Alya, perempuan yang baru genap berusia dua puluh tujuh tahun bulan depan, tepatnya tanggal tujuh belas Januari tengah berdebat sengit dengan sepupu-sepupunya. Perdebatan sengit yang hampir selalu terjadi ketika mereka bertemu dan dengan topik yang sama. Pernikahan.
Hah, seolah tak ada yang lebih menarik dari pernikahan saja? Batinnya bersunggut-sunggut. Kobaran api dimatanya bisa saja membakar hidup-hidup kelima sepupunya, andai saja ia memiliki kekuatan yang nyata.
"Kalian ini, daripada kalian sibuk mengurus hidup orang lain sebaiknya kalian urus cebong-cebong kalian!" Alya hendak bangkit dari meja bundar yang dilapisi kain putih cantik berenda. Kelima kepala yang ada di meja itu sontak berputar menuju arah sumber suara.
"Kamu tadi bilang apa?" Rara, perempuan beranak satu yang selalu pamer, setidaknya bagi Alya sepupunya itu selalu pamer kemesraan dengan sang suami serta buah hatinya setiap kali mereka bertemu, meski kenyataannya keluarga kecil itu hanya bersenda gurau dan selalu tampak harmonis, bahagia, sesuatu yang belum Alya dapatkan hingga kini.
"Cebong?" Caster, sepupu laki-lakinya yang baru saja menikah tertawa lepas sambil memberi isyarat kepada Rara untuk melihat buah hatinya yang sendang terlibat pekelahian dengan kue-kue yang disajikan diatas meja.
"Subhanallah! Khai!" Rara teriak dengan mata membulat bak purnama, kakinya yang lincah membuatnya mudah melompat berdiri dari tempat ia duduk. Sialan, kemana perginya suaminya? Bukankah seharunya ia menjaga buah hati mereka? Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Memalukan? Ia harus menghukum ayah dan anak itu nanti di rumah. Sambil mengerutu dan mencoba mengontrol emosi yang membludak di dalam dadanya, termasuk rasa malu yang luar biasa. Demi Allah, rumah mereka tidak pernah kekurangan makanan! Darimana sifat rakus yang merasuki putra semata wayangnya itu? Suaminya. Ya pasti gen buruk itu datang dari suaminya!
Teriakkan yang berhasil mengalihkan semua mata, termasuk mama-mama muda yang berada di meja bundar itu. Sofia, Laila, serta Amira berlari secepat kilat menyusul Rara. Cebong-cebong mereka, seperti julukan yang diberikan Alya kepada keponakannnya yang super aktif tengah asyik berpesta di atas meja sajian.
Alya sejenak mengawasi kegaduhan yang terjadi disana, tawanya hampir saja meledak, mereka berhasil menyita perhatian tamu undangan. Tawa hingga komentar tak nyaman bisa didengar. Para mama muda tersebut tersenyum sebagai bentuk penyesalan atas ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh buah hati mereka sebelum kembali ke meja sambil memberi nasihat atau mungkin peringatan kepada cebong-cebong yang berhasil membuat pakaian mereka kotor dengan noda berbagai macam kue.
Alya menahan diri untuk tidak kehilangan sifat ayu-nya dengan tetap tersenyum sopan, meski saat ini dia ingin tertawa sambil berguling-guling di lantai. Keponakannya, Khai, putra Rara sepupunya, sedang asyik duduk diatas meja bersama kue-kue sajian. Sementara beberapa teman squad lainnya tampak melingkari meja sambil ikut ambil andil dalam ritual pemusnahan sajian pernikahan paman mereka yang pertama, bukan berarti Paman mereka berencana menikah kembali. Wajah mereka hampir tak bisa dikenali. Alya harus berhati-hati saat mengundang tamu pernikahannya nanti. Ia tak ingin kue pernikahannya menjadi santapan cebong-cebong rakus itu.
"Nanti kalau kamu menikah kamu juga akan merasakannya!" timpal Sofia, perempuan berkepala tiga yang telah menjadi ibu sejak tujuh tahun silam. Prestasi yang membangakan di keluarga besar mereka. Ia kembali duduk setelah mengirim sinyal peringatan kepada putranya yang berusia enam tahun dan memintanya untuk mencari ayahnya.
"Aku? Punya cebong kayak Khai?" Alya memutar bola matanya, saat ini keponakannya yang berusia empat tahun itu berhasil dipisahkan dari meja sajian dan kue-kue yang sudah tak layak makan. "No way, anak-anakku nanti akan sangat manis sepertiku!" bantahnya lalu melenggang pergi.
"Eh, siapa yang mengatakan kamu manis? Kamu bahkan lebih pahit dari buah pare!" komentar Amira. Perempuan itu menuntun balitanya yang berusia tiga tahun, syukurlah, wajahnya jauh lebih baik dari Khai yang berhasil membuat wajah Rara memerah bak kepiting rebus.
"Sayur Pare, " Aira meralat ucapan sang kakak. Ia menahan tawanya, "Syukurlah bayiku belum lahir."
"Siapa yang peduli?" Amira mengerutu. "Dan kamu, rasakan nanti kalau anak suamimu itu lahir, dengan kepribadian ayahnya seperti itu, dia pasti lebih berbahaya daripada Oliver."
"Kalian berdebat saja, atau mungkin urusi anak-anak kalian yang mungkin sangat kelaparan." Alya merasa menang saat melihat ekspresi wajah sepupu-sepupunya yang memerah.
Aira dan Amira kembali berdebat sementara Rara sibuk menyumpah ruah dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh kami. Ya, dengan kemampuan bahasa Korea yang dia miliki setelah hampir sepuluh tahun menonton drama Korea, sungguh merupakan keberhasilan yang luar biasa. Setidaknya, ia tidak merugi menghabiskan waktunya dengan sia-sia.
"Gua belum beranak, Al!" Caster melempar kalimat itu dengan santainya.
"Istri lo yang beranak!"
Caster ketawa, "Gua sumpahin lo bakal hamil sehari setelah menikah!" balas laki-laki tidak bermoral itu. Bagaimana bisa ia mengatakan hal itu? Saat mereka sedang berada dalam acara sakral seperti itu?
"Gua sumpahin lo...." Alya berhenti sejenak, ia tidak terbiasa mengumpat, oke, mungkin beberapa kali ia pernah melakukannya, manusiawilah ya? "Gua sumpahin lo?"
"Apa? Apa?" tantang Caster.
"Gua sumpahin lo banyak anaknya!"
Mendengar ucapan Alya, Caster tak mampu menahan rasa gelinya, "Aamiin, biar semua orang tahu SENJATA GUA AMPUH!" Caster memberi penekanan khusus dikalimat terakhirnya yang berhasil mengundang perhatian tamu lain.
"IIIIIHHHHH.... Apaan sih!" semua mata terfokus ke meja mereka, semua perempuan di meja itu berteriak layaknya paduan suara termasuk juga Alya.
"Gila lo!" Alya merengut jengkel, malu dan risih dengan ucapan Caster yang menurutnya vulgar. Dasar laki-laki hidung belang!
"Iya, apaan sih, Cas?" Aira protes dengan suara yang lirih, tak ingin memperkeruh suasana, sementara yang lain mengangguk sambil senyum-senyum sopan kepada penunggu meja lain di sekitarnya yang sempat terganggu dengan ulah mereka.
"Apaan sih? Gua ngomong apa adanya!" jawab Caster santai.
"Tunggu aja sampe aku aduin ke istri kamu!" Amira bertekad.
Alya menawarkan senyuman enggan, "Kalian lanjutin aja debatnya bapak-bapak, ibu-ibu, aku ada balik dulu ada acara."
"Acaranya belum selesai, Al, kita belum foto-foto." Laila, sepupu-iparnya itu berkata dengan lembut, ia merasa hanya Laila yang berakal diantara mereka.
"Iya, Al, sorry, janji, deh kita bahas yang lain." Sofia ikut bersuara.
"Well, gua sibuk. Bye!"
"Al, acaranya belum selesai, kamu mau kemana?"
"Pulang!"
"Al, jangan pulang dulu, siapa tahu nanti kamu ketemu cowok ganteng yang single, mapan, terus mau nikah sama kamu, hm?" Aira, entah sejak kapan perempuan yang baru saja melahirkan beberapa bulan lalu berdiri di sampingnya, meranggkul lengannya dengan kuat hingga ia kesulitan melepaskan diri.
"Aira, lepasin, nggak?" kata Alya sarat dengan ancaman. Meski badan mereka sama-sama ramping, Alya yakin ia masih bisa menjatuhkan musuhnya dengan sempurna, cukup untuk membuat Aira malu dihadapan umum, oh, rencana yang sempurna, ia sangat ingin melakukannya.
"Hush, jangan teriak-teriak? Kamu nggak malu apa dilihatin tamu Bang Ar."
Alya memutar bola matanya, bukanlah sedikit terlambat berkata demikian? Mereka sudah terlanjur menjadi bahan tertawaan tamu undangan. "Ayo, duduk-duduk, janji deh, kita bakal tutup mulut." Aira memberi isyarat seolah menutup zipper imajinasi di bibirnya yang dipoles dengan warna merah menyala, menambah kesan membara disana.
Alya terpakasa duduk kembali di kursinya meski ia sangat keberatan, tetapi tak ada yang bisa ia lakukan untuk saat ini, ia sudah terlanjur malu dengan kehebohan yang terjadi beberapa saat sebelumnya. Sepupu sialan! batinnya meronta.
Alya hanya diam sambil tersenyum kecut, ia tahu pasti hal itu akan mustahil, mereka lebih usil dari balita, dan mereka bisa saja mempermalukan Alya kembali dengan ucapan-ucapan mereka yang tak masuka akal. Ia berusaha mengabaikan mereka dengan berpura-pura sibuk membalas pesan di ponsel pintarnya.
"Khai Baby, don't ever do that ever again, okay?" Rara sibuk mengelap wajah putranya dengan gemas, wajah manis nan mengemaskan itu seperti kanvas yang ditinggalkan oleh pemiliknya sebelum sebuah karya berhasil dilahirkan.
"Why mommy, you said i can eat what i like?"
"Yeah, yeah, but not like that. Eat properly, " Rara berkata dengan tidak sabar.
"I did. I ate while sitting?"
Rara memutar bola matanya, "Just..., " Rara kehilangan kata-kata, dia bangkit dan memboyong putranya di panggulnya yang ramping, "Let's find your Daddy." Rara mendesah, geram dengan suaminya yang menelantarkan putra mereka begitu saja.
"Aku cari suamiku dulu," Rara berkata lalu melesat pergi. Mata lasernya sibuk memindai kerumunan yang ada di taman hotel tempat resepsi pernikahan berlangsung.
Rasa penasaran Alya membuatnya mengikuti arah pergerakan Rara, ia ingin tahu apa yang akan dilakukan Rara terhadap suaminya, dari gosip yang sering ia dengar, suaminya adalah tipe kucing rumah yang manis tapi singa jantan di luar atau istilah yang lebih tepat adalah suami takut istri.
Di kejauhan ia akhirnya berhasil menangkap momen langka itu, ia melihat Rara berdiri gusar di samping sang suami yang tengah mengobrol dengan tamu undangan yang mungkin juga temannya. Suami Rara yang juga merupakan pemilik perusahaan perhiasan ternama berdiri canggung lalu menerima dengan pasrah saat Rara menyodorkan anak mereka kepadanya, entah apa yang ia katakan, sesaat setelah itu, sang suami pergi entah kemana, hanya Rara yang tahu.
Alya tersenyum, ah, ia sepertinya juga tertarik memiliki suami penurut. Ah, tapi kalau terlalu penurut, nanti tidak ada gregetnya? batinnya berdebat.
"Hai, guys, kenalin, ini Leo, teman suamiku, teman bang Ar juga." Rara entah sejak kapan, perempuan sadis itu sudah kembali ke meja mereka dan berdiri disamping laki-laki berparas tampan.
"Caster, sepupu jauh Rara." Caster mengulurkan tangannya.
"Laila, kakak ipar Rara, Aira dan Amira." Laila hanya tersenyum tanpa menyambut uluran tangan laki-laki yang tampak canggung setelah tangannya mengudara cukup lama tanpa hasil.
"Leo," laki-laki bersuara berat itu menyahut dengan kikuk.
"Dia single." Rara berbisik di telingga Alya sebelum kembali berdiri tegak sambil tersenyum. Alya mencibir lirih, pandangannya fokus pada gelas jus di hadapannya tak ingin menunjukkan wajahnya ke sembarangan orang. Ia tahu pasti maksud dan tujuan Rara membawa laki-laki itu ke meja mereka.
"Ah, saya pergi dulu. Senang bertemu kalian." Ia kembali berkata. Leo merasa tak nyaman dengan sikap istri rekan bisnisnya itu. Terlebih lagi, ia tidak ingin bergosip dengan ibu-ibu beserta anak mereka. Waktunya sangat berharga untuk dibuang dengan sia-sia.
"Ya, ya..." Mereka menyambut. Matanya menyapu semua penghuni meja itu, ia membalas setiap senyuman yang ia terima dengan senyuman sopan, namun satu kepala yang dibalut kain berwarna hitam dengan hiasan keemasan tertunduk dalam, satu tangannya sibuk mengaduk jus jeruk sementara tangan lainnya sibuk memainkan ponselnya. Ah, rupanya ia terjebak dalam lingkaran gosip yang tidak menarik?
"Senang bertemu denganmu juga..."
Leo tidak peduli siapa yang menyahut, ia hanya ingin segera pergi menginggalkan arisan keluarga itu. Ia bisa merasakan aura ganjil saat pertama kali istri Iman meneyeretnya untuk menemui saudara-saudaranya, ia merasa hal itu tidak penting dan tidak dibutuhkan. Terlebih lagi ia merasa kasihan terhapan perempuan yang kemungkinan besar menjadi bahan bullying itu. Sebaiknya ia memang membawa pasangan saat menghadiri acara pernikahan agar hal seperti itu tidak terjadi lagi.
Ia bergegas pergi setelah mencuri pandang pada perempuan yang kebetulan melakukan hal yang sama. Mata yang khas dengan riasan timur tengah itu membulat saat pandangan mereka bertemu selama beberapa detik sebelum mata itu kembali berpaling.
"Aku ke kamar mandi," perempuan itu berdiri dan menghilang sebelum Leo menyadarinya.
"Ehmmm, tadi itu sepupuku, Alya, single," Rara mendapati teman suaminya mengikuti kepergian Alya dengan mata tajamnya, ia tersenyum, kabar baik, mungkin Alya akan segera menyusul saudara-saudaranya sebentar lagi. Ia memiliki harapan yang besar terhadap laki-laki yang mengangguk pelan lalu berjalan pergi setelah berpamitan itu. Ia merasa mereka berdua akan cocok.
Leo menggelengkan kepalanya pelan, benar saja dugaannya! "Iman!" geramnya pelan dengan tinju mengepal.
Sambil berjalan menuju mejanya, dimana teman-temannya berdiskusi mengenai bisnis mereka, ia mengedarkan pandangannya sesekali, mencari sosok bermata dingin itu. Meski tidak terlalu cantik, namun ada sesuatu yang membuat Leo ingin melihat mata itu lagi.
Tiga bulan kemudianAlya belum pernah begitu gelisah seumur hidupnya. Ia menjalani hidupnya sebagai seorang penulis dengan santai. Tidak ada apapun yang pernah membebani pikirannya seberat saat ini. Ketika ia merasa didesak oleh usianya sendiri yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya akan begitu kejam terhadap dirinya. Berapa usianya saat ini? Dua puluh tujuh tahun. Lalu? Seharusnya ia sudah menikah!Di awal usianya yang ke-dua puluhan Alya sudah berpikir matang-matang, kapan ia akan menikah, dengan siapa ia akan menikah, dimana ia akan melangsungkan akad nikah? Resepsi? Mahar? Kue pernikahan? Konsep pernikahan? Semua sudah ia rencanakan. Catatan khusus mengenai cita-cita terbesarnya itu masih tersimpan rapi di buku diary miliknya. Menikah diusianya yang kedua puluh tujuh tahun adalah salah satunya, usia yang menurutnya saat itu cukup
Pagi itu Leo dibangunkan oleh kegaduhan di apartemen yang ia tinggali seorang diri. Mata lasernya mengerjab beberapa kali sebelum terbuka dengan sempurna, kesadarannya pun mulai merasuki tubuh lelahnya.Dahinya berkerut dalam, ada seseorang di dalam apartemen itu. Siapa?Menyadari hal itu sementara ia pulang seorang diri semalam dan tentu saja ia tinggal seorang diri membuatnya melompat panik dari ranjang, mengabaikan dada bidangnya yang telanjang yang mampu membuat siapapun yang melihat akan kehilangan kesadaran untuk sesaat, tangan kokohnya meraih ganggang pintu dengan kasar.Dengan bertelanjang kaki serta hanya mengenakan celana Jersey selutut yang tak mampu menutupi bagian tubuh bawahnya dengan sempurna, ia meninggalkan kamar bercat putih polos itu menuju suara-suara yang ia dengar sebelumnya.
Satu jam sebelum kafe buka,Seperti biasa Alya datang ke Kafe yang ia dirikan saat usianya masih dua puluh tahun setiap pagi. Kafe itu ia beri nama 'Kopi dan Lemon', yang menyediakan berbagai macam minuman panas dan dingin, mulai dari kopi hingga yogurt dan berbagai macam kue serta sandwich bahkan pizza.Ia tidak mempekerjakan bayak orang. Hanya ada tujuh orang termasuk dirinya sendiri. Terdiri dari satu chef utama yang merangkap pramusaji kadang-kadang, tiga pramusaji yang merangkap chef, satu satpam yang merangkap juru parkir dan juga OB lalu seorang lagi sebagai akuntan sekaligus marketing dan gudang. Ia sendiri menjabat sebagai manager dan yang menanggung berbagai macam hal yang menyangkut kafe, kadang ia juga mengerjakan pekerjaan kasar semisal mengelap kaca, seperti yang tengah ia lakukan saat ini. Ia telah mengelap hampir semua bagian kaca di bangunan dua lantai itu."Pagi, Mbak!" sapa Reno menghampiri Alya yang sedang mengos
Di dalam sebuah hotel suite di Bali, seseorang sedang menggeliat malas di atas ranjang yang ia bagi dengan teman kencannya akibat sebuah dering ponsel yang ia pikir adalah miliknya.Melempar dengan kasar tangan yang merengkuhnya hingga ia kesulitan bergerak, Mona, perempuan muda yang berstatus model itu bangun, duduk di kasur, mengabaikan bahwa dirinya tak mengenakan sehelai kain pun, ia mengangkat panggilan masuk itu.Hubby, panggilan masuk itu berasal dari kekasihnya yang mungkin saat ini sedang duduk manis di ruang kerjanya di Jakarta."Mona?""Hai, sayang," serunya riang. Ia merindukan laki-laki itu. "Kamu merindukanku?""Temani aku Sabtu ini kepernikahan adikku," Leo berkata datar. Ia sebenarnya enggan membawaa Mona, atau membawa perempuan pada umumnya, namun daripada semua orang mempertanyakan hubungan asrama atau lebih buruk lagi mencoba menjodohkannya. Ya, mereka terlalu sering menanyakan sexual orientation-
Dengan gugup, Alya berjalan menuju meja Leo, dengan nampan di atas tangan, ia bisa merasakan detak jantungnya yang berpacu semakin cepat dengan jarak diantara mereka yang semakin rapat. Mengedipkan mata berkali-kali, Alya berhenti sejenak hanya untuk menarik napas panjang, entah sudah yang keberapa kalinya, mengumpulkan keberanian. Syukurlah bahasa Inggrisnya cukup memadai. Terima kasih untuk Rara yang selalu memanas-manasinya hingga ia berhasil mengenal bahasa tersebut. "Jangan lupa bilang, 'Hi Mister' dulu sebelum ngomong macem-macem!" Alya memperingatkan dirinya sambil kembali menapaki jalanan rata namun terasa menaiki tangga karena kini napasnya mulai berantakan kembali. Ia harus menenangkan diri sebelum mempermalukan diri, mempermalukan perempuan Indonesia. Ia membawa nama baik perempuan Indonesia di pundaknya, ia harus bersikap baik dan memberi kesan yang sama baiknya. Alya merasa lega ketika laki-laki itu masih menelpon, ia menunggu sejanak sebe
Leo menarik napas panjang, tak habis pikir dengan apa yang telah ia lakukan. Hari ini, malam ini lebih tepatnya adalah malam ketiga sejak pertama kalinya ia datang ke 'Kopi dan Lemon' kafe. Entah apa yang merasukinya hingga tanpa sadar ia melajukan mobil Mini Countryman merah miliknya menuju kafe dimana perempuan yang humoris itu bekerja. Ah, mungkin ia hanya ingin melihat wajah itu sekali lagi. Memutuskan untuk masuk ke dalam kafe, Leo mematikan mesin mobil. Sekali lagi ia menarik napas panjang sekadar untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia datang hanya untuk makan malam dan kebetulan ia menyukai jus lemon kafe itu. Tangannya yang panjang meraih gangang pintu, membuka pintu itu pelan sebelum mengayunkan kakinya dengan mantap menuju pintu kafe yang berjarak sekitar tiga sampai lima meter dari tempat ia memarkir mobil mininya. Leo disambut oleh aroma harum asap kopi yang mencari jalan menuju paru-parunya. Kopi, sudah lama sekali sejak ia terakhir meminum minu
Alya telah bersiap-siap sejak pagi ketika ia terbangun untuk kedua kalinya pagi itu. Acara resepsi pernikahan Salma akan berlangsung di Grand Ballroom hotel Sheraton Grand Jakarta yang terletak di Kebayoran, Jakarta tepat jam sepuluh pagi. Dua jam setelah akad nikah yang dilangsungkan di masjid Istiqlal yang sayangnya ia lewatan karena bagun terlambat sehingga membuatnya absen dari acara sakral sahabat karibnya itu. Mengenal Salma sejak beberapa tahun silam membuatnya memahami kehidupan percintaan Salma yang sama tak mulusnya dengan kehidupan cinta miliknya. Sebenarnya tidak sama karena Alya belum pernah jatuh cinta, mungkin pernah menyukai seseorang namun jatuh cinta? Ia masih menantikannya hingga kini. Ya, ia mungkin pernah beberapa kali tertarik kepada lawan jenis tetapi sekali lagi, dengan sifat pemilihnya itu ia sering kali gagal dalam proses jatuh cintanya karena ia merasa tak pernah ada yang cocok dengannya. Salma menikahi seseorang yang dikenal
Keluar dari mobil taksi, Alya berlari masuk ke dalam lobby hotel. Kaki pendeknya hanya mampu membuatnya mempersingkat waktu satu setengah kali lebih cepat dari saat ia berjalan dengan normal. Sepatu berhaknya-lah yang membuatnya semakin kesulitan mengontrol kakinya. Belum apa-apa saja ia sudah merasa tak nyaman, sakit pada kedua tumitnya. Mengabaikan beberapa pasang mata yang cukup terhibur oleh tingkahnya, Alya melanjutkan marathon singkatnya menuju salah satu pintu lift di sebelah kanan lobby, dimana beberapa orang juga telah menunggu. Ia melepaskan kedua tangannya yang sejak tadi mencengkram gaunnya. Ya, sejak tadi ia berlari dengan bagian bawah gaun terangkat ke udara, hal itu terpaksa Alya lakukan untuk mempercepat langkah kakinya juga menurunkan risiko terjungkal saat berlari dengan gaun menjuntai ke lantai. Sudut bibirnya sedikit melengkung membentuk senyuman santun saat ia menyadari ia telah menarik banyak perhati