Semua mata menatap kepada Bara yang tiba-tiba saja menyelesaikan kegiatan sarapanya dengan cepat. Apalagi Shamita yang begitu heran, padahal Bara hanya diajak makan bersama keluarganya. Apa yang salah akan hal itu?"Bu, Pak, aku lihat Bang Bara dulu ya." Sebagai istri, Shamita merasakan perasaan yang tidak baik dalam diri Bara. Ia memang tak pernah tau masalah apa yang telah terjadi antara suaminya dan keluarganya. Bu Sindi mengangguk tanda mengerti. Ia lupa jika Bara sedikit ada masalah dengan kakak-kakaknya.Shamita mencoba mendatangi Bara ke dalam kamar. Ternyata suaminya itu sedang berdiri menatap jendela dengan tatapan yang entah kemana."Bang," panggil Shamita lembut. Bara menengok tapi ia kembali menatap ke arah jendela lagi."Kalau ada masalah, Abang boleh kok cerita," sambung Shamita."Kamu tidak perlu tau masalahku, tolong jangan ikut campur." Suara Bara datar, tapi begitu menohok di hati Shamita yang rapuh.Bahkan cara ia peduli saja, tak direspon baik oleh pria berstatus
Setelah kepulangan kedua mertuanya, Shamita kembali ke rutinitas biasa. Cucian kotor sudah menunggunya untuk segera dicuci, begitupun lantai yang berdebu sudah menunggu agar segera dibersihkan.Begitulah kehidupan ia saat ini, jika dibilang mebosankan mungkin iya. Tapi sejatinya seorang istri memang tak lepas dari pekerjaan rumah. Semua itu akan bernilai pahala jika kita ikhlas melakukanya.Tubuh kurus itu entah kenapa akhir-akhir ini terasa mudah lelah. Shamita mendudukkan tubuhnya di atas ayunan kayu yang berada di belakang rumah. Sembari meluruskan otot-otot yang terkuras karena pekerjaan yang begitu banyak, sesekali ia bermain ponselnya. Betapa terkejutnya ia saat ada pesan masuk dari seseorang yang sangat ia kenal. Tapi saat ini hampir saja ia lupakan.Ya, pesan itu dari Irham—mantan kekasih Shamita. Hampir saja Shamita lupa jika ia pernah menjalin hubungan dengannya. Selepas menikah dengan Bara, dirinya memang sengaja tak pernah lagi menghubungi Irham. Selain agar Irham tak lagi
Shamita duduk termenung, ditatapnya ponsel yang berada di tangannya. Pikirannya masih bergulat antara membalas atau tidak pesan dari Irham. Hatinya mengajak, tapi otaknya menolak.Andai saja saat ini Shamita bukan istri dari Bara, sudah pasti pesan itu langsung dibalasnya. Bagaimanapun ia juga merindukan sosok Irham yang selalu ada disaat kondisi terburuknya."Sedang apa kamu?" Suara Bara tiba-tiba membuyarkan lamunan Shamita."Abang? Sejak kapan di situ?" tanya Shamita gugup."Kalau ada orang nanya itu dijawab.""Maaf Bang. Aku hanya sedang menikmati udara segar aja di sini. Abang butuh sesuatu?" Shamita bangkit dari duduknya."Bikinin aku kopi! Inget gulanya nggak usah banyak-banyak. Kopi satu sendok, gula satu sendok.""B-baik Bang."Shamita bergegas membuatkan kopi pesanan Bara. Hatinya menghangat karena baru kali ini Bara berucap sedikit lembut saat menyuruhnya.***Setelah mendengar pernikahan Shamita, Irham seolah malas untuk melakukan sesuatu. Hatinya hancur menyisakan kepinga
"Bang, apa artinya kamu sudah suka sama aku?" Ucapan Shamita membuat Bara sedikit terkekeh, menampakkan gigi putihnya yang tersusun rapih."Maaf, aku salah ngomong, Bang." Shamita merasa malu, nyatanya pikirannya tak selaras dengan perbuatan Bara."Semua butuh waktu, tapi akan aku pastikan jika aku akan berusaha untuk itu.""Jangan memaksa Bang, aku tau itu tidaklah mudah."Shamita terpaksa harus menelan pil pahit, mungkin memang terlalu terburu-buru untuk dia menyimpulkan perasaan Bara hanya karena tindakan lembutnya."Malam ini, aku mau kamu ya." Bara semakin intens menatap wajah Shamita yang mungkin saat ini sudah terlihat seperti udang rebus."Mau apa, Bang?" tanya Shamita dengan polosnya. Tanpa jawaban lagi, pria bermata coklat gelap itu meraup wajah Shamita. Menjalankan kewajiban yang selama ini tak pernah dilaksanakan antara kedua sejoli itu. Cinta yang belum tumbuh bisa saja akan datang setelah kejadian malam ini.Tak pernah terbayangkan oleh Shamita jika dirinya akan menjad
KISML 12Bara duduk di bangku yang sudah tersedia untuk menunggu pasien diperiksa. Kegelisahan itu jelas nyata, khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk kepada Shamita, membuat pria beralis tebal itu tak tenang.Selang beberapa saat seorang suster keluar. Segera Bara bangkit menghampiri suster."Sus bagaimana dengan istri saya?" tanya Bara."Oh, anda suami dari pasien yang bernama Shamita?"Bara mengangguk."Anda sudah boleh menemui pasien.""Kalau boleh tau, istri saya sakit apa Sus?""Istri anda hanya mengalami asam lambung, tapi jika dibiarkan akan berbahaya, beruntung anda cepat membawanya ke sini."Ada sedikit kelegaan di hati Bara, kecemasan yang ia rasa beruntung bisa terjawab dengan informasi suster.Bara mendatangi ruangan di mana Shamita berada. Dengan langkah pelan, pria dengan rambut ikal itu menghampiri Shamita yang masih terkulai lemas."Bang Bara," ucap Shamita dengan lirih."Bagimana? Udah mendingan?" tanya Bara lembut. Matanya sedikit gugup melihat senyum Shamita yang
Bara merasa Shamita perlu tahu alasan kenapa dia bisa terjerumus di lubang maksiat itu. Semua berawal dari sikap ayahnya yang keras kepala, yang mengharuskan semua anaknya menjadi apa yang dia mau."Dulu, aku nggak akur sama Bapak. Bukan tanpa alasan, aku hanya tidak suka dengan cara Bapak mendidikku," ucap Bara pelan."Cara Bapak? Memangnya gimana cara Bapak? Aku lihat, Bapak baik kok, hampir nggak pernah marah," ucap Shamita berasumsi. Ya, selama ini Shamita mengenal Pak Indra adalah sosok pemimpin yang ramah dan juga tidak pernah marah terhadap karyawannya selama dia bekerja."Ya … untuk sebagian orang yang tidak tahu karakter Bapak yang sesungguhnya, pasti orang itu akan menilai jika beliau adalah orang baik dengan banyak kebaikan yang dia lakukan.""Lantas? Apa yang membuat Abang tidak suka dengan cara Bapak?""Bapak terlalu memasakan kehendak, aku menyukai musik. Tapi, kata Bapak, hobi aku itu hanya membuang waktu aku saja. Aku keras kepala, karena bagiku tidak ada yang bisa men
"Innalilahi wa Inna ilaihi roji'un."Suara itu terucap dari mulut Bara. Jelas saja hal itu mengundang tanya dari Shamita."Maksud kamu apa, Bang?" tanya Shamita terkejut."Mita, Nenek … sudah nggak ada," ucap Bara dengan lirih."Jangan asal kalau ngomong Bang!" Suara Shamita sudah bergetar, matanya menatap tajam ke arah Bara. Dengan lemas, tangan Shamita meraih tubuh neneknya yang kini sudah kaku. Rasa sedih itu jelas sangat tergambar di wajahnya. Air mata saja seolah tak cukup menggambarkan kesedihan dia kehilangan anggota keluarga satu-satunya itu."Nek, bangun Nek. Ini Mita datang jenguk Nenek." Shamita terus saja merancau, hatinya dan pikirannya belum bisa menerima takdir buruk yang kembali menerpanya."Shamita, yang sabar ya. Nenek kamu sudah tenang di alam sana," ucap Bu Sindi mencoba menenangkan Shamita. Dia sangat paham bagaimana rasanya ditinggal oleh orang yang sangat dicintai."Bu, Nenek cuma tidur. Lihat! Nenek sedang tidur!" Suara Shamita meninggi."Mita," ucap Bara. Deng
Pasca meninggalnya neneknya Shamita, Bara semakin menunjukkan sisi baiknya. Pria itu begitu gencar menghibur Shamita yang sedang lara. Meksi masih kaku, paling tidak dia berusaha membahagiakan istrinya.Sebulan sudah nenek Ratmi pergi, meninggalkan kenangan indah dan juga pahit. Seperti halnya kehidupan orang lain. Shamita juga memiliki kenangan bahagia bersama neneknya."Mau ngelamun terus?" tegur Bara lembut. Sudah sebulan ini hampir setiap hari Shamita melamun. Sudah pasti yang Shamita lamunin adalah neneknya, hatinya begitu kehilangan sang nenek yang sudah menemaninya semenjak kecil."Maafkan aku, Bang." Hanya itu kata yang keluar dari mulut Shamita."Gimana kalau kita ke toko Ibu? Biar kamu nggak suntuk, dan … kamu juga bisa sekalian bertemu teman-teman kamu." Bara memberi tawaran.Ucapan Bara ada benarnya juga, Shamita yang melihat kegigihan Bara untuk menghiburnya merasa tak enak hati jika harus menolak tawaran itu."Abang, nggak keberatan kita main ke sana?" tanya Shamita meya