LOGINSamsul kembali melihat Utomo. Lelaki paruh baya itu hanya mengangguk saja. Kemudian, ia menyimpan sapu lidi di samping rumah dan segera masuk. Samsul dan kedua pemuda itu hanya saling pandang saja.
“Siapa yang meminta untuk datang ke sana? Kenapa tiba-tiba kita harus musyawarah ke kantor kepala desa, Jefri, Usman?” tanya Samsul, menatap mereka berdua. “Para warga, Pak Samsul. Kami cuma disuruh aja tadi,” jawab Jefri pelan. “Ya sudah, kita tunggu saja. Mungkin Pak Utomo lagi siap-siap.” “Iya, Pak. Atau kami duluan saja ke kantor kepala desa, ya, Pak? Minta tolong Pak Utomo-nya segera datang ke sana.” Usman terlihat takut saat ini. “Iya, Pak Utomo pasti akan datang, tenang saja. Beliau bukan orang yang suka lari dari masalah. Kalian tidak perlu khawatir,” ujar Samsul dengan bijak. Jefri dan Usman pun pergi setelah mendapat jaminan dari lelaki itu. Sementara di dalam rumah, Utomo sudah mengganti pakaian. Ia mengenakan kemeja abu-abu dan celana span berwarna hitam. Penampilannya sangat rapi. Lelaki itu menatap cermin, memandang dirinya sendiri, lalu pandangannya tertuju pada lemari. “Jika memang sudah takdirnya, mau tidak mau... mungkin aku akan melepasmu, Le. Tapi Ayah akan sekuat tenaga membelamu,” ucap Utomo pelan. Ia berbicara seorang diri dengan helaan napas yang panjang, kemudian segera keluar dari kamar dan kembali menemui Samsul yang sudah menunggu. “Pak Utomo, di mana Ragma?” tanya Samsul. “Dia pergi ke kebun, seperti biasa. Bukannya tiap hari juga memang di kebun sayur? Sebenarnya hari ini dia sedang panen. Mungkin akan menjual semua hasil panennya ke pasar. Kenapa, Pak Samsul? Apakah Ragma juga harus dibawa ke kantor kepala desa?” Utomo balik bertanya, sambil memakai sendalnya. Samsul menggelengkan kepala. Lelaki itu pun tersenyum dan langsung menutup pintu rumah. “Ayo, kita berangkat ke kantor kepala desa, Pak Samsul,” ajak Utomo. “Sebaiknya kita ke rumah saya dulu. Jarak dari tempat sampean ini ke kantor kepala desa lumayan jauh. Kita naik motor saja, Pak Utomo. Tidak perlu khawatir, insyaallah saya akan ikut bicara juga. Semua mungkin hanya salah paham saja, walau sebenarnya di sini, sampeyan juga salah,” tutur Samsul hati-hati. “Iya, Pak. Saya mengerti. Mari.” Utomo tidak lagi banyak berkomentar atau menjawab perkataan Samsul. Mereka berjalan kaki menuju rumah Samsul yang tidak terlalu jauh. Sesampainya di sana, Samsul langsung mengeluarkan sepeda motornya. “Pak! Pak!” Samsul menoleh saat ada yang memanggilnya. Ternyata istrinya, Amina, yang memanggil. Lelaki itu tersenyum. “Ada apa, Bu? Kami mau ke kantor kepala desa. Bapak ingin mengantarkan dan menemani Pak Utomo ke sana ada musyawarah. Kalau jalan kaki cukup jauh, jadi naik motor lebih enak, toh?” kata Samsul sedikit bercanda. “Ibu sudah dengar beritanya, Pak. Bapak yakin mau dekat-dekat dengan mereka? Sangat berbahaya sekali, Pak,” bisik Amina yang terlihat cemas. “Jangan seperti itu, Bu. Pak Utomo orang baik. Kita mengenalnya sejak masih muda. Bahkan dia merawat Ragma tanpa memandang apa pun. Itu sudah membuktikan siapa dirinya sebenarnya. Ibu lebih baik tidak usah ikut ke kantor kepala desa. Bukan apa-apa, nanti Ibu malah kena hasut,” Samsul bicara dengan tegas, melarang istrinya itu. Amina hanya menjawab dengan anggukan tanda patuh atas apa yang dimandatkan suaminya. “Ya sudah, kalau gitu Bapak pergi dulu. Assalamu'alaikum,” pamit Samsul. Ia kemudian menyalakan sepeda motor dan langsung menghampiri Utomo yang sedang menunggu. Lelaki itu pun segera naik, dan mereka pergi menuju kantor kepala desa. “Wa'alaikumsalam,” jawab Amina dari tempatnya. Ia memandang nanar ke arah mereka berdua yang menjauh. "Astaghfirullah, kenapa semua jadi seperti ini?" gumam wanita itu, sambil memegang dadanya, merasa tidak habis pikir. Di perjalanan, Utomo hanya diam saja. Samsul tampak begitu hati-hati membawa sepeda motor itu. Bahkan kecepatannya sengaja dibuat rendah. Setibanya di kantor kepala desa, semua orang yang sudah menunggu di depan kantor, langsung menoleh ke arah mereka. Tatapan Sulastri, istri Pak Kades, pun langsung sinis. Pandangan matanya tertuju pada Samsul. “Walah, Pak Samsul! Kapan pulang? Tiba-tiba sekali ya, mengantarkan Pak Utomo ke sini,” celetuk Sulastri. “Bu Amina di mana, toh? Kok nggak ikut?” tanyanya lagi, dengan begitu ramah. “Istri saya lagi sibuk, banyak pekerjaan di rumah, Bu kades. Apalagi kami baru saja pulang dari kota,” jawab Samsul santai sambil tersenyum ramah. Ia lalu melirik ke arah Utomo. “Ayo, Pak Utomo, kita masuk. Sepertinya orang-orang sudah pada menunggu,” tambahnya, suaranya itu sengaja dibuat sedikit lebih keras agar semua orang bisa mendengar. “Iya, Pak. Mari,” jawab Utomo. Utomo dan Samsul pun berjalan masuk ke dalam kantor kepala desa. Mereka menuju aula, di mana semua orang juga ikut masuk dan duduk di tempatnya masing-masing. “Pak Utomo, silakan duduk di depan. Karena permasalahan ini sangkut pautnya dengan sampean. Saya mohon maaf, tapi ini benar-benar menjadi masalah yang sangat serius,” ujar kepala desa dengan nada tegas. “Baik, Pak Kades. Saya akan duduk di depan.” Utomo beranjak dari tempatnya, lalu duduk sesuai arahan kepala desa. Semua orang mulai memandang dirinya dengan tatapan berbeda. Hanya Samsul yang menatap teduh ke arahnya. “Begini, Pak Utomo. Kita tidak perlu lagi banyak menjelaskan, karena seluruh warga di sini sudah melihat langsung apa yang terjadi pada Ragma, putra Pak Utomo, malam itu. Kami semua, sejujurnya, sudah khawatir dan takut, Pak Utomo,” ucap kepala desa perlahan. “Anakku baik-baik saja, Pak Kades. Dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Dia telah menyelamatkan Larasati, anak sampean. Kenapa itu malah jadi permasalahan?” sahut Utomo dengan begitu tenang, sambil memandang kearah semua orang yang ada diruangan itu. “Masalahnya adalah anak sampean itu penganut ilmu iblis, Ilmu setan, Pak Utomo!” teriak salah satu warga, yang langsung berdiri dan menunjuk ke arahnya dengan mata melotot. “Anak saya tidak pernah menganut ilmu iblis, Pak. Anda jangan sembarangan berbicara. Apakah Anda bisa membuktikannya?” Utomo menantang, suaranya tidak kalah keras, kali ini nadanya berubah begitu juga dengan tatapannya. “Lho, kok malah minta bukti? Sudah jelas, kami melihat sendiri. Anak bapak itu sudah tercabik-cabik tubuhnya, pakai golok yang diserang oleh para perampok itu. Kok bisa tiba-tiba semua kulitnya jadi mulus, darahnya mengering, dan dia hidup lagi? Bahkan dia mampu menghabisi para perampok itu. Tubuhnya sudah berulang kali terluka! itu bukti nyata bahwa anak Pak Utomo penganut ilmu iblis. Penganut ajian rawa rontek, ajian yang sangat terlarang. Sebagai orang tua seharusnya Pak Utomo mengingatkan anak itu, bukan malah membelanya!” lelaki itu membalas dengan sengit, tatapannya benar-benar juga tidak kalah tajam, tidak ada rasa takut bicara pada Utomo. “Sudah, tidak perlu lagi banyak musyawarah. Kami sebagai warga di sini sangat takut. Takutnya kampung kita kena kualat. Lebih baik Ragma diusir dari kampung ini, tidak perlu dia ada di sini!” seru seorang ibu-ibu yang juga ikut berdiri. “Betul! Ragma harus diusir! Usir!” teriak yang lain. “Iya, usir si Ragma! tidak perlu ada di kampung ini!” sahut warga lain. Suasana menjadi gaduh, para warga yang berkumpul di aula mulai bersorak-sorai menuntut agar Ragma pergi. Utomo hanya terdiam, menahan getir. “Diaaaam!”Samsul kembali melihat Utomo. Lelaki paruh baya itu hanya mengangguk saja. Kemudian, ia menyimpan sapu lidi di samping rumah dan segera masuk. Samsul dan kedua pemuda itu hanya saling pandang saja.“Siapa yang meminta untuk datang ke sana? Kenapa tiba-tiba kita harus musyawarah ke kantor kepala desa, Jefri, Usman?” tanya Samsul, menatap mereka berdua.“Para warga, Pak Samsul. Kami cuma disuruh aja tadi,” jawab Jefri pelan.“Ya sudah, kita tunggu saja. Mungkin Pak Utomo lagi siap-siap.”“Iya, Pak. Atau kami duluan saja ke kantor kepala desa, ya, Pak? Minta tolong Pak Utomo-nya segera datang ke sana.” Usman terlihat takut saat ini. “Iya, Pak Utomo pasti akan datang, tenang saja. Beliau bukan orang yang suka lari dari masalah. Kalian tidak perlu khawatir,” ujar Samsul dengan bijak.Jefri dan Usman pun pergi setelah mendapat jaminan dari lelaki itu.Sementara di dalam rumah, Utomo sudah mengganti pakaian. Ia mengenakan kemeja abu-abu dan celana span berwarna hitam. Penampilannya sangat r
Teriak Ibu Kades terlihat marah-marah sendiri. Ia terus berjalan setengah berlari, sangat cepat sekali, sedangkan beberapa warga masih terus mengejarnya hingga sampai di rumah.. Brakk!! “Bapak! Bapak!” panggil wanita itu, sambil membuka pintu begitu keras. “Ada apa, toh, Bu? Kenapa kamu malah teriak-teriak seperti itu?, banting pintu lagi, tadi katanya mau beli pecel, mana pecelnya? Bapak harus ke kantor ini,” ujar suaminya.“Pak! Kita harus segera mengusir si Ragma dari kampung ini! Dia itu mau menumbalkan Zaki, Pak!”“Astaghfirullahaladzim, ngomong opo toh kamu ini, Bu? Pagi-pagi kok malah bahas seperti itu?”Para warga yang sudah sampai mendengar pembicaraan Ibu Kades karena suaranya begitu keras. Mereka yang ketakutan pun langsung saling menyentuh satu sama lain, memberi kode untuk pergi saja. Di saat yang sama, saat mereka hendak pergi, mereka melihat Larasati yang baru saja selesai menyiram bunga.“Ada apa, Bapak-bapak, Ibu-ibu? Pagi-pagi sudah berada di depan rumah saya? s
Zaki segera bangkit saat melihat Utomo sudah berdiri di depannya.Ia tersenyum canggung sambil mengusap tengkuk sendiri. “Aku mau menemui Ragma, Pakde. Tadi aku malah meninggalkannya gara-gara ditarik sama Bapakku,” ujar Zaki sangat jujur. Ia segera duduk di salah satu dipan di belakang rumah Utomo. “Ragma sudah tidur. Dia kelelahan, karena tadi kan latihan sebelum maghrib,” jawab Utomo tenang. “Tapi Ragma tidak apa-apa kan, Pakde? Jujur saja, aku sangat khawatir dengan perasaannya. Ditambah lagi tadi orang-orang desa seperti itu, bukannya mengucap terima kasih, malah pergi meninggalkannya dengan tatapan sinis dan omongan-omongan yang nggak enak. Aku saja yang mendengarnya sakit hati, apalagi Ragma yang mengalami. Padahal dia sudah menyelamatkan adikku, Larasati.” “Tidak apa-apa, dia baik-baik saja. Orang-orang desa tentu sangat terkejut melihat apa yang baru saja terjadi saat itu. Kita tidak bisa menyalahkan,” jawab Utomo lembut. Zaki terdiam sejenak. Ia menundukkan kepalanya. Ut
Sang ibu terus menarik Larasati yang memandang sedih ke arah Ragma, yang masih terpaku di tempatnya. Begitu juga dengan Zaki. Seluruh warga yang berada di sana mulai pergi meninggalkan dirinya. Kini, yang berada di hutan itu hanyalah Utomo. Ia berjalan begitu tenang mendekati sang putra. Puk! Pria paruh baya itu tersenyum sambil memegang pundak Ragma yang menundukkan kepala. Ia sadar bahwa saat ini Ragma begitu sedih.“Sudah, jangan dipikirkan lagi. Kuburkan saja jasad orang itu di dalam hutan ini, Jangan dibiarkan menjadi bangkai dan membusuk di sini,” ujar Utomo kepada putranya.“Maafkan aku, Ayah…” lirih Ragma. Kedua tangannya mengepal, dengan kepala yang menunduk. Utomo tersenyum. Ia membuka satu pakaiannya. Saat ini, Utomo hanya memakai kaus tipis saja, sementara baju lengan panjang yang ia gunakan dipakaikan kepada Ragma, yang tidak memakai baju sebab robek di saat pertarungan itu terjadi.“Untuk apa kamu minta maaf? Itu tidak perlu. Ayo, kita kuburkan saja jasad perampok it
Bisik-bisik para warga, melihat apa yang baru saja terjadi pada Ragma, mereka mulai mundur ketakutan, semua saling pandang, dan menggelengkan kepala. Ketika pemuda itu tiba-tiba terbangun dari kematiannya.“Apa itu?! Tidak mungkin!” ujar salah satu rampok. Mereka mundur ketakutan, namun masih dengan menggenggam senjata tajamnya masing-masing. “Jangan-jangan…” ucap rampok yang lain dengan suara gemetar.“Ajian Rawa Rontek! Dia… penganut ilmu iblis!” seru ketua rampok itu. Suaranya terdengar jelas hingga ke telinga para warga, dengan senjata mengacung pada Ragma. “Apa?! Ilmu iblis?” bisik warga dengan wajah pucat, mereka saling pegang dan mundur, semakin takut ketika melihat Ragma, ditambah mendengar penuturan ketua perampok itu. “Kalian semua! Serang dia! Tebas kepalanya dan bawa pergi jauh!! Itu satu-satunya cara membunuh pemilik Ajian Rawa Rontek!” perintah ketua rampok kepada anak buahnya, dengan suara yang begitu lantang, penuh amarah. "Iyaaa.... " Seru anak buahnya serempak.
Delapan perampok itu langsung menyerang ke arah Ragma dengan sangat beringas. Dua rampok dari sisi kanan melesatkan tendangan beruntun, akan tetapi ditangkis dengan kedua tangannya. Bugh!!Bugh!!...Pemuda itu melakukan serangan balasan, menghentakkan kaki ke tanah, lalu menendang tepat di rahang mereka berdua, hingga mundur beberpa langkah kebelakang. "Arrgh... "Bugh! Bugh! Wusshhh... Di sisi lain, dua perampok lainnya menyerang menggunakan senjata tajam. Mereka melesatkan hendak menusuk tepat ke dada Ragma, akan tetapi pemuda itu menghindar dengan sangat gesit. Ia mundur ke kiri dan ke kanan, menghindari setiap serangan yang memburu dirinya. Ragma mengepal kedua tangannya, lalu melesatkan pukulan beruntun, menahan salah satu tangan perampok, memelintirnya, dan mengambil senjatanya. Ia lalu menyerang balik ke arah mereka semua.Trang!! Wussh.... Trang... Tang!! Senjata-senjata itu saling beradu, terdengar suara dua logam tajam yang begitu nyaring. Di belakang, Larasati yang







