Share

Membalas dengan Cantik

Kakakku keterlaluan. Suami adiknya sendiri digoda! Tega mereka bermain di belakangku.

Marah. Kuraih pisau di atas meja dengan tangan kanan. Lalu bangkit menarik kaos ketat bagian belakang milik Mbak Wenda menggunakan tangan lain. Wanita yang baru beberapa langkah memunggungiku itu hampir terjengkang. Namun, cepat kudorong tubuhnya ke dinding.

Kuacungkan pisau ke wajahnya.

"Dasar jalang! Lacur! Beraninya kamu menggoda suamiku!"

"Ah ... ampun, Ri. Maafkan aku!" Mbak Wenda berteriak ketakutan.

Tak bisa mengendalikan emosi, mataku mencari bagian tubuh untuk menancapkan pisau. Sekali hunus ke dadanya wanita ini pasti akan mati.

Akhirnya pisau kuayunkan hingga menusuk dada Mbak Wenda yang selalu diperlihatkan searuhnya pada sebagian orang. Darah mengucur deras, setelah kembali berteriak kesakitan suaranya tercekat. Mataku melebar, terkejut tak percaya bisa membunuh orang, akhirnya kakakku mati di tanganku sendiri.

"Ehem." Mas Rayyan berdehem, yang membuatku terhenyak dari lamunan.

Sementara di ujung ruangan, Mbak Wenda memasuki kamar dan menutup untuk menjawab panggilan.

Aku mendesah. Selera makanku sekarang lenyap gara-gara melihat kontak dengan foto suamiku menghubungi Mbak Endah. Jika dugaanku benar, ini adalah hal paling gila yang pernah kutahu di dunia ini.

SUAMIKU BERSELINGKUH DENGAN KAKAK KANDUNGKU.

Ya Tuhan, kejadiannya sungguh mirip di sinetron yang tiap hari ditonton oleh Mbak Nung, PRT-ku.

Seperti di sninetron juga ingin sekali kulabrak perempuan yang sudah banyak kubantu materinya itu. Kalau perlu kubunuh! Tak masalah masuk berita kriminal.

"Huft!" Kubuang napas kasar karena sangat kesal.

"Hem, ada masalah?" Suara Mas Rayyan membubarkan lamunan. Tak sadar tanganku menggenggam keras sendok dan menekannya di atas meja dengan menyipit ke arah ruangan di mana Mbak Wenda bicara dengan priaku, hingga buku-buku tangan memutih.

"Oh?!" Tentu saja aku terhenyak kaget.

Sabar Ria, kamu tidak boleh gegabah dan berpikir jernih. Menghadapi Mbak Wenda yang mulutnya lebih pedes dari Bu Tedjo, tidak mungkin bisa dilakukan sekarang. Yang ada akulah yang habis dicincang dengan kata-katanya.

Aku melirik pada Mas Rayyan yang kembali makan lahap di seberang meja. Apa memang ada laki-laki ada yang sepolos dan sebodoh dirinya? Bisa dikerjai sang istri dengan mudah. Bukan hanya ditipu tapi dibentak-bentak di depan orang lain seperti tadi?

Bicara tanpa bukti pada Mas Rayyan juga tak mungkin. Lihat saja pria yang diremehkan istrinya itu. Dia terlalu penurut dan lemah, hidupnya berada di bawah kendali Mbak Wenda. Kalau pun kubongkar sekarang yang ada dia bakal belain bininya.

Mbak Wenda sungguh keterlaluan. Wanita judes dan sok selalu benar sepertinya, ternyata mampu menusuk adiknya sendiri dari belakang. Sungguh munafik kau, Mbak!

Tadinya setelah tahu Mas Revan berselingkuh, aku berniat pergi dan tak kembali. Tapi kalo caranya begini, gundik suamiku adalah Mbak Wenda kakak kandungku sendiri, sepertinya aku harus mengubah rencana. Mereka harus diberi pelajaran.

"Kamu sakit, Ri?" Mas Rayyan kembali mengagetkan.

"Ah?" Aku kembali sadar dan menatap ke arahnya.

"Kamu nangis?" tanyanya kemudian. Ternyata air sudah memenuhi pelupuk mata. Aku mendongak ke atas agar cairan itu tak lolos.

"Huft!" Kupejamkan mata sebentar. Menetralisir rasa sakit yang bukan hanya membuatku sesak lebih dari sebelumnya, tapi juga membuat wajah dan mataku panas.

Awas kamu Mas, Mbak!

Jadi orang baik justru kalian injak-injak. Mungkin memang kalian menginginkanku berubah jadi jahat. Lihat saja nanti.

Tak lama, Mbak Wenda ke luar dari kamar. Kembali bergabung ke meja makan. Dia bergerak seolah tak terjadi apa pun. Aku harus menekan rasa sakit dan berpura-pura mengikuti permainannya sekarang.

"Makan yang banyak, Ri." Wanita dengan lipstik merah menyala itu mengucap. Dasar binal!

"Ya." Aku menjawab pelan.

"Makan yang bener, Mas. Jangan jatuh-jatuh gitu!" Suaranya kini meninggi melirik pada Mas Rayyan.

Ini terlihat janggal. Sejak kapan Mas Rayyan jadi lembek begitu? Apa sejak di PHK dan sekarang jadi pekerja kasar?

"Oh, maaf." Mas Rayyan meraih tissue dan me-lap kuah sayur yang menitik di meja.

Mbak Wenda berdecak. Lalu mengalihkan pandangan ke arahku.

"Jadi apa rencanamu, Ri?" tanyanya kemudian.

"Aku?"

"Hem."

"Aku sepertinya harus minta maaf pada Mas Revan, Mbak." Yah, aku yang tadi mau minta dukungan Mbak Wenda mengurus perceraian berubah haluan.

"Wah, bagus. Kamu memang harus minta maaf padanya!" Wajah Mbak Wenda berbinar.

Aneh. Harusnya dia sedih. Kalau memang menginginkan Mas Revan kenapa tidak memintaku menceraikannya, dengan begitu mereka bisa bebas.

"Hem. Oya Mbak. Apa Mas Revan ada ngubungin, Mbak?" tanyaku sok polos.

"Ngubungin aku?" Dia tertawa kecil. "Untuk apa?" Mbak Wenda berkelit.

Heh. Dasar jalang! Mas Rayyan mungkin bisa kamu bodohi, Mbak. Tapi tidak dengan adikmu ini. Kita tinggal seatap lebih dari lima belas tahun. Aku tahu persis kapan kamu memasang topeng dan berdusta.

"Em, tadi apa aku salah lihat, ya. Nomor Mas Revan tadi muncul di layar ponsel, Mbak."

"Hah?" Mbak Wenda mulai pucat. Namun, sejurus kemudian dia kembali bersuara. "Ahya, Ri. Aku lupa, em ... e ... dia nanyain kamu."

Mataku menyipit ke arahnya. "Nanyain?"

"Iya, Revan ngubungi kamu dari semalam. Tapi ponselmu gak aktif. Katanya kamu blokir dia. Dia tadi malam juga ke sini nyariin kamu ke sini. Eh, malah baru tadi kamu ke sininya." Lancar sekali wanita itu bersandiwara.

Aku seketika mengecek ponsel. Setelah mengusap layar ponsel dan melihat kontaknya, aku baru ingat, karena saking marahnya kublokir nomor Mas Revan semalam. Jelas saja dia tak menghubungiku. Tapi itu bagus. Aku bisa memanfaatkan kondisi ini untuk memberi pelajaran berharga untuk pasangan kumpul kebo itu!

"Ah, ya. Benar, Mbak. Aku lupa buka blokirannya." Kukembangkan senyum, berpura-pura.

Kutekan kontak tersebut dan panggilan langsung tersambung ke Mas Revan.

"Hallo, Mas. Assalamualaikum. Hem. Mas maaf, ya. Aku kemarin pergi karena salah paham. Jemput aku ya, di rumah Mbak Wenda." Aku bicara sangat lembut pada suamiku.

Mbak Wenda tersenyum melihatnya. Namun, senyum itu tampak aneh. Antara lega tapi juga tak suka.

"Bagus, Ri. Jangan sia-siakan pria tajir sepertinya." Mbak Wenda menarik sebelah bibir melirik Mas Rayyan yang tampak tak nyaman karena ucapan istrinya.

'Bersabarlah, Mas Rayyan. Aku akan memberi pelajaran istrimu, sampai dia pun bertekuk lutut bukan hanya padaku, tapi padamu juga!'

"Hem, sebenarnya dia tajir karena aku ikut kerja, Mbak. Sebagian bisnis aku yang kelola. Sepertinya karena terlalu sibuk, aku jadi kurang perhatian sama dia. Setelah ini, aku akan memperhatikannya 1x24 jam." Aku mengucap dengan sedikit pongah.

Entah, tahu atau pura-pura tak tahu, Mbak Wenda ini. Karena sering keluar kota ngurus cabang usaha, makanya dia punya kesempatan menggoda Mas Revan.

Mbak Wenda terbatuk mendengarnya. Aku segera meraih gelas berisi air putih untuknya. "Minum, Mbak!"

Aku pura-pura panik.

Hem. Baru ucapan saja kamu sudah terkejut Mbak. Gimana besok-besok saat ku mulai rencanaku?

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ida Darwati
wow keren,, rasain tuh wenda itu harta punya adikmu revan cuma ikutan dikit
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status