Share

Roti Kacang

Pagi itu Leo dibangunkan oleh kegaduhan di apartemen yang ia tinggali seorang diri. Mata lasernya mengerjab beberapa kali sebelum terbuka dengan sempurna, kesadarannya pun mulai merasuki tubuh lelahnya. 

Dahinya berkerut dalam, ada seseorang di dalam apartemen itu. Siapa?

Menyadari hal itu sementara ia pulang seorang diri semalam dan tentu saja ia tinggal seorang diri membuatnya melompat panik dari ranjang, mengabaikan dada bidangnya yang telanjang yang mampu membuat siapapun yang melihat akan kehilangan kesadaran untuk sesaat, tangan kokohnya meraih ganggang pintu dengan kasar.

Dengan bertelanjang kaki serta hanya mengenakan celana Jersey selutut  yang tak mampu menutupi bagian tubuh bawahnya dengan sempurna, ia meninggalkan kamar bercat putih polos itu menuju suara-suara yang ia dengar sebelumnya.

"Ma, apa Kak Leo tidak akan marah kita masuk diam-diam begini?"

Samar-samar ia mendengar suara halus adik perempuannya. Langkah kakinya melambat, namun terus melaju hingga ia berdiri tepat di dapur yang tak pernah ia sentuh. Tak ada alasan baginya untuk menyentuh dapur, ia lebih senang menyentuh tubuh perempuan.

"Aunt, Salma?" Ia berkata dengan alis terangkat. Untuk apa mereka datang? Saat tak ada sahutan dari kedua perempuan yang berdiri mematung itu, ia mengangkat kedua bahunya, "Can anyone explain?"

"Oh, itu...." perempuan yang menikahi ayahnya itu membuka mulut dengan gugup sebelum kembali terdiam, ia mulai merasa asing terhadap putra dari istri pertama suaminya. Meremas telapak tangannya tanpa disadarinya. 

Melihat kegugupan ibunya, Salma tertawa kering, "Itu, kak, mama membuat sarapan kesukaan kak Leo."

"Roti dengan selai kacang, kamu menyukainya, 'kan?" ragu-ragu perempuan yang baru berusia empat puluhan itu bertanya. Ia masih ingat jelas makanan favorit putranya itu.

"Leo biasa sarapan di luar, jadi lain kali tidak usah datang," jawabnya datar. Mengabaikan tatapan terluka dari ibu kandung Salma, Leo kembali berkata, "Kalian pulanglah, Leo mau lanjut tidur."

"Kak, Kak Leo kok gitu sih?" protes Salma, ia hendak mengejar sang Kakak satu-satunya yang tetap terasa asing meski mereka adalah keluarga, saat sang ibu mencegahnya. Ia tak pernah merasakan kasih sayang seorang kakak dari Leo setelah kepergiannya ke Canada beberapa tahun silam. Mungkinkah karena mereka berbeda ibu?

"Tapi, Ma...."

"Udah, nggak apa-apa, kita pulang aja yuk?" ajak sang mama. "Kakakmu pasti lelah, biarkan ia melanjutkan tidurnya."

Salma mendesah kesal, "Ya udah, mama tunggu, aku mau ke kamar kak Leo bentar."

"Jangan, nanti kalau..., "

"Mama tenang aja, Kak Leo nggak benar-benar marah, kok. Salma tahu Kak Leo sayang sama Salma," potong Salma cepat lalu melangkah meninggalkan sang ibu seorang diri untuk merapikan meja makan. Ia melirik roti panggang buatannya, Leo sangat menyukai roti panggang dengan selai kacang saat sarapan, juga jus lemon, tapi mungkin itu sudah berubah mengingat Leo sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa, bukan anak kecil yang merindukan ibunya. 

Tahun-tahun itu telah berlalu, tetapi ia merasa Leo masih sama, ia masih belum bisa menerima ayahnya menikah lagi dengan perempuan lain meski kedua orangtuanya telah lama bercerai sebelum pernikahan itu terjadi. Setidaknya dua tahun waktu yang cukup lama bukan? 

Sikapnya semakin dingin setelah ia sempat tinggal bersama ibu kandungnya.

Di kamarnya, Leo kembali berbaring di ranjang abu-abu, mencoba kembali tidur meski masih terusik dengan kehadiran ibu tiri dan anaknya. 

"Kak, Kak Leo jangan lupa makan roti buatan mama, mama udah capek buatnya. Ok?" Salma muncul di celah pintu yang sedikit terbuka, "Kak!" teriaknya pelan saat Leo mengabaikannya.

"Katakan pada ibumu aku sudah tidak suka roti kacang." Ia tidak bermaksud berkata dingin, tetapi itulah yang terjadi, setiap kali melihat perempuan itu ia teringat almarhum ibu kandungnya yang terpuruk seorang diri di belahan dunia lain hingga ia meninggal dunia. Jika saja perempuan itu tidak hadir ditengah pernikahan orangtuanya, mungkin ia masih bisa merasakan pelukan hangat perempuan yang terkubur di dalam tanah dua tahun lalu itu.

"Kak, Kakak kok ngomong gitu, sih? Mama aku, 'kan mama kakak juga?"

"Perempuan yang merebut laki-laki dari istrinya bukan ibuku!" sahut Leo, ia merasa lega ketika mengatakannya, namun ada perasaan yang tidak nyaman di dalam hatinya ketika kalimat itu keluar dari mulutnya. Ia hanya ingin mempertahankan cintanya kepada ibu kandungnya. Ia tidak bisa menerima perempuan lain sebagai ibunya. Ibunya telah mati. Ibu yang ia rindukan sejak ia kecil telah terkubur di dalam tanah. Hatinya sakit mengingat hal itu. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. "Pulanglah, bawa ibumu pergi dan jangan datang lagi!"

Salma terperanjat di tempat ia berdiri. Ia merasa ada angin dingin yang membuat tubuhnya mengigil seketika.

"Maksud kakak apa?" Salma berkata lirih, ia tak mengerti, kakak yang dulu menyayanginya berubah setelah kepulangannya dari Canada. "Kak Leo! Jawab aku! Maksud kakak apa? Siapa yang merebut suami siapa?" 

Sejatinya Salma mengerti maksud kakak satu-satunya itu, ia hanya mengingkari. Ia tidak bisa menerima sikap dingin sang kakak. Entah itu terhadap dirinya atau terhadap ibunya. Mereka adalah keluarga yang bahagia sebelum sang Kakak melanjutkan studi di Canada beberapa tahun silam. Ia ingin mereka kembali seperti dulu.

Sarah, ibu Salma yang mendengar kalimat itu keluar dari mulut anak yang ia rawat dari kecil tak bisa menahan kesedihannya, air mata yang ia tahan sejak tadi menetes deras bagai hujan di bulan Desember. Hatinya seolah tersayat oleh huruf-huruf dari kalimat buruk itu. Seburuk itukah ia dimata putra semata wayangnya?

Ya, katakanlah ia memang bukan darah dagingnya, tetapi Sarah lah yang telah merawat Leo sejak berusia empat tahun, apakah julukan ibu terlalu mahal sebagai bayaran atas jerih payahnya? Bukannya ia pamrih atau apa, ia hanya ingin putranya kembali seperti dulu. Seharusnya ia tidak menginginkan suaminya membeberkan rahasia itu. 

"Pergilah, Salma. Aku lelah, aku baru tidur jam tiga pagi!" Leo bangkit dengan frustrasi. Ia menyeret Salma keluar kamarnya. 

"Tidak ada yang menyuruh kakak untuk tidur jam tiga pagi!" Salma memberontak, berteriak. Ia harus menyelesaikan masalah ini secepatnya, sebelum ia meninggalkan rumah, ia harus mengembalikan putra di keluarganya kepangkuan ayah dan ibunya.

Leo memejamkan matanya dengan kesal, menarik napas lalu menaruh kedua tangannya di bahu Salma dengan kuat, "Pulanglah, beri aku waktu untuk tidur, kita debat lagi nanti."

"Nanti kapan? Kakak kenapa sih? Kakak berubah sejak kakak pulang dari Canada? Katakan kak, apa salah Salma? Salma masih adik kakak, 'kan?" Salma berteriak histeris. "Katakan, kak!"

Leo paling tidak bisa melihat seseorang mengalami histeria seperti yang terjadi pada Salma, hal itu hanya mengingatkannya kepada ibunya, yang juga sering menangis histeris saat mabuk, ia tak bisa merelakan putra dan suminya direbut perempuan lain. Seandainya Leo mengetahui sejak awal jika Sarah bukan ibu kandungnya, ia pasti akan meninggalkan sang ayah untuk tinggal bersama ibu kandungnya, dan mereka bisa hidup bahagia, ibunya tidak akan menderita seorang diri, kesepian dan sakit-sakitan karena patah hati. 

Siapa yang harus ia salahkan kalau bukan Sarah dan keluarganya?

Leo mendesis pasrah, "Come on jangan menangis, you look ugly!" bujuk Leo berusaha terdengar humoris, ia mengusap sudut mata Salma yang basah. Meski ia berusaha keras untuk membenci Salma, tetapi delapan belas tahun mencintai perempuan itu sebagai seorang adik melekat kuat dalam hatinya, ia tak bisa membencinya begitu saja.

"Kakak jahat!" Salma menghambur memeluk erat sang kakak. Ia tahu persoalan mereka masih belum selesai, tetapi untuk saat ini, ia hanya ingin berada di dekapan sang kakak. Sudah terlalu lama Leo bersikap dingin kepada Salma.

"Ya, kakak salah. Alright, I'm sorry."

"Kakak harus minta maaf sama mama!" desak Salma.

"Later...."

"KAK!!!"

"Sudah. Sekarang pulanglah, ajak aunt dan kalau mau kesini kabari aku dulu."

"Kak Leo janji akan makan rotinya?" Salma menatap sang kakak penuh harap. Leo mengangguk lemah, meski ia tak berniat untuk menepatinya. Ia hanya ingin mereka cepat pergi karena kepalanya pusing, ia masih butuh istirahat.

Salma tersenyum, lalu mengecup pipi kanan Leo penuh sayang, "Kakak jangan marah sama mama, ya?"

"Hmmm..., "

"Janji?"

"Udah buruan pulang, kakak beneran butuh tidur!"

"Makanya jangan begadang! Oh, ya, jangan lupa Sabtu ini, kakak jadi groomsmen."

"Hmmm... Pulanglah," Leo menyahut lalu kembali ke dalam kamar setelah melepas dengan paksa pelukan Salma.

Salma mendesah. "Salma pulang dulu, kak, assalamualaikum, jangan lupa sarapan!"

Mengabaikan suara Salma, Leo kembali lelap dipelukan selimut tak bernyawa itu. Ia merindukan ibunya. Ibu kandungnya.

#####

Beberapa jam kemudian di sebuah kafe di daerah Kemang, Jakarta Selatan,

"Al, Lo gimana sih!" Rio berteriak gemas. 

"Gimana apanya?" Alya mendesis. Ia tidak suka sikapnya dipertanyakan.

"Lo bilang nggak papa nambah karyawan baru, sekarang Lo berubah pikiran?" Rio mengejar Alya hingga ke ruang kerjanya. Ia berdiri di tengah pintu yang terbuka dengan kedua tangan di pinggang. Sama sekali tidak puas dengan keputusan Alya yang plin-plan. 

"Lo nggak bilang gue kalo Lo masukin anak yang baru lulus SMA!"

"Bedanya apa sih, Al? Lo lupa gua juga baru lulus SMA waktu awal kerja sama Lo!" 

Alya mendengus, ia mengabaikan Rio dan menyibukkan diri dengan ponsel pintarnya.

"Pokoknya gua nggak mau tahu, pagi ini gua ada kelas sampe ntar sore, gua udah cari pengganti yang sayangnya Lo usir. Sekarang terserah Lo!" Rio melempar tatapan kesal kepada Alya yang pura-pura sibuk, padahal mereka sama-sama tahu, Alya tidak pernah sesibuk orang lain di kafe itu. Kerjaannya hanya mondar-mandir memarahi orang.

"Eh, mau kemana?" Alya beringsut dari kursinya ketika Rio membanting pintu ruangan tiga kali empat meter itu dengan kasar. Tidak sopan! "Yo! Bentar lagi kafe buka, Lo mau kemana?" Alya membuka pintu itu kembali dan berteriak dengan keras. "Yo! Gue potong gaji Lo kalo Lo pergi!

"Ke Hong Kong!" 

"Yo!" teriak Alya kedua kalinya, suaranya melengking menyakiti telingga yang mendengar hingga beberapa karyawan di kafe itu menutup telingga mereka dan pergi mencari kesibukan.

Mereka sudah terlalu bosan dengan percekcokan tidak bermutu antara pemilik dan karyawannya itu. 

Alya kembali ke ruang kerjanya setelah membanting pintu kaca dibelakangnya. Belakangan pintu tidak bersalah itu sering disiksa oleh penghuni kafe. Mendengus kesal Alya kembali duduk di kursinya. Tak lama, karena setelah itu dia kembali berdiri, keluar ruangan setelah kembali membanting pintu. Jika saja pintu itu bisa bicara ia pasti akan mencaci-maki Alya karena kebutralannya.

"Ren, Mario mana?"

"Pergi mbak!" Reno juga ikut kesal dengan nada bicara Alya yang pagi-pagi sudah seperti orang yang mau perang.

"Sapa yang suruh dia pergi?" Alya melotot, Reno yang merasa tak bersalah hanya bisa mencibir.

"Mbak marahnya nanti aja, kalo Mario sudah kembali. Oke? Saya masih bayak kerjaan." Reno melangkah meninggalkan Alya yang mulai mengeluarkan tanduk di ujung kepalanya. 

"Argh!"

Merasa terabaikan di istananya sendiri, Alya mengikuti Reno ke gudang penyimpanan makanan, "Anak baru tadi mana?" Alya kembali mengejutkan karyawan kafe pagi itu untuk ketiga kalinya. Sepertinya mereka harus membuat larangan untuk mencegah Alya masuk ke area mereka atau mereka bisa ikut sinting seperti bos mereka itu.

"Lah, 'kan sudah mbak usir?" Dito menyahut. Laki-laki muda itu membawa nampan bersisi buah beku. "Mbak, kalo mbak Alya nganggur, kaca di depan sepertinya kotor."

"Lo nyuruh gue bersih-bersih?" Alya melotot takjub, benar-benar mereka sudah tidak punya sopan santun terhadap atasan.

"Bukan mbak, saran aja. Daripada energi mbak kebuang sia-sia?" Dito nyengir kuda.

Reno yang sedang menyiapkan bahan untuk membuat yogurt mengacungkan jempolnya kepada Dito sambil tertawa pelan.

Alya melempari mereka dengan tatapan kesal lalu berdecak pinggang sebelum pergi begitu saja. 

Tawa kedua pemuda berparas tampan itu memenuhi ruangan, bukannya mereka bersikap tidak sopan terhadap Alya, mereka hanya terlanjur muak dengan sikap kekanakan Alya tersebut. Ia bisa saja marah-marah pagi harinya, lalu tertawa seperti orang kesurupan pagi itu juga. 

Entah apa yang merasuki Alya, ia merasa bodoh karena menuruti saran Dito untuk membersikan kaca. Ya, mungkin karena ia sedang bosan dan ingin terlihat sibuk. Kafe sudah buka tepat jam sembilan tadi, tanpa terasa Alya telah membantu tugas Joni pagi itu. Semua kaca di kafe itu jauh lebih licin dan mengkilap daripada wajah Mario. 

Alya mengalihkan pandangan dari kaca bening di depannya, seorang laki-laki jangkung melangkah masuk ke kafe itu, ia adalah pengunjung pertama pagi itu.

"Saya mau pesan roti kacang dan jus lemon." Laki-laki berwajah Eropa itu berbicara, Alya sedikit tekejut karena kefasihannya menggunakan bahasa Indonesia saat Alya menghampirinya setelah menyambar buku menu. 

Sempat tertegun sejanak, Alya bersuara, "Ada lagi?" menatap lekat wajah yang tertunduk fokus menatap buku menu, jujur ia ingin melihat wajah itu dengan detail, mungkin laki-laki itu cocok untuk menjadi tokoh utama dalam novel yang akan ia tulis. Mungkin....

#####

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status