LOGINLorong ruang jaringan diterangi cahaya alami, menyelinap melalui celah roster. Rambut ungu Livia berkilau menantang kegelapan, tidak ada ketakutan sama sekali.
Bersama Leona, keduanya mengendap-endap namun waspada, berusaha mencari informasi tanpa ketahuan. "Kau pernah ke sini tadi?" Tanya Livia, berbisik. "Ya, dan..." Jawab Leona, terjeda. Matanya menatap kagum wajah Livia yang tersorot cahaya alami mentari, memantulkan aura keberanian. "Apakah ada yang berubah?" Tanya Livia, memastikan—lagi. Livia mengelus rambut abu-abu Leona, tangannya mengalir lembut, terhenti saat menyentuh jepit rambut kupu-kupu Leona. "Euh... Tidak ada, kak." Jawab Leona, menyentuh-nyentuhkan kedua jari telunjuknya. Jantungnya berdegub, tapi kali ini bukan karena rasa takut, melainkan rasa kagum yang entah bagaimana cara mengungkapnya. "Ruangan ini luas, apa kita berpencar saja?" Tanya Livia. "Tidak usah, aku bisa mendeteksi aura lingkungan sekitar dalam radius beberapa kilometer," jawab Leona, kepalanya tertunduk seakan malu telah menyombongkan kemampuan. "Baiklah... Aku akan berjaga-jaga di dekatmu," jawab Livia, mengedipkan mata seolah memberikan kode untuk memulai ritual. Leona segera paham maksud Livia. Dia duduk bersila, memejamkan mata, tangan mungilnya bergerak anggun, dan terhenti dengan kedua telapak tangan diletakkan di atas paha. "Aura Pendeteksi!" Aura Leona bagai gelombang tak kasat mata. Melesat ke segala arah, ke setiap sudut ruangan jaringan dan memantul kembali. Membuat Leona mampu mendeteksi kondisi di sekitar dengan jarak tertentu. Tiba-tiba, suara tetesan air mengalir lembut. Jari Leona bergetar halus, kepalanya bergerak miring secara perlahan, matanya terus terpejam. "Kak Livia, sepertinya aku mendengar tetesan air lembut," ucap Leona, suara tetes air jatuh terdengar di telinganya, seolah memecah keheningan. Leona segera bangkit, berlari kecil menuju arah sumber suara. Livia tersenyum bangga, mengikuti Leona dari belakang. Sampai lah mereka di hadapan pintu sebuah toilet, dengan engsel berwarna silver. "Ini, kak Livia..." Ucap Leona Lirih, jarinya menunjuk ke sebuah pintu masuk. Mereka pun mengendap perlahan. ... Suara pintu berderit, lampu cahaya putih menyambut mereka. Di hadapan mereka berdiri seorang pria berpakaian putih, menatap kaca toilet berbingkai emas. Tangannya mencengkram ujung wastafel, tubuhnya seolah membeku—tak bergerak. Tetesan air jatuh perlahan dari keran, memecah keheningan. "Ini pasti ulah pria bertopeng gagak," bisik Livia, perlahan mendekat. "Sepertinya dia admin komputer CCTV... Artinya," Leona menganalisa, jarinya memukul-mukul pipi, tubuhnya yang kecil menyelinap diantara tubuh pria dan wastafel. "Kemampuan mengerikan, tubuh dia membeku," timpal Livia, melihat sesuatu berkilau menusuk belakang leher pria tersebut. Sebuah jarum tertancap di beberapa titik nadi leher. "Titik nadi belakang leher, jarum ini... Membuat tubuh seseorang beku," Livia coba mengobservasi, tangannya hampir menyentuh jarum tersebut namun terhenti. "Bisa membuat wajah pucat, kak?" Tanya Leona, menatap wajah pria berpakaian putih, kulitnya pucat, kacamatanya berkilau miring. "Tidak ada waktu... Kamu ke ruang komputer, sekarang!" Seru Livia. Aura Leona segera menghilang, meninggalkan Livia sendiri di dalam toilet. Leona bergegas menuju ruangan yang dia kunjungi sebelumnya saat mengambil rekaman CCTV. Sambil menghilangkan auranya, bersiap menghadapi kenyataan pahit yang mungkin dia lihat. Leona menelusuri setiap meja komputer, memperhatikan pekerja yang duduk membeku tak bergerak. Tenyata jarum silver menancap di leher mereka, seperti pada pria di toilet. "Pantas, sejak pertama aku tidak merasakan pergerakan," gumam Leona, bergerak ke meja lainnya. "Si gagak itu memasuki ruang ini sebelum aku... Memakai sidik jari pria di toilet, lalu menyerang semua pekerja," gumamnya lagi. Leona menelusuri setiap meja, lampu neon berkedip-kedip menambah kengerian. Tibalah Leona pada komputer yang dia kunjungi saat mengambil rekaman CCTV, ternyata... "Sial! Apakah dia tahu kehadiranku sebelumnya lalu datang lagi ke sini?" Leona bergumam. Jantung Leona berdegup tak beraturan, tetes keringat mulai mengucur di pipinya, matanya terbelalak menatap layar komputer. Kini... Layar tersebut gelap, tidak ada video rekaman. Gambar kepala tengkorak berwarna hijau seolah sinyal ancaman, mata Leona fokus pada teks peringatan di atas gambar. "MALAM PESTA! Reputasi Flawless akan runtuh." Langkah beberapa orang terdengar samar di luar sana, mengarah ke ruangan tempat Leona saat ini. Leona bersembunyi di sudut ruangan, sambil menghilangkan auranya. "Apalagi ini?" Tanya Leona dalam hati.Tepat setelah keluar dari area menuju kuil sembilan dewa, tim senyap lalu membagi kelompok menjadi dua, masing-masing terdiri dari dua orang. "Kalian tetap awasi kuil sembilan dewa," ucap seorang tim senyap yang memakai pakaian ninja dan hanya terlihat matanya saja. Setelah dua orang lainnya kembali menuju area kuil sembilan dewa, dia bersama seorang lainnya yang mengenakan masker untuk menutupi mulutnya menuju ke belakang dua buah pohon besar. Tak lama, mereka muncul kembali tanpa mengenakan pakaian ninja dan tampaklah dua orang sosok remaja belia dengan menggendong tas di punggung. Satu orang pria dan satu orang adalah wanita, sorot mata mereka memancarkan kesetiaan, rambut mereka bagai cahaya bulan purnama yang bersinar di gelapnya malam. Tim senyap pria menarik tim senyap wanita untuk segera bergegas, namun wanita tersebut menahan tarikan si pria dan menahan langkahnya. "Ada apa, Lena?" Tanya tim senyap pria seraya berbalik untuk melihat temannya. "Apakah yang kita lakukan s
Melihat dua buah kepala menggelinding seolah tidak ada artinya, hati Elixia dipenuhi perasaan gelisah. Dua pasang anggota dewan antar siswa bertarung satu sama lain, tentu ini bukan sesuatu yang biasa. Ketika membujuk Elixia menjadi sekutu, Valerina berkata bahwa dia hanya membunuh satu orang selama hidupnya, yaitu donatur SMA Skywhip yang dia cabik saat pesta bulanan siswa. Kenangan buruk itu menghantui Elixia lagi. Elixia tidak segan menarik tangan Valerina, membawanya jauh dari kerumunan, "apa yang kau lakukan pada mereka?" Tanyanya dengan lirih, matanya menyipit penuh kecurigaan terhadap gadis yang kini menggunakan jubah hitam. "Mereka ingin bergabung, aku hanya menguji kesetiaan mereka," jawab Valerina dengan nada dan tatapan yang dingin. "Dengan cara membuat mereka saling membunuh? Itu sama kejinya dengan membunuh langsung!" Cecar Elixia, kini tatapannya tajam seperti berusaha masuk ke dalam pikiran Valerina. "Sssttt, sebaiknya kau diam... Mereka bukan dirimu yang bisa aku p
Beberapa menit sebelum kedatangan Flawless ke tempat pertarungan Riokusa dan Valerina... "Hahahaha," Valerina tertawa seraya memandang wajah Riokusa yang ditopang kedua tangannya. Dia menyimpan kepala Riokusa di tengah altar seolah persembahan untuk dewi kematian. Valerina kemudian mengambil dua buah lilin yang jatuh akibat pertarungannya, dengan perlahan dan presisi dia meletakannya di kedua sisi kepala Riokusa. Dengan tawa mengerikan menguar di udara dia merentangkan kedua tangannya, menyerap kabut hitam sisa-sisa hawa murni dari berandalan yang tewas. Dia pun pergi meninggalkan tempat ibadah kosong untuk kembali ke kuil sembilan dewa. Secepat bayangan dia melesat, meninggalkan jejak kabut hitam yang beterbangan ditiup angin malam. Sesampainya di depan tangga menuju kuil sembilan dewa, empat orang sudah menunggunya. Mereka adalah Carls, Dals, Zenia, dan Zenita, empat anggota dewan antar sekolah yang berkhianat. "Hahahaha, sudah berapa lama kalian menungguku?" Tanya Valerina, d
Ksatria berpakaian putih, berikat pinggang hitam turun dari langit. Dengan tekad dan semangat untuk berkorban, dia bertarung dengan dewi kematian. Walaupun mampu memberi kerusakan, namun pada akhirnya dewi kematian... "Sial... Lagi-lagi ada bagian tulisan yang seperti terhapus," gumam Livia, ketiga kalinya buku ramalan pemberian Eleana yang kini dia baca, memiliki paragrah tidak lengkap. Livia fokus pada kalimat "pakaian putih dan ikat pinggang hitam" yang mengingatkannya pada Riokusa. Entah kenapa hatinya terasa berdegup kencang, tangannya bergetar tak karuan. "Riokusa, apa yang terjadi padamu?" Tanya Livia dalam hati, sudah dua jam Riokusa belum kembali. "Kak Rio!" Seru Leona, tiba-tiba bangun dari tidurnya, membuat Livia terkesiap karena terakhir kali mengigau, nama Arthur yang Leona sebutkan. "Kau kenapa, Leona?" Tanya Livia, cepat. Dia segera melonjak ke tempat tidur Leona, terbuat dari batu alam, dilapisi seprai yang dibeli Riokusa siang tadi. "Entah kenapa aku merasa ada s
Riokusa teringat ucapan Livia untuk melarikan diri jika bertemu Valerina, matanya menatap ke sekeliling untuk mencari celah melarikan diri. Terpantau hanya ada dua jalan keluar, pintu masuk dan bubungan atap yang gentingnya telah dia buka sebelumnya. Valerina mengeluarkan gelombang kejut menggunakan hawa murninya, membuat pintu masuk tertutup dengan sendirinya. Diikuti suara besi penyangga pintu yang berputar 180 derajat, menahan pintu untuk dibuka dari luar. "Jika aku melompat ke atas sambil menggendong sebuah mayat, aku akan mudah diserang," gumam Riokusa, menyadari tidak ada cara lain selain menghadapi Valerina. Sementara itu, kabut hitam dari beberapa korban yang mati terus menerus terserap ke dalam tubuh Valerina. "Mau tidak mau, aku harus mengalahkan Valerina secepatnya sebelum hawa murni para korban habis terhisap," lanjut Riokusa, sadar dirinya terjebak dilema. "Hahaha... Kenapa kau diam? Tampaknya kau kebingungan karena tidak ada jalan keluar ya?" Sindir Valerina, tertaw
Riokusa menatap ke arah langit, pikirannya campur aduk. Menerima tawaran bekerja di perbatasan kota demi menjadi kuat, namun musuh yang dihadapi kali ini bukanlah alat latihan untuk menjadi lebih hebat. Apalagi, alam seakan tidak memberi restu padanya malam ini. Bulan hanya tampak bagaikan sabit, tidak ada satupun bintang yang bersinar di langit gelap. Mata Riokusa menerawang ke batu karang besar dekat air terjun yang seolah tidak lelah untuk mengalir. Sama seperti Arthur yang sedari tadi ditinggalkan sendiri di sana, masih setia duduk bersila. "Entah apa yang dipikirkannya," gumam Riokusa, dia pun menuju tempat Arthur saat ini berada. Siapa tahu, dia bisa sedikit mengurangi kebimbangan Riokusa. Sampailah dia di atas tempat Arthur termenung seorang diri. "Permisi... Bolehkah aku mengobrol sebentar?" Tanya Riokusa, Arthur menatap dengan ramah, senyum tersungging dari bibirnya. "Bolehkah aku titip padamu cara membuka pintu keluar masuk tempat ini?" Tanya Riokusa, membalas senyum Art







