Kakakku keterlaluan. Suami adiknya sendiri digoda! Tega mereka bermain di belakangku.Marah. Kuraih pisau di atas meja dengan tangan kanan. Lalu bangkit menarik kaos ketat bagian belakang milik Mbak Wenda menggunakan tangan lain. Wanita yang baru beberapa langkah memunggungiku itu hampir terjengkang. Namun, cepat kudorong tubuhnya ke dinding.Kuacungkan pisau ke wajahnya."Dasar jalang! Lacur! Beraninya kamu menggoda suamiku!""Ah ... ampun, Ri. Maafkan aku!" Mbak Wenda berteriak ketakutan. Tak bisa mengendalikan emosi, mataku mencari bagian tubuh untuk menancapkan pisau. Sekali hunus ke dadanya wanita ini pasti akan mati.Akhirnya pisau kuayunkan hingga menusuk dada Mbak Wenda yang selalu diperlihatkan searuhnya pada sebagian orang. Darah mengucur deras, setelah kembali berteriak kesakitan suaranya tercekat. Mataku melebar, terkejut tak percaya bisa membunuh orang, akhirnya kakakku mati di tanganku sendiri."Ehem." Mas Rayyan berdehem, yang membuatku terhenyak dari lamunan.Sementar
Mas Revan datang dengan senyum mengembang ke luar dari mobil sport putih. Lelaki setampan dan sekaya dia pasti lah banyak yang klepek-klepek di luar sana. Aku bahkan tak yakin jika hanya kakakku saja yang jadi selingkuhannya."Hai, Mas." Aku tersenyum manja menyambut pria yang mengenakan kemeja rapi itu.Mas Revan tersenyum manis. Dengan pesona seperti itu, mana mungkin ada perempuan yang menolak? Sedang aku, dulu juga terpesona karena ketampanan di samping kebaikan hatinya.Bau harum parfum maskulin menguar saat aku memeluk tubuh Mas. Biasanya tak pernah kupamerkan kemesraan seperti ini di depan orang lain. Namun, sekarang aku perlu membuat Mbak Wenda kejang-kejang meski ia pura-pura tak ada apa-apa antara mereka."Kalian baik-baik, ya. Jangan mudah tersulut emosi. Apalagi kalau hanya karena gosip atau prasangka," nasehat Mbak Wenda seolah dia wanita paling baik di dunia ini."Iya, Mbak," jawabku. Kentara sekali tatapan Mas Revan pada Mbak Wenda. Bukan hanya terbius cinta, tapi matan
Kubuang sachet ke dalam bak sampah yang berada di sebelah rak piring. Bungkus bertuliskan psikedelik membuatku memikirkan sesuatu. Kuharap efek dari obat itu akan membuat Mas Revan bisa meninggalkan Mbak Wenda.Aku mengembus berat untuk membuang rasa sesak di dada. Entah, kenapa yang tadinya begitu muak pada Mas Revan dan bulat akan mengurus perceraian, justru sekarang merasa tak rela. Mbak Wenda tidak boleh terus semena-mena pada siapapun.Pantas saja beberapa bulan terakhir, Mbak Wenda tak lagi menanyakan uang atau pun berhutang. Rupanya dia mendapatkan lebih dari Mas revan. Yah tentu saja. Jika dia harus mendengar keluhan dan ceramah dulu sebelum dapat uang dariku, maka hanya dengan merayu atau memberi sentuhan untuk Mas Revan Mbak Wenda langsung bisa mengantongi uang.Lagi, kuusap kasar air mata yang menetes entah sejak kapan. Semua telah terjadi. Dan sekarang tugasku adalah menghancurkan hubungan mereka sebelum mereka menghancurkanku.Buru-buru kubawa gelas ke kamar. Kembali pada
Sedang asik menyusun berkas-berkas penting yang akan aku urus ke notaris, ada suara getaran dari bagian tubuh Mas Revan. Dahiku mengernyit memikirkan benda apa itu? Saat mendekat dan memeriksa, rupanya suara itu berasal dari kantongnya. Ah, pasti ponsel. Benar saja. Kurogoh benda pipih tersebut tanpa perlawanan dari Mas Revan. Coba saja kalau sadar mana mungkin dia mengizinkanku mengambil benda tersebut?Selama ini bahkan aku tak peduli siapa yang dihubungi. Lelaki sebaik suamiku tak akan membuat sang istri curiga.Tampak di layar sebuah nomor baru. Penasaran, kuangkat panggilan tersebut. Aku sengaja diam agar tahu siapa peneleponnya."Hallo." Lembut suara seorang wanita. Apa itu suara Mbak Wenda?"Van? Hallo? Van kok gak dijawab, sih. Udah ditransfer belum?" Wanita itu akhirnya bicara agak lama. Dari situ aku tahu persis itu suara Mbak Wenda.Heh! Jadi gini. Dia tak memasang foto kontak dan memakai nomor lain untuk mengelabuiku.Tak ingin orang di ujung telepon curiga, kumatikan pon
Kuraih ponselku sendiri saat berdering."Ya, hallo.""Assalamualaikum. Ri, gimana?" ucap Gita di ujung telepon."Waalaikumsalam. Apanya yang apa?" Heran saja baru diangkat langsung tanya gimana?"Soal obat yang kamu campur ke minuman suamimu? Bekerja dengan baik?" Gita menjelaskan maksudnya dengan gamblang."Oh, iya, Ta. Alhamdulillah.""Alhamdulillah. Kamu harus manfaatin moment ini bener-bener. Karena obat itu gak gampang dapetinnya karena gak dijual bebas." Gita menjelaskan bagaimana ia dapatkan obat tersebut. Dia yang bekerja sebagai apoteker tahu betul keperluanku. Bagaimana obat itu bekerja. Dan tak segan pula, berkorban untuk mendapatkannya."Ta, tapi aku kok merasa bersalah, ya. Itu Mas Revan bakal sampai kapan kaya gitu. Jujur aku takut dosa. Walau bagaimana dia kan masih suamiku." "Nah, nah. Mulai deh bucinnya. Kamu jadi bucin kek yang udah-udah bakal nyengsarain diri kamu sendiri. Sekarang, noh nyatanya di belakang kepolosan dan kebucinanmu, suami dan kakakmu bebas main-
"Mas ini malem banget, lho. Emang Mbak Wenda ke mana? Masa perempuan malam-malam kelayapan?" ucapku pura-pura tak tahu dengan mulai ember memprovokasi.Aku perlu mempengaruhi otak Mas Rayyan agar sedikit lebih pinter, dengan cara halus. Tak ada gunanya grasak-grusuk menembak ke intinya dengan mengatakan, kalau dia laki-laki bodoh yang sedang dikibulin sang istri.Aku ingin penderitaan yang Mbak Wenda dan Mas Revan alami sempurna. Salah langkah hanya akan menghancurkan rencana keseluruhan yang sudah kususun dengan rapi."Iya, dia tadi siang izin ke luar kota, Ri." Mas Rayyan masih memperlihatkan ekspresi panik."Lain kali Mas sebagai laki-laki jangan lembek sama istri. Masa iya istrinya pergi ke luar kota tanpa alasan jelas diizinin aja. Lah sekarang Mas sendiri yang repot.""Iya, Ri. Kalau bisa ceramahnya nanti saja. Kasian Wenda ini." Mas Rayyan mengucap terus terang. Argh! Gemes. Ingin sekali kupukul pria di depanku ini supaya mau mikir. Orang lagi ngasih tahu, malah dibilang ceram
Kami bertiga akhirnya pulang. Dengan Mbak Wenda naik mobil bersamaku. Sementara Mas Rayyan naik motor sendiri."Apa ini? Benyek-benyek." Mbak Wenda merasa ada yang tak nyaman, ketika pantatnya mendarat di kursi mobilku.Aku menyembunyikan senyum menahan tawa. Rasakan itu Mbak."Oh, Mbak .... itu saos super pedes. Belum sempet kubersihin tadi!" Aku berseru pura-pura menyesal.Tentu saja aku senang. Sengaja sebelum keluar menyusul Mbak Wenda, kuambil saos buat dibawa ke kafe dari box di garasi. Untung aku pilih pedas level dewa. Emang enak? Haha."Mana tembus lagi, Ri ... ke dalamanku. Ya ampun. Perih."Bagus semoga kena itu-mu juga Mbak! Barang murah dan busuk yang kamu jajakan pada suami orang."Lagian Mbak kenapa malam-malam gini pake rok sependek itu? Untung gak diculik dan diperkosa orang." Aku cari celah menyalahkannya. Lagian tukang selingkuh sepertinya bukannya justru senang diperkosa orang?"Em, kan niatnya gak sampai malam, Ri. Sebentar ketemuan temen trus pulang. Eh, malah te
"Udah Ri, jalan. Kita ke rumahmu. Oke?" Mbak Wenda menutup pintu mobil tanpa peduli pada suaminya yang berdiri seperti orang bodoh.Entah di mana hati mbakku itu? Suami sudah baik, datang jauh-jauh karena khawatir padanya, malah dibalas seperti itu."Oh, maaf Mbak. Aku banyak urusan, nih. Mau langsung ke kafe," elakku. Ya lah. Gawat dong kalau dia maksa ke rumah dan mendapati Mas Revan yang masih linglung."Huft!" Mbak Wenda meniup berat. "Ya udah kan gak papa, aku istirahat aja di rumahmu, Ri. Aku males ketemu laki-laki tak berguna itu.""Lho ... gak bisa dong, Mbak. Kan di rumah ada Mas Revan. Masa Mbak mau berduaan sama dia?""Lho emang kenapa?" tanya Mbak Wenda. "Kenapa?" Aku menyipitkan mata ke arah kakak perempuanku itu. Sebenarnya aku tahu, Mbak, kamu udah terbiasa wik-wik sama suamiku. Jadi bebas saja kalau mau berduaan tanpa aku. Tapi tidak lagi untuk sekarang. Semua sudah terbongkar dan aku tak akan membiarkanmu menikmati perzinahan kalian."Em, ya gak papa, kan. Ri? Emang