"Abang mau apa? Apapun akan aku lakukan, asal Abang tulus memaafkan aku." Shamita berbalik, di tatapnya wajah suaminya itu dengan dalam.
Bara hanya diam mendengar ucapan istrinya. Tak berniat menjawab apalagi marah. Padahal ia ingin sekali melihat perlakuan lebih dari Shamita. Namun mulutnya seperti kelu meski hanya mengucap satu kalimat. Tatapan dalam yang diberikan Shamita membuat ia ragu untuk meminta lebih."Pergilah, aku mau istirahat."Hanya itu yang akhirnya terucap dari mulut Bara. Tatapan itu membuat jantung Bara berdetak lebih keras.***Istri mana yang tak sakit saat keberadaanya sama sekali tak dibutuhkan? Meski sudah berusaha agar tak lagi menangis. Shamita tetaplah gadis rapuh yang hatinya mudah sekali terluka.Dilihatnya sekali lagi wajah suami yang kini sudah memejamkan mata itu sebelum ia benar-benar keluar dari kamar. Rasa bersalah itu terus saja datang kala ia mengingat kejadian tadi pagi."Maafkan aku, Bang," ucapnya lirih hampir tak terdengar.Dengan langkah yang gontai dia meninggalkan kamar yang sama sekali belum ada kenangan indah di dalamnya. Padahal jika Bara meminta ia untuk menemaninya, sudah pasti ia akan menemani suaminya itu dengan ikhlas. Namun sikap bara yang acuh membuat Shamita bingung harus berbuat apa. Padahal, Shamita ingin sekali dirinya berguna sebagai istri.Di toko, Bu Sindi merasa ada yang mengganjal hatinya. Saat Shamita datang menemuinya tempo hari, dirinya selalu saja teringat Shamita. Terkadang ia merasa bersalah kepada menantunya itu. Alasan yang dulu ia berikan agar Shamita mau menikah dengan Bara, memang sedikit tak masuk akal.Bagaimana mungkin seseorang yang sama sekali tak dikenal bisa mampu merubah hidup seseorang yang begitu berantakan. Sedangkan dirinya saja tak mampu menasihati anaknya sendiri."Pak, apa kita izinkan saja Shamita untuk kerja kembali?" Bu Sindi bertanya kepada suaminya yang saat ini masih sibuk dengan pekerjaanya."Lho, emangnya kenapa, Bu? Apa nanti nggak akan jadi bahan omongan orang, kalau kita mempekerjakan menantu sendiri?""Kita beri posisi yang pantas untuk Shamita, Pak.""Bapak nggak setuju Bu. Shamita itu seorang istri, tidak pantas dan tidak elok jika dia yang bekerja. Seharusnya Bara yang mencari nafkah untuk Shamita.""Bukan begitu Pak, Ibu kasian saja sama Shamita. Sepertinya dia begitu tertekan menikah dengan anak kita, Pak. Paling tidak jika dia sibuk bekerja, dia sedikit ada kegiatan."Pak Indra nampak berpikir dengan ucapan istrinya. Dirinya juga sebenarnya memikirkan hal yang sama saat Shamita meminta kembali bekerja. Terlebih Bara, anak bungsunya itu belum juga terlihat perubahannya meski ia sudah menikah. Tapi, akan jadi apa nanti Bara. Jika orang lain melihat malah istrinya yang bekerja."Bu, apa kita nggak ngasih mereka modal saja untuk mereka memulai usahanya sendiri?" Pak Indra akhirnya memberi solusi."Oh iya, Pak. Kenapa aku nggak kepikiran kesana ya.""Yaudah, nanti kita ke rumah Bara setelah toko tutup ya, Bu."***Hari sudah berganti malam, sedangkan Bara sama sekali tak memangil atau menyuruh apapun kepada Shamita. Itu membuat Shamita khawatir akan kondisi suaminya.Dilepasnya mukena yang telah ia pakai untuk solat isya, dan dengan cepat ia beranjak menuju kamar yang kini ditempati Bara. Dengan perlahaan pintu itu ia ketuk, namun tak ada jawaban dari dalam. Dengan langkah yang gelisah ia memutuskan masuk meski tanpa seizin Bara.Dan betapa terkejutnya ia, saat mendapati suaminya terlihat begitu lemah terbaring dan menggigil."Bang, kamu demam?" Shamita menyentuh dahi Bara. Benar saja tubuh Bara panas.Shamita panik, bingung harus berbuat apa. Beruntung dalam kondisinya yang panik ada seseorang yang mengetuk pintu di luar.Dengan cepat gadis berhijab pashmina itu menyambar gagang pintu dan membukanya."Ibu, Bapak? Kebetulan sekali kalian ke sini," ucap Shamita dengan wajah yang sudah panik."Memangnya kenapa, Mita? Ada apa?" tanya Bu Sindi ikut panik."Bang Bara, Bu. Bang Bara demam tinggi."Tak bisa bicara lebih panjang lagi, Shamita langsung saja mengarahkan kedua mertuanya itu untuk menemui suaminya."Astaga, Bara." Bu Sindi nampak kaget melihat Bara seperti tak sadarkan diri karena menggigil."Bu, kita bawa ke rumah sakit.""Iya, Pak."Beruntung Pak Indra membawa mobil. Dengan susah payah ketiga manusia itu menggotong tubuh Bara yang cukup berat untuk menuju ke mobil."Bang, kamu harus kuat, Bang."Mobil melaju cukup cepat karena kondisi Bara yang begitu mengkhawatirkan. Shamita tak hentinya merapalkan doa agar suaminya itu bisa selamat. Bagaimanapun ini karena ulahnya yang ceroboh."Kamu tenang ya, Ta. Bara pasti bisa bertahan." Bu Sindi berusaha menenangkan.Mobil telah sampai di rumah sakit. Petugas medis langsung membawa Bara ke ruangan IGD untuk tindakan darurat.Shamita begitu cemas, tangannya terasa dingin karena terlalu takut akan hal buruk yang akan terjadi."Kalian bisa tunggu di luar." Seorang suster memberi arahan kepada Shamita dan juga mertuaku.Tak ada pilihan lain selain mematuhi aturan. Padahal saat ini Shamita ingin mendampingi suaminya. Namun demi keamanan ia harus mengalah pada peraturan rumah sakit."Mita, kamu yang sabar ya. Bara sudah sering seperti ini," ucap Bu Sindi.Shamita menoleh ke arah ibu mertuanya, menatapnya dengan rasa takut. Takut sekali jika Bara sadar akan menyalahkan dirinya, karena telah ceroboh memasakan udang untuknya."Bu, maafkan aku karena telah gagal menjaga Bang Bara." Suara Shamita bergetar seiring rasa takut yang mengelabui hatinya."Maaf untuk apa, Ta? Kamu nggak bersalah, namanya orang sakit kan nggak ada yang tau.""Aku—""Dengan keluarga Bara Atmaja?" Salah satu suster keluar menyebut nama Bara."Iya, saya istrinya Sus," sahut Shamita."Pasien sudah ditangani dan sekarang kondisinya sudah cukup membaik, dia mencari seseorang bernama Shamita. Apakah ibu yang yang bernama Shamita?" tanya Suster."Betul, Sus. Saya Shamita."Bu Sindi dan Pak Indra tersenyum samar mendengar Bara mencari Shamita. Dibalik musibah pasti akan menyimpan hikmah besar di dalamnya.Dengan langkah pelan, Shamita memasuki ruangan yang khusus digunakan untuk pasien darurat."Bang, ini aku Shamita, Bang." Air mata Shamita tak bisa dibendung lagi, melihat Bara yang kini berbalut selang infus. Dirinya selalu saja menyalahkan diri sendiri.Mata Bara perlahan terbuka, bibirnya sedikit menyunggingkan senyumannya meski sedikit sulit."Aku kira kamu pergi meninggalkan aku," ucap Bara dengan parau."Maafkan aku Bang, maafkan." Shamita terus saja menangis."Kenapa nangis?"Shamita tak menjawab, tangisnya malah semakin deras."Berhenti menangis, kalau kamu nggak mau aku marah.""Abang nggak marah?""Aku akan marah kalau kamu terus menerus menangis. Jadilah wanita kuat, jangan apa-apa nangis."Shamita merasa bersyukur karena Bara sudah kembali ke setelan awal. Baginya seperti ini lebih baik, daripada melihat suaminya sakit.***"Hey, will you marry me?" Tiba-tiba saja Irham membungkukkan badannya.Tangan Jihan sontak menutup mulutnya. Ya, ia terkejut."Jihan, jadilah istriku dan menikahlah denganku." Ucapan Irham selanjutnya membuat riuh sorak pengunjung taman memberikan tepukan penyangga. Terdengar suara riuh itu meneriakkam agar Jihan mau menerima lamaran Irham."Mas," ucap Jihan lirih. Antara bahagia dan tidak percaya jika Irham bisa melakukan hal seromantis ini."Terima ! Terima !" Suara itu berasal dari orang-orsng yang menyaksikan momen indah dua sejoli itu. Sementara Irham masih dengan posisinya berjongkok menunggu jawaban dari Jihan sembari mengulurkan sebuah kotak cincin berisikan cincin sederhana.Wanita cantik itu tersenyum, lalu mengangguk yakin. Ia menerima lamaran Irham dengan keyakinan yang besar.Grep!"Terima kasih," ucap Irham sembari memeluk Jihan. Lagi-lagi Jihan terkejut. Irham yang dingin, bisa-bisanya tanpa malu memeluk Jihan dalam keramaian."Mas, banyak orang loh," ucap Jihan sedikit
"Apa yang harus aku katakan jika aku serius dengan niatku?" Ucapan Irham membuat Jihan menghentikan akitifitasnya sementara. Jujur dalam hatinya ia senang mendapati Irham berbicara seserius itu. Tapi, tetap saja rasa percaya itu belum ada. Terlebih salama ini sikap Irham tak pernah menunjukkan gelagat jika ia mencintai Jihan."Mas, ada baiknya bicara hal seperti ini jangan di waktu jam kerja," sungut Jihan kesal."Oh baiklah, selepas kerja kita bicarakan ini lagi," ucap Irham tanpa beban.Entah kenapa sikap Irham jauh sekali berbeda dengan sikapnya dulu terhadap Shamita. Dia lebih cuek bahkan cara bicaranya lebih kasar dibanding dengan Shamita dulu yang lembut dan penuh kasih sayang. Ternyata patah hati bisa merubah hal apapun termasuk sikap seseorang.***Bara merasa tak tenang saat dirinya bekerja, meski ia sudah menitipkan istrinya kepada ibunya, tetap saja rasa khawatir itu ada. Meninggalkan istri yang tengah sakit keras membuat ia tak nyaman dalam bekerja. Pikirannya tentu saja
Bu Sindi terlihat shock mendengar jawaban dari Shamita. Tak pernah terbayangkan jika menantunya itu menderita penyakit yang berat."Kamu bercanda kan, sayang?" Bu Sindi masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar."Bu, tenang ya. Semua masih bisa diobati, Mas Bara hanya khawatir jika meninggalkan aku seorang diri di rumah," jawab Shamita."Bagaimana bisa tenang, itu penyakit berbahaya, Mita. Kenapa Ibu baru tahu? Katakan! Sejak kapan kamu sakit?"Bibir pucat Shamita tersenyum, betapa dirinya beruntung mendapati mertua yang begitu baik dan perhatian. Jauh sekali dengan bayangan mertua jahat yang sering ia baca di novel."Bu, aku tidak tahu tepatnya berapa lama. Hanya saja baru terdeteksi sebulan ini.""Astagfirullah Mita, terus gimana kata dokter?"Shamita diam. Hatinya bergejolak saat pertanyaan itu terucap dari mertuanya. Bukan tak mampu menjawab, hanya saja perkataan dokter mengenai dirinya akan sulit mendapatkan anak, menjadikan momok yang menyakitkan untuk ia ingat."Dokter bil
Sementara di sudut kota Kuala Lumpur. Seorang pria tetunduk lesu meratapi nasibnya yang kini sudah jauh dari kata beruntung. Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itu ungkapan yang pantas disematkan untuk Irham.Niat hati ingin melupakan Shamita ternyata tak semudah pergi dari negara asalnya Indonesia. Meski saat ini ia masih bisa bekerja dengan kondisi kaki yang sudah tidak lagi normal. Pikirannya tetap saja masih tertuju kepada sang mantan kekasih."Mas, makanan sudah aku taro di meja ya," ucap Jihan. Ia adalah teman baru Irham di tempatnya bekerja. Pertemuan yang tidak sengaja tempo hari membuat mereka akhirnya berteman."Hem," jawab Irham. Pikiran yang selalu saja tertuju kepada Shamita membuat dia selalu acuh dengan perhatian orang-orang yang di sekelilingnya."Mas Irham kenapa? Sakit?" tanya Jihan, tangannya refleks menyentuh dahi Irham."Aku nggak apa-apa," jawab Irham lemah."Mas, kamu cerita dong. Kenapa?" Jihan yang diam-diam menyimpan rasa terhadap Irham merasa begitu khawat
Shamita terdiam, melihat Bara yang sibuk sendiri mengurusnya, membuat dia memiliki ide yang mungkin akan membuat suaminya itu murka."Mas," panggil Shamita lagi."Iya, apa?""Bagaimana kalau kamu menikah lagi?"Deg!Dahi Bara mengerenyit kembali, rasanya istrinya ini sudah terlalu banyak bicara hal aneh semenjak ia sakit. Ingin marah, tapi istrinya tidaklah bersalah. Tapi ucapanya sudah sangat di luar batas."Apa yang kamu bicarakan? Apa menurutmu itu hal yang lucu?" tanya Bara dingin.Shamita terkesiap mendapati Bara menjawabnya dengan nada yang begitu dingin. Jelas sekali jika suaminya itu tengah marah."Bukan begitu, Mas. Aku merasa … aku sudah tidak mampu membahagiakan kamu, Mas. Tolong, jangan berpikir buruk. Ini, demi kebaikan kamu." Suara Shamita bergetar. Dirinya juga tidak menyangka jika ucapan itu bisa keluar begitu saja dari mulutnya."Mita, kenapa dengan kamu? Apa aku selama ini meminta sesuatu yang memberatkan kamu? Apa selama ini aku kurang memperhatikan kamu? Sungguh ak
"Mas, aku bukan sakit lambung. Aku … terkena kanker rahim stadium 1."Bagai dihantam deburan ombak yang besar, mata Bara membelakak penuh mendengar ucapan wanita yang kini menjadi istrinya itu. Tak percaya, Bara dengan cepat menggelengkan kepalanya."Jangan bercanda, Sayang. Ini sama sekali tidak lucu." Bara mencoba menangkis pikiran buruknya."Aku serius Mas," ucap Shamita datar."Tidak, tidak mungkin. Kamu itu cuma sakit perut, tidak mungkin ada hal-hal semacam itu. Jangan bercanda!" Bara masih menyangkal. Bukan tak percaya, tepatnya Bara terlalu takut jika hal itu benar terjadi"Mas! Aku memang sakit, jangan seperti ini tolong." Suara Shamita meninggi, dia sudah menduga jika Bara pasti tidak akan percaya. Apalagi saat ini cinta Bara begitu besar.Bara tertunduk lesu, jiwanya terguncang. Tidak pernah terbayangkan jika istrinya saat ini tengah sakit keras."T-tapi, bagaimana bisa?" Suara Bara terbata."Mas, ini takdir aku. Aku pun tidak tahu kenapa bisa penyakit ini menghampiri aku."