Melepaskan mu, rasanya aku asing dengan itu, karena secuil pun aku tidak pernah memikirkan itu apalagi sampai melakukannya.
... "Kamu itu harus bersyukur dapat suami kayak Angga, lagian pelakor itu kan tidak di nikahi oleh suami mu, anaknya pun tidak berada di sini masih dengan ibunya, jadi kamu aman gak usah berlagak minta cerai." Suara ibu Alina kembali terdengar, orang tua alina berkunjung ke rumah mereka karena ingin melihat kedua cucunya. Sementara Angga menemani ayahnya di ruang tamu. Alina menyampaikan maksud ke inginannya untuk bercerai dengan angga kepada sang ibu, Alina ingin sekali bercerai dengan Angga namun na'as semuanya kembali sia-sia. "Nggak usah aneh-aneh, anak kamu udah dua, kamu nggak kerja, nggak punya tempat tinggal, kamu tau sendirikan rumah ibu kamarnya sudah full, tidak ada kamar lagi yang bisa kamu tempati jika seandainya kamu tinggal dengan ibu, sudahlah kamu tidak akan bisa apa-apa tanpa angga lina jadi jangan betingkah." "Banyak wanita yang ingin berada di posisi kamu, seharusnya kamu banyak-banyak bersyukur dan sadar diri. Kamu lupakan saja kesalahan suami kamu itu dan bertahan saja lebih baik. Jangan jadi wanita bodoh yang dengan mudah meninggalkan laki-laki sesempurna angga lin." Alina mengerjap, tangannya meremas baju miliknya dengan kuat untuk melampiaskan rasa sakit yang kini menusuk relung hatinya yang paling dalam. Sakit yang tiada batasnya, ia kembali mendapat kan wejangan yang mampu membuatnya semangkin merasa tidak berharga dan tidak bisa apa-apa. "Suami mu sudah banyak membantu kami, memberi kami uang setiap bulan, memberi kami hadiah, membiayai pengobatan bapak kamu, kurang apa dia?, cuma karena dia tidur dan memiliki anak dari wanita lain, kamu sudah mau cerai. sudah gila kamu lina?." Cuma??? Hanya cuma??? Alina tersenyum miris, Bagaikan kaca yang pecah hatinya sudah tak berbentuk , remuk dan hancur. Tidak ada yang memihaknya sama sekali. semua orang menghinanya, alina tau dirinya memang tidak punya kerjaan ia juga tidak punya rumah, alina faham semua itu. Tapi apakah pantas ibu kandungnya, Ibu yang melahirkannya ke dunia ini menghinanya seperti itu. Alina sekarang tau dan faham jika ibunya tidak ingin dirinya tinggal dengan mereka, ibunya tidak mungkin mau menampungnya yang pengangguran ini dan tak punya apa-apa seperti untuk dirinya berikan seperti angga memberikan banyak uang untuk mereka. "Lupakan saja pikiran bodoh itu, jangan sampai kamu bercerai dengan angga, atau kamu bukan anak ku lagi karena sudah gak mau dengar ucapan wanita yang telah melahirkanmu ini, wanita yang membesarkan mu sampai sebesar ini. Berbaktilah sedikit lina" Tangisan Alina pecah saat ibunya keluar dari dalam kamar dirinya, ia menutup mulutnya dengan rapat menahan Isak tangis yang sedari tadi ia tahan. Ya tuhan kenapa semua orang tega padanya. Tidak bisakah mereka melihat sakit yang di derita anaknya saat ini?, Kenapa tidak ada satu pun yang memahami posisi nya. ..... Semangkin hari rasanya angga tidak mengenal istrinya, Alina memang sudah bisa tersenyum, tidak menolak pelukannya atau pun kecupan di keningnya saat ia akan berangkat dan Sepulang kerja. Ia senang, tentu saja, tapi angga merasa jika apa yang istrinya tampilkan terlihat palsu. Ia tidak menemukan binar kebahagiaan di mata wanita itu, wanita yang mendampingi dirinya Sinar mata cahayanya meredup, tidak seterang dulu. "Kamu mau sesuatu?." Alina menggelengkan kepalanya, saat ini mereka berdua sedang ada di acara pernikahan rekan bisnis angga. Nafsu makannya memang masih sangat miris saat ini, belum bisa kembali seperti semula sebelum kehancurannya terjadi Tidak heran jika banyak yang mengomentari dirinya semangkin kurus, tapi jangan salah justru Alina semangkin terlihat seksi karena lekuk tubuhnya yang terlihat ramping saja "Mbak Alina". Alina menoleh mendengar sumber suara tersebut, di tatapnya wanita yang menyapanya tadi. "Eh hai apa kabar?." Tanya Alina dengan senyum terpaksa. Angga melebarkan matanya melihat Gemilang mendatangi mereka, wanita itu tidak menghiraukan ucapan dari angga yang memintanya untuk tidak hadir di acara ini. "Baik mbak, Alin juga baik bukan begitu mas?." Ucap gemilang. Alina mengangkat sebelah alisnya, "Alin?, siapa Alin..?." "Oh apa mas angga tidak memberi tau mbak lina kalau nama anak saya dengan mas angga bernama Alin." Ujarnya dengan menghiraukan tatapan Angga. "Wah benar kah mas?, Namanya sungguh sangat indah." "Lina sayang, kamu gak mau minum dulu?." Ucap angga mengalihkan pertanyaan. "boleh mas, aku juga haus. Entah kenapa hawanya mendadak panas." Ucapnya dengan menatap remeh Gemilang. Angga pergi meninggalkan Alina dan Gemilang, melangkah mengambil minum untuk istri tercintanya. "mbak harus mengizinkan mas angga untuk menikahi ku." Ujar gemilang membuka pembicaraan di antara mereka. "Oh ya, siapa kamu mengatur saya?." Alina bersikap tenang, ia berusaha mungkin untuk tidak terpancing emosi. "Ya karena mas angga tuh bosan sama mbak lina, terlebih lagi ada Alin di tengah-tengah kami." Jawab Gemilang menatap alina tajam. "Silahkan kamu menikah dengan dia, tapi jangan mimpi nama suami saya tertulis di dalam akte lahir anak kamu." Alina tersenyum miring melihat wajah gemilang yang sudah memerah. "Biarlah dia tau, jika dirinya di ciptakan hanya karena sebuah kesalahan." Sambungnya kembali dengan menepuk-nepuk pipi gemilang. "Cukup, Kau keterlaluan mbak!." Teriak gemilang, Seluruh tamu memperhatikan perdebatan mereka, begitu pun angga yang berjalan tergesa-gesa menghampiri kedua wanita tersebut "Berteriak lah sekuat mungkin gemilang, hingga dunia tau jika kau tidak lebih dari penghangat ranjang suamiku." Bisikan-Bisikan para tamu terdengar, mereka tidak menyangka jika bos mereka yang terkenal bucin kepada sang istri terlibat asmara dengan sekretarisnya sendiri. "Saya kira pak angga setia..." "Gila istrinya cantik layaknya bidadari masih bisa di selingkuhi.." "kasian bu alina, kurang cantik apa ya bu lina..." "Udah gue duga kalau gemilang itu perempuan gatel." Masih banyak bisikan-bisikan terdengar, Angga menarik tangan istrinya dengan kencang, hingga alina terhuyung ke belakang. "Cukup lina, apa-apaan kamu ini?." Teriak Angga. "Kenapa mas?, kau sekarang berani meneriaki ku di depan umum mas?, hanya karena wanita ini." Ucapnya dengan senyum sinis. "Kau sungguh keterlaluan, bisakah tidak membuat keributan sebentar saja?." Ucap Angga dengan nyalang. "Baik lah, Silahkan berbahagia dengan Calon istrimu itu mas." Alina berbalik keluar meninggalkan ruangan itu, air matanya mengalir begitu saja. Ternyata Alina tidak sekuat yang dirinya duga, air mata itu tetap saja mengalir. Angga mengusap wajahnya dengan kasar, "Apa yang kalian lihat, bubar sekarang juga, bubar." Teriaknya menatap mereka satu persatu. Gemilang berlari memeluk Angga, ia menangis di dalam pelukan pria itu. "Maafkan aku mas, aku hanya ingin lebih dekat dengan mbak lina, aku kira mbak lina bakal nerima aku dengan baik, maaf kan aku mas." Ucapnya dengan Isak tangis. Angga mengusap pucuk kepala gemilang, "tidak apa, seiring berjalannya waktu alina dan anak anak pasti bisa menerima kamu dengan baik."Aiina menyalahkan ponselnya dan melihat beberapa panggilan tidak terjawab dari guru devan dan david, bram dan Rizky. "Astagfirullah, bagaimana kabar anak anak melihat papanya terluka?, kamu benar-benar pikun alina." Panik alina mengkhawatirkan kedua putranya yang saat ini tinggal bersama angga mantan suaminya. "Tidak-tidak, tidak mungkin aku menghubungi mereka. Bagaimana jika devan dan david marah padaku." Guma alina saat akan menekan panggilan pada nomor ponsel devan. Alina menghubungi angga bram meminta maaf karena meninggalkan perusahaan tiba-tiba. Alina tau perbuatan nya sangat tidak sopan, tapi alina tidak sanggup melihat tatapan semua orang yang sudah pasti mencemooh dirinya. "Alina kamu di mana sekarang?, kamu gak papa kan?." Tanya bram dengan nada khawatir saat mengangkat telpon dari alina. "Aku gak papa bram, maaf karena pergi tanpa pamit tadi." "Aku gak papa bram, Maaf ya tadi aku pergi tanpa pamit." "Aku datang ke kost mu, tapi kamu gak ada di salah lina. Di
"Terimakasih aku harap kerja sama ini berjalan dengan lancar." Sahut Angga menjabat tangganya bram. Bram hanya menganggukkan kepalanya dan melangkah pergi, Angga langsung menghampiri alina dan menggenggam pergelangan tangannya. "Lepaskan tangan saya tuan Angga" Ucap Alina dengan menekan kata-katanya. "Kamu akan menyesal lina, karena sudah bertindak sejauh ini. Akan aku pastikan kehidupan mu tidak akan menemukan titik bahagia." Alina terkekeh pelan dan tersenyum begitu manis menatap Angga. "Teruslah mengancam hingga anda lupa bagaimana cara menikmati hidup, bukan kah seharusnya anda bahagia tuan karena berhasil menikah dengan jalan anda. Pastikan dulu kehidupan anda bahagia tuan sebelum mengancam orang lain, Dan anda harus pastikan apakah ke dua putra putra ku sanggup bertahan dengan anda." Ucap alina dengan menyentak tangan angga. "Kau." Emosi Angga semangkin meluap mendengar ucapan dari mantan istrinya itu, Angga tidak menyangka karena Alina berani mengatakan itu kepadany
"Ahh." Desisnya refleks ingin memeluk leher dewa, tapi itu tidak bisa gemilang lakukan karena ke dua tangannya di kunci tepat di atas kepala oleh dewa. Tangan dewa mulai terulur untuk meraba, memelintir ujungnya, kemudian memerasnya. Dewa pun tidak tahan untuk segera merasakan ujung ujung berwarna pink itu lalu memasukkannya ke dalam mulut. "Papa." Desis Gemilang seraya menekan kepala dewa, meminta ayah mertua untuk semangkin liar memainkan kepunyaan nya itu. Hingga ke duanya tidak memiliki tenaga untuk melanjutkan nya kembali, entah sudah berapa ronde keduanya melakukan pekerjaan menyenangkan itu ---- Bram dan alina baru saja kembali ke perusahaan dan mendapat laporan dari pihak resepsionis jika Angga sudah menunggu di ruang meeting. Saat di dalam lift bram mengambil tangan kanan alina dan mengusapnya dengan perlahan. "Angkat kepalamu lina, jangan pernah menunjukkan wajah takut ataupun panik di hadapannya. Aku yakin kamu bisa, sekarang kamu sudah menjadi dirimu sendiri
" Kenapa kak rizky suka sekali menuduh orang sembarangan, mana mungkin bram suka sama janda seperti ku, terlebih lagi kami sahabat dari kecil." Bram mengumpat di dalam hati, Karena rizky membuat hubungan nya dengan alina menjadi semangkit sulit. Bram yakin setelah ini alina kembali membatasi interaksi dengan nya lagi kerena tidak ingin mereka menyalahkannya arti kedekatan mereka. "Aku ke toilet sebentar," Pamit Alina kepada bram. "Gak usah ikutin aku, aku bisa sendiri kok." Sambungnya kembali saat melihat bram bangkit dari tempat duduknya. bram menatap kepergian alina dan menghampiri sahabatnya itu. "sejak kapan kau jadi banyak bertanya rizky, Kau membuatku dalam masalah. Kau tau sejak lama aku menyukainya dan menunggu dirinya menjadi seorang janda, kau malah mengacaukan segalanya" "Apa?." Kaget Rizky. "seharusnya aku tidak memanggilmu tadi, dan lagi jangan mengacaukan segalanya rizky." Ujar bram penuh penekanan. Alina merasa heran saat kembali dan melihat Bram dan Rizk
Alina kembali melamun setelah mendapat telpon dari perusahaan mantan suaminya, Alina tidak menyangka jika angga mau bekerja sama dengan bram dan ini semua cukup membuat alina takut. "Harus bagaimana aku menghadapi semuanya nanti, Aku sangat yakin angga pasti akan kembali membuat drama?." Guma alina dengan menurut wajahnya dengan ke dua tangan miliknya, Bram yang akan melangkah pergi makan siang, menghampiri alina yang terlihat tidak baik baik saja. "Alina kau sakit?." Tanya bram dengan nada khawatir. "tidak aku hanya sedikit mengantuk bram," Jawab alina yang langsung mengubah mimik wajahnya. Bram tidak percaya begitu saja, dan dirinya berusaha menelisik wajah alina yang terlihat sangat cemas. "Apa ini karena pertemuan kita nanti siang?, kamu tenang saja angga adalah pria yang profesional saat bekerja, justru angga yang akan sangat terkejut jika melihat mu berada di sana sebagai sekertaris pribadiku." "Aku hanya takut masalah rumah tangga ku akan membawa dampak buruk bagi Pe
Devan menatap layar ponselnya dengan tatapan sulit di artikan. Entah kenapa Devan tidak sanggup untuk mengatakan kepada ibunya tentang apa yang ia lihat tadi, Dirinya tidak ingin membuat ibunya kembali sakit. "Sekarang aku semangkin yakin jika keputusan mama dan papa bercerai itu sudah keputusan yang tepat." gumanya di dalam hati. "Apa mama tidak mengangkatnya kak?." Tanya david menatap kedua mata sang kakak. David menggelengkan kepalanya, ia beranjak dari kursi yang saat ini ia duduki. " yuk sebaiknya kita masuk kelas saja. Mama juga lagi banyak kerjaan." Wajah david berubah menjadi murung, dirinya berjalan dengan cepat melangkah duluan meninggalkan sang kakak dengan perasaan kesal. Devan menghela nafas, berusaha menetralkan detak jantungnya, mencoba menghilangkan bayang bayang pengkhianat yang telah di lakukan sang papa kepada mamanya. Sang guru menatap wajah kedua anak itu dengan heran, melihat wajah murung muridnya yang berjalan memasuki kelas. "Ada apa sayang?, kenap