapa yang bilang, lain kali tanya dulu gue maunya makan apa?" ia tersenyum sambil mengendus bau harum daging dan keju, ah, ia bahkan bisa membayangan betapa nikmatnya perpaduan sempurna kedua makanan favoritnya itu. "Thanks, Yo, lo emang cowok favorit gue!" ia kembali berkata sebelum mengambil sobekan tipis pizza, dan memasukkannya dengan semangat ke dalam mulutnya, sementara Mario yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa mengelengkan kepalanya sambil mencibir, semua orang tahu bahwa Alya memiliki banyak cowok favorit, bukan hal yang spesial bagi Mario maupun orang-orang di kafe itu.
Ia mengangkat bokongnya lalu mencondongkan tubuhnya ke depan untuk mengusap-usap kepala Alya penuh sayang, "Habisin biar cepet gede biar ntar bisa nikah sama bule!" goda Mario, menahan tawa, ia mengdengar kabar pagi itu dari orang kafe lalu berlari secepat kilat meninggalkan Alya dan pizza extra keju favoritnya sebelum perempuan bertemperamen panas itu melakukan sesuatu atas tingkah jahilnya.
Alya mendelik, ia menelan bulat-bulat potongan pizza masih setengah utuh di dalam mulutnya sebelum berteriak, "MARIO!!!" dengan lantang membuat beberapa pengunjung yang sedang menikmati hidangan mereka terkejut.
#####
Leo menarik napas panjang, tak habis pikir dengan apa yang telah ia lakukan. Hari ini, malam ini lebih tepatnya adalah malam ketiga sejak pertama kalinya ia datang ke 'Kopi dan Lemon' kafe. Entah apa yang merasukinya hingga tanpa sadar ia melajukan mobil Mini Countryman merah miliknya menuju kafe dimana perempuan yang humoris itu bekerja. Ah, mungkin ia hanya ingin melihat wajah itu sekali lagi. Memutuskan untuk masuk ke dalam kafe, Leo mematikan mesin mobil. Sekali lagi ia menarik napas panjang sekadar untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia datang hanya untuk makan malam dan kebetulan ia menyukai jus lemon kafe itu. Tangannya yang panjang meraih gangang pintu, membuka pintu itu pelan sebelum mengayunkan kakinya dengan mantap menuju pintu kafe yang berjarak sekitar tiga sampai lima meter dari tempat ia memarkir mobil mininya. Leo disambut oleh aroma harum asap kopi yang mencari jalan menuju paru-parunya. Kopi, sudah lama sekali sejak ia terakhir meminum minu
Alya telah bersiap-siap sejak pagi ketika ia terbangun untuk kedua kalinya pagi itu. Acara resepsi pernikahan Salma akan berlangsung di Grand Ballroom hotel Sheraton Grand Jakarta yang terletak di Kebayoran, Jakarta tepat jam sepuluh pagi. Dua jam setelah akad nikah yang dilangsungkan di masjid Istiqlal yang sayangnya ia lewatan karena bagun terlambat sehingga membuatnya absen dari acara sakral sahabat karibnya itu. Mengenal Salma sejak beberapa tahun silam membuatnya memahami kehidupan percintaan Salma yang sama tak mulusnya dengan kehidupan cinta miliknya. Sebenarnya tidak sama karena Alya belum pernah jatuh cinta, mungkin pernah menyukai seseorang namun jatuh cinta? Ia masih menantikannya hingga kini. Ya, ia mungkin pernah beberapa kali tertarik kepada lawan jenis tetapi sekali lagi, dengan sifat pemilihnya itu ia sering kali gagal dalam proses jatuh cintanya karena ia merasa tak pernah ada yang cocok dengannya. Salma menikahi seseorang yang dikenal
Keluar dari mobil taksi, Alya berlari masuk ke dalam lobby hotel. Kaki pendeknya hanya mampu membuatnya mempersingkat waktu satu setengah kali lebih cepat dari saat ia berjalan dengan normal. Sepatu berhaknya-lah yang membuatnya semakin kesulitan mengontrol kakinya. Belum apa-apa saja ia sudah merasa tak nyaman, sakit pada kedua tumitnya. Mengabaikan beberapa pasang mata yang cukup terhibur oleh tingkahnya, Alya melanjutkan marathon singkatnya menuju salah satu pintu lift di sebelah kanan lobby, dimana beberapa orang juga telah menunggu. Ia melepaskan kedua tangannya yang sejak tadi mencengkram gaunnya. Ya, sejak tadi ia berlari dengan bagian bawah gaun terangkat ke udara, hal itu terpaksa Alya lakukan untuk mempercepat langkah kakinya juga menurunkan risiko terjungkal saat berlari dengan gaun menjuntai ke lantai. Sudut bibirnya sedikit melengkung membentuk senyuman santun saat ia menyadari ia telah menarik banyak perhati
Alya masih memikirkan ucapan Rara. Sialan, ucapan sepupunya itu ada benarnya. Lebih mengejutkan lagi mereka memiliki pemikiran yang sama! Mungkin karena itulah mereka bersaudara. Manfaatkan momen ini untuk mencari calon suami! Kalimat itu terus berputar bukan hanya di benak Alya, tetapi melekat seperti permen karet pada rambut di dalam hatinya. Bahkan secara tak sadar, ia mengumankan kalimat magic itu sama seperti ketika ia berdzikir tiap habis salat. Sayangnya, ia masih terpaku pada tempat ia duduk. Ia belum sempat berkeliling untuk mencari jodoh. Acara itu sudah berlangsung sejak satu jam yang lalu, para tamu sudah memenuhi kursi-kursi yang disediakan. Di sebuah dinding disediakan layar putih yang besar, sebuah rekaman mengenai perjalanan keduanya sudah diputar seolah-olah mereka sedang menonton film Romance of the Year yang mencuri perhatian penonton di sebuah bioskop. Bukan hal yang luar biasa seb
Alya sudah berkeliling untuk menemui beberapa teman sekolahnya dulu yang juga merupakan teman Salma. Diusia yang hampir kepala tiga, hampir semua hari mereka telah memiliki momongan yang artinya mereka telah merasakan kehidupan pernikahan, ada pula yang menjanda atau menduda. Alya tidak habis pikir, apa yang terjadi saat mereka memutuskan untuk berpisah setelah menempuh pernikahan yang baru seusia jagung? Alya turut prihatin juga iri kepada mereka yang berhasil membina keluarga kecil yang bahagia. Ia juga ingin melakukannya, memilikinya sesegera mungkin. Setelah berjalan kesana kemari mengunjungi meja-meja, sengaja untuk menghindari orangtuanya, akhirnya Alya dengan terpaksa duduk bersama kumpulan sesepuh itu. Meja yang di duduki oleh kakek-kakek dan nenek-nenek. Setidaknya, semua paman dan bibinya telah memiliki pewaris untuk dua generasi yang membuat mereka menjadi seorang nenek dan kakek. Mereka tidak akan merasakan kecemasan seperti yang dirasakan oleh orangtuanya. Ya, o
Begitu tiba di apartemennya satu jam kemudian, yang Alya inginkan hanyalah satu. Berendam di air dingin. Ya, iya tak begitu menyukai mandi dengan air panas, hanya kadang-kadang saja. Baginya air dingin lebih menyegarkan. Ia bertekad akan menyelipkan waktu untuk memanjakan diri sebelum bekerja. Setelah membanting dengan kasar pintu apartemen berwarna hitam kecoklatan yang terbuat dari kayu Mahogany itu, Alya melempar sepatu terkutuk yang telah menyakiti jari-jari manis kaki yang ternyata lebih buruk dari dugaannya. Beberapa ruas jarinya lecet, akibat gesekan tak diinginkan dengan permukaan dalam sepatu yang sempit. Seharusnya ia memang tidak memakai kaos kaki yang hanya mempersempit dan memperburuk kondisi kakinya. Sedikit lega karena telah melampiaskan kemarahannya, Alya memutuskan untuk berendam di dalam bak mandi keramik yang berbentuk lonjong. Ia membawa ponselnya ke dalam kamar mandi yang memiliki jendela kaca penuh di salah satu sisinya, menjulang tinggi d
Pagi itu Leo terbangun karena dering ponselnya terdengar sangat menganggu di telingganya yang masih malas untuk mendegar sesuatu. Ia terpaksa bangun untuk mematikannya. Matanya membulat ketika ia mendapati jam digital yang ada di layar ponselnya memberitahunya bahwa ia sangat terlambat, angka itu adalah angka sebelas dan angka dua puluh. Sh*t! Bagaimana bisa ia tertidur seperti orang mati? Seingatnya, semakam ia tidur tepat jam satu dini hari karena mengalami gejala insomnia ringan. Masalah kesehatan juniornya-lah yang menjadi tersangka utamanya. Matanya terasa lengket, kepalanya juga terasa pusing. "Sh*t!" Leo memaki. Ia melempar bantal tak bersalah yang telah menemani tidurnya sepanjang malam dalam pelukannya. Melompat dari ranjang, Leo melempar sembarangan ponsel miliknya, mengabaikan siapapun yang menghubunginya. Selimut tebal berwarna putih yang menutupi otot-otot dada yang terpahat sempurna jatuh ke lantai saat kaki telanjangnya menyentuh
"Halo?" Balas suara di seberang.Sambil membelokkan mobilnya menuju jalan raya, Leo menyahut, "Bro, kenapa telpon kemaren? Sorry kemaren gua sibuk."Haidar menghela napas, kalau didengar dari suaranya, sepertinya Leo jauh lebih ceria daripada kemarin siang. "Enggak, gua cuma mau minta maaf soal kemaren. Sorry kalau gua kesannya mengurui.""It's okay," Leo menyahut santai. "Ya udah. Ntar lagi, gua mau telpon Salma.""Ya, dia cariin Lo kemaren. Lo pergi nggak bilang dia?""Kelupaan.""Ya udah. Assalamualaikum," Haidar memberi salam. Ia menunggu sesaat untuk mendengar sahutan Leo, perasaan lega menyelimutinya, Leo tidak marah soal Mona."Waalaikumsalam..., " jawab Leo lalu menutup telepon.Ia kembali menekan layar di dashboard mobil, ia menelepon Salma dengan cara yang sama. Mereka berbicara singkat, Leo sempat meminta maaf karena ia pergi dari pesta begitu saja tanpa memberi kabar. Syukurlah Sa