Home / Urban / Ksatria Katana Kembar / Niat Mengusir Ragma

Share

Niat Mengusir Ragma

Author: Izah04
last update Last Updated: 2025-11-27 07:17:53

Teriak Ibu Kades terlihat marah-marah sendiri. Ia terus berjalan setengah berlari, sangat cepat sekali, sedangkan beberapa warga masih terus mengejarnya hingga sampai di rumah..

Brakk!!

“Bapak! Bapak!” panggil wanita itu, sambil membuka pintu begitu keras.

“Ada apa, toh, Bu? Kenapa kamu malah teriak-teriak seperti itu?, banting pintu lagi, tadi katanya mau beli pecel, mana pecelnya? Bapak harus ke kantor ini,” ujar suaminya.

“Pak! Kita harus segera mengusir si Ragma dari kampung ini! Dia itu mau menumbalkan Zaki, Pak!”

“Astaghfirullahaladzim, ngomong opo toh kamu ini, Bu? Pagi-pagi kok malah bahas seperti itu?”

Para warga yang sudah sampai mendengar pembicaraan Ibu Kades karena suaranya begitu keras.

Mereka yang ketakutan pun langsung saling menyentuh satu sama lain, memberi kode untuk pergi saja.

Di saat yang sama, saat mereka hendak pergi, mereka melihat Larasati yang baru saja selesai menyiram bunga.

“Ada apa, Bapak-bapak, Ibu-ibu? Pagi-pagi sudah berada di depan rumah saya? sampai seperti mau menguping begitu. Ada masalah apa?” tanya Larasati langsung.

“Nggak ada, Mbak Larasati. Kami pergi dulu, permisi,” ujar mereka yang langsung berlari cepat, merasa tidak enak sendiri. Larasati merasa heran.

“Pokoknya Ibu nggak mau tahu! Ragma harus segera diusir, Pak, dari kampung ini! Kita harus bicara kepada Pak Utomo! Tidak bisa dibiarkan ini!”

“Astaghfirullahaladzim, ada apa lagi sama Ibu?” Larasati yang terkejut mendengar teriakan ibunya dari dalam, dan segera masuk dan melihatnya.

“Ada apa, Bu?” tanya Larasati.

“Itu si Ragma! Dia mau menumbalkan kakangmu! Pokoknya si Ragma harus segera diusir dari kampung ini! Ibu tidak mau tahu! Cepat, Pak, sampean harus segera mengusirnya! Sampean ini kepala desa, harus segera memutuskan dengan cepat! Jangan sampai kampung ini, mendapat kualat, dan anak-anak muda seperti anak kita menjadi tumbalnya si Ragma! Ibu tidak mau, Pak!” teriak wanita itu terus, yang marah-marah tidak sabar.

“Sabar, toh, Bu. Semua kita bicarakan baik-baik. Bapak juga mengerti dan tidak akan membiarkan itu terjadi. Kita akan rembuk dengan para warga untuk memutuskan agar Ragma tidak tinggal di sini. Tapi ini masih pagi, Bu, semua masih sibuk. Nanti kita panggil warga untuk berkumpul di kantor kepala desa. Ya sudah, jangan dipikirkan. Mana sarapannya? Bapak lihat Zaki sampai pergi tadi itu nggak sarapan, ya? Katanya mau sarapan di tempat kerja saja.”

“Ibu sampai lupa, Pak. Nggak jadi. Harusnya tadi kan mau beli pecel, tapi pas mendengar anakku bakal dijadikan tumbal, aku ketakutan sendiri, Pak.”

“Walah, Sulastri! Sulastri. Ya sudahlah, Bapak langsung berangkat aja. Ini sudah jam berapa? Nanti cari makanan di sekitar kantor saja, sudah. Jangan dipikirkan. Percaya sama Bapak, suamimu ini bisa melakukan apa saja, ya.”

“Iya, Pak. Ibu percaya sama Bapak. Pokoknya siluman itu harus segera diusir sebelum terjadi sesuatu yang nggak diinginkan. Bahaya, Pak,” kata Sulastri lagi meyakinkan suaminya itu sambil menggenggam kedua tangannya.

“Iya, ya sudah. Bapak pergi dulu. Assalamualaikum. Larasati, temani Ibu, ya,” ujar Kepala Desa itu yang segera pergi meninggalkan rumah.

“Ibu, kenapa Ibu bicara seperti itu? Tidak mungkin Kang Ragma akan melakukan tindakan yang tidak pantas. Ibu jangan sembarangan menyebarkan berita yang tidak pasti. Kasihan Kang Ragma dan juga Pak Le Utomo, Bu,” Larasati terlihat tidak suka dan langsung menegur ibunya.

“Alah, tahu apa kamu! Asal kamu tahu saja, ya, Larasati, dia itu penganut ilmu setan, ilmu iblis! Mana ada manusia yang sudah terbunuh, tubuhnya tercabik-cabik, bisa kembali seperti semula sedia kala, darahnya bersih, tubuhnya halus, dan berdiri dengan tegak hidup lagi! Apalagi kalau bukan karena dia menganut ilmu setan! Kamu ini jadi perempuan kok bodoh sekali! Sudah, masuk kamar! Ngapain kamu di sini? Harusnya kamu kan sekolah dasar, kamu!”

Sulastri marah-marah sendiri, matanya melotot sambil berkacak pinggang, menatap Larasati yang langsung menundukkan kepalanya. Seketika saja gadis muda itu begitu ketakutan mendengar suara nyaring sang ibu.

“Dibilangin kok malah ngeyel! Nanti kejadian baru nangis! Aku ini hanya ingin mencegah, Larasati! agar kakangmu itu tidak apa-apa! Pokoknya si Ragma harus diusir! Mau tidak mau, pokoknya harus!” Sulastri kembali marah-marah, ia langsung menuju arah belakang.

“Astaghfirullahaladzim, gawat ini! Aku harus segera menghubungi Kang Zaki. Tapi Kang Zaki masih baru berangkat kerja, bagaimana ini?” Larasati beristighfar lagi.

Ia masuk ke dalam kamar dan mengambil ponselnya, lalu mencari kontak Zaki. Ia pun segera mengirim pesan kepada saudara laki-lakinya itu.

>Kang, gawat ya Kang! Ibu mulai mengada-ngada. Masa mau mengusir Kang Ragma dari desa ini dan menuduh karena penganut ilmu iblis, sampai mengatakan kalau kakak bakal ditumbalkan!<

Klik'send..

Setelah mengirim pesan itu, Larasati terduduk lemas di tempat tidur. Ia benar-benar begitu khawatir sekali.

“Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa. Padahal Kang Ragma hanya berniat untuk menolongku, tapi kenapa menjadi seperti ini...” gumam Larasati.

Jika di rumah Pak Kades, sang istri maupun putrinya memperdebatkan Ragma. Utomo yang berada di rumahnya terlihat begitu santai.

Ia membersihkan pekarangan dengan tenang. Rumput-rumput liar itu pun sudah tampak bersih sekali. Saat ia menyapu halaman depan, pandangan matanya tertuju kepada beberapa warga yang melintas di sana.

Mereka melirik Utomo, saling sikut satu sama lain, lalu pergi begitu saja.

“Ada apa dengan mereka? Ah, sudahlah, biarkan saja.” gumam laki-laki paruh baya itu.

Utomo hanya bisa menghela napas dan geleng-geleng kepala. Ia tidak terlalu memperdulikan sikap para warga yang baru saja ia lihat.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Utomo menoleh, lalu tersenyum.

Ternyata yang datang adalah Samsul, salah satu warga yang cukup dekat dengannya. Usia mereka pun tidak terpaut jauh.

“Pak Utomo, ada yang ingin saya sampaikan kepada sampean ini. Mari,” kata Samsul. Raut wajahnya tampak begitu serius.

Utomo menyadari sesuatu. Ia mengangguk, meletakkan sapu lidi yang sejak tadi dipegangnya, lalu mendekati Samsul dan duduk bersama di depan rumah.

“Sampean sudah mendengar kasak-kusuk warga? Sebenarnya saya sedikit terkaget karena baru saja pulang dari kota.” kata Syamsul, mulai bicara.

“Kabar kasak-kusuk bagaimana, Pak Samsul? Saya belum mendengar apa pun, kan saya masih di rumah ini. Mengenai apa? Oh iya, Pak Samsul ini kemarin baru mengunjungi anaknya di kota, ya? Bagaimana kabar mereka semua di sana?” Utomo balik bertanya.

“Alhamdulillah, anak-anak pada sehat. Sebenarnya ada apa, Pak Utomo? Kenapa para warga membicarakan Ragma dan juga ilmu iblis? Saya benar-benar kaget mendengar itu, jadi saya langsung kemari.”

Utomo terdiam, lalu menatap Samsul yang menatap teduh ke arahnya. Lelaki paruh baya itu pun tersenyum tipis sambil menundukkan kepala.

“Bagaimana saya harus menjelaskan kepada sampean mengenai apa yang terjadi kepada putraku, sementara para warga sudah melontarkan kasak-kusuk seperti itu?”

“Saya tidak ingin menuduh sembarangan, Pak Utomo. Saya sangat mengenal sampean sejak muda. Saya tahu betul seperti apa sampean ini. Bahkan dulu, saat sampean membawa Ragma, banyak yang tidak setuju. Sayalah yang mendukung sampean untuk menjaga dan merawatnya. Maka dari itu, saya ke sini untuk bertanya langsung, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Syamsul lagi.

“Pak Samsul, tentu sampeaan mengerti dengan ilmu Rawa Rontek, bukan?”

“Kenapa tiba-tiba sekali, Pak Utomo, sampean membahas ajian terlarang itu?” tanya Samsul.

Degh...

Dadanya berdesir, dan tiba-tiba saja matanya membelalak kaget, lalu refleks memegang pundak Utomo bahkan sampai sedikit bergeser.

Utomo mengangkat kepalanya, melihat reaksi Samsul yang saat ini tampak syok itu.

“Jangan katakan kalau sampean…” Samsul tidak melanjutkan ucapannya. Ia bahkan sedikit mundur sambil menggelengkan kepala. Mata Samsul yang melebar seolah berusaha untuk tidak mempercayai sesuatu.

“Itu benar, Pak Samsul. Saya sudah menurunkannya kepada Ragma.” kata Utomo mengakuinya.

“Astaghfirullahaladzim! Kenapa kamu melakukan itu? Ya Allah, ya salam…” Samsul menggeleng-gelengkan kepala, terlihat tidak habis pikir. Ia sampai beranjak dan mundur, menatap ke arah Utomo.

“Tidakkah sampean kasihan kepada putramu? Sekarang dia jadi bahan pembicaraan warga!” ujar Samsul, matanya melotot dengan tangan yang mengepal, benar-benar tidak habis pikir.

“Lalu dengan siapa harus saya turunkan, Pak Samsul, kalau bukan dengan Ragma?”

“Terlalu cepat… Astaghfirullah! Apa kamu tidak memikirkan risikonya, Pak Utomo?”

“Assalamualaikum!”

Pembicaraan mereka terjeda saat terdengar suara salam dari kejauhan. Mereka pun berusaha untuk terlihat baik-baik saja dan tersenyum. Dua orang pemuda datang menghampiri.

“Waalaikumsalam. Ada apa, Jefri, Usman?” tanya Utomo.

“Maaf, Pak Utomo. Ada musyawarah di kantor kepala desa. Pak Utomo dipanggil,” jawab Jefri.

“Ada apa kok tiba-tiba? Ini masih pagi,” ujar Utomo heran.

“Itu, Pak Utomo…” Jefri langsung menyentuh lengan Usman.

Mereka menaik-turunkan alis mata seolah saling memberi kode untuk memberitahu sesuatu kepada Utomo.

“Apa ini tentang Ragma?” tanya Samsul langsung.

“Eh… iya, Pak Samsul.” jawab kedua pemuda itu merasa sungkan.

“Ayo, Pak Utomo. Selesaikan ini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ksatria Katana Kembar   "Ragma Harus Diusir!"

    Samsul kembali melihat Utomo. Lelaki paruh baya itu hanya mengangguk saja. Kemudian, ia menyimpan sapu lidi di samping rumah dan segera masuk. Samsul dan kedua pemuda itu hanya saling pandang saja.“Siapa yang meminta untuk datang ke sana? Kenapa tiba-tiba kita harus musyawarah ke kantor kepala desa, Jefri, Usman?” tanya Samsul, menatap mereka berdua.“Para warga, Pak Samsul. Kami cuma disuruh aja tadi,” jawab Jefri pelan.“Ya sudah, kita tunggu saja. Mungkin Pak Utomo lagi siap-siap.”“Iya, Pak. Atau kami duluan saja ke kantor kepala desa, ya, Pak? Minta tolong Pak Utomo-nya segera datang ke sana.” Usman terlihat takut saat ini. “Iya, Pak Utomo pasti akan datang, tenang saja. Beliau bukan orang yang suka lari dari masalah. Kalian tidak perlu khawatir,” ujar Samsul dengan bijak.Jefri dan Usman pun pergi setelah mendapat jaminan dari lelaki itu.Sementara di dalam rumah, Utomo sudah mengganti pakaian. Ia mengenakan kemeja abu-abu dan celana span berwarna hitam. Penampilannya sangat r

  • Ksatria Katana Kembar   Niat Mengusir Ragma

    Teriak Ibu Kades terlihat marah-marah sendiri. Ia terus berjalan setengah berlari, sangat cepat sekali, sedangkan beberapa warga masih terus mengejarnya hingga sampai di rumah.. Brakk!! “Bapak! Bapak!” panggil wanita itu, sambil membuka pintu begitu keras. “Ada apa, toh, Bu? Kenapa kamu malah teriak-teriak seperti itu?, banting pintu lagi, tadi katanya mau beli pecel, mana pecelnya? Bapak harus ke kantor ini,” ujar suaminya.“Pak! Kita harus segera mengusir si Ragma dari kampung ini! Dia itu mau menumbalkan Zaki, Pak!”“Astaghfirullahaladzim, ngomong opo toh kamu ini, Bu? Pagi-pagi kok malah bahas seperti itu?”Para warga yang sudah sampai mendengar pembicaraan Ibu Kades karena suaranya begitu keras. Mereka yang ketakutan pun langsung saling menyentuh satu sama lain, memberi kode untuk pergi saja. Di saat yang sama, saat mereka hendak pergi, mereka melihat Larasati yang baru saja selesai menyiram bunga.“Ada apa, Bapak-bapak, Ibu-ibu? Pagi-pagi sudah berada di depan rumah saya? s

  • Ksatria Katana Kembar   Bisik-bisik Para Warga

    Zaki segera bangkit saat melihat Utomo sudah berdiri di depannya.Ia tersenyum canggung sambil mengusap tengkuk sendiri. “Aku mau menemui Ragma, Pakde. Tadi aku malah meninggalkannya gara-gara ditarik sama Bapakku,” ujar Zaki sangat jujur. Ia segera duduk di salah satu dipan di belakang rumah Utomo. “Ragma sudah tidur. Dia kelelahan, karena tadi kan latihan sebelum maghrib,” jawab Utomo tenang. “Tapi Ragma tidak apa-apa kan, Pakde? Jujur saja, aku sangat khawatir dengan perasaannya. Ditambah lagi tadi orang-orang desa seperti itu, bukannya mengucap terima kasih, malah pergi meninggalkannya dengan tatapan sinis dan omongan-omongan yang nggak enak. Aku saja yang mendengarnya sakit hati, apalagi Ragma yang mengalami. Padahal dia sudah menyelamatkan adikku, Larasati.” “Tidak apa-apa, dia baik-baik saja. Orang-orang desa tentu sangat terkejut melihat apa yang baru saja terjadi saat itu. Kita tidak bisa menyalahkan,” jawab Utomo lembut. Zaki terdiam sejenak. Ia menundukkan kepalanya. Ut

  • Ksatria Katana Kembar   Larangan

    Sang ibu terus menarik Larasati yang memandang sedih ke arah Ragma, yang masih terpaku di tempatnya. Begitu juga dengan Zaki. Seluruh warga yang berada di sana mulai pergi meninggalkan dirinya. Kini, yang berada di hutan itu hanyalah Utomo. Ia berjalan begitu tenang mendekati sang putra. Puk! Pria paruh baya itu tersenyum sambil memegang pundak Ragma yang menundukkan kepala. Ia sadar bahwa saat ini Ragma begitu sedih.“Sudah, jangan dipikirkan lagi. Kuburkan saja jasad orang itu di dalam hutan ini, Jangan dibiarkan menjadi bangkai dan membusuk di sini,” ujar Utomo kepada putranya.“Maafkan aku, Ayah…” lirih Ragma. Kedua tangannya mengepal, dengan kepala yang menunduk. Utomo tersenyum. Ia membuka satu pakaiannya. Saat ini, Utomo hanya memakai kaus tipis saja, sementara baju lengan panjang yang ia gunakan dipakaikan kepada Ragma, yang tidak memakai baju sebab robek di saat pertarungan itu terjadi.“Untuk apa kamu minta maaf? Itu tidak perlu. Ayo, kita kuburkan saja jasad perampok it

  • Ksatria Katana Kembar   Warga Ketakutan

    Bisik-bisik para warga, melihat apa yang baru saja terjadi pada Ragma, mereka mulai mundur ketakutan, semua saling pandang, dan menggelengkan kepala. Ketika pemuda itu tiba-tiba terbangun dari kematiannya.“Apa itu?! Tidak mungkin!” ujar salah satu rampok. Mereka mundur ketakutan, namun masih dengan menggenggam senjata tajamnya masing-masing. “Jangan-jangan…” ucap rampok yang lain dengan suara gemetar.“Ajian Rawa Rontek! Dia… penganut ilmu iblis!” seru ketua rampok itu. Suaranya terdengar jelas hingga ke telinga para warga, dengan senjata mengacung pada Ragma. “Apa?! Ilmu iblis?” bisik warga dengan wajah pucat, mereka saling pegang dan mundur, semakin takut ketika melihat Ragma, ditambah mendengar penuturan ketua perampok itu. “Kalian semua! Serang dia! Tebas kepalanya dan bawa pergi jauh!! Itu satu-satunya cara membunuh pemilik Ajian Rawa Rontek!” perintah ketua rampok kepada anak buahnya, dengan suara yang begitu lantang, penuh amarah. "Iyaaa.... " Seru anak buahnya serempak.

  • Ksatria Katana Kembar   Pertarungan

    Delapan perampok itu langsung menyerang ke arah Ragma dengan sangat beringas. Dua rampok dari sisi kanan melesatkan tendangan beruntun, akan tetapi ditangkis dengan kedua tangannya. Bugh!!Bugh!!...Pemuda itu melakukan serangan balasan, menghentakkan kaki ke tanah, lalu menendang tepat di rahang mereka berdua, hingga mundur beberpa langkah kebelakang. "Arrgh... "Bugh! Bugh! Wusshhh... Di sisi lain, dua perampok lainnya menyerang menggunakan senjata tajam. Mereka melesatkan hendak menusuk tepat ke dada Ragma, akan tetapi pemuda itu menghindar dengan sangat gesit. Ia mundur ke kiri dan ke kanan, menghindari setiap serangan yang memburu dirinya. Ragma mengepal kedua tangannya, lalu melesatkan pukulan beruntun, menahan salah satu tangan perampok, memelintirnya, dan mengambil senjatanya. Ia lalu menyerang balik ke arah mereka semua.Trang!! Wussh.... Trang... Tang!! Senjata-senjata itu saling beradu, terdengar suara dua logam tajam yang begitu nyaring. Di belakang, Larasati yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status