Tiga bulan kemudian
Alya belum pernah begitu gelisah seumur hidupnya. Ia menjalani hidupnya sebagai seorang penulis dengan santai. Tidak ada apapun yang pernah membebani pikirannya seberat saat ini. Ketika ia merasa didesak oleh usianya sendiri yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya akan begitu kejam terhadap dirinya. Berapa usianya saat ini? Dua puluh tujuh tahun. Lalu? Seharusnya ia sudah menikah!
Di awal usianya yang ke-dua puluhan Alya sudah berpikir matang-matang, kapan ia akan menikah, dengan siapa ia akan menikah, dimana ia akan melangsungkan akad nikah? Resepsi? Mahar? Kue pernikahan? Konsep pernikahan? Semua sudah ia rencanakan. Catatan khusus mengenai cita-cita terbesarnya itu masih tersimpan rapi di buku diary miliknya. Menikah diusianya yang kedua puluh tujuh tahun adalah salah satunya, usia yang menurutnya saat itu cukup matang untuk memulai membina keluarganya sendiri, ia ingin menikmati masa kesendirian sebelum memutuskan untuk menjadi istri seseorang, ia juga sangat tidak ingin mengalami hal yang sama seperti saudara sepupunya yang saat itu menikah diusia dua puluh tahun dengan laki-laki yang dijodohkan oleh keluarganya sementara ia juga harus menjalani kuliah lalu hamil saat wisuda! E... Itu sangat tidak keren! Alya akan hamil saat usianya dua puluh delapan tahun, juga merupakan salah satu to do list dalam hidupnya. Melahirkan seorang putra saat usianya dua puluh sembilan. Perfect! Terlalu perfect hingga tak mungkin terkabul dengan keadaannya yang sekarang.
Oh, ia sungguh menyesal. Seharusnya ia mengambil langkah lebih awal agar rencananya berjalan sempurna sesuai itinerary. Seharusnya ia mulai mencari jodoh sejak empat atau lima tahun lalu dan menunda memiliki momongan bukan menunda menikah yang akhirnya malah menyulitkan dirinya sendiri, atau mungkin bertunangan?
Masa mudanya terlewat dengan sia-sia. Sekarang kemana perginya belahan jiwa yang tak pernah ia temui sebelumnya itu?
Ah, memiliki seorang putra juga merupakan to do list Alya. Ia tidak pernah berkeinginan untuk memiliki seorang putri. Ia lebih menginginkan anak laki-laki daripada perempuan, ya, meski cebong-cebong sepupunya nakal bin bandel namun setidaknya membersarkan mereka(laki-laki/putra) tidak akan sesulit membesarkan anak perempuan. Lagipula ia tahu, menjadi seorang perempuan memiliki tugas yang lebih berat daripada seorang laki-laki. Perempuan haid setiap bulannya yang kadang-kadang bukan hanya menyiksa tetapi juga mengurangi ibadah yang bisa ia lakukan. Perempuan ketika menikah akan menjadi istri yang bertugas bukan hanya melayani suaminya saja, tetapi juga akan merangkap sebagai pembantu rumah tangga yang harus mencuci, memasak, dan membersihkan rumah setiap hari. Meski tugas itu bisa digantikan oleh assisten rumah tangga, namun Alya tidak pernah memiliki keinginan untuk memelihara mereka, ia tidak senang dengan kehadiran orang asing di dalam keluarganya. Ia juga harus merawat anak-anaknya ketika sudah memiliki momongan. Betapa menyiksanya tugas seorang istri kelak. Apalagi ia pernah mendengar kalau melahirkan itu sakitnya bukan main. Meski banyak laki-laki yang mengatakan kalau hal itu bullshit soalnya banyak perempuan yang ketagihan untuk melahirkan. Ya, sepertinya memang bullshit melihat hampir semua sepupunya ketagihan melahirkan! Entahlah, melihat cebong-cebong yang selalu membuat keributan ketika ada acara keluarga saja sudah membuatnya pusing, mungkin satu putra sebagai pewaris sudah cukup. Terakhir, yang lebih penting-laki-laki akan lebih mudah menemukan pasangan, dan menikah diusia kepala tiga bukan masalah, akan berbeda cerita dengan perempuan. Laki-laki diusianya yang sekarang ini, masih bisa mendapatkan perempuan muda belia, seperti Rara yang akhirnya menikah dengan om-om yang sepuluh tahun lebih tua darinya. Alhamdulillah, om Iman adalah laki-laki tampan yang mapan. Kalau tidak?
Lalu jika perempuan seusianya? Siapa yang bersedia mempersunting tanpa pikir panjang? Laki-laki seusianya akan memilih gadis belia untuk menjadi istri, dan brondong? Mana ada brondong menginginkan daun tua? Ya, mungkin ada sih, diluar sana tapi bagi Alya menjalin hubungan dengan laki-laki yang lebih muda akan membuatnya terlihat seperti sugar mommy.
"No way!" Alya menggelengkan kepalanya dengan kasar, memikirkan dirinya menjalin hubungan dengan laki-laki yang lebih muda membuatnya mual. Ia ingin dimanja bukan memanjakan! Bukan berarti laki-laki yang lebih muda tidak bisa memanjakan pasangan. Ia hanya merasa kurang cocok saja. Rasanya aneh, kalau ada yang lebih tua dan mapan, cocok menjadi panutan mengapa harus memilih yang muda?
Alya kembali mengeluarkan napas kasar dari hidung dan mulutnya, lalu memiringkan tubuhnya ke kiri. Belakangan ia mengalami gejala insomnia ringan. Salahkan status single since birth yang diraihnya.
Ya, lihat saja yang terjadi kepada dirinya, ia menjadi bahan olokan karena disaat saudara-teman seusianya tengah menikmati masa-masa menjadi mamud, mama muda, "Sementara aku? Kemana-mana sendiri? Ah, belum lagi ocehan mama? Sodara?" keluhnya.
Enaknya jadi laki-laki! pikirnya membalik miring ke kanan kembali. Mereka hanya dikhitan sekali dan Alya yakin sakitnya tak akan sebanding dengan sakitnya melahirkan. Lalu kelak, ketika dewasa, anak laki-laki akan mencari nafkah sendiri dan tentu saja tidak akan menyulitkan Alya dengan keluhan-keluhan ala gadis ababil, seperti pakaian apa yang harus ia kenakan saat pergi ke pesta ulang tahun teman sekelas. Model sepatu apa yang bukan hanya stylish tapi juga tidak melanggar peraturan sekolah. Boleh tidak kalau pulangnya agak telat... belum lagi kalau patah hati?
"Argh! Kenapa aku malah memikirkan anak-anak? Bapaknya saja belum muncul?"
Ya, Alya bahkan belum memiliki calon yang akan ia jadikan suami juga ayah dari calon putranya. Sebenarnya ia memiliki cukup banyak teman laki-laki. Ada mas Hendra, editornya yang cerewet yang juga masih single dan siap menikah. Mas Rafi yang merupakan rekan seprofesi yang lumayan-lah bisa Alya banggakan kepada sahabat-sahabatnya karena ketampanannya. Ronald, Bagus, Bayu, Alan, Mario, Wisnu, Beni, Dito, Arman, Reno, dan masih banyak lagi yang tidak bisa Alya sebutkan satu per satu namanya.
Sayangnya, dari mereka semua yang selalu bergumul dengan Alya, tak ada satupun yang membuat Alya berkeinginan untuk menikah. Ia sama sekali tidak berminat menjadikan salah satu dari mereka suaminya. Mereka adalah orang-orang tidak jelas (Baca: pekerjaan tidak jelas, yang dimaksud dengan pekerjaan yang jelas adalah dokter, arsitek, pengusaha, entahlah). Maklum terlahir dilingkaran keluarga konglomerat membuatnya was-was dalam memilih pasangan, karena bukan hanya perempuan yang hanya bermodal tampang saat ini, laki-laki pun juga, istilah kerennya banyak laki-laki malas yang memilih mencari sugar mommy, dan yang lebih buruk lagi, semua sepupunya yang telah menikah, menikah ke keluarga konglomerat! Apa jadinya jika ia menikah dengan laki-laki sederhana? Mau dibawa kemana wajahnya? Lalu pendapat orangtuanya? Keluarga besarnya?
Alya sempat berpikir, sebagai seorang perempuan yang dulu masuk jurusan IPA saat masih SMA, juga mendalami sains Fisika, Alya hanya akan menikah dengan mahasiswa (Baca: mantan mahasiswa) Arsitektur, Teknik Elektro, Teknik Mesin, Teknik Pertambangan, Teknik Permiyakan, Teknik Sipil, dan Komputer sains. Ah, waktu itu mereka tampak memukau, bukan? Mahasiswa teknik dengan rambut gondrong dengan kemeja kotak-kotak yang tidak dikancing? Siapa yang tidak jatuh cinta? Sekarang? Entahlah, ia merasa laki-laki berdasi lebih masuk akal untuk dikencani.
Ya, meski sudah tidak berpikiran konyol lagi, ia tetap menginginkan suami seorang arsitek atau mungkin seorang dokter atau pengusaha. Setidaknya ia tidak akan merasa malu saat ada acara kumpul atau arisan keluarga.
Lagipula, dokter pastilah berotak encer dan Alya ingin memiliki suami yang jauh lebih pandai dari dirinya. Bukan suami tidak berotak yang hanya modal tampang dan warisan orangtua. "Ah, sialan, harusnya aku kuliah dikedokteran dulu!" gerutunya. Aira, sepupunya itu menikah dengan dokter yang merupakan seniornya. Hal itu tentu saja masuk akal. Sekarang dokter mana yang mau menikah dengannya?
Kembali menghembuskan napas kasar, ia teringat kembali kelakuan sepupunya yang pernah berniat menjodohkannya dengan lelaki yang tidak ia ketahui asal muasalnya. Bukan hanya sekali, berkali-kali hingga ia malas bertemu mereka.
"Mungkin menikahi seorang arsitek lebih masuk akal?"
Ya, dengan memiliki suami yang berprofesi sebagai arsitek, Alya tidak perlu cemas memikirkan biaya untuk menyewa seorang arsitek yang akan membuatkan rumah yang indah dan mewah untuknya, seperti Bang Omar yang meminta istrinya untuk mendesain rumah mereka, Laila adalah seorang desain interior di kantor Omar sebelum ia menikahi gadis itu. Alya bisa memangkas biaya arsitek! Laila saja bisa menikah dengan arsitek konglomerat seperti sepupunya, harusnya ia juga bisa. Hanya saja, ia tidak bekerja di konsultan arsitek atau semacamnya, dimana mereka bisa bertemu?
Alya memang sangat konyol, ia terlalu memiliki banyak pertimbangan sebelum memulai hubungan hingga akhirnya berakhir seperti sekarang.
Dulu ia bahkan sempat berkeinginan untuk menikah dengan mahasiwa elektro, yang nantinya, Alya tidak perlu cemas untuk membuat rumah yang serba canggih dengan ilmu yang dia dapat sewaktu kuliah. Semisal sensor di pintu gerbang yang menggunakan retina mata. Atau ucapan selamat datang kepada tamu yang memasuki pintu gerbangnya (Meski kedengarannya sedikit norak!). Sayangnya, saat ini, Alya bisa memesan semua itu dengan biaya yang cukup murah dan bisa dibeli di mana saja. Alya bersyukur ia belum sempat menjalin hubungan dengan tukang listrik? Kalau tidak apa kata keluarganya?
Begitu pula dengan alumni mahasiwa computer sains. Dulu Alya menganggap menjadikan mereka pacar memang cool. Mereka bisa memperbaiki komputernya yang hank, ia bisa menghemat tukan service computer. Tetapi, bukankah saat ini hampir semua laki-laki bisa menyelesaikan masalah computer mereka sendiri?
Sementara alumni mahasiswa mesin, ia berharap tidak perlu pergi ke bengkel jika mobilnya mogok, karena sang suami bisa membuat mobil mereka kembali melaju dengan kencang. Tetapi, bukankan kalau hal-hal semacam itu juga merupakan naluri lelaki? Mereka bisa menghandle masalah seperti itu tanpa harus belajar mesin di kampus?
"Argh!" Alya kembali berguman, seharusnya dulu ia tidak pemilih, jika saja ia menerima tawaran laki-laki yang tertarik kepadanya saat masih kuliah, mungkin mereka kini sudah memiliki seorang putra.
"Dokter. Dokter? Dokter!" Alya bangkit dari tidurnya, "ya, ini masuk akal!" Ia tersenyum, membayangkan dirinya akan menikah dengan seorang dokter. "Tapi..., " dahinya berkerut dalam, "bukannya dokter lebih berminat untuk menikahi rekan seprofesinya karena mereka bisa berkencan setiap hari di rumah sakit?" gumannya muram, Aira saja menikahi seorang dokter di tempat ia koas dulu.
"Lalu dengan siapa aku harus menikah?"
"Pengusaha?" Ia kembali berpikir, "Masih mungkin sih.... "
Ya, sepertinya menikahi seorang pengusaha lebih masuk akal. Sebab mereka ada di mana-mana. Di restoran. Café. Mall. Kantor. Bank. Banyak tempat bagi Alya untuk menemukan mereka, kabar baiknya, beberapa pengusaha muda lebih sering nongkrong di café seperti halnya dirinya yang mengetik naskah maupun mencari inspirasi untuk novelnya dengan duduk di bangku sebuah bangku café.
Ah, ia harus mulai memikirkan bagaimana cara terjitu untuk menarik perhatian mereka. Hanya saja, ia sama sekali tidak mengerti soal inflasi dan deflasi yang sering menjadi topik hangat di majalah bisnis. Mungkinkah mereka bisa langgeng? Rara saja, berkat suaminya yang memiliki brand perhiasan, ia bisa mengasah kemampuannya menjadi seorang desainer perhiasan? "Omongan mereka masih nyambung."
"Nah, aku?" Hatinya kembali ragu, ia tidak pandai soal bisnis, bagaimana jika suaminya kelak tidak puas karena ia tidak bisa memberikan saran soal bisnisnya?
"Kalau misalnya aku menikah dengan PNS? Ehmm, lumayan juga kayaknya," Alya tertawa memikirkan saudara sepupunya tak akan berani mengolok-olok dirinya lagi karena suaminya yang berprofesi sebagai tentara atau mungkin polisi? Ah, tapi belakangan banyak berita miring soal PNS yang korup, meski kebenarannya masih menjadi misteri, "Tapi polisi sekarang tidak se-cool dulu? Ah, enggak deh, daripada makan duit korupsi? Atau uang suap? Rara pasti akan menertawankanku hingga ke liang lahat!"
"Kalau misalnya fotografer? Videografer? Ah, mereka memotret tubuh perempuan lain untuk menafkahiku? Nooo... Way!"
"Lalu aku harus menikah dengan siapa?" Alya berteriak di dalam kamar apartemennya yang sunyi, "Siapa?" desisnya, diliriknya ponselnya yang berkedip. Ada pesan masuk.
Dengan malas, tangannya meraih ponsel pintar dari atas nakas.
[Jangan lupa, Sabtu ini di Sheraton, bridesmaid to be!]
Pesan Salma sahabat karibnya sejak sekolah menengah. Ia akan menikah Sabtu ini.
[Hmmm...]
[My hubby ngundang banyak temannya yang masih single, kali u ketemu jodoh!Xoxoxo...]
[Fyi, udah ada calon! So thx😏]
[Demi apa?]
[Bulan dan matahari yang beredar, sesungguhnya manusia diciptakan berpasangan-pasangan.]
[😂😂😂
LOL! Aku jamin kamu ketemu jodoh! Btw, kalo beneran ada calon boleh dibawa🤭]
[🙄]
[Bye. Jangan lupa berdoa biar cepet nonggol!]
"Argh.... " Alya mendesah gemas, sialan Salma, ia hanya samakin memperkeruh suasana hati Alya.
#####
Sudah seminggu sejak pasangan pengantin baru itu pulang dari honeymoon di Eropa. Keduanya kembali beraktivitas normal. Alya menjalani harinya sebagai seorang penulis dan pemilik kafe. Tak ada yang banyak berubah, hanya saja ia harus menjadi lebih disiplin terutama soal kebersihan rumah. Seperti hari ini sang suami komplain lagi.Alya yang terbiasa hidup sendiri tidak pernah melakukan bersih-bersih rumah apalagi memasak. Ada asisten rumah tangga yang bertugas untuk membersihkan dan merapihkan rumah. Sementara tugas memasak Alya bergantung penuh kepada Reno. Dan tidak ada yang berubah. Kecuali kini ia tinggal berdua bersama sang suami di apartemen sang suami. Masih sama. Ia hanya menunpang tidur.Alya tak ingin menyewa asisten rumah tangga karena sudah menikah. Ia takut ada rahasia rumah tangganya yang bocor ke khalayak umum. Atau bahkan menimbulkan fitnah."Baby, kau tahu dimana kemeja navy milikku?" Tanya Leo keluar dari wardrobe hanya dengan memakai handuk yang dililitkan di pingga
Ketika mereka sudah tiba di hotel tujuan, tepatnya di kota London. Keduanya langsung lelap begitu pipi mereka menyentuh bantal. Mereka tidak sempat sarapan tetapi sempat membersihkan diri sebelum menikmati tidur pertama di hotel itu."Baby," bisik Leo sambil menepuk pelan pundak sang istri. "Hmmm," Alya hanya mengerang karena terganggu dengan suara Leo. Ia masih sangat lelah dan butuh tidur hingga beberapa jam ke depan. Ia selalu tidur tidak kurang dari delapan jam sehari. Sementara beberapa hari belakangan, bahkan sejak persiapan pesta pernikahan hingga kemarin waktu tidurnya berkurang drastis.Ia pikir setelah menikah bisa tidur dengan tenang, ternyata tidak semudah itu apalagi dengan keberadaan sang suami. Malam bukan lagi miliknya untuk dinikmati sendiri tapi harus rela dibagi dengan sang suami. Jadi jangan salahkan Alya jika ia sangat-sangat mengantuk, apalagi perjalanan panjang mereka yang sangat melelahkan."Ayo sayangku, wake up! Rise and shine!" Leo membuka selimut tebal ya
Leo memesan tiket pesawat kelas kelas utama maskapai Qatar airways. Perjalanan yang panjang dan lama itu membuat Alya tidak nyaman bahkan cenderung gusar. Entah karena ia masih terpikir oleh ucapan Rara atau yang lain. Kenyataan lainnya, yang juga sangat ia sayangkan bahwa ia tak bisa memeluk sang suami sesuka hati apalagi hingga hatinya puas.Ia harus bertahan dengan berbaring di ranjang dadakan itu dan terpisah dari tubuh hangat Leo.Setelah menyadari sang istri tak bisa duduk dengan tenang Leo menawarkan diri untuk membantu Alya agar bisa tidur.Meski awalnya menolak akhirnya Alya menerima tawaran menggiurkan itu. Mereka berbagi kursi. Atau lebih tepatnya, Leo mendekap Alya di kursi bisnis mereka. Alya tidur sepanjang perjalanan hanya beberapa kali saja ia membuka mata untuk mencari posisi yang paling nyaman di pelukan sang suami.Kini, ia benar-benar bisa tidur dengan pulas dan tentu saya puas.Entah seperti apa nantinya, ia mengira tak akan bisa tidur selain dalam pelukan sang
Siang itu akhirnya, Alya hanya menemukan Rara dan sang suami, Iman saat turun untuk makan siang. Menurut pengakuan Rara, mereka berdua, ia dan sang suami akan tinggal di resort selama tiga hari ke depan. Berdua saja. Mereka telah memutuskan untuk menelantarkan satu-satunya putra mereka saat ini untuk kesenangan mereka sendiri. Alya tidak habis pikir, bagaimana bisa Rara memilih berlibur berdua saja dengan sang suami sementara Khai masih terlalu kecil untuk ditinggal sendirian? "Lo yakin Khai nggak apa-apa sendirian dengan baby sitter?" Alya bertanya dengan serius. Rara menyesap jus kiwinya dengan santai sambil melirik Alya sekilas. "Percayalah sama gue, Al. Itu adalah keputusan terbaik, bukan cuma buat gue sama suami tapi buat Khai juga. Gue udah enek sama Khai, sesekali gue pengen berduaan sama suami gue aja!" "Gila lo, ya! Lo tega banget ninggalin anak buat seneng-seneng sama suami?" Alya melotot tak percaya. "Gue nggak percaya bang Iman tega ninggalin anaknya cuma buat senengin
Leo mengerjap sekali. Lalu dua kali hingga ketiga kali sebelum sepasang matanya terbuka demgan sempurna. Ia merasa jauh lebih bugar, lebih bersemangat dan entahlah. Ia merasa berbeda pagi ini. Kegelapan menyambutnya. Rupanya hari masih gelap. Leo tersenyum begitu mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Untuk pertama kalinya akhirnya ia bisa memadu kasih dengan istri tercinta tanpa ada gangguan maupun penghalang. Mereka berhasil menyatu bukan hanya dalam janji suci pernikahan melainkan menyatukan jiwa. Leo awalnya tak mengerti mengapa Haidar berubah drastis setelah menikah, namun sekarang ia bisa memahaminya. Karena ia sendiri juga merasa dirinya telah berubah. Entah perubahan seperti apa persisnya. Tetapi tentu saja hal itu adalah sesuatu yang baik. Senyumnya makin lebar ketika mendapati sang istri yang merangkulnya begitu erat dalam tidur seolah ia adalah sebuah guling kesayangannya. Hampir separuh tubuh Alya berada diatas tubuh Leo. Ia menyandarkan kepalanya tepat di jan
"Was it good?" Tanya Leo sambil menyuapi Alya sepotong cheesecake. Mereka sudah tiba di kamar hotel. Ranjang mereka dihiasi mawar merah yang membentuk hati, sayangnya hal itu sia-sia. Tetapi Alya cukup tersentuh dengan usaha sang suami untuk membuat malam mereka romantis. Alya duduk bersila di atas ranjang lembut berwarna putih itu, mengangguk puas, sambil tersenyum disaat mulutnya penuh dengan hidangan legit itu. Alya baru saja menghabiskan semangkuk yogurt dan segelas air putih. "Coba saja, ini sangat enak dan lembut. Mmm..." Ucap Alya setelah makanan di mulutnya lenyap, ia kembali membuka mulutnya. Leo mengangguk puas, "Kau yakin tidak ingin makan yang lain?" Tanya Leo seraya mengangkat garpu ke mulut sang istri. "Tidak. Ini saja sudah cukup. Mmm..." Alya mengerang kegirangan. Makanan manis membuat moodnya membaik seketika. "Can I try?" Tanya Leo lembut, menatap lekat mata sang istri yang berbinar-binar. Lalu pandangan turun ke arah bibir Alya yang sibuk mengunyah dengan an
Tiga Bulan Kemudian "Aaalll!!!" Rara dengan histeris memeluk Alya yang tengah tenggelam dalam lamunannya. Di benaknya, Alya memutar ulang semua kejadian sejak pertama kali ia melihat Leo di kafenya hingga detik ini. Saat ia menunggu di ruang tunggu pengantin. Di hotel saudaranya di pulau Bali. Proses Ijab kabul sudah dilaksanakan di Jakarta Jumat lalu, dan resepsi dilakasanakan dua kali. Pertama di Jakarta yang bersifat terbuka. Ada lebih dari seribu tamu undangan. Alya sendiri tidak tahu siapa saja tamu di pesta pernikahannya itu. Ia hanya mengenal beberapa wajah, tidak lebih dari dua seratus orang. Mereka adalah sahabat, rekan kerja, karyawan di kafenya, dan beberapa teman sekolah termasuk juga teman kuliah. Selebihnya adalah orang asing, tamu dari kedua keluarga besar yang menyatu itu. Dan sekarang, seminggu setelah pesta di Jakarta mereka, Leo dan keluarganya lebih tepatnya, mengadakan pesta kedua yang bersifat lebih private. Hanya keluarga, sahabat dan kerabat dekat yang diun
Sejak saat itu, Alya selalu menemukan dirinya bersama Leo. Tidak, bukan berarti mereka berkencan atau semacamnya. Sama sekali tidak. Hanya saja. Entah bagaimana, mereka selalu bertemu. Baik itu saat acara keluarga, atau hanya Leo yang sedang mengunjungi kafe untuk makan, acara kumpul-kumpul dengan saudara sepupunya. Alya menemukan laki-laki itu selalu ada di mana-mana dan menghantuinya. Awalnya Alya hanya berani melempar senyum sopan yang kurang tulus, tetapi kemudian mereka saling mengirim pesan meski hanya sekali dalam sehari. Itu pun, karena laki-laki bernama Leonardo itu sering menerornya melalui pesan-pesan singkat. Tak lama, kurang dari tiga bulan, Leo mulai berani mengajaknya pergi makan malam. Bukan di kafe miliknya, bukan juga di restoran mahal dengan suasana romantis, bukan juga di hotel dengan masakan kebarat-baratan, bukan pula restoran jepang. Dan tentu saja bukan warung tenda, meski sebenarnya Alya tak akan keberatan jika Leo yang mengajak. Sayangnya, tidak. Leo
Lima tahun yang lalu... Sejak mimpi aneh itu, Alya tidak lagi berani untuk tidur setelah Ashar atau maghrib. Jika sangat mengantuk, Alya akan memaksakan diri untuk membantu Reno di dapur alias memata-matai Reno. Atau Alya akan meluangkan waktu sekitar satu jam untuk tidur siang setelah jam makan siang berakhir. Namun, Alya paling tidak berani menunjukkan wajahnya saat jam-jam sarapan, makan siang atau makan malam. Ia akan berdiam diri, di ruangan kecil yang terletak di lantai dua, ditemani oleh laptop miliknya dan cemilan khusus yang disiapkan Reno. Setelah, dengan cerobohnya ia mengundang laki-laki asing untuk bekerja di kafe dan bahkan memimpikannya, Alya dengan jiwa pengecutnya berharap laki-laki itu tak akan pernah datang lagi ke kafenya. Ia terlalu malu, lebih dari itu ia sangat cemas. Cemas dengan mimpinya. Selama seminggu pertama sejak hari itu, hari Alya berbicara dengan laki-laki tampan berkunjung ke dalam mimpinya, Alya selalu datang terlambat. Ia baru akan tiba di kaf