LOGINDi sudut ruangan Leona masih bersembunyi, auranya sama sekali hilang. Namun setelah langkah beberapa orang dari kejauhan mendekat, detak jantung Leona kembali normal, dia mengusap keringat yang mengalir di pipinya.
"Wangi bunga mawar ini... Elixia, bantuan datang rupanya." Ucap Leona, menghela nafas. Tak lama, Elixia melewati ruang di mana Leona kini berada. Rambut merahnya menyala, dia berlari penuh semangat membara, diikuti beberapa orang yang Leona duga adalah tim medis. Leona pun mengikuti mereka dari belakang. Sampailah mereka di toilet tempat korban pria yang terdiam kaku. Livia sudah menunggu semuanya di situ. "Apa yang terjadi, Livia?" Tanya Elixia. "Jarum Silver ini menacap di nadi leher tempat aliran darah ke otak," jelas Livia, menunjuk jarum silver di sisi kanan dan kiri leher korban. "Singkatnya jarum tersebut memiliki kekuatan membekukan tubuh." Tiba-tiba Leona muncul di samping Elixia—lagi. Kali ini tidak membuatnya kaget, suaranya yang imut sudah dikenal Elixia. "Jarum tersebut beracun, mematikan bagian otak pengatur gerakan tubuh," timpal Elixia, mengendus bau racun di jarum tersebut. "Kau bisa menyembuhkannya?" Tanya Livia. "Racun adalah kemampuan spesial aku... Serahkan padaku!" Jawab Elixia, matanya penuh keyakinan, seakan menutupi sifat dinginnya saat itu. "Kau akan menarik racun dengan menciumnya?" Tanya Leona, menunjuk kepada pria kaku di hadapannya. "Aku tidak sembarang memberikan ciumanku pada pria," jawab Elixia, ketus. "Baiklah, kalau begitu..." Timpal Livia, segera mencabut jarum silver di belakang leher korban pria. Korban pria tersebut seketika ambruk, wajahnya menghitam perlahan. Tim Elixia bergerak cepat menopang agar kepala korban tidak terbentur lantai. Tim Elixia mengatur posisi korban, Elixia segera beraksi di hadapannya. Tangan kanannya menyentuh bagian kanan atas perut, menarik racun di tubuh korban ke dalam tubuhnya menggunakan aliran hawa murni. Perlahan wajah korban yang menghitam kembali normal, seiring dengan wajah Elixia yang menjadi pucat. Riasan di wajahnya tampak kontras, lebih terang dari kulitnya. "Kau tidak apa-apa, kak Elixia?" Tanya Leona, kedua telunjuknya saling bersentuhan, panik dengan kondisi Elixia. "Tenanglah, racun di lawan racun... Selain menyebarkan racun, hawa murni Elixia memiliki kemampuan melawannya." Livia berusaha menjelaskan, tangannya mengelus rambut Leona. Korban pria yang diobati Elixia perlahan membuka matanya, kulitnya kembali normal, lalu memuntahkan darah sebelum akhirnya sadar. Sejenak semuanya menunggu sampai pria tersebut benar-benar sadar. "Apa yang terjadi pak?" Tanya Livia, mencoba mencari informasi. "Saat aku selesai cuci tangan, seorang menyerangku... Aku tidak bisa bergerak, tapi beberapa indraku masih bekerja." Pria korban itu menjelaskan. "Namun setelah kau mencabut jarumnya, aku benar-benar kehilangan kesadaran." Lanjut pria tersebut. "Hmmm menarik... Singkatnya racun jarum itu menyebar saat dicabut." Livia mencoba menganalisa, jarinya memukul-mukul pipi. Elixia segera bangkit, wajahnya terlihat masih pucat, namun rambut merahnya masih membara. "Kau tidak apa-apa, kak?" Tanya Leona, memastikan. "Wangi bunga mawarnya serasa berkurang, mungkinkah..." Gumam Leona dalam hati, merasa Elixia belum sepenuhnya pulih. Elixia menatap Leona, matanya memancarkan tekad yang kuat. "Ayo kita ke ruang jaringan, masih banyak korban di sana!" Seru Livia, mengepalkan tangannya kencang, seolah menahan amarah atas apa yang terjadi. ... Semuanya kemudian bergegas menuju ruang jaringan, irama langkah kaki di lantai kayu terdengar penuh semangat. Sesampainya di ruangan jaringan, mata Leona masih fokus menatap ke arah komputer bergambar tengkorak dan bertulis ancaman. Elixia dan Livia segera bergegas menuju pekerja lain yang juga mengalami nasib serupa korban sebelummya. Elixia menarik racun dari tubuh pekerja itu, wajahnya semakin pucat, riasannya semakin kontras. Lampu neon yang kadang hidup kadang mati, serasa tubuh Elixia yang energinya sudah mulai terkuras. Baru saja menyembuhkan dua orang, tubuh Elixia tampak sudah tidak sanggup. Terkulai lemas, kemudian ambruk. Livia yang ada di sisinya, menahan tubuh Elixia. Sementara Leona segera menghampiri mereka, langkahnya terasa berat. Livia membantu Elixia duduk dalam posisi bersila. "Salurkan hawa murni kalian!" Seru Livia, memerintahkan semua yang ada di situ membantu Elixia dengan hawa murni. Semuanya memusatkan hawa murni ke tangan masing-masing, lalu menyalurkannya ke tubuh Elixia. Wajah pucat Elixia perlahan kembali seperti semula, riasan wajahnya tampak menyatu dengan warna kulitnya. Bagai mawar yang layu, dan kini bersemi kembali. Gelombang tak kasat mata berputar di sekitar tubuhnya bagai pusaran angin, semakin lama semakin membesar, memenuhi seluruh ruangan dan meluap hingga ke luar. "Gelombang Mawar Kehidupan!" Seru Elixia, mengeluarkan aura dari hawa murni miliknya dan bantuan teman-temannya. "Saatnya memulai pekerjaan!" Elixia bangkit, bersiap menyembuhkan semua yang ada di ruangan jaringan. *** Beberapa menit kemudian di pintu masuk ruang jaringan... "Terimakasih telah menyembuhkan kami... Aku akan membereskan ruangan jaringan seperti semula." Ucap korban pria di toilet, menundukan kepala. "Kalian... Jaga ruangan ini! Aku, Elixia dan Leona akan kembali ke markas," ucap Livia, memerintahkan beberapa orang kepercayaannya—yang pasti memiliki kemampuan—untuk menjaga ruang jaringan. Livia, Leona, dan Elixia berjalan menjauhi pintu masuk ruang jaringan. Baru beberapa langkah, Elixia kembali ambruk, lorong gelap seakan bergema dengan suara tubuh Elixia yang jatuh menghujam lantai. "Elixia!" Livia yang segera menyadari, melonjak cepat menghampiri Elixia. Livia mengangkat tubuh Elixia yang terkulai lemas ke pangkuan, namun ujung bibirnya terangkat, wajahnya memancarkan kedamaian. "Kau telah berjuang sekuat tenaga, aku bangga padamu." Livia bergumam, sebutir tetes air mata jatuh menyentuh wajah Elixia. Tangan Livia terkepal, sendi-sendinya berbunyi renyah, matanya kini menatap kejauhan, seolah ada sosok misterius yang mengintai di luar sana. Leona hanya terdiam, mengingat kembali pesan ancaman di ruang jaringan. "MALAM PESTA! Reputasi Flawless Akan Runtuh."Tepat setelah keluar dari area menuju kuil sembilan dewa, tim senyap lalu membagi kelompok menjadi dua, masing-masing terdiri dari dua orang. "Kalian tetap awasi kuil sembilan dewa," ucap seorang tim senyap yang memakai pakaian ninja dan hanya terlihat matanya saja. Setelah dua orang lainnya kembali menuju area kuil sembilan dewa, dia bersama seorang lainnya yang mengenakan masker untuk menutupi mulutnya menuju ke belakang dua buah pohon besar. Tak lama, mereka muncul kembali tanpa mengenakan pakaian ninja dan tampaklah dua orang sosok remaja belia dengan menggendong tas di punggung. Satu orang pria dan satu orang adalah wanita, sorot mata mereka memancarkan kesetiaan, rambut mereka bagai cahaya bulan purnama yang bersinar di gelapnya malam. Tim senyap pria menarik tim senyap wanita untuk segera bergegas, namun wanita tersebut menahan tarikan si pria dan menahan langkahnya. "Ada apa, Lena?" Tanya tim senyap pria seraya berbalik untuk melihat temannya. "Apakah yang kita lakukan s
Melihat dua buah kepala menggelinding seolah tidak ada artinya, hati Elixia dipenuhi perasaan gelisah. Dua pasang anggota dewan antar siswa bertarung satu sama lain, tentu ini bukan sesuatu yang biasa. Ketika membujuk Elixia menjadi sekutu, Valerina berkata bahwa dia hanya membunuh satu orang selama hidupnya, yaitu donatur SMA Skywhip yang dia cabik saat pesta bulanan siswa. Kenangan buruk itu menghantui Elixia lagi. Elixia tidak segan menarik tangan Valerina, membawanya jauh dari kerumunan, "apa yang kau lakukan pada mereka?" Tanyanya dengan lirih, matanya menyipit penuh kecurigaan terhadap gadis yang kini menggunakan jubah hitam. "Mereka ingin bergabung, aku hanya menguji kesetiaan mereka," jawab Valerina dengan nada dan tatapan yang dingin. "Dengan cara membuat mereka saling membunuh? Itu sama kejinya dengan membunuh langsung!" Cecar Elixia, kini tatapannya tajam seperti berusaha masuk ke dalam pikiran Valerina. "Sssttt, sebaiknya kau diam... Mereka bukan dirimu yang bisa aku p
Beberapa menit sebelum kedatangan Flawless ke tempat pertarungan Riokusa dan Valerina... "Hahahaha," Valerina tertawa seraya memandang wajah Riokusa yang ditopang kedua tangannya. Dia menyimpan kepala Riokusa di tengah altar seolah persembahan untuk dewi kematian. Valerina kemudian mengambil dua buah lilin yang jatuh akibat pertarungannya, dengan perlahan dan presisi dia meletakannya di kedua sisi kepala Riokusa. Dengan tawa mengerikan menguar di udara dia merentangkan kedua tangannya, menyerap kabut hitam sisa-sisa hawa murni dari berandalan yang tewas. Dia pun pergi meninggalkan tempat ibadah kosong untuk kembali ke kuil sembilan dewa. Secepat bayangan dia melesat, meninggalkan jejak kabut hitam yang beterbangan ditiup angin malam. Sesampainya di depan tangga menuju kuil sembilan dewa, empat orang sudah menunggunya. Mereka adalah Carls, Dals, Zenia, dan Zenita, empat anggota dewan antar sekolah yang berkhianat. "Hahahaha, sudah berapa lama kalian menungguku?" Tanya Valerina, d
Ksatria berpakaian putih, berikat pinggang hitam turun dari langit. Dengan tekad dan semangat untuk berkorban, dia bertarung dengan dewi kematian. Walaupun mampu memberi kerusakan, namun pada akhirnya dewi kematian... "Sial... Lagi-lagi ada bagian tulisan yang seperti terhapus," gumam Livia, ketiga kalinya buku ramalan pemberian Eleana yang kini dia baca, memiliki paragrah tidak lengkap. Livia fokus pada kalimat "pakaian putih dan ikat pinggang hitam" yang mengingatkannya pada Riokusa. Entah kenapa hatinya terasa berdegup kencang, tangannya bergetar tak karuan. "Riokusa, apa yang terjadi padamu?" Tanya Livia dalam hati, sudah dua jam Riokusa belum kembali. "Kak Rio!" Seru Leona, tiba-tiba bangun dari tidurnya, membuat Livia terkesiap karena terakhir kali mengigau, nama Arthur yang Leona sebutkan. "Kau kenapa, Leona?" Tanya Livia, cepat. Dia segera melonjak ke tempat tidur Leona, terbuat dari batu alam, dilapisi seprai yang dibeli Riokusa siang tadi. "Entah kenapa aku merasa ada s
Riokusa teringat ucapan Livia untuk melarikan diri jika bertemu Valerina, matanya menatap ke sekeliling untuk mencari celah melarikan diri. Terpantau hanya ada dua jalan keluar, pintu masuk dan bubungan atap yang gentingnya telah dia buka sebelumnya. Valerina mengeluarkan gelombang kejut menggunakan hawa murninya, membuat pintu masuk tertutup dengan sendirinya. Diikuti suara besi penyangga pintu yang berputar 180 derajat, menahan pintu untuk dibuka dari luar. "Jika aku melompat ke atas sambil menggendong sebuah mayat, aku akan mudah diserang," gumam Riokusa, menyadari tidak ada cara lain selain menghadapi Valerina. Sementara itu, kabut hitam dari beberapa korban yang mati terus menerus terserap ke dalam tubuh Valerina. "Mau tidak mau, aku harus mengalahkan Valerina secepatnya sebelum hawa murni para korban habis terhisap," lanjut Riokusa, sadar dirinya terjebak dilema. "Hahaha... Kenapa kau diam? Tampaknya kau kebingungan karena tidak ada jalan keluar ya?" Sindir Valerina, tertaw
Riokusa menatap ke arah langit, pikirannya campur aduk. Menerima tawaran bekerja di perbatasan kota demi menjadi kuat, namun musuh yang dihadapi kali ini bukanlah alat latihan untuk menjadi lebih hebat. Apalagi, alam seakan tidak memberi restu padanya malam ini. Bulan hanya tampak bagaikan sabit, tidak ada satupun bintang yang bersinar di langit gelap. Mata Riokusa menerawang ke batu karang besar dekat air terjun yang seolah tidak lelah untuk mengalir. Sama seperti Arthur yang sedari tadi ditinggalkan sendiri di sana, masih setia duduk bersila. "Entah apa yang dipikirkannya," gumam Riokusa, dia pun menuju tempat Arthur saat ini berada. Siapa tahu, dia bisa sedikit mengurangi kebimbangan Riokusa. Sampailah dia di atas tempat Arthur termenung seorang diri. "Permisi... Bolehkah aku mengobrol sebentar?" Tanya Riokusa, Arthur menatap dengan ramah, senyum tersungging dari bibirnya. "Bolehkah aku titip padamu cara membuka pintu keluar masuk tempat ini?" Tanya Riokusa, membalas senyum Art







